Saturday, August 15, 2015

Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 2

Chapter 2



Setelah insiden itu, Eric mengantarkan Andrea pulang, dan pada akhirnya setelah Andrea memaksanya dan meyakinkan bahwa dia baik-baik saja, lelaki itu mau meninggalkannya dan pulang.
Malam itu Andrea berbaring di dalam kegelapan, berusaha tidur tetapi matanya nyalang. Dia lalu duduk dan membuka laci di samping ranjangnya, di sana ada obat pil kecil di dalam botol kaca, obat penenang dari psikiaternya, dengan dosis kecil, hanya diminum kalau Andrea mengalami serangan panik akibat trauma kecelakaannya.
Dia sudah lama sekali tidak meminum pil itu....
Apakah sekarang dia harus meminumnya lagi? Ingatan akan kejadian direstoran tadi masih membuatnya mual. Rasanya begitu menyiksa ketika merasa ketakutan tetapi tidak tahu kenapa.
Andrea menghela napas panjang, menutup kembali laci itu dan berusaha melupakan niat untuk meminumnya. Dia sudah sembuh, dia tidak akan kembali lagi menjadi Andrea yang depresi dan didera ketakutan. Mungkin lilin itu hanya mengingatkannya pada sesuatu di masa lalunya, sesuatu yang mungkin sudah tenggelam dalam ingatannya sehingga tidak bisa dipikirkannya lagi.
Andrea akan berusaha supaya tidak dikalahkan oleh ketakutannya. Dia pasti bisa. Apalagi dengan hadirnya Eric dalam hidupnya yang membawa secercah cahaya baru bagi kehidupan Andrea.
Eric....
Tanpa sadar bibir Andrea mengurai seulas senyuman ketika mengingat makan malam mereka yang indah, yang diselingi dengan percakapan yang mengasyikkan,semuanya sempurna dengan Eric dan Andrea berharap akan selalu sempurna..
***

Pagi hari ketika Andrea memasak sarapannya, telur dan roti panggang,ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya ketika melihat ada nama Ericdi sana,
“Halo?” Andrea bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang terurai yang terpantul dalam suaranya.
“Andrea, bagaimana keadaanmu?” , Suara Eric tampak renyah di seberangsana, membuat senyum Andrea melebar.
“Aku baik-baik saja, maafkan aku ya kemarin membuatmu cemas.”
“Aku senang kau baik-baik saja.” Eric berdehem sejenak, lalu berkata,“Aku mampir ke sana ya, kebetulan sekarang sedang di dekat rumahmu, kita berangkat kantor bersama.”
Senyum Andrea melebar tanpa dapat ditahannya, “Iya, aku tunggu ya.”
***

Setelah mematikan teleponnya, Eric menyetir mobilnya dengan sedikit lebih kencang, menuju ke arah rumah Andrea, impulsifmemang. Tetapi reaksi Andrea kemarin membuatnya cemas, ada sesuatu di sana,Andrea sudah jelas-jelas ketakutan meskipun perempuan itu mungkin tidakmenyadari kenapa.
    Sudah tugas Eric untuk menjaga Andrea.
    Dulu dia melakukannya karena memang pekerjaan, tetapi sekarang dia sadar. Ada perasaan yang terlibat, dan perasaan itu ingin memastikan bahwa Andrea akan selalu baik-baik saja.
Ponselnya berkedip-kedip lagi, membuat Eric meliriknya  dia mengangkatnya dan berdehem lagi, mencoba menenangkan suaranya.
“Apakah ada tanda-tandanya?” suara di seberang sana tanpa basa-basi langsung bertanya. Tetapi memang tidak perlu ada basa-basi lagi, mereka harus mengatur percakapan seefektif dan sesingkat mungkin untuk menghindari bocornya informasi.
Eric tanpa sadar menganggukkan kepalanya meskipun menyadari bahwa orang di seberang sana tidak mungkin melihatnya, “Kemarin dia sangat shock, ada sesuatu aku yakin.... aku akan berusaha mencari informasi.”
“Bagus.” Suara di seberang sana terdengar tegas, “Dan pastikan dia tetap aman. Kita sudah mengusahakan segala cara untuk menyembunyikannya, jangan sampai apa yang sudah kita lakukan ini gagal seluruhnya.”
“Baik.” Eric menjawab cepat dan teman bicaranya di seberang langsung memutus percakapan.
Lelaki itu lalu melajukan mobilnya ke rumah Andrea.
***

Andrea membuka pintu dengan ceria, dan tersenyum kepada Eric yang tersenyum manis di depan pintunya, lelaki itu mengangkat kantong kertas yangada di tangannya,
“Donat dengan gula halus yang manis.” Gumamnya sambil mengedipkan matanya, “Kuharap kau tidak sedang diet.”
Andrea tertawa, “Kurasa aku rela mengorbankan segalanya demi sebuah donat di pagi hari.” Dia membuka pintunya dan membiarkan Eric masuk, “Masuklah,aku sedang menyeduh kopi.”
Eric mengikuti Andrea dan melangkah ke dapurnya yang mungil, hari masih pagi dan mereka bisa sarapan sejenak sebelum berangkat kantor.  Dengan cekatan Andrea menuang kopi ke cangkir putih yang telah disiapkannya, harum aroma kopi menguar di udara dengan segera,
“Pakai gula atau cream?” Andrea bertanya pada Eric yang duduk di kursimakan dan mengamatinya sambil tersenyum manis.
“Jangan gula, satu sendok cream saja.” Eric menunjuk ke kantong kertasberisi donatnya, “Aku sudah memberikan jatah gulaku di donat ini.” Tawanya.
Andrea meletakkan cangkir kopi itu di depan Eric dan tersenyum manislalu dia duduk di depan Eric, menghadap kopinya sendiri.
Eric mengeluarkan donat hangat dengan gula halus yang menggiurkan itu,meletakkannya di piring kosong yang ada di tengah meja, lalu mengambil satu dan menggigitnya dengan nikmat, setelah itu tersenyum menggoda kepada Andrea,
“Ayo cicipilah.”
Andrea mengambil donat itu dan mencicipinya, agak kesulitan karena gulanya bertaburan di mulut dan dagunya, tetapi dia kemudian berhasil menggigitnya dan memutar bola matanya merasakan kenikmatan yang terasa lumer dimulutnya.
“Enak sekali.” Gumamnya dengan mulut setengah penuh, sementara itu Eric mengamatinya dan tertawa geli,
“Ada gula di dagumu.” Bisiknya lembut, mengulurkan jemarinya untuk mengusap ceceran gula halus itu di dagu Andrea. Sejenak tatapannya berubah serius, dan usapannya semakin lembut. Mereka saling bertatapan, seakan ada percikan perasaan yang mengalir di antara mereka berdua.
Eric yang sadar duluan, dia berdehem dan menarik jemarinya, lalu tersenyum dan menatap Andrea meminta maaf,
“Bagaimana kondisimu?” tanyanya lembut, mengalihkan suasana aneh yang melingkupi mereka berdua.
Andrea tahu bahwa yang dimaksud Eric adalah kondisinya semalam, diamenggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang,
“Kau pasti merasa aku aneh kemarin...” gumamnya pelan.
“Tidak, aku hanya merasa cemas.” Eric menyela cepat, “Semalaman aku mencemaskanmu.”
Andrea menatap Eric malu, “Aku... sebenarnya sejak kecelakaan itu...aku.. aku mengalami sedikit gangguan psikologis.”
“Gangguan psikologis?” Eric mengerutkan keningnya.
“Itu istilah yang dipakai oleh psikiaterku, katanya aku mengalami traumaakibat kecelakaan yang menewaskan ayahku... aku... aku selalu mengalami ketakutan dan kengerian tanpa sebab, seakan aku takut pada bahaya yang bahkanaku tidak tahu bahaya apa. Tetapi aku sudah menjalani terapi dengan psikiaterku  dan sudah sembuh.....aku sudah lama tidak mengalami serangan panik dan kecemasanlagi, aku pikir aku sudah benar-benar sembuh....”
Tatapan Eric berubah serius, “Dan kau merasakannya lagi semalam?Kenapa?”
Andrea memejamkan mata. Bayangan lilin berwarna biru yang memancarkan cahaya redup itu membuatnya ngeri, dia memegang belakang lehernya, tiba-tiba merasa begidik di bulu kuduknya.
“Ada meja kosong di rumah makan kemarin.... aku.. aku tanpa sengaja memperhatikannya dan pemandangan di sana membuatku panik...”
“Pemandangan apa?”
“Pemandangan lilin-lilin berwarna biru yang dinyalakan dan disusun setengah melingkar.... bahkan sebelum menghitungnya aku tahu berapa jumlahnya.....entah kenapa.” Andrea meringis, “Jumlahnya sembilan buah. Ditata dengan spesifik, dan pemandangan itu seakan menohok kesadaranku lalu memunculkan reaksi tak terduga... seperti yang kau lihat sendiri kemarin....”
“Dan kau tetap tidak tahu apa maksud dari sembilan lilin berwarna biruitu?”
“Tidak.” Andrea menggelengkan kepalanya lemah, “Aku sudah mencoba mengingat apapun yang ada dibenakku yang bisa menghubungkan dengan lilin biruitu.. tetapi tidak ada memoriku yang bisa menghubungkannya. Aku hanya tahu aku merasa takut...merasa ngeri, semua perasaan yang tidak bisa kudefinisikan campur aduk di dalam benakku.” Bagaimana menjelaskannya? Andrea tidak tahu,rasanya seperti jantungnya ditarik paksa dari rongga dadanya, menimbulkan rasa ngilu yang menyesakkan.
Eric menghela napas panjang, tampak berpikir, tetapi kemudian tatapannya melembut,
“Mungkin memang tidak ada hubungannya, hanya reaksi spontan yangmembuatmu terkenang akan trauma akibat kecelakaanmu, siapa tahu... mungkin kau trauma akan warna biru atau apa.” Dia tersenyum menenangkan kepada Andrea,“Yang penting kau sudah tidak apa-apa ya?”
Andrea menganggukkan kepalanya, sungguh berharap bahwa dia sudah benar-benar tidak apa-apa. “Iya. Terimakasih Eric.”
Eric melirik jam tangannya, “Kurasa kita harus segera berangkat kekantor.” Ditatapnya Andrea dengan serius, “Kau tidak keberatan kalau nanti kita pulang kantor bersama-sama?”
Andrea tersenyum cerah, “Tidak. Aku tidak keberatan.”
Bersama Eric terasa menyenangkan, kehadiran lelaki itu bagaikan obat yang membuatnya lupa akan perasaan takut yang menderanya.
***

“Lilin berwarna biru. Itu penyebabnya, dan jumlahnya spesifik ada sembilan buah.” Eric bergumam kepada penelponnya. Dia berada di dalam ruang kerjanya yang tertutup rapat, dan tentu saja dia sudah memastikan tidak adasiapapun yang bisa mendengar percakapannya ini.
Lawan bicaranya di seberang sana terdiam, tampak merenung.
“Kau pikir itu adalah kode?” akhirnya dia bertanya.
Eric termenung sebentar, “Reaksi Andrea semalam luar biasa. Dia ketakutan dan dicekam teror, aku disana melihatnya. Dan lilin itu pasti berartisesuatu, kalau tidak Andrea tidak akan bereaksi sekuat itu.”
“Sang pembunuh sudah kembali”. Suara di seberang tampak ngeri. “Itupasti kode, yang khusus ditujukan kepada Andrea. Kita harus mencari tahu Eric,bagaimanapun caranya, kau harus mengorek informasi sedalam mungkin dariAndrea.”
“Dia tampak ketakutan kalau aku membahas masalah ini. Bagaimana mungkinaku tega?” protes Eric.
Lawan bicaranya menghela napas panjang, “Aku tahu kau menyayangi Andrea,tetapi kau harus ingat prioritas kita, dan bukankah apa yang akan kita lakukanini pada akhirnya untuk melindungi Andrea juga?”
Eric menghela napas panjang. “Aku tahu. Kita lihat saja nanti.”
***

“Pangeranmu datang menjemput.” Sharon mengedipkan mata sambil menyentuh pelan bahu Andrea sambil lewat, menyadarkannya dari berkas-berkas kontrak kerja yang diperiksanya. Andrea mendongakkan kepalanya dan senyumnya melebar ketik amelihat Eric bersandar di pintu masuk divisinya, menatapnya dengan senyuman lembut. Hari sudah sore dan para karyawan di bagian Andrea sebagian besar sudah pulang sehingga ruangan itu lengang, hanya ada satu atau dua orang yang masih menyelesaikan pekerjaannya, termasuk Andrea.
“Lembur?” Eric mendekat dan berdiri di sisi meja Andrea.
Andrea menggelengkan kepalanya, “Hanya menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai, berkas ini baru datang jam empat sore tadi dan aku harus memeriksannya karena besok kontrak ini harus sudah ditandatangani.” Andrea tersenyum meminta maaf, “Maafkan aku, mungkin ini butuh waktu beberapa lama...kalau... kalau kau ada acara yang lebih penting mungkin kau bisa pulang duluan.”
Eric tersenyum, “Aku tidak ada acara apa-apa kok. Aku lebih senang duduk di sini dan menungguimu.....sambil menatapmu.” Eric menambahkan kalimat terakhirnya dengan nada penuh arti, membuat pipi Andrea memerah.
***

Mereka akhirnya pulang bersama ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuhmalam,
“Kita makan malam dulu ya.” Eric membelokkan mobilnya ke sebuah tempat makan yang cukup ramai, “Di sini ada nasi goreng seafood dan nasi goreng bistikyang cukup terkenal.”
Andrea menatap tempat makan yang cukup sederhana itu, tetapi sepertinya makanan di sini cukup menjanjikan melihat banyaknya kendaraan tumpah disekitarnya dan banyaknya manusia yang mengantri di sana, entah di meja yang disediakan atau menunggu untuk membawa pulang makanannya.
Andrea turun dari mobil dan Eric menggandeng lengannya, beruntung ditengah keramaian pelanggan itu mereka masih menemukan tempat untuk duduk dua orang, Andrea memesan nasi goreng bistik sesuai dengan rekomendasi Eric.
“Nasi goreng bistik di sini istimewa, idenya adalah dengan membuat nasi goreng dengan citarasa manis yang dibantu dengan kacang polong yang khas dilidah, lalu di atasnya diletakkan sepotong besar daging bistik dengan bumbu khas berwarna kecoklatan dan berkilauan menggugah selera.”
Eric memberikan gambaran dengan begitu menggoda sehingga Andrea merasakan air liurnya mulai mengalir di dalam mulutnya.
“Aku .... aku tidak terbiasa makan di luar, jadi aku tidak tahut empat-tempat makan enak di kota ini.” Gumam Andrea malu-malu.”
Eric tertawa, “Nanti akan kuajak kau berkeliling kota dan menjelajahi nikmatnya kuliner di kota ini.’
Jantung Andrea berdebar, apakah itu berarti dia akan menghabiskan banyak waktu bersama Eric ke depannya?
Tiba-tiba ponsel Eric berbunyi. Ekspresi lelaki itu tampak serius ketika menatap layar ponselnya, dengan canggung dia berdiri dan menatap Andrea dengan tatapan meminta maaf,
“Aku harus menerima ponsel ini di luar, di sini terlalu ramai. Tungguya.” Eric menganggukkan kepalanya, lalu berdiri dan melangkah keluar daritempat makan itu.
Andrea mengikuti kepergian Eric dengan matanya. Telepon itu tampak penting, mengingat perubahan ekspresi Eric tadi. Tetapi Andrea mungkin tidak ada kepentingannya untuk mencampuri urusan Eric, dia bukan siapa-siapa. Diahanya berharap semoga tidak ada masalah buat Eric.
Beberapa lama kemudian, Eric kembali dengan senyumnya yang biasa. Andrea menghela napas lega, berarti telepon tadi tidak membawa masalah untuknya. Dan bersamaan dengan itu, dua piring nasi goreng bistik yang masih mengepul panas diantarkan ke hadapan mereka. Aromanya sangat menggugah selera, membuat Andrea tidak sabar mencicipinya.
Dan ketika Andrea mencicipinya, dia langsung tersenyum. Ya ampun.Masakan ini enak sekali. Daging bistiknya begitu lembut dan lembab, mungkin karena direndam cukup lama dalam bumbu bistik yang kental dan sangat berbumbu,dan daging bistik itu berpadu sempurna dengan nasi goreng yang dimasak dengan begitu enak.
Eric mengamati Andrea dengan penuh antisipasi, “Bagaimana?”
Andrea terkekeh, “Ini adalah nasi goreng paling enak yang pernah kumakan... dan juga bistik terenak yang pernah kumakan.”
Eric terkekeh. “Nanti akan kuajak kau mencicipi makanan-makanan enak yang lainnya.”
Andrea menganggukkan kepalanya, “Aku tidak sabar menantinya.”
Mereka makan bersama dengan nikmat ditengah keramaian itu. Dan Andrea begitu bahagia sehingga dia melupakan ketakutannya pada lilin-lilin biru itu.Dia merasa tenang, merasa lepas tanpa ada beban.
Bersama dengan Eric terasa sangat membahagiakan.
***

“Dia seharusnya tidak pantas bersenang-senang seperti itu.” Demiris melemparkan foto-foto kebersamaan Eric dan Andrea ke meja Christopher.
Christopher hanya meliriknya sekilas, lalu menyandarkan tubuhnya lagi dikursinya dengan tidak peduli, lelaki itu mengangkat alisnya dan menatap Demirispenuh arti,
“Kenapa kau tampak peduli sekali dengan Andrea, Demiris? Aku mulai menduga kaulah yang terobsesi dengannya, bukan aku.”
Demiris menatap kaget dengan tuduhan Christopher, “Bukan begitumaksudku. Aku hanya merasa kau terlalu lama bertindak atas apapun yang sedangkau rencanakan itu.”
Christopher menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mungkin salah dalam penempatan waktu, Demiris.” Tatapannya menajam, “Dan aku harap kau menjauhkan tanganmu dari Andrea.”
Demiris melihat ancaman membunuh di balik tatapan mata Christopher, dia lalu mengangkat bahunya dan memilih mundur. Tidak ada yang berani menantang Christopher, hanya orang yang tidak sayang nyawa yang melakukannya.
“Oke.” Demiris memundurkan kursinya dan berdiri, “Anak buahku akan tetap melakukan tugasnya untuk mengawasi Andrea, hanya itu.” Gumamnya sebelum melangkah pergi.
***

Christopher menyuruh supirnya menepikan mobilnya di sisi kiri trotoar,malam sudah menjelang dan udara dingin langsung menamparnya ketika dia membuka pintu mobilnya.
“Aku akan jalan dari sini, kau tunggu di sini saja.” Gumamnya kepadasupirnya.
Setelah itu Christopher melangkah menyusuri jalan di area yang dekat dengan tempat tinggal Andrea. Dia melangkah dengan tenang menelusup di antara banyaknya orang yang lalu lalang di trotoar jalan besar itu.
Christopher suka berjalan seperti ini begitu ada waktu, bersikap seperti orang biasa, menikmati berperan seperti orang biasa meski jauh di dalam hatinyadia sadar bahwa dia bukan orang biasa. Tangannya penuh darah.... dan apakah sebentar lagi dia perlu menodaitangannya dengan darah Andrea?
Tubuh Christopher yang tinggi dan ketampanannya yang tidak biasa membuat banyak orang menoleh dua kali kepadanya, membuat Christopher setengah mencibir dibalik sikap acuh tak acuhnya. Penampilannya yang berbeda di antara semuaorang ini membuatnya susah membaur. Dia tahu itu. Tetapi setidaknya Andrea tidak pernah waspada dengan kehadirannya, meskipun dia memastikan bahwa dirinya selalu mengawasi Andrea.
Andrea.... satu-satunya korban yang tidak berhasil di bunuhnya. Namanya terkenal dalam dunia gelap sebagai pembunuh yang tidak pernah gagal. Semua orang yang pernah memakai jasanya, sangat mengandalkannya, dan kegagalannya membunuh Andrea bagaikan coretan merah didalam reputasi pekerjaannya.
Langkahnya memelan ketika dia berdiri di sisi pohon besar di trotoar yang tidak kentara, dan mengamati,
Andrea nampak baru keluar dari mobil Eric , lelaki itu membantunya keluar dari mobil dan menggandeng tangannya dengan akrab. Dan tatapan memuja yang dilemparkan Andrea kepada Eric tampak begitu jelas.
Perempuan itu sedang jatuh cinta rupanya...
Christopher tersenyum sinis, kehadiran Eric di kehidupan Andrea mungkin terasa sangat manis.... tetapi Andrea tidak akan sadar, Christopher akan merenggut itu semua. Andrea mau tak mau harus menghadapi kepahitan, dengan kehadirannya nanti di kehidupan Andrea.
***

“Hadiah untukmu.” Eric berdiri lagi di depan pintu masuk rumahnya malam itu. Menunjukkan kantong kertas misterius di tangannya.
Andrea tersenyum lebar, mereka telah begitu sering bertemu beberapa minggu ini, bahkan bisa dibilang hampir dua hari sekali Eric mengantarnya pulang ataupun berkunjung ke rumahnya dan membawakan makan malam untuk dimakan bersama.
“Masakan apa lagi ini?”
Eric mengedipkan sebelah matanya, “Ayo ke dapur.”
Lelaki itu memasuki tempat tinggal Andrea dengan santai seakan sedang berada di rumahnya sendiri. Mereka langsung melangkah menuju dapur, dan Andrea menyiapkan piring.
Eric mengeluarkan kotak-kotak makanan dari dalam kantong kertas itu, dan menuangkannya dengan hati-hati ke piring.
Mata Andrea membelalak melihat makanan yang dituangkan Eric ke piring.Seekor ikan, ikan yang gemuk dan berdaging dengan saus kemerahan yangmenggiurkan melumurinya.
“Ikan  apa ini?
“Kita menyebutnya ikan ekor kuning, dengan saus khusus dari pembuatnya.”
“Wow.” Andrea mendekatkan dirinya dan langsung mencium aroma yang menggoda di sana, aroma pedas bercampur dengan bumbu dan rempah yang sangatmenggoda. “Ikannya besar sekali.”
“Ikan jenis ini memang berdaging tebal dan lembut. Ketika digoreng bagian luarnya akan renyah dan bagian dalamnya akan lumer di mulutmu.” Ericmengambil garpu, memotong daging ikan itu, kemudian menusukknya dengan garpu,dioleskannya daging ikan itu ke bumbunya yang berlimpah melumurinya, lalu menyorongkan garpunya kepada Andrea, “Ini icipilah.”
Sejenak Andrea terpaku. Dia tidak pernah disuapi sebelumnya seingatnya,dan perilaku Eric ini benar-benar menunjukkan keintiman tersendiri kepadanya.Andrea membuka mulutnya malu-malu dan Eric memasukkan ikan itu ke mulutnya.
Ketika merasakan kenikmatan masakan ini yang seakan meledak di mulutnya,Andrea langsung melupakan perasaan malu dan canggungnya. Dia mengunyah, tak bisa berkata-kata dan menatap Eric dalam senyuman,
“Wow.... enak sekali.” Gumamnya akhirnya, “Astaga enak sekali.”
Eric terkekeh, “Aku akan mengajakmu ke tempat penjualnya langsung nanti,kau punya nasi kan, makan yuk.”
Andrea mengambilkan Eric nasi dan kemudian mereka makan dengan akrab dimeja makan di dapur Andrea. Ini adalah jenis keintiman baru, keintiman yangbaru kali ini berani dilakukan Andrea bersama orang lain. Eric seakan menjadiobat dari seluruh trauma dan ketakutan tidak jelas Andrea, bersama Eric ,Andrea merasa menjadi orang normal yang bebas dari rasa takut dan teror yang seolah-olah selalu mengincarnya jauh di kegelapan sana.
“Terimakasih Eric.” Andrea bertopang dagu dan tersenyum, menatap Eric yang sedang meneguk air putihnya. Eric meletakkan gelasnya dan tersenyum sambal mengangkat alisnya.
“Untuk apa?”
Pipi Andrea memerah malu-malu, “Karena begitu baik kepadaku.”
Eric terkekeh, “Aku senang melakukannya.” Lalu tatapan lelaki ituberubah serius, “Andrea, aku....”
Tiba-tiba ponsel lelaki itu berbunyi. Memecah keheningan. Ekspresi Eric tiba-tiba saja berubah keras. Dia melihat ponsel itu kemudian menatap Andrea penuh permintaan maaf,
“Maaf aku harus mengangkatnya.”
Lelaki itu beranjak dari tempatnya duduk dan kemudian dengan tergesa melangkah pergi, meninggalkan Andrea yang menatap sambil kebingungan.
Kenapa Eric tidak mengangkat telepon di depannya? Apakah itu sebuah telepon rahasia?
Andrea menghela napas panjang, ..... mungkin itu urusan bisnis yangpenting.
Sambil beranjak, dia membawa piring-piring kotor ke tempat cuci dan mencucinya. Setelah selesai mencuci dia menunggu, tetapi Eric tak kembali,Andrea melangkah hati-hati ke arah depan pintunya yang sedikit terbuka dan melihat Eric sedang bercakap-cakap serius di telepon sambil mondar-mandir.Ekspresinya tampak muram.
“Aku bisa mengatasi semua, semua di bawah kendaliku.” Suara Eric begitu berbeda, dingin dan ketus. Lawan bicaranya tampak menyahut di sana, membua tdahi Eric semakin berkerut.
“Tidak. Aku tidak akan menjauh. Cara ini yang paling bagus untuk semakin mendekatinya. Jadi ketika bahaya itu datang aku berada di tempat yang palingdekat.” Eric tampak terdiam. “Berkas tentang apa? Apakah kita melewatkannya?Kenapa kita tidak tahu hal sepenting ini sebelumnya?”
Andrea mengerutkan keningnya, berdiri di balik pintu dan kebingungan.Apa maksud perkataan Eric itu? Adalah hubungannya dengannya? Tetapi Andrea sama sekali tidak bisa menemukan benang merah apapun...
Tiba-tiba Eric melangkah ke arah pintu, masih sambil bercakap-cakap dengan lawan bicaranya. Andrea terloncat dan segera terbirit-birit melangkah menuju dapur, takut ketahuan kalau tadi dia sempat menguping pembicaraan Eric.
Ketika Eric melangkah masuk ke dapur lagi, Andrea berpura-pura mengelap lapisan keramik di sekitar bak cuci piringnya. Dia menoleh ke arah Eric dantersenyum gugup.
“Sudah selesai menelponnya? Apakah ada masalah?”
Eric menghela napas panjang, “Hanya masalah keluarga. Ada saudaraku yangsakit.”
“Oh ya Ampun, lalu bagaimana?” Andrea mengamati ekspresi Eric yang biasa, sepertinya lelaki itu tidak menyadari bahwa Andrea sempat menguping pembicaraanya.
“Aku harus ke luar kota sementara waktu, Andrea. Dan mengambil cuti pekerjaan.”
“Oh...” Andrea menatap Eric dengan prihatin, saudara Eric pasti sakit parah, “Berapa lama?”
“Aku tidak tahu Andrea, sampai... sampai semua beres.” Tatapan lelakiitu begitu intens menatap Andra yang berdiri di depannya, “Aku akan sangat merindukanmu ketika jauh darimu.”
Pipi Andrea merona mendengar perkataan Eric, diahanya bisa menganggukkan kepalanya. “Aku juga.”
Eric tersenyum, lalu tanpa diduga lelaki itu meraih Andrea mendekat dan mengecup pipinya lembut.
***

Christopher sengaja melakukannya. Memamerkan beberapa kali kemunculannya secara mencolok di luar kota untuk memancing Eric supaya menjauhi Andrea. Eric ternyata memakan umpannya dan mengejar ke sana.
Mereka semua memang bodoh. Christopher mencibir. Karena itulah mereka tidak pernah berhasil menangkapnya.
Lelaki itu menatap jauh ke jendela dan merenung, apakah ini saatnya dia mendekati Andrea?
**


 Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 3

No comments:

Post a Comment