Wednesday, August 19, 2015

A Romantic Story About Serena - Chapter 6



"Wajahmu pucat sekali", salah seorang temannya memandang Serena dengan cemas ketika Serena mendudukkan diri di kursinya. Tadi dia hampir terlambat dan setengah berlari ke mesin absen.

Serena memegang pipinya, memang terasa agak panas, apakah dia demam? Dan kepalanya juga pusing sekali. Tapi tetap dipaksakannya tersenyum,

"Engga apa-apa kok, mungkin karena belum sarapan, nanti setelah minum teh hangat pasti agak baikan."

Tapi ternyata tidak, rasa pusing itu makin menusuk nusuk di kepalanya terasa nyeri,bahkan untuk menolehkan kepalanya saja terasa sangat sakit, badannya juga sama saja, rasanya nyeri di sekujur tubuh seperti habis dipukuli. Serena bertahan dengan tidak bergerak di kursinya, tapi rasa sakitnya makin tak tertahankan,

"Serena coba kesini sebentar, lihat draft pemasaran ini bagaimana menurutmu?", salah seorang rekannya memanggilnya.

Dengan mengernyit Serena mencoba berdiri, tubuhnya limbung sejenak, tapi dia berdiri dan bertahan sambil berpegangan di tepi meja.

Lalu setelah menarik napas dalam-dalam, dia melangkahkan kaki ke meja rekannya. Tapi tiba-tiba rasa nyeri tak tertahankan menyerang kepalanya dan semuanya menjadi gelap.

*** "Pingsan??!"
Damian setengah berteriak kepada Freddy yang menyampaikan kabar itu padanya,

"Kapan?! Dimana?!", Damian mulai berdiri dari balik meja besarnya.

Freddy hanya duduk santai di sofa kulit hitam di ruangan kantor Damian, "Tadi dalam  perjalanan  ke  sini  aku  kan  mengambil  arsip  di  sebelah  klinik,  ada keributan di luar, gadis itu sedang digendong salah seorang rekannya ke klinik dan di antar beberapa rekannya yang lain juga, dalam kondisi pingsan, dia pucat sekali seperti kelelahan ", tambah Freddy penuh arti.

"Digendong?", kali ini wajah Damian menegang karena marah, "laki-laki?"


Freddy tiba-tiba saja tidak bisa menahan tawanya,

"Simpananmu pingsan dan kau meributkan siapa yang menggendongnya?",

Tawa Freddy kembali terdengar tak peduli pada wajah Damian yang marah," Tentu saja laki-laki, mana mungkin perempuan?"

Damian mendengus marah dan hendak melangkah keluar ruangan, tapi Freddy berdiri dan menahannya,

"Kau pikir kau mau kemana Damian?"

Damian menatap tangan Freddy yang menahan lengannya dengan marah, "Tentu saja melihat Serena!"
"Dan membuat kehebohan di luar? Seorang CEO perusahaan yang jarang terlihat saking sibuknya, yang bahkan untuk berkonsultasi  dengannya harus melalui perjanjian temu yang sulit, tiba-tiba saja turun menjenguk seorang staff biasa? Kuulangi seorang staff biasa, yang tidak ada hubungan apapun dengannya",

Freddy menatap Damian tajam, "dan bahkan dengan wajah pucat pasi lebih pucat dari yang pingsan kalau boleh kutambahkan", Freddy mulai terkekeh geli.

Damian melotot marah padanya, tapi kemudian menarik napas dan tersenyum skeptis,

"Kau benar, aku tak bisa", dengan pelan dia melangkah dan duduk di sofa.

Freddy menuangkan minuman untuknya dari meja bar kecil dan memberikan kepada Damian yang langsung menyesapnya.

"Kau tak pernah begitu sebelumnya Damian, dan tak kusangka kau sebegitu perhatiannya kepada gadis kecil ini, kukira kau hanya menganggapnya tubuh yang sudah kau beli?"

Damian meletakkan gelasnya, lalu menatap tajam Freddy

"Dan tubuh yang kau katakan itu yang sekarang terbaring pingsan." Freddy tersenyum dan duduk di sebelah Damian,


"Kemarin  aku baru  saja bilang  kalau  gadis itu  membuatmu  lelah dan  tidak berkonsentrasi, ternyata kau berbuat lebih parah padanya", Freddy tak dapat menahan diri untuk tersenyum lebar, "Kau apakan saja gadis kecil itu Damian?"

Damian mengacak rambutnya bingung,

"Aku juga tidak menyangka bisa jadi begitu terobsesi kepadanya, kau tahu.....rasanya tidak ingin berhenti, aku ingin terus menerus menyentuhnya, ingin terus menerus merasakannya....jadi tiap malam aku..aku.."

"Kau bermaksud bilang tiap malam kau hampir tidak pernah membiarkannya tidur?", kali ini alis Freddy berkerut.

Damian menghindari tatapan Freddy,

"Aku  baru  beberapa  hari  bersamanya,  aku  masih  belum  merasa  puas", gumamnya tak Jelas.

Freddy menarik napas dalam,

"Damian, aku tahu kau terbiasa dengan wanita dewasa yang berpengalaman, yang mungkin akan melayani marathon seksmu dengan senang hati kalau kau mau, tapi ini, seorang perawan, seorang gadis kecil tak berpengalaman, seharusnya kau lebih menahan dirimu."

"Aku tahu!", Damian menyela dengan keras, frustasi kepada dirinya sendiri, "tapi...ah, kau tidak tahu rasanya Freddy..."

"Betul aku tidak tahu, karena itulah aku tidak mengerti, kalau memang nafsumu sebegitu besarnya, kenapa kau tidak mencari wanita lain sebagai pelampiasan? Wanita  lain  yang  lebih  bisa  mengimbangimu?  Jadi  kau  tetap  bisa  menjaga kondisi tubuh gadis itu, tubuh yang kau beli seharga 100 juta", Freddy mengingatkannya.

"Ah ya...ya, bisakah kau jangan menyebutnya sebagai 'gadis itu atau 'tubuh itu..? Dia punya nama Freddy, namanya Serena."

"Baiklah, Serena ini, kalau kau tidak mau menyakitinya, seharusnya kau mencari wanita lain untuk mengimbangimu."

Damian mengernyit, wanita lain? Sepertinya itu ide yang bagus, kalau hasratnya membuat tubuh Serena lemah, dia seharusnya menyalurkannya kepada wanita lain, tapi. Damian tidak bisa membayangkan wanita manapun, dia mau Serena, hanya Serena yang membuat tubuhnya berhasrat sampai seperti ini,



"Tidak bisa kalau bukan dia Freddy, kau tahu aku bukan maniak seks, bercinta selama ini menjadi kebutuhan nomor duaku, bahkan aku selalu mementingkan pekerjaan dibandingkan janji temuku dengan wanita-wanita itu, tapi Serena... Dia seperti ada magnet dalam tubuhnya yang mengubahku menjadi seperti ini"

Freddy menarik napas,

"Kalau begitu, kau harus belajar menahan diri Damian dan lebih peka, kalau dia terlihat lelah, jangan memaksakan kehendakmu."

***

"Apa yang kau lakukan padanya?",

gumam dokter Vanesa, janda berusia 33 tahun yang sangat cantik, yang kebetulan  adalah  sahabat  Damian  juga,  ketika  melihat  Damian  masuk  ke ruangan klinik itu, suasana sudah sepi dan dokter Vanesa sudah mengusir rekan- rekan kerja Serena dari klinik itu,

Damian mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Vanesa,

"Kenapa kau langsung menuduhku seperti itu?", gumamnya pura-pura tersinggung.

Vanesa melirik ke arah Serena yang tertidur pulas, tadi Serena sempat bangun dan Vanesa sengaja memberinya obat yang membuatnya mengantuk agar gadis itu bisa beristirahat,

"Seorang staff rendahan pingsan dan beberapa waktu kemudian sang CEO perusahaan  yang  tidak  pernah  menginjakkan  kakinya  di  klinik  ini  tiba-tiba datang? Kau pikir ini kebetulan?"

Damian tersenyum miring,

"Setidaknya kecerdasanmu tidak berubah Vanesa", Vanesa terkekeh pelan,
"Tentu saja aku sama sekali tidak menduga kalau gadis itu ada hubungannya denganmu, waktu memeriksa tubuhnya aku melihat bekas-bekas ciuman dari leher sampai ke perut, lalu aku berfikir, lelaki brengsek mana yang membiarkannya sampai pingsan kelelahan begitu",


Vanesa mengangkat alisnya, " Dan tiba-tiba saja lelaki brengsek itu muncul." Damian mengerutkan alisnya lalu terkekeh,
"Sayangnya kata-kata tajammu juga tidak berubah,  yah aku memang lelaki brengsek itu", Damian mengangkat bahu, lalu menatap ke arah Serena yang terbaring  pucat  di  ranjang  klinik  itu,  "  bagaimana  kondisinya?",  wajahnya berubah serius.

Vanesa menarik napas,

"Aku tak mau bertanya apapun itu kehidupan pribadimu", Vanesa menatap tajam ke arah Damian," gadis itu kelelahan, kurang tidur dan tekanan darahnya rendah sekali, kondisi tubuhnya lemah dan karena itu dia demam, sepertinya gejala flu."

Damian mengernyitkan allisnya, menerima tatapan tajam Vanesa.

"Baik,  baik semua salahku,  Freddy  sudah  mengatakannya padaku,  sekarang bisakah kau meninggalkan kami sendirian sebentar?"

Vanesa melirik ke arah pintu,

"Freddy ada di luar? Bagaimana jika nanti ada karyawan yang kebetulan ke klinik?"

"Itulah gunanya Freddy di luar, tapi kalau sampai terjadipun aku akan bilang kalau aku sedang mencarimu meminta resep."

Vanesa mengangguk,
"Aku akan bergabung dengan Freddy di luar, jangan berbuat macam-macam ya!" Damian tersenyum mendengar ancaman Vanesa. Wanita itu adalah istri dari
sahabatnya, dan merekapun ahkirnya bersahabat. Sayangnya suami Vanesa meninggal dalam kecelakaan tragis di jalan tol beberapa tahun lalu, sejak itu Vanesa membentengi diri dengan mulut tajam dan sifatnya yang ketus, padahal sebenarnya dia adalah wanita penyayang, sikap ketusnya itu tidak mempan pada Damian dan Freddy, Damian melirik keluar, seandainya saja Vanesa bisa melirik Freddy, bagus sekali kalau sahabat-sahabatnya itu bersatu.

Dengan langkah pelan Damian melangkah ke tepi ranjang berdiri di samping
Serena yang tertidur pulas,


Benar,  wajahnya  pucat  sekali,  kenapa  Damian  tidak  menyadarinya  dari semalam?

Tangan Damian menyentuh dahi Serena, gadis ini demam! Badannya panas sekali...

"Jadi kau ingin mengantar pulang Serena?",

Vanesa tiba-tiba bersuara di pintu dengan agak keras, sengaja memberi peringatan kepada Damian.

Damian langsung menjauh dan berdiri di depan meja kerja Vanesa.

Pintu terbuka dan salah seorang laki-laki, rekan kerja Serena tapi Damian lupa namanya, masuk membawa tas Serena yang tertinggal di ruangannya, disusul oleh Vanesa dan Freddy di belakangnya.

Rekan kerja Serena itu tampak sangat kaget mengetahui Damian, CEO perusahaan yang hanya pernah dia lihat dari foto, sekarang berdiri langsung di depannya, wajahnya langsung pucat pasi,

"Aaaa...aaandaa....",   lelaki   itu   bahkan   tak   sanggup   berkata-kata   karena kagetnya, Damian menatap sekilas seolah tak peduli,

"Ya, Saya memang benar Damian", dipasangnya ekspresi paling dingin,

"Saya ada urusan dengan dokter Vanesa, tapi silahkan selesaikan urusan anda dulu, saya bisa menunggu."

"Alex hanya ingin menjemput rekannya yang pingsan dan mengantarkannya pulang Damian",

Freddy menyela di belakang Vanesa tapi matanya menatap Damian penuh peringatan.

Pulang? Damian mengernyit, tapi Serena kan sekarang tinggal di apartement mewah yang dia belikan, tidak mungkin dia membiarkan Alex mengantar Serena pulang!

"Saa ...saya hanya sebentar, saya akan mengangkat Serena dan mengantar pulang, kebetulan saya ada janji temu dengan kilen di dekat tempat kostnya jadi sekalian, mohon maaf, silahkan dokter jika ada urusan dengan Mr, Damian"


Alex cepat-cepat membalikkan tubuh tak tahan menghadapi tatapan tajam Damian,  memang  benar  gosip  yang  beredar,  Mr.  Damian  CEO  mereka  ini terkenal sangat dingin dan tidak berperasaan, bahkan aslinya lebih menakutkan, wajahnya sangat rupawan tapi aura membunuh disekelilingnya sangat kental.

Damian masih terpaku di situ, tempat kost? Si bodoh ini pasti masih mengira Serena masih tinggal di tempat kostnya yang lama. Dan.. Apa yang dilakukan lelaki itu ??? Dia menyentuh tubuh Serena ??!

Damian hampir menyeberangi  ruangan untuk menepiskan tangan Alex  yang mencoba menggendong Serena ketika Suara Vanesa menyela dengan cepat, menyadari gawatnya situasi yang terjadi,

"Jangan Alex", perintahnya membuat Alex meletakkan tubuh Serena kembali dan menatap Vanesa penuh tanda tanya,

"aku memberi obat tidur untuknya supaya dia bisa beristirahat, kalau kau pulangkan  dia  ke  kostnya  dalam     kondisi  seperti  itu,  siapa  yang  akan menjaganya nanti? Lebih baik biarkan dia beristirahat dan tidur di sini dulu"

Alex menyadari kebenaran perkataan dokter Vanesa dan cepat-cepat menyetujuinya. Lagipula dia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.

Sang CEO hanya berdiri membatu di sudut ruangan tapi tatapan matanya mengerikan, seperti akan membunuhnya dengan tangan kosong!

Ah, mungkin dia hanya sedang tidak enak badan, Alex berusaha menenangkan dirinya, lalu mengangguk,

"Baiklah saya akan meninggalkannya dulu, nanti kalau dia sadar saya akan menjemputnya  lagi"  gumamnya  sambil  meletakkan  tas  serena  di  kursi  dan hampir melonjak kaget ketika Damian berseru dalam bahasa Jerman yang tidak dimengertinya,

Vanesa agak menahan  senyum karena dia tahu arti kata-kata Damian, 'Langkahi dulu mayatku', itu artinya

"Tidak usah Alex, biar aku yang mengantarnya sekalian pulang nanti"

Alex  mengangguk,  sebenarnya  dia  ingin  membantah,  dia  ingin  mengantar Serena, sebenarnya sejak dulu dia sudah suka pada Serena tetapi belum berani mengungkapkannya karena Serena terlihat begitu tertutup, kejadian ini dianggapnya sebagai kesempatan mendekati Serena, tapi mengingat aura tak nyaman di ruangan ini, Alex memutuskan menyerah, mungkin lain kali, putusnya



Lalu melangkah ke luar setelah mengangguk pada semuanya, tak bisa menahan untuk mempercepat langkahnya keluar dari situ.

"Aku   yang   akan   membawanya   pulang",   Damian   bergumam   memecah keheningan.

"Kau ada rapat satu jam lagi Damian", sela Freddy tajam. "Batalkan, mereka akan menyesuaikan jadwalnya denganku"
Vanesa dan Freddy hanya bisa berpandangan, lalu mengangkat bahu.

***

Ketika Serena membuka mata dia sudah ada di ranjangnya, mengenakan salah satu piyama sutra hitam milik Damian, lelaki itu sedang duduk di ranjang di sebelahnya,bersila dengan menghadap notebooknya, wajahnya serius sekali. Serena merasa pusingnya sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang juga, sepertinya dia masih demam.

Seolah merasakan gerakan Serena, Damian menoleh, dan tersenyum.

"Tadi aku mencari piyama untukmu, ternyata kau tak punya piyama ataupun gaun tidur ya? Aku tidak tahu sebelumnya karena aku selalu menelanjangimu sebelum tidur"

Wajah Serena memerah, bisa bisanya Damian memilih kata-kata itu sebagai kalimat sapaan pembukanya.

"Kenapa aku tiba-tiba sudah di rumah? Jam berapa ini?" Damian mengangkat alisnya,
"Kau tidak tahu? Tadi pagi kau pingsan lalu dokter Vanesa menyuntikmu dengan obat yang membuatmu tidur, tapi aku harus mengajukan komplain karena sepertinya dosisnya terlalu besar, kau tertidur hampir sepuluh jam....sekarang sudah jam delapan malam"

Serena terperangah, "Jam delapan malam?" Damian tersenyum,



"Besok-besok kalau kau merasa tidak enak badan jangan memaksakan diri untuk masuk, kau sangat merepotkanku, aku terpaksa pulang setengah hari untuk menjagamu"

Wajah  Serena  memucat,  dia  telah  mengganggu  kesibukan  Damian!  Padahal lelaki itu punya jadwal yang sangat padat dan terpaksa meninggalkannya hanya gara-gara dia pingsan.

"Ma...maafkan aku...", suara Serena terdengar lemah, penuh penyesalan.

Damian menoleh mendengar nada suara Serena, lalu menutup notebooknya dan meletakkannya di meja samping ranjang,

"Aku tidak memarahimu, lagipula sudah lama aku tidak mengambil cuti", dengan lembut Damian meletakkan tangannya di dahi Serena, "sudah mendingan, tadi kau panas sekali tahu, aku sampai mengkompresmu dengan air es"

Serena memejamkan matanya merasakan tangan Damian yang sejuk di dahinya, kenapa lelaki ini begitu lembut dan penuh perhatian? Sudah lama sekali rasanya sejak ada yang memperhatikan dirinya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Serena selalu berjuang sendirian, tidak pernah sama sekali mengijinkan dirinya menjadi lemah. Sekarang, perhatian yang begitu lembut dari Damian entah kenapa membuat dadanya sesak,

"Kau sudah bisa minum obatnya? Dokter Vanesa membawakan obat untuk kau minum, tunggu sebentar",

Damian bangkit dari ranjang dan melangkah keluar kamar,tak lama kemudian dia kembali membawa nampan, meletakkannya di meja samping ranjang dan membantu Serena duduk,

"Kau harus makan dulu sebelum minum obat",

Aroma kuah yang sangat menggoda itu benar benar membuat air liur menetes, serena menoleh ke atas nampan yang diletakkan di pangkuannya, semangkuk sup jagung dan daging yang masih panas dengan aroma yang sangat enak,

"Itu bukan bubur ayam, jadi kuharap kau tidak memuntahkannya", ada nada geli dalam suara Damian,

Mau tak mau Serena tersenyum karena ternyata Damian masih teringat percakapan mereka kemarin.


Dengan pelan dia berusaha mengangkat sendok sup itu, tapi Damian menahannya,

"Aku suapi", gumamnya sambil mengambil sendok itu.

Wajah Serena memerah canggung, tapi ketika Damian mengarahkan sendok itu ke mulutnya ahkirnya dia membuka mulutnya pelan,

Dengan tenang damian menyuapi Serena, setelah selesai dia meletakkan mangkuk kosong itu ke sebelah ranjang,

"Ada yang menempel di bibirmu", tanpa disangka Damian mendekatkan wajahnya, lalu menjilat sudut bibir Serena dengan lembut, "sekarang sudah bersih", Damian terkekeh melihat wajah Serena yang merah padam.

"Te...terimakasih" gumam Serena terbata-bata.

Tiba-tiba saja Damian meraih pundak Serena dan menciumnya, ciuman yang sangat dalam dan membakar, seolah-olah ingin melumat bibir Serena sampai habis, lama sekali Damian mencium Serena, sampai napas mereka berdua terengah-engah ketika Damian melepaskan ciumannya,

"Sama-sama", gumam Damian dengan parau kemudian, "kalau begitu minum obatmu, setelah itu kau harus tidur lagi."

Dengan patuh Serena berbaring lagi di ranjang dan membiarkan Damian menyelimutinya.

Lelaki itu lalu duduk di ranjang di samping Serena dan menyalakan notebooknya lagi, lalu mulai tenggelam dalam pekerjaannya.

Serena termenung agak lama, Damian tidak menyentuhnya malam ini, tetapi lelaki ini tetap bermalam di apartement ini untuk merawatnya. Ternyata di balik sikap kejam dan arogannya, Masih ada sisi baik di jiwanya.

Dengan pemikiran seperti itu, Serena kembali tertidur lelap.



Chapter 7

1 comment:


  1. Someone necessarily help to make significantly articles I would state.
    This is the first time I frequented your website page and thus far? 풀싸롱


    ReplyDelete