Thursday, August 20, 2015

A Romantic Story About Serena - Chapter 9










Ruangan itu gelap.

Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Serena menutup pintu terdengar begitu keras.



Dengan gugup Serena menelan ludah. Kenapa sepi? Kemana Damian?
Apa Damian mungkin pulang ke rumahnya? Apa mungkin dia tidak tahu kalau
Serena belum pulang? Syukurlah kalau begitu kejadiannya.

Serena berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya menghadapi apa yang akan terjadi, seperti hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak saja.

Dan bom itu memang meledak.

Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, bukan terbuka, tapi terdorong dengan kasarnya, lampu-lampu menyala.

Damian tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya acak- acakan, bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut masai. Yang pasti, lelaki itu kelihatan begitu murka mendapati Serena berdiri di ruang tamu apartemen itu, hanya menatapnya.

Dengan gerakan kasar dia meraih pundak Serena dan mengguncangnya begitu keras sampai Serena merasa pusing,

"Kemana saja KAU?????!!!", teriak Damian, lepas kendali.

Serena  berusaha  menjawab,  tetapi  kepalanya  terasa  pusing  karena  Damian masih mengguncangnya.
"Aku mencarimu ke segala penjuru, kau tahu????!!! ", Damian masih berteriak. “Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi tidak ada
kamu!!!! Kemana saja KAU????"

"Damian,  kalau  kau  terus  mengguncangnya  seperti  itu,  dia  akan  muntah sebentar lagi", sebuah suara tenang terdengar di belakang Damian, membuat lelaki itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.

Freddy berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu, sepertinya menikmati pemandangan Serena yang didamprat oleh Damian.

Damian menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol emosinya.



Sialan benar Serena!!! Sialan benar gadis ini!!! Tidak tahukah dia begitu cemas tadi ketika sampai malam Serena tidak juga pulang?? Tak tahukah dia betapa hati Damian dicengkeram ketakutan yang amat sangat ketika mencoba menghubungi Serena dan menemukan bahwa ponselnya mati???

Beribu pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak Damian, bagaimana kalau Serena kecelakaan? Atau dia menjadi korban kejahatan???!!!! Bagaimana kalau gadis itu terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk meminta pertolongan???

Dan sekarang, menemukan gadis itu berdiri di ruang tamu apartemennya, tanpa kekurangan suatu apapun, membuat Damian dibanjiri perasaan lega yang amat sangat, lega sekaligus murka, murka karena gadis itu telah membuatnya kacau balau, murka karena gadis itu telah membuatnya berubah dari Damian yang tenang menjadi Damian yang kacau, murka karena gadis itu telah menumbuhkan sebentuk perasaan yang tidak dia kenal sebelumnya.

"Pro... Proses melahirkan temanku bermasalah.... Dia... Dia eh... Harus.... Dioperasi....", Serena masih berusaha mengumpulkan nafasnya, diguncang dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.

Tangan Damian yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat.

"Kalau begitu, apa susahnya meneleponku??!!! Kenapa kau matikan ponselmu hah??!!",

Serena mengerjapkan matanya gugup. "Baterai ponselku... Habis..."

"Memangnya tidak ada cara lain buat menghubungiku?! Aku hampir gila memikirkan kau ada dimana!! Apa kau pikir aku tidak mencemaskanmu??? Kau tahu aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi!!! "

"Damian, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat", Freddy menyela, berusaha lagi meredakan kemarahan Damian.

Dengan tajam Damian menoleh kepada sahabatnya itu,

"Cukup Freddy, kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."

Freddy hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuk- nepuk kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar pintu.


"Kau harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin tidak mengenalmu", kata-kata Freddy ditujukan kepada Damian, tapi matanya menatap tajam ke arah Serena, menyalahkan.

Dan kau, Tuan Putri, lain kali belajarlah sedikit bertanggung jawab!", sambungnya dingin sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Ruangan itu menjadi begitu hening sepeninggal Freddy. Damian diam.
Dan  Serena  juga  diam,  menilai  emosi  Damian,  takut  salah  berbicara  atau bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Damian semakin parah.

Setelah mengamati dengan hati-hati, Serena menarik kesimpulan kalau kemarahan Damian sudah mulai mereda, matanya sudah tidak menyala lagi seperti api biru, dan napasnya sudah teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya yang menipis itu yang menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana.

"Maafkan aku," bisik Serena pelan, takut-takut.

Sejenak Damian tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik napas panjang, berusaha menahan diri.
"Sudahlah", gumamnya, melangkah melewati Serena memasuki kamar. Dengan gugup Serena berusaha mengejar langkah Damian yang begitu cepat. "Maafkan  aku, aku tidak berpikir kamu akan secemas itu", tersengal Serena
berusaha menjajari langkah Damian menuju kamar. "Aku... aku terlalu terfokus
pada operasi temanku lalu aku...Damian!!", Serena setengah berseru karena lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya.

Damian berhenti melangkah, menatap Serena, tampak begitu dingin. "Yang penting kau sudah pulang dengan selamat", jawabnya datar. "Damian.....?"
Serena merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Damian.

"Sudah!  Aku  mau  tidur!”  geram  Damian  marah  sambil  melangkah  ke  arah ranjang.



***

Lelaki itu marah, marah besar padanya.

Serena bisa merasakannya dari suasana pagi itu, ketika mereka bersiap-siap berangkat ke kantor.

Semalaman Serena tidak bisa tidur, dan Serena yakin Damian juga tidak tidur, karena lelaki itu bergerak dengan gelisah sepanjang malam.

Suasana tegang di waktu sarapan pagi itu terasa seperti kawat berduri yang direntangkan, siap putus dan melukainya.

Ia tidak menyukai suasana seperti ini, lebih baik Damian meledak-ledak marah seperti kemarin, setidaknya semua kemarahannya terlampiaskan, tidak seperti sekarang.

Lelaki  itu  murka,  tetapi  menyimpannya  sehingga  membuat  seluruh  dirinya tegang dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Kita berangkat bersama", desis Damian setelah membanting serbet makannya ke meja.

Tangan Serena yang menyuapkan roti ke mulutnya berhenti di tengah-tengah. "Apa?"
"Kita berangkat bersama-sama", ulang Damian datar. "Tapi......"
"Tidak ada tapi Serena," sela Damian kasar lalu berdiri dengan marah ke pintu, "Ayo cepat!!!"

Dengan gusar lelaki itu membukakan pintu mobil buat Serena, dan membantingnya ketika Serena sudah duduk di kursi, tanpa dapat membantah, tanpa dapat memberikan perlawanan.

Sepanjang jalan, lelaki itu menyetir dengan sangat kasar, seolah-olah melampiaskan kemarahannya. Serena hanya duduk berdiam, tidak mau melakukan apapun yang dapat memancing kemarahan Damian.


"Nanti  kau  pulang  denganku!!  Kau  dengar  itu??  Kau  datang  ke  ruanganku setelah jam kantor, kita pulang bersama!!!", gumam Damian tanpa mau dibantah ketika menurunkan Serena di lobi kantor.

***

Hari  ini  berlalu  dengan  amat  lambat  bagi  Serena,  perasaannya  tidak  enak, sampai  kapan  Damian  akan  marah  padanya?  Sampai  kapan  Damian  akan bersikap seperti ini kepadanya?

Dia tahu dia bersalah, tapi dia kan sudah meminta maaf? Lagipula kenapa permasalahan kecil semacam ini begitu dibesar-besarkan oleh Damian?

Pemikiran itu masih berkecamuk di kepalanya ketika keluar dari lift yang mengantarkannya ke ruangan pribadi CEO perusahaan.

Sebenarnya Serena tadi bermaksud pulang sendiri dan mampir ke rumah Sakit menengok Rafi, memanfaatkan waktu bebasnya yang dijanjikan oleh Damian pada waktu perjanjian awal mereka.

Tapi dengan ancaman Damian tadi pagi, Serena tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan Damian untuk menemuinya di ruangannya sepulang kerja.

Meja sekertaris Damian sudah kosong, dengan pelan Serena melangkah ke pintu besar ruangan Damian, mengetuknya pelan.

"Masuk."

Sebuah suara mempersilahkannya dari dalam. Serena masuk dan menutup pintu di belakangnya, ketika membalikkan badannya dia terpaku.

Bukan Damian yang ada di sana, tetapi Freddy, lelaki itu sedang duduk santai di sofa, menyesap segelas brendy, menatap Serena dengan penilaian santai yang sedikit kurang ajar.
"Mr. Damian menyuruh saya kesini jam pulang kantor.", jelas Serena terbata. Freddy tersenyum, masih duduk santai di sofa sambil menatap brendynya yang
tinggal seperempat gelas.

"Aku tahu, Damian menyuruhku menunggumu di sini, dia sedang menemui tamu penting dari Jerman di ruang pertemuan."

"Oh."



Serena tidak tahu harus berkata apa, suasana terasa sangat canggung. Entah karena Serena memang tidak kenal dekat dengan Freddy, atau karena sikap santai palsu yang ditunjukkan Freddy.

"Kalau begitu mungkin saya akan menunggu di luar saja", gumam Serena cepat- cepat, ingin segera meninggalkan ruangan itu.

"Bagaimana rasanya?"

Pertanyaan tiba-tiba Freddy itu menghentikan gerakan tangan Serena membuka pegangan pintu.

"Apa?"

"Bagaimana    rasanya    menjadi    wanita    simpanan    taipan    kaya    seperti
Damian?",Freddy bangkit berdiri dari sofa dan menghampiri Serena.

Serena tidak suka mendengar nada melecehkan dalam suara Freddy, dia ingin segera keluar dari ruangan ini.

"Eh, mungkin saya harus menunggu di luar," Serena berhasil membuka pintu sedikit, tapi dengan lengannya Freddy mendorong pintu itu tertutup lagi.

"Aku bertanya padamu Tuan Putri", ulang Freddy sinis. Serena menatap Freddy tajam.
"Saya tidak akan membiarkan anda merendahkan saya," desisnya pelan. Ucapan itu membuat Freddy tertawa, penuh penghinaan.
"Merendahkan katamu?, bukannya kau yang datang merangkak meminta dijadikan pelacur oleh Damian???", ejeknya kasar, lalu mencekal lengan Serena tak kalah kasar, tak peduli Serena mulai meronta-ronta.

"Kau adalah wanita paling rendah, paling murahan yang pernah kukenal, kau mungkin berhasil merayu Damian dengan tubuhmu", Freddy menyeringai sinis, "Tak kusangka Damian bisa bertekuk lutut pada perempuan sepertimu, tapi kau tentu  sudah  tahu  kan?  Damian  terbiasa  dikelilingi  perempuan-perempuan dewasa yang berpengalaman, jadi citra polos dan kekanak-kanakanmu tentu saja menjadi hal baru yang menyegarkan untuknya."


"Anda  salah  !  Saya  tidak  begitu",  Serena  berusaha  menyela,  berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Freddy, tapi genggaman lelaki itu seperti capit besi, dan dari napasnya yang berbau brendy, sepertinya lelaki itu setengah mabuk.

"Kau tidak bisa membohongiku pelacur cilik!!", Freddy menggeram pelan, "Meski dulu aku terpaksa membuatkan kontrak tiga ratus juta yang konyol itu, jangan kira aku akan membiarkanmu menyetir Damian untuk membuat kekonyolan lain yang merugikannya!!!"

"Anda salah paham!!", Serena setengah berteriak, semakin meronta dari cengkeraman Freddy yang sangat keras.

"Kau pelacur cilik yang menjual tubuhmu seharga tiga ratus juta", Freddy mulai merapat ke tubuh Serena.
“Aku mulai bertanya-tanya, apakah hargamu sepadan dengan pelayananmu???" “Tidaaak!!! Lepaskan saya!!!", Serena mulai berteriak membabi buta, berusaha
melepaskan diri dari Freddy yang semakin gelap mata.

Lelaki itu mencengkeramnya kuat, mendorongnya ke tembok dan berusaha menciumnya dengan kasar

Serena meronta membabi buta, berusaha menghindari ciuman itu sekuat tenaga, memalingkan kepalanya seperti orang gila, dia tak mau disentuh Freddy, dia tidak mau!!!!

Damian!!! Damian!!! Tolong aku!!!!



Chapter 10

2 comments:

  1. Bagian bawah semacam salah satu scene di pretty woman. Saat julia robert digoda pria lain (teman si richard gere)..

    ReplyDelete

  2. It's really a nice and useful piece of info. I'm satisfied that you simply shared this useful info with 대구오피

    us. Please keep us up to date like this. Thanks for sharing.

    ReplyDelete