Vanessa sedang
duduk di
ruang tamu rumahnya, merenung.
Ada yang mengganjal di
pikirannya, terus
mengganggu. Sesuatu yang diketahuinya sejak
dulu tapi di
lupakannya.
Sesuatu tentang Serena, dia merasa dia seharusnya mengetahui sesuatu tentang
gadis itu, tapi
apa?
Apa itu
Vanesa ? Bukankah kau merasa
sudah
pernah mengenal gadis itu
sebelumnya? Sebelum gadis itu bekerja di perusahaan ini
? Bukankah gadis itu
terasa begitu familiar?
Dengan gelisah Vanessa berdiri,
melangkah ke
depan lemari
putih
yang
terpajang rapi di ruang tamunya....
Sebenarnya dia punya firasat Serena berhubungan dengan masa lalunya,
masa lalu yang
ingin dilupakannya, karena terlalu pedih untuk
diingatnya.
Kenangan tentang almarhum
suaminya, Alfian.....
Dengan gemetar
Vanesa
membuka laci lemari putih itu,
lalu
mengeluarkan sebuah kotak putih yang
tidak pernah disentuhnya sejak
dua
tahun lalu.
Hati-hati dibukanya
kotak itu dan dikeluarkannya isinya,
sebuah map
tebal berisi
berkas-berkas.
Vanessa duduk, menarik napas panjang
dan membuka map
itu, isinya
adalah
kliping, potongan berita-berita tentang
tragedi dua tahun lalu.
Tragedi kecelakaan beruntun di jalan tol yang menewaskan Alfian suaminya.
Saat itu, dalam kesedihannya,
Vanessa mengumpulkan
semua berita yang memuat tentang tragedi itu, menjadikannya
satu di dalam satu map besar, memasukkannya ke kotak, dan menyimpannya,
menyimpannya bersama segenap kepedihan yang dia rasakan.
Sekarang dia membuka
lagi kotak kepedihan itu, hatinya terasa nyeri, tangannya gemetar ketika membuka halaman demi
halaman. Potongan artikel itu.
Sampai kemudian dia menemukan apa yang
dia
cari.
Gambar sosok itu persis sama, meski
terlihat muda, rapuh dan remuk redam, itu
Serena yang sama, di
gambar artikel itu,
dia
sedang menunduk
mengenakan
pakaian serba hitam di ruang
tunggu sebuah rumah sakit,
SELURUH KELUARGA TEWAS MENJADI KORBAN TABRAKAN BERUNTUN
Begitu judul artikel itu,
Disitu dijelaskan bagaimana
Serena kehilangan kedua orang
tuanya dan ditinggalkan sebatang kara
sendirian. Sedangkan tunangannya, seorang
pengacara bernama Rafi Ardyansyah terbaring koma tak sadarkan diri.
Tunangan???
Koma???
Vanesa membaca artikel itu dengan teliti, lalu mengamati background rumah sakit pada gambar
artikel Serena itu.
Dia tahu rumah sakit ini karena pernah praktek lapangan disana beberapa tahun lalu.
Dengan segera dia menelephone rumah sakit itu, menggunakan
berbagai koneksi profesi dokternya untuk memperoleh info dari dokter- dokter yang
dikenalnya, Vanessa mencari
informasi sebanyak-banyaknya,
dan pada akhirnya menemukan kebenaran.
Kebenaran
yang
pasti
akan menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Bahkan matanyapun berkaca-kaca karena terharu.
Tiba-tiba Vanessa
teringat akan kata-kata
Freddy ketika mereka
makan siang bersama
tadi, mengenai rencana lelaki itu untuk memberi Serena
pelajaran....Malam ini.....
Oh Tuhan!!
Dengan segera, seolah tersadarkan, Vanessa segera meraih dompet dan kunci
mobilnya,
Dia harus mencegah
Freddy melakukan
apapun
rencananya
untuk
memberi
pelajaran pada Serena!!
Freddy sudah salah paham, dan apapun yang dilakukan
lelaki itu, dia pasti akan menyesal begitu mengetahui kenyataan
yang sebenarnya!!
Vanessa harus mencegahnya sebelum terlambat!!
***
Tamu penting itu akhirnya pulang juga, beres sudah, semua berjalan sesuai keinginannya.
Damian mengacak rambutnya kesal,
Kalau begitu kenapa dia tidak merasa lega?? Kau tahu kenapa
Bisik suara hatinya,
Ah ya, aku tahu kenapa.
Damian mengakuinya.
Serena.
Cukup satu nama
yang mewakili
segalanya. Satu nama
yang sedari
tadi menghantui pikirannya.
Dia masih marah pada Serena, marah besar. Tapi bahkan meskipun dia marah, dia tak ingin membuat Serena sedih dengan kemarahannya.
Sungguh ironis.
Damian tersenyum
sinis,
menertawakan dirinya sendiri.
Tanpa terasa , gadis itu, Serena telah menjadi harta yang begitu berharga
untuknya.
Tidak pernah dia secemas itu untuk siapapun, seperti yang dia lakukan untuk
Serena kemarin malam,
Akuilah Damian,
kau menyayangi gadis itu.
Suara hatinya menekannya
lagi. Dan Damian tidak membantahnya, dia sudah terlalu lelah membantahnya.
Gadis itu dengan sifat polos, jujur dan kekanak-kanakannya telah menyentuh sisi
hatinya yang tidak pernah diijinkan tersentuh oleh siapapun.
Ah ya, Serena pasti sudah
menunggunya di ruangannya. Tamu
penting yang datang mendadak ini membuatnya terpaksa menghubungi Freddy
agar
menunggu di ruangannya kalau-kalau Serena datang.
Membayangkan
Serena sedang
menunggunya
membuat Damian tergesa melangkah menaiki
lift, menuju lantai pribadinya.
Dengan tenang dia membuka pintu ruangannya.
Pemandangan di depannya adalah pemandangan yang tidak
disangkanya sekaligus pemandangan yang paling tidak disukainya.
Freddy sedang berdiri menekan
Serena ke tembok, memeluknya
erat-erat dan
menciumnya, tubuh Serena yang
mungil
tenggelam dalam pelukannya.
Ketika menyadari pintu terbuka, Freddy mengangkat kepalanya, dan menatap
Damian yang
terpaku di pintu, membeku seperti batu.
"Oh, hai
Damian," Freddy tersenyum, mengusap bibirnya yang sedikit bengkak
karena berciuman dengan kasar, "Aku
menawar gadismu ini dengan harga beberapa juta,
dan
dia bersedia menemaniku selama beberapa jam, boleh kan?"
Serena yang masih berada dalam cengkeraman Freddy menjadi
pucat pasi mendengar fitnah Freddy yang begitu kejam.
Damian tidak akan percaya kata-kata Freddy kan? Damian tidak akan percaya kan?
Tapi ekspresi Damian begitu susah dibaca, lelaki itu seperti membeku.
"Dan kau tahu Damian, kau
memang benar- benar tidak rugi", Freddy
menyambung, menyeringai menghina kepada Serena, "Ciumannya lumayan WOW"
"Tidak!!!", Serena akhirnya berhasil bersuara, mencoba membantah kata-kata
Damian, "Tidak!!! Ya Tuhan!! Damian!!!!"
Suara Serena berubah menjadi
jeritan ketika dengan secepat kilat tanpa di
duga-
duga, Damian menerjang
Freddy.
Menarik laki-laki itu dengan kasar
dari Serena, lalu menyarangkan pukulan keras di rahang
Freddy, kemudian di perutnya sampai Freddy terbungkuk-bungkuk menahan sakit,
Tetapi Damian masih belum puas. Dia menyarangkan
lagi pukulan telak bertubi- tubi
ke semua bagian tubuh
Freddy, tanpa
memberi
Freddy kesempatan melawan,
"Damian!!! Stop!! Kumohon!!
Kau bisa membunuhnya!!", Serena berteriak panik ketika Damian menghajar
Freddy seperti kesetanan.
Dan terus menghajarnya,
terus tanpa henti tidak peduli Freddy sudah terkulai
tanpa memberikan perlawanan. Aura membunuh memancar dari mata
Damian, menakutkan.
"Damian!!!",
Serena
menjerit sekuat tenaga, berusaha
mengembalikan
akal sehat lelaki itu.
Kali ini berhasil, Damian berhenti. Matanya
nyalang, napasnya terengah-engah.
Sedangkan kondisi Freddy sungguh mengenaskan,
lelaki itu berbaring tak berdaya, wajahnya penuh darah,
mungkin hidungnya patah.
Dan
sepertinya dia tidak sadarkan diri.
"Astaga."
sebuah suara tercekat yang berasal dari pintu membuat Serena dan Damian
menoleh bersamaan, Vanessa berdiri di
sana, pucat pasi.
Seolah disadarkan, Damian langsung berdiri, menghampiri Serena dengan
bara
kemarahan yang
membuat Serena beringsut menjauh.
Lelaki itu tidak peduli, dengan kasar dia menarik lengan Serena, setengah menyeretnya keluar ruangan.
"Sakit Damian", Serena
merintih karena perlakuan kasar
Damian, tetapi lelaki itu
tidak peduli, seolah tidak mendengar
apa
yang diserukan Serena.
Vanessa berusaha menghentikan langkah Damian,
"Damian, kau harus
mendengar penjelasanku,
semua ini......"
"Diam!!!", teriakan Damian yang menggelegar membuat suara
Vanessa tertelan
kembali,"
Kau urus saja bajingan disana itu sebelum dia mati kehabisan darah!!
Dan
begitu dia sadar,
katakan padanya bahwa dia dipecat!!"
Damian menggeram marah sambil menyeret Serena menaiki lift.
meninggalkan Vanessa yang
masih berdiri terpaku, bingung.
***
"Damian! Semua
yang Freddy katakan itu bohong!",
Serena berusaha menjelaskan
ketika mereka sampai di apartemen, dan lelaki itu masih
menggelandangnya dengan kasar.
Tubuh Serena dihempaskan dengan sangat kasar ke tempat tidur.
"Dia
bohong Damian...",
Serena tersengal, putus
asa
mencoba meyakinkan
Damian.
"Freddy tidak pernah berbohong padaku", jawab Damian
datar, tangannya bergerak membuka kancing
bajunya.
"Dia bohong...Percayalah", air mata mulai mengalir di
sudut mata Serena.
"Tidak ada untungnya baginya berbohong padaku."
"Ada!!!",
jerit Serena, "Dia membenciku, dia ingin menyingkirkanku...."
"Wah...Kau pikir kau seberharga itu? Kau
tidak lebih dari pelacur kecil dengan tampilan tanpa dosa....Berapa dia membayarmu
untuk sebuah ciuman hah?!
Sepuluh juta?? Dua puluh juta?? Kau
pikir kau bisa mendapatkan uang keuntungan dari
kami berdua ya??"
"Kumohon Damian, kau tahu dia berbohong....Kumohon...Kumohon...Percayalah
padaku...", Serena
mulai panik ketika Damian melepas kemejanya, "Ke... Kenapa
kau melepas pakaianmu?"
Dengan takut
Serena beringsut di
ranjang mencoba
sejauh mungkin
dari
Damian.
"Yah...Aku sudah pernah bilang kan?", lelaki itu tersenyum
kejam sambil mulai
melepas ikat pinggangnya,
tatapan matanya
tak lepas dari Serena
yang meringkuk ketakutan
seperti sekor mangsa yang menghadapi predator kejam.
"Seorang pelacur harus diperlakukan
seperti pelacur!", desis Damian
penuh penghinaan.
ReplyDeleteHi there, after reading this remarkable paragraph i am
too happy to share my experience here with colleagues. 오피사이트