Damian duduk di tepi ranjang, dan mengamati
Serena, panasnya sudah agak turun
dan
gadis itu tidur seperti bayi, entah kenapa
dan sejak kapan dia merasa
kalau gadis kecil ini menjadi begitu penting baginya. Mungkin karena kedekatan mereka selama
ini, Damian tidak pernah membiarkan orang lain sedekat
dengan
dirinya.
Tiba-tiba bunyi getaran disamping ranjang
mengejutkan Damian, ponsel kecil itu
bergetar dan Damian mengernyitkan keningnya, ponsel milik Serena? Dia baru
pertama melihatnya,
karena Serena tidak pernah menggunakannya di depannya.
Dan yang terlintas pertama
kali di otak Damian
ketika melihat ponsel itu
adalah,
dia
harus membelikan Serena ponsel
yang lebih baik.
Ponsel itu terus bergetar, rupanya penelpon di seberang sana tidak mau
menyerah, Damian meraih ponsel itu karena tidak mau getarannya mengganggu
Serena yang sedang tertidur lelap.
Suster Ana?
Damian mengernyit membaca nama penelphon di
ponsel
itu, sebelum mengangkatnya,
"Serena?", suara diseberang telephone langung menyahut cemas, "maafkan
aku karena menelephone,aku cemas karena kau sudah dua hari tidak kemari dan tidak ada
kabar sama sekali darimu,
padahal kau
tidak pernah melewatkan satu
haripun, apakah kau baik baik saja?"
Jeda sejenak,
Damian ragu untuk bersuara, tetapi kemudian dia bersuara,
"Maaf, Serena sedang tidur",
ketika Damian bersuara, dia mendengar suara terkesiap diseberang
sana, sepertinya
lawan bicaranya
sangat
terkejut mendengar dia yang menyahut,
"Oh...maaf....", suster Ana
tampak kehilangan kata-kata.
"Serena sedang
sakit, dua hari ini dia demam tinggi, mungkin besok saya akan
memberitahunya kalau
anda menelephone", lanjut Damian tenang dan tanpa memperkenalkan dirinya, tentu saja dia tidak berniat memperkenalkan dirinya.
"Oh, baiklah, terimakasih",
suara diseberang terdengar sangat gugup, lalu
telephone ditutup dengan begitu cepat sehingga Damian mengernyit.
Ada yang aneh, wanita diseberang itu memang kaget mendengar suaranya, tetapi tidak ada kesan bertanya-tanya
mendengar suara Damian yang menjawab telephone. Apakah wanita diseberang itu mengetahui siapa Damian ?
Dan
apa yang dimaksud
dengan datang setiap hari dan tidak pernah melewatkan
satu haripun? Datang kemana? Untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Damian
dan membuatnya menyadari
bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang
Serena.
***
Vanessa sedang duduk di bar bersama dengan Freddy, lalu mengernyit, "menurutmu apakah
bos kita itu sudah main hati?"
Freddy menyesap minumannya,
"Apa maksudmu?"
"Gadis kecil itu, Serena"
Hening sejenak dan Freddy menyesap
minumannya
lagi,
"Menurutku Damian sudah gila", gumamnya dengan nada tidak setuju," Dia
sudah bertindak di luar kehati-hatiannya
yang biasa menyangkut gadis itu."
Vanesa menolehkan kepalanya ke Freddy dengan penuh rasa
ingin tahu, "sebenarnya aku sangat
penasaran dengan hubungan
mereka, menurutku
Damian menyimpan perasaan yang dalam...."
"Ralat, nafsu
yang dalam", sela Freddy, "Damian sudah merasakan nafsu yang
dalam ketika melihat gadis itu pertama kalinya dan menginginkannya. Dan gadis
itu, Serena, dia memanfaatkan
itu dengan menjual
dirinya kepada Damian", gumamnya jijik.
Vanessa mengernyit lagi,
"Serena tidak kelihatan
seperti gadis yang
sengaja menjual
dirinya"
"Dia menjual dirinya seharga tiga ratus juta. Aku sendiri yang
membuatkan kontrak perjanjian
jual beli yang
konyol itu, setelah itu Damian
masih
membelikan
apartemen untuk tempat dia
tinggal, dan bahkan berencana
melunasi hutang gadis itu yang
hampir 40juta di perusahaan, aku sudah menasehatinya kalau dia mulai berlebihan, tapi Damian tidak peduli",
gumam Freddy frustasi.
Vanessa
merenung dengan serius,
tiga ratus juta? Itu
uang yang tidak sedikit
untuk perempuan seumuran Serena. Dan gadis itu juga berhutang 40 juta di
perusahaan, sungguh pengeluaran fantastis untuk
gadis dengan penampilan sederhana seperti Serena,
"Menurutmu untuk apa uang itu? Kalau untuk bermewah-mewah sepertinya tidak
mungkin, gadis itu tinggal di tempat kost sederhana, pakaian dan barang-
barangnya tidak ada yang bermerk, dia juga selalu naik
kendaraan umum
ke kantor", gumam Vanessa pelan.
Freddy menoleh dan mengangkat alisnya,
"Untuk seorang dokter perusahaan,
tampaknya kau tahu banyak" Vanessa tertawa pelan,
"Tentu saja, aku
banyak berhubungan dengan karyawan kau tahu. Freddy, tampaknya kau tidak boleh terlalu berprasangka dulu pada Serena", Vanessa
berubah serius, "Damian bukan orang bodoh, dia tidak akan membiarkan dirinya
dimanfaatkan, kecuali dia melakukannya dengan sukarela"
"Dia mabuk kepayang, lelaki yang mabuk kepayang tidak akan menggunakan
akal sehatnya, dan kalau hal itu mulai keterlaluan, aku sendiri yang akan
memperingatkan Serena", gumam Freddy dengan penuh tekat.
Vanessa
diam saja,
memahami
betapa
dalamnya rasa persahabatan antara
Freddy dan Damian, dan betapa Freddy sangat ingin menjaga sahabatnya itu.
Tetapi ada
sesuatu yang
mengganggu pikirannya,
sesuatu
tentang Serena, gadis
itu
terasa familiar tetapi Vanessa tidak bisa mengingatnya,
kapan? Dimana?
***
Serena
mulai sembuh, meskipun
dia belum
bekerja,
Damian tidak
mengijinkannya.
Laki-laki itu bersikeras bahwa
Serena belum boleh bekerja, dan
dia
memerintahkan dokter Vanessa menghubungi langsung atasan Serena
sehingga tidak masuknya Serena selama empat hari ini tidak akan menjadi
masalah.
Well, besok dia harus masuk, dia sudah sehat, itu hanya flu biasa dan dengan
perawatan Damian yang sengat intensif disertai dengan obat
dari dokter Vanessa
yang sangat manjur, dia sudah merasa cukup kuat
hari ini.
Dan Serena
merindukan Rafi, sudah empat
hari dia tidak
ke rumah sakit,
kemarin tubuhnya
masih terlalu lemah, tetapi sekarang dia sudah
agak kuat dan tidak sabar ingin segera melihat Rafi,
Suster Ana menelephon dan menceritakan perihal Damian yang mengangkat
telephonnya pada waktu Serena tertidur,
sekaligus meminta maaf jika dia sudah hampir membuka rahasia Serena.
Setelah itu, Serena bersikap hati-hati kepada Damian, menunggu lelaki itu bertanya kepadanya.
Tetapi Damian besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jadi Serena
berpikir Damian tidak menganggap telephone dari suster Ana
itu sebagai sesuatu yang serius.
Serena sudah
berpakaian rapi, saat itu jam lima sore, Damian masih akan pulang
jam sembilan malam, jadi dia masih punya waktu lebih dari cukup untuk
menengok Rafi.
Dengan riang karena akhirnya
bisa
berkunjung lagi ke
rumah
sakit, Serena
berjalan dan membuka pintu keluar apartemennya, hanya untuk berhadapan dengan sosok Damian yang akan membuka
pintu untuk masuk, Damian mengamati
Serena yang berpenampilan rapi,
"Mau kemana?", tanyanya langsung.
Sejenak Serena terperangah tak menyangka akan berhadapan dengan Damian,
matanya mengerjap gugup.
"Serena?", Damian mengulang pertanyaannya dalam matanya.
"Eh aku...", Serena
mengerjap lagi, "aku mau
membeli bahan
makanan di supermarket", gumamnya, mengucapkan hal
pertama yang terpikir di
dalam
benaknya.
Damian mengernyit,
"Kau masih sakit,
tidak boleh keluar-keluar, kau bisa membeli bahan makanan
itu besok, lagipula aku
sudah
membawa makanan", Damian
menunjukkan kantong kertas di tangannya dan melangkah masuk lalu menutup
pintu apartement,
ketika dirasakannya
Serena masih terpaku dia menoleh dan mengangkat kantong
makanan itu,
"Kau tidak mau menatanya di piring sementara aku mandi?",
tanyanya lembut, Serena tergeragap, dan mengangguk,
lalu menerima kantong
itu
dari Damian,
Ketika Damian melangkah ke kamar dan mandi, Serena menata makanan di
dapur dengan frustasi, kenapa Damian sudah pulang sore-sore begini? kenapa
waktunya begitu tidak tepat?
Serena menyempatkan diri menghubungi Suster Ana dan menjelaskan
perihal
batalnya kunjungannya ke rumah sakit,
untunglah suster Ana mengerti lalu menjelaskan secara
singkat
kondisi Rafi
yang
stabil sehingga kemungkinan operasi ginjalnya bisa
dilakukan beberapa hari lagi. Serena merasa sangat lega mendengarnya, dengan cepat dipanjatkannya doa permohonan untuk Rafi lalu melanjutkan
menata makanan itu.
Semua masakan yang dibeli Damian tampak hangat dan menggiurkan sehingga mau tak mau menggugah selera Serena,
"Kau pasti menyukainya, itu menu andalan dari restaurant favoritku", Damian
masuk kedapur dengan mengenakan pakaian santai, dia sudah bertransformasi dari pebisinis yang
dingin ke lelaki yang lebih mudah didekati.
"Mana kopiku?", gumamnya disebelah Serena,
Damian berdiri begitu dekat hingga membuat Serena
gugup, dengan ceroboh dia
hampir melompat menjauh dari Damian, membuat lelaki itu mengangkat sebelah
alisnya sambil menatap
Serena,
"A....akan
kubuatkan", gumam Serena dengan pipi merah padam.
"Tidak, nanti saja akan kubuat
sendiri, kemarilah aku belum memeriksamu sejak
tadi", Damian merentangkan tanggannya
sambil bersandar di
meja
dapur.
Serena memandang ragu-ragu
ke tangan Damian
yang terentang, lalu
beralih kemata Damian yang
menyiratkan perintah tanpa kata-kata.
Dengan
ragu dia melangkah mendekat ke arah Damian,
lelaki itu langsung merengkuhnya ke dalam pelukannya,
"Hmmmm kau harum seperti aroma bayi", gumam Damian tenggelam disela sela rambut Serena.
Damian juga harum, pikir Serena dalam hati, aroma sabun dan aftershave, aroma yang sudah familiar dengannya dan mau tak mau Serena merasa nyaman
ada
di dalam pelukan Damian,
Mereka berdiri sambil
berpelukan beberapa lama, tanpa suara tanpa kata-kata, Ketika akhirnya Damian mengangkat kepalanya dan menatap Serena, matanya
tampak membara,
"Kau sudah tidak demam
lagi", suaranya
terdengar serak, dan Serena mengerti artinya, Damian sudah
terlalu lama
menahan diri, lelaki itu tidak menyentuhnya selama tiga malam,
dan
mengingat besarnya gairah Damian kepadanya,
sepertinya itu sudah hampir mencapai batas maksimal pengorbanan Damian.
Serena sangat mengerti.
“Iya, aku sudah tidak demam lagi”, balas Serena lembut.
Damian mengerang lalu menekankan tubuhnya
makin
rapat pada tubuh Serena, hingga kejantanannya
yang sudah mengeras menekan
Serena membuat pipi Serena memerah. Dengan lembut Damian mengusap
pipi Serena,
“Begitu liar
di
ranjang, tapi
masih bisa memerah pipinya ketika kugoda”, dengan lembut
Damian meniupkan
napas panas di
telinga
Serena,
membuat tubuh
Serena menggelenyar, “Apakah
aku juga bisa membuat yang di bawah sana
merona ketika kugoda?”
Tangan Damian menyentuh
Serena dengan lembut, membuat napas Serena terengah, jemari yang kuat
itu menelusup
ke dalam, menyentuh
Serena dan menggodanya, membuatnya basah.
Damian mendorong Serena ke atas
meja dapur membuka
pahanya, lalu dengan
cepat membuka
celananya dan
menyatukan
dirinya dengan
Serena.
Kerinduannya begitu dalam sehingga kenikmatan yang
terasa begitu menyengat
seakan-akan jiwanya dipukul dengan tabuhan
percikan orgasme tanpa ampun.
Entah hati mereka saling berseberangan, tetapi ternyata tubuh mereka saling
membutuhkan.
Serena setengah terbaring di
atas meja dapur dengan tubuh
Damian melingkupinya, Lelaki itu membutuhkannya dan Serena
dengan caranya sendiri membutuhkan Damian.
Ketika paha mungil Serena melingkupi pinggang
Damian, Damian menekankan dirinya kuat kuat,
menggoda batas pertahanan Serena.
“Damian...”, Serena merintih, tanpa sadar mengucapkan nama Damian, dan
ucapan itu bagaikan musik
hangat di telinga Damian,
“Ya manis, katakan manis, kau ingin aku berbuat apa?”, bisik Damian parau disela tubuhnya yang bergolak untuk memuaskan Serena, di
sela napasnya yang tersengal yang
terpacu cepat. “Kau ingin aku memuaskanmu ya?
Aku akan memuaskanmu
manis, aku akan
memuaskanmu sampai kau tidak akan
pernah
bias menemukan kepuasan yang sama
dari siapapun.”, Dengan posesif Damian
menekan Serena menyatakan kepemilikannya,
“Kau tidak akan
pernah menemukan
lelaki lain...”, suara Damian tercekat ketika
hantaman orgasme melandanya, membawa Serena ikut dalam pusaran puncak
kenikmatannya.
Dan akhirnya,
mereka baru menyantap
makan
malam hampir lewat tengah
malam.
***
Ruangan itu sangat sunyi, hanya suara alat-alat penunjang kehidupan yang berbunyi secara teratur.
Serena
duduk disana, disamping ranjang Rafi, menatap Rafi yang terbaring dengan damai. Dua jam lagi
operasi ginjal Rafi akan dilaksanakan.
Kau harus kuat bertahan ya?
demi aku kau harus bertahan,
kau harus bertahan, demi aku Rafi...
Berkali-kali Serena merapalkan kata-kata itu seperti sebuah doa yang
tidak ada putus-putusnya.
Rafi tampak lebih kurus, dan pucat, dan begitu diam, tetapi Serena meyakini masih
ada kekuatan hidup yang tersembunyi di
dalam
tubuh Rafi, Serena
mempercayainya.
Serena percaya kepada Rafi, seluruh
harapannya masih
bertumpu kepada kepercayaannya itu.
Kemungkinan keberhasilan operasi itu adalah 40:60, dan Serena bergantung kepada 40%
itu. Dia percaya Rafi adalah lelaki yang kuat, buktinya
dia
sudah berhasil bertahan sampai sejauh ini.
Suster Ana
masuk ke dalam ruangan,
dan
menyentuh pundak Serena. “Kondisinya stabil Serena, aku yakin dia akan berhasil melalui ini
semua.”
“Iya suster, Rafi pasti kuat.“
Suster Ana mengecek denyut
nadi Rafi lalu menatap
Serena seolah teringat
sesuatu.
“Bagaimana kau berpamitan dengan Mr. Damian?”
Serena merona.
“Aku bilang menemani teman yang akan melahirkan,” gumamnya pelan, merasa
berdosa karena tidak biasa berbohong.
Hari ini
hari minggu, Damian
kebetulan
berencana melewatkan waktunya seharian dengan Serena. Tetapi dengan alasan palsu
dan kebohongan yang
terbata-bata, Serena berhasil membuat Damian melepaskannya.
Meskipun dahi Damian tampak berkerut curiga ketika Serena berpamitan tadi pagi.
“Kalau begitu kenapa kau tak mau kuantar?” kejar Damian tadi pagi ketika
Serena menolak tawarannya.
“Karena temanku ini mengenalmu sebagai bosku, nanti dia bisa mengetahui
semuanya.”
jawab Serena cepat-cepat.
Lelaki itu mengerutkan keningnya lagi, tidak puas.
“Apakah dia salah satu pegawaiku?”
“Bukan!”
Serena langsung menyela keras, karena setelah mengenal Damian lebih dekat, Serena tahu, jika dia menjawab ‘iya’, maka Damian pasti akan menyuruh salah
satu staf personalianya untuk mengecek apakah
benar ada karyawannya yang
akan melahirkan, dan dia akan mendapati kalau Serena berbohong.
“Dia bukan pegawaimu, tapi dia banyak mengenal teman-teman kantor dan dia tahu tentangmu, jadi kalau dia melihatmu dia bisa bertanya-tanya
kepada yang lain….”
“Oke, kalau begitu di
Rumah Sakit mana?”
Serena kehilangan kata-kata,
berusaha mencari jawaban. “Eh...aku tidak tahu di
Rumah Sakit mana.”
Dengan
cepat
Damian melangkah ke
hadapan Serena
yang
berusaha
menghindari tatapannya.
“Kau bilang akan menemani
temanmu itu di Rumah sakit, bagaimana mungkin
kau tidak tahu di mana rumah sakitnya???”
“A...aku...”, dengan gugup Serena menelan ludah, “Aku
akan menunggu di kost
yang lama, suaminya akan menjemputku nanti” , disyukurinya
jawaban yang
terlintas cepat di otaknya, Dia jarang
berbohong, dan tidak pandai berbohong,
sementara Damian terlihat seperti seorang detektif yang
mencurigai tindakan
kriminal yang dilakukan di
belakangnya.
“Suaminya?”
Jawaban itu sepertinya membuat Damian tidak senang karena ekspresi
wajahnya semakin menggelap.
“Kau membiarkan suaminya menjemputmu?
kalian hanya berdua di jalan?”
Serena merasa
gugup, tapi
kemudian
dia merasa
ingin
tertawa mendengar
perkataan
Damian yang terasa aneh.
“Damian,“ gumam Serena jengkel, “ Dia
seorang suami, dan
isterinya akan melahirkan anaknya, apa yang ada di dalam pikiranmu?”
Perkataan
itu membuat pipi Damian merona, dan dia melangkah mundur.
“Ah ya...maaf,“ lalu lelaki itu menatap Serena tajam, “ Kau boleh pergi, tapi begitu sampai di
rumah sakit itu kau harus menghubungiku”
“Ya,” jawaban Serena terlalu cepat sehingga Damian menatapnya makin curiga.
“Kau harus menghubungiku, Oke?”
“Oke”, jawab Serena terlalu cepat.
“Serena!” Suara Damian terdengar jengkel. “Oke, Aku janji.” Jawab Serena akhirnya.
“Dan sebelum jam
delapan malam
kau harus pulang.”
“Baik Damian”, Serena berjanji meski tidak tahu apakah dia bisa menepatinya. Dan sekarang, dengan sengaja Serena mematikan ponselnya. Bagaimanapun
kemarahan Damian nanti akan ditanggungnya, sekarang yang paling penting
adalah Rafi.
"Sudah waktunya", gumam suster
Ana, membuyarkan lamunan Serena.
Dua perawat lain masuk ke ruangan dan mulai mempersiapkan mesin-mesin
penunjang kehidupan untuk Rafi. Lalu mulai mendorong tubuh
Rafi keluar ruangan.
Serena mengikuti di belakang, sampai Rafi menghilang di pintu khusus ruang
operasi.
Dengan lemah dia menoleh ke suster Ana,
"Berapa lama suster operasinya?" Suster Ana memeluk Serena lembut.
"Untuk operasi berat seperti ini,
minimal 4 jam Serena.”
***
4 jam
5 jam
6 jam
......
Napas Serena mulai terasa sesak, berkali kali dia melirik lampu di atas pintu ruang operasi. Tetapi tetap tidak ada gerakan di sana. Di setiap detik yang
terlewatkan dengan begitu
lambat, napas
Serena terasa makin
lama makin sesak.
Kenapa lama sekali??
Apa yang
terjadi?
Apakah
para dokter
mengalami
kesulitan? Bagaimana kondisi Rafi disana?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam benak Serena, membuatnya
makin cemas dan ketakutan.
Suster Ana
sudah
berkali-kali menengok keadaan Serena di sela-sela tugas jaganya, membawakan Serena segelas teh dan makanan
kecil karena Serena tidak mau makan.
"Makanlah dulu Serena. Aku tidak mau kau pingsan nantinya."
gumam suster
Ana sambil memijit lembut pundak Serena.
Dengan lemah
Serena menggeleng. "Tidak bisa suster, aku terlalu cemas untuk makan."
"Kalau begitu minumlah tehmu, kau
sama
sekali belum makan sejak tadi, setidaknya
teh manis bisa memberikanmu sedikit tenaga."
Dengan patuh Serena meneguk teh
manisnya, lalu menatap ke pintu
lagi dengan cemas.
"Kenapa lama sekali
suster
operasinya?"
Suster Ana menghela napas.
"Aku tidak tahu
Serena, tapi Rafi kan
kasus khusus,
para
dokter harus benar- benar berhati-hati menanganinya, mungkin itu yang memerlukan waktu lebih lama."
Pandangan Serena tetap tidak terlepas dari pintu ruang operasi.
Ketegangannya semakin meningkat, ketika lampu di
atas pintu ruang operasi
menyala, tanpa sadar dia terlompat dari tempatnya berdiri dan
setengah berlari
menyongsong dokter.
Dokter itu tersenyum sebelum Serena bertanya, dia mengenal Serena, mengenal kegigihan gadis itu memperjuangkan kehidupan tunangannya. Dan tanpa
sadar
turut merasakan empati
pada pasangan itu.
"Tidak apa-apa Serena,
Rafi lelaki yang kuat, operasinya berhasil."
Tubuh Serena langsung lunglai penuh rasa syukur hingga sang dokter
harus menopangnya.
"Selamat Serena,
kamu
berhasil... Kalian berdua berhasil."
***
"Pulanglah dulu Serena, ini sudah hampir jam tiga pagi", suster Ana yang masih setia menemani mengguncang
pundak Serena.
Dia kasihan melihat gadis itu tertidur kelelahan di samping ranjang
Rafi, begitu Rafi keluar dari ruang pemulihan dan
kembali ke
kamar perawatan intensif,
Serena tak pernah beranjak dari sisi Rafi, tidak makan, tidak minum. Hanya
duduk disana mengenggam tangan Rafi
yang tidak terbalut infus, seolah olah akan
ada keajaiban dimana Rafi akhirnya sadarkan diri.
Kasihan sekali kau nak, suster Ana menggumamkan rasa tersentuhnya dalam hati.
Serena berusaha mengumpulkan kesadarannya,
tanpa terasa tadi dia tertidur
karena kelelahan.
"Kamu harus
pulang Serena,
ingat, mungkin Damian kebingungan mencarimu." Astaga!! Astaga!! Astaga!!
Ya
Tuhan,
Serena benar-benar lupa, Damian!!!
Astaga, lelaki itu pasti akan mencarinya dan sekarang dia pasti sedang marah
besar!!!
Dengan gugup Serena bangkit dari kursinya, sedikit gemetar membayangkan
kemarahan Damian nantinya.
"Aku
meminta supir
rumah sakit mengantarmu pulang, jadi
kamu
tidak perlu naik taksi
dini hari begini", Suster Ana
berusaha meredakan kegugupan Serena.
Dengan
cepat
Serena mengecup tangan Rafi yang masih ada dalam genggamannya, memeluk suster Ana
dan setengah berlari keluar.
Thanks to my father who shared with me concerning this website, this web site is truly amazing.
ReplyDeleteHere is my web site - 부산오피