Monday, November 16, 2015

SUMMER BREEZE - ORIZUKA - BAB 9



Bab 9

The Winner

DUA bulan berlalu semenjak kejadian itu. Reina masih di Indonesia. Dia sudah memutuskan tinggal di sini sementara. Reina masih mencintai Ares, apa pun konsekuensinya.
"Rei? Udah makan?" tanya Tante Risa ramah. Wajahnya tampak lebih tua dari biasanya. Reina memakluminya. Tante Risa pasti sangat lelah.
"Belum, Tante. Belum laper," kata Reina, lalu memandangi fotonya bersama Ares dalam pigura yg dulu pernah dibelinya.
Ares tampak sangat lucu di foto itu. Dia sedang tersenyum, hal yg jarang dilakukannya. Tak terasa air mata Reina menitik. Tante Risa menghampiri Reina, lalu memegang pundaknya lembut. Reina balas memegang tangan itu.
Segalanya memang sudah berubah. Padahal, Reina sempat berpikir bahwa tak akan ada yg berubah.
"Ngapain lo?" Orion mengambil tempat duduk di gazebo. "Mau gue temenin?"
Ares tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. Walaupun demikian, matanya menatap kosong ke arah kolam renang. Orion mencoba untuk tak menatap Ares lama2, lalu memutuskan untuk melihat kolam renang juga.
"Eh Res, tadi gue menang pertandingan persahabatan lho." Orion coba mencairkan suasana. Ares menelengkan kepalanya. Matanya berkedip-kedip lugu. "M.. VP?" tanyanya pelan.
"Gue dapet juga," kata Orion sambil terkekeh. "Hebat kan, adek lo nih?"
Ares mengangguk-angguk kecil. Tangannya terulur untuk mengambil minum. Orion bisa melihat tangan itu bergetar hebat. Orion segera membantunya untuk minum.
Orion hampir2 tidak bisa menahan emosinya saat Ares minum dari gelas yg dipegangnya.
Kakaknya yg supertangguh bisa menjadi selemah ini hanya karna ulah si brengsek Raul. Ares sekarang sama rapuhnya dengan balita. Dia nyaris tidak bisa melakukan apa pun sendiri. Beberapa sarafnya sudah tidak bekerja. Ares memang masih bisa berjalan, tapi itu pun harus pelan2, dan harus ada yg menemaninya karna siapa pun tidak ingin dia jatuh lagi.
Kira2 dua bulan yg lalu, Ares dinyatakan sembuh dengan cacat sementara. Tim dokter sudah melakukan yg terbaik dan menurut Ayah dan Ibu Ares memang sudah waktunya pulang ke rumah.
"Res? Lala titip salam," kata Orion setelah Ares selesai minum. Ares memandang Orion ingin tahu. "La-la?"
Orion terenyak. Ingatan Ares menurun drastis selama beberapa hari ini. Dia sudah lupa pada kedua teman baiknya Dipo dan Wanda, dan sekarang dia justru sudah melupakan Lala. Orion tak ingin Ares melupakan dirinya. Benar2 tak ingin.
Hari ini hari yg sangat cerah. Ares melemparkan pandangannya ke luar jendela dari tempat tidurnya, lalu menghela napas. Ini waktu yg tepat. Ares mengumpulkan segenap tenaganya, memejamkan matanya sesaat, lalu bangkit.
"Ares? Sayang? Mau ke mana?" tanya Ibu saat Ares keluar kamar. "Pergi," jawab Ares nyaris berbisik.
Ibu hanya mengernyitkan dahinya.
"Oh iya, ada hadiah buat Ayah sama Ibu di kamar. Nanti dilihat ya," katanya lancar.
Ayah, Ibu, dan Orion saling pandang. Ini pertama kalinya Ares berbicara lancar setelah keluar dari rumah sakit. Seketika, harapan mulai membuncah di dada mereka.
"Pergi ke mana? Sama siapa?" tanya Ayah sambil membantu Ares duduk di sebelahnya. "Ke taman, sama Reina," jawab Ares.
Ayah menatap Ares bahagia. Hari ini Ares tampak sangat cerah, dan penuh semangat.
"Ya udah. Tapi kamu hati2, ya," kata Ayah lagi, dan Ares mengangguk pelan.
"Ares sayang kalian semua," kata Ares tiba2, membuat Ibu menangis seketika. "Maaf ya, kalo selama ini Ares nyusahin."
"Ares, kamu adalah milik Ayah yg paling berharga. Seluruh keluarga ini adalah harta Ayah. Ayah juga sayang sama kamu. Maafin Ayah kalo selama ini terlalu keras sama kamu," kata Ayah, air matanya juga tak terbendung.
"Res, lo bener2 kakak yg keren di mata gue. Lo selalu ada kalo gue butuh. Gue juga... ng... sayang sama lo," kata Orion salah tingkah. Ares tersenyum kepada Orion. "Gue juga, Ri,"
Orion menatap Ares ragu sejenak, lalu menghambur memeluknya. Ares terlihat shock sesaat, namun detik berikutnya dia membalas pelukan Orion.
"Gue bener2 seneng kondisi lo membaik, Res. Gue nggak nyangka lo bisa baikan secepat ini. Ini bener2 keajaiban," kata Orion lagi yg disetujui oleh keluarganya.
Ares hanya tersenyum tanpa menjawab. Tak lama kemudian, Reina muncul dari kamarnya. Dia terperanjat saat melihat Ares.
Bukan kondisinya yg membaik yg membuat Reina kaget. Saat ini, Ares mengenakan baju dan celana putih. Ini mengingatkannya kepada mimpi buruknya.
"Ayo, Rei," kata Ares sambil bangkit.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu memegang tangannya dan melingkarkannya ke bahunya. Reina benar2 mempunyai perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg benar2 baik, dia mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju taman. Reina dapat merasakan hangatnya tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares bisa sesehat ini.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu memegang tangannya dan melingkarkannya ke bahunya. Reina benar2 mempunyai perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg benar2 baik, dia mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju taman. Reina dapat merasakan hangatnya tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares bisa sesehat ini.

Pemakaman Ares sudah berakhir. Ayah dan Ibu tampak masih shock. Kepergian Ares yg tak terduga kemarin memang mengejutkan banyak orang. Orion tak menyangka kalau kemarin Ares hanya berpura-pura sehat.
Tapi Orion tak menyesal. Dia sudah berbaikan dengan Ares. Orion merasa sangat lega sekaligus kehilangan pada saat yg bersamaan. Lega karna akhirnya Ares terbebas dari penderitaan, kehilangan karna Orion belum sempat menghabiskan banyak waktu bersama dengannya.
Tadi Ayah dan Ibu sangat terkejut dengan penemuannya di kamar Ares. Mereka menemukan sebuah berkas berlabelkan Deraya Flying School, sekolah penerbang yg ada di bandara Halim Perdana Kusuma. Berkas itu berisi segala sesuatu tentang sekolah itu mulai dari brosur, copy formulir, dan juga surat pengantar. Tak ada yg percaya bahwa Ares memiliki keinginan yg kuat untuk menjadi pilot, dan dia berhasil membuktikan kepada semua orang bahwa dia mampu. Ayah sampai menangis karnanya.
Dan seakan belum cukup, dokter Affandi, dokter umum yg dulu sering menerima keluhan Ares, datang ke pemakaman dan mengatakan bahwa Ares pengidap disleksia sejak kecil. Jelas, Ayah, Ibu, dan Orion terperanjat saat mendengarnya. Selama ini, mereka menyangka Ares anak yg bodoh atau ber-IQ rendah. Dokter Affandi malah bingung karna tak ada seorang pun dari keluarga Ares yg mengetahui hal ini, padahal Ares mengatakan sebaliknya. Dia segera meminta maaf karna merasa telah menambah kesedihan Ayah dan Ibu.
Ares sering mendapat perlakuan tak adil karna dia menderita disleksia. Ayah lah yg paling menderita karna berita ini. Dia merasa buruk karna telah salah paham, juga absen memerhatikan tanda2 disleksia pada Ares kecil. Ibu pun menderita karna merasa dirinya bukan ibu yg baik karna tak mengenali gejala penyakit itu. Orion juga merasa bersalah karna dulu dia malah selalu berusaha menjadi lebih dari Ares. Segala persaingan yg pernah dilakukannya dengan Ares terasa sangat membebani pikiran Orion. Seumur hidup, Orion sudah bertarung dengan Ares dalam hal apa pun, tapi pada akhirnya memang Ares-lah yg pantas menjadi juaranya.
Orion menatap Reina yg masih memandang pusaran Ares yg dipenuhi bunga. Orion tahu Reina pasti sangat terpukul karna kehilangan Ares, karna dia lah orang terakhir yg berada di samping
Ares menjelang ajalnya.
Lala, Dipo, dan Wanda berpamitan kepada Ayah dan Ibu, lalu menghampiri Orion. Lala memeluknya kuat2, lalu tangisnya pecah lagi. Orion mengelus-elus punggungnya yg berguncang. Setelah tenang, Orion melepasnya untuk memeluk Dipo dan Wanda.
Sekarang, semua orang sudah pulang, begitu pula Ayah dan Ibu. Ibu sempat pingsan beberapa kali saat jasad Ares dimasukkan ke liang kubur, jadi Ayah segera membawanya pulang supaya dia bisa beristirahat. Yg tertinggal hanyalah Reina dan Orion.
Reina tidak menangis. Dia sudah cukup menangis. Air matanya nyaris habis. Dia hanya memandang pusaran Ares dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam setangkai mawar putih.
Tidak ada yg berbicara di antara mereka selama beberapa menit. Orion dan Reina sibuk dengan pikirannya masing2.
"Aku pernah bilang, kalo aku nggak akan bisa hidup tanpa dia," kata Reina akhirnya. "Itu karna aku nggak pernah berpikir kalau suatu saat dia akan pergi dengan cara seperti ini. Dia pergi ke tempat yg nggak bisa aku ikutin."
Orion memandang Reina yg tampak hampa.
"Mungkin sekarang aku masih hidup tanpa dia, tapi nggak akan sama," lanjut Reina. "Dia pergi dengan membawa sebagian hatiku. Aku ragu apa aku nantinya bisa mencintai orang lain. Aku pun nggak ingin mencintai orang lain."
Reina meletakkan bunga mawar itu di atas pusaran Ares.
"Sebenernya dari dulu aku tau aku nggak akan bisa menang dari dia. Dan seumur hidup aku udah mengidolakan dia. Aku mengkhayalkan bagaimana hidup dengan bebas tanpa ekspektasi dari siapa pun kayak dia," kata Orion.
Reina menatap Orion dengan mata berkaca-kaca. Orion tak membalasnya. Dia memandangi kosong pusaran Ares.
"Dari kecil aku terbiasa liat dia yg selalu ngelindungin aku. Dia udah kayak superhero-ku," Orion mendengus geli sesaat, lalu detik berikutnya wajahnya kembali murung. "Dia selalu, selalu jadi role model-ku. Entah kenapa akhirnya aku ngotot bersaing dengan dia, padahal itu pertarungan yg nggak bisa aku menangin. Aku tau dia berusaha keras. Tapi aku sama sekali nggak nyangka dia disleksia."
Orion mengeraskan rahangnya, menahan emosi. "Aku, yg katanya pinter, cerdas, dan segala macem, nggak sadar kalo kakakku sendiri menderita disleksia. Aku malah ikut-ikutan nyangka dia bodoh. Tapi, dia bener2 udah membuktikan dirinya. Aku bangga banget punya kakak kayak dia."
"Dia hebat kan, Ri?" tanya Reina, seulas senyum terlukis di wajahnya yg lelah.
Orion menatapnya sebentar, lalu balas tersenyum.

"Ya, Rei. Dia hebat," katanya, lalu kembali memandang pusaran Ares. "Dia hebat. Dia kakakku yg hebat. I wish I knew it earlier." Orion mengambil bunga dari keranjang, lalu meletakkannya persis di sebelah bunga Reina. "May you rest in peace, brother," kata Orion pelan, lalu melirik Reina. "and lover." Reina tersenyum, lalu bersama Orion pergi dari pemakaman, meninggalkan cintanya. Hanya untuk sementara saja, janji Reina.


Epilog


ORION membuka kamar Ares lebar-lebar, berusaha menemukan sosok yg sedang bermalas- malasan di tempat tidur sambil menggoyang-goyangkan kepala dan mengayun-ayunkan tangannya dengan heboh.
Tapi tak ditemukannya. Dia hanya menemukan puluhan poster-poster di dinding kamar Ares. Bagi Orion ini seperti mimpi. Tak pernah sekalipun dia berpikir untuk kehilangan suara dentuman-dentuman dari kamar Ares, teriakan-teriakan yang sering disebutnya sebagai nyanyian, suara-suara bantingan barang... Dan tak pernah Orion melihat kamar Ares serapi ini. Orion tiba-tiba membayangkan Ares duduk di jendela sambil menyanyi dan memainkan gitar. Orion juga bisa melukiskan bagaimana keadaan Ares waktu itu. Rambut acak-acakan, kaus usang, celana belel...
"Sialan!" sahut Orion sambil melemparkan barang terdekat yang bisa diraihnya.
Orion tak bisa lagi menahan tangisnya. Tangis yg selama setahun ini berusaha untuk disembunyikannya.
Orion membaca lagi surat dari Ares yang dulu ditinggalkannya di kamar. Surat itu meminta Orion untuk menjaga Reina, juga berisi pujian tentang permainan basket Orion, dan Ares bangga karnanya. Seorang Ares bisa menulis itu semua, rasanya bagai mimpi bagi Orion.
Ares memang orang yang penuh kejutan. Selama ini, dia selalu bertahan tanpa pernah
mengeluh. Ternyata dalam hal inilah dulu Orion harusnya membantu Ares.
Orion tak pernah tahu. Siapapun tak pernah tahu. Yang diketahuinya hanyalah, kakaknya adalah sebuah misteri baginya.
Selalu menjadi misteri. Bahkan pada saat-saat terakhirnya.
Walaupun demikian, Ares akan selalu menjadi bagian dari diri Orion. Selamanya. "I miss you, bro'," bisik Orion lemah.

Aku pertama kali melihatnya saat musim panas yang terik
Dia datang tanpa ada seulas senyum pun di wajahnya
Dia tampak seperti seorang laki-laki yang kesepian
Menanti seseorang untuk menemukan kunci ke hatinya yang gelap
Aku tak tahu ternyata akulah sang pemegang kunci itu
Aku menyinari hatinya, sampai akhirnya dia mau merekah
Aku menyukai caranya tersenyum untukku
Aku menyukai sikapnya yang membuatku merasa spesial dan betapa sosoknya sudah menjadi menu utama dalam mimpiku
Dia adalah cinta pertama, juga sejatiku
Ares, sang angin yang berhembus sepoi di musim panas kini telah kembali ke tempatnya berasal Walaupun tak lagi bersama, tapi dia tetap akan menjadi hal terbaik yang pernah terjadi padaku Aku akan selalu teringat padanya juga selalu tak sabar,
Menanti datangnya musim panas,
Saat di mana aku bisa kembali bertemu dengannya.

Reina tersenyum pedih saat membaca tulisannya. Dia kemudian menggulung surat itu, memasukkannya ke kaleng, lalu menguburnya kembali di bawah pohon perjanjian. Setelah itu, dia berdiri, menatap tulisan di pohon yang sudah mulai hilang. Pohon itu mulai meranggas, karna cuaca yang kering. Suasana persis seperti saat Ares meninggal. Daun-daun yang berguguran mengingatkan Reina kembali pada saat mereka bertemu untuk pertama kalinya, juga saat mereka berpisah untuk selamanya.
Sudah setahun semenjak kematian Ares. Reina baru saja kembali dari Amerika. Hari ini tepat hari kematian Ares, dan Reina sudah berjanji kepada keluarga Ares untuk datang berziarah. Sebelum itu, Reina menyempatkan diri untuk membaca tulisan yang ditulisnya setahun yang lalu, yang kemudian dikuburnya di bawah pohon akasia yang dulu pernah dijadikan tempat perjanjian.
"Rei," panggil seseorang yang sudah sangat dikenal Reina, membuatnya berbalik.
Reina mendapati Orion dan Lala yang sedang menunggunya. "Kita pergi sekarang?" tanya Orion sambil tersenyum lembut.
Reina mengangguk perlahan, lalu bergerak menuju mereka. Reina menoleh ke arah pohon itu untuk yang kesekiankalinya, membayangkan masa kecilnya bersama Ares yang indah.
Reina tak akan pernah meninggalkan apa pun di belakang. Reina akan terus membawa kenangannya bersama Ares. Selamanya.
"I'll always love you," bisik Reina.

Setelah menatap cincin hijau di jari manisnya, Reina tersenyum lalu masuk ke mobil.


SUMMER BREEZE - ORIZUKA - BAB 8



Bab 8

Losers Never Win

ORION merasa sekujur tubuhnya dibasahi oleh keringat dingin. Dia pun sangat2 tegang sehingga tak bisa merasakan kedua kakinya. Orion melirik cemas ke arah penonton yg semakin memadati halaman kampus untuk menonton final.
"Tenang, woy," Odi tertawa geli melihat tampang Orion. "Santai aja."
Orion meringis tak jelas pada Odi, lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada Raul yg sedang berbicara dengan seseorang di tribun atas. Pasti ayahnya, kalau dilihat dari sikap hormat Raul yg hampir berlebihan. Orion juga dapat melihat beberapa utusan dari tim2 besar IBL berdatangan dan duduk di tenda VIP. Orion sekarang serasa menelan sebongkah batu besar.
"Eh, ngomong2, si Lala sama Reina jadi akrab ya?" kata Odi lagi, membuat Orion menoleh untuk melihat Reina dan Lala.
Mereka sedang duduk bersama di tribun, tepat di seberang Orion berada, dan mereka tampak akur. Kedua gadis itu tertawa-tawa sambil memegang bendera kampus, lalu mengibar- ngibarkannya sambil bernyanyi entah apa. Orion hanya nyengir melihatnya. Orion benar2 tidak mengerti kaum hawa.
Reina dan Lala menangkap tatapan Orion, lalu melambai ke arahnya. Orion balas melambai, lalu mendadak tersadar. Ares tidak datang. Orion merasa setengah tenaganya lenyap tertiup angin. Entah mengapa, Orion benar2 mengharapkan kedatangannya di pertandingan penting ini, melebihi siapa pun. Orion ingin melihat Ares sesekali bangga padanya.
Raul melintas di depannya sambil menatap tajam. Orion balas menatapnya. Tanpa dia duga, Raul malah mendatanginya.
"Gue sebenernya nggak mau ngelakuin ini," Raul menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi lo udah maksa gue."
"Apa sih maksud lo?" tanya Orion bingung.
"Setelah pertandingan ini, lo bakal tau," kata Raul geram. "Jadi, kalo sampe terjadi, jangan salahin gue."
"Anceman kosong," Orion meludah. "Lo nggak jantan. Lo kalah, makanya lo bakal balas dendam. Gue nggak takut."
"Oke, kalo gitu," kata Raul enteng. "Kita liat aja nanti."
Raul berbalik lalu bergabung dengan tim. Orion menghela napas, lalu bergerak mengikutinya untuk bergabung dengan tim. Orion memang merasa ada sesuatu yg salah, tapi dia tidak bisa mundur lagi. Dia harus melakukannya seperti laki2, dan Ares pasti bangga karnanya.
"Oke," kata Reno dengan suara khawatir yg dikuat-kuatkan. "Kita punya tim yg bagus. Kita punya strategi bagus. Kita datang ke sini untuk menang, kan?"
Suara Reno tenggelam oleh riuh rendah para penonton yg sudah memenuhi lapangan.
"Selamat datang di UII Cup, Turnamen Bola Basket antarkampus 2005, antara Universitas Kencana dan tuan rumah, Universitas Internasional Indonesia!" suara announcer membahana, membuat suasana semakin bising.
"POSISI STARTER KAYAK KEMAREN!" sahut Reno mengatasi suara announcer dan penonton yg menggila. "Aryo, Odi, Heru, Faisal, Orion!"
Anak2 mengangguk mengerti, sementara Reno menjelaskan strategi. Orion malah hampir2 tak mendengar suara Reno. Dia hanya memikirkan akan bermain sebaik mungkin sehingga membuat semua orang bangga.
"Dari Universitas Kencana, dengan nomor punggung 5, Mario! 17, Hernan! 11, Arman! 22, Rio!
10, Simon!"
Suara riuh rendah mengiringi saat para pemain basket dari Universitas Kencana memasuki lapangan.
"Dan dari Universitas Internasional Indonesia, yg pastinya sudah ditunggu-tunggu, dengan nomor punggung 13, Aryo! 9, Odi! 17, Heru! 5, Faisal! Dan, pada nomor punggung 21, sang kapten, Orion!"
Orion merasakan telinganya mulai pekak karna kebisingan yg luar biasa saat suaranya disebutkan. Dia menarik napas mantap, lalu mulai berlari-lari kecil memasuki lapangan. Sebelumnya dia sempat melirik Raul yg menatapnya benci.
Orion melemaskan semua ototnya sebelum bersalaman dengan anak2 dari UK. Orion mengenali salah satu dari mereka. Simon, si playmaker dari UK adalah teman SMA-nya dulu, dan juga satu tim basket. Orion melemparkan cengiran kepadanya yg segera dibalas.
Wasit sudah memasuki lapangan. Orion segera mengambil tempat. Tangannya sudah basah karna keringat, tapi Orion harus tetap fokus.
"Mulai!"
Orion dengan gesit menyambar bola hasil lemparan sang wasit dan bola itu ditangkap oleh Odi. Orion segera berlari, melepaskan diri dari kawalan Hernan, lalu Odi dengan tanggap menerima sinyal Orion. Odi mengoper bola itu kepada Orion, yg segera dilesakkan ke ring.
"Fast break yg manis dari Orion, 2-0 untuk tim UII!"
Orion kembali sigap mengawal Hernan. Dan harus tetap fokus... "Assist pada Simon... Tembakan tiga angka yg bagus!"
Terdengar seruan2 marah dari penonton. Simon nyengir kepada Orion -yg dibalas gugup. Orion tiak tahu Simon sudah berkembang sepesat ini. Bola tadi masuk tanpa menyentuh ring sedikit pun.
"Sekarang bola ada pada Heru... dioper ke Odi... Orion sudah ada di depan, assist, jump shot!
AH! Orion gagal... di-rebound oleh Hernan..."
Sial. Orion merasa konsentrasinya pecah karna memikirkan Simon. Dia kembali fokus dan berhasil merebut bola dari tangan Hernan.

"Steal yg bagus! Orion tidak terjaga... Three points! 5-3 untuk tim UII!" Penonton bersorak heboh. Lala bahkan menumpahkan minumannya.
Pertandingan berjalan alot selama lima belas menit kuarter pertama. Hasil sekarang sudah 20-
19. Orion terduduk saat time out.
"Orion, lo udah bagus. Pertahanin permainan lo. Jaga kondisi lo," kata Reno, tampak senewen. Orion tak menjawab. Dia hanya menatap Reno sebal. Hanya dirinya pemain yg bermain penuh selama kuarter pertama tadi, dan kontribusinya sangat besar. Dari dua puluh poin milik timnya,
15 diantaranya dicetak Orion.
"Di, lo jaga Simon yg bener. Dia berbahaya," Reno memberikan arahan kepada Odi yg hanya menggumam tak jelas sambil meneguk minumannya.
Kemudian, kuarter kedua dimulai. Lagi2, Orion sempat menangkap raut wajah kesal Raul. Tapi
Orion tak punya waktu untuk memedulikannya.
"Bola di Mario, dioper di Arman... Steal dari Aryo, assist ke Orion... masuk! 22-19 untuk tim UII!" Lima belas menit berikutnya terasa sangat berat bagi Orion. Reno belum juga menggantinya. Timnya memang masih unggul 40-37. Tapi dengan keadaannya sekarang, Orion yakin timnya akan tersusul apabila dia tidak diganti.
"Bola ada pada Simon, dia lepas dari kawalan Odi, three points! Sekarang kedudukan 40 sama!" Orion mengumpat kesal. Dia butuh istirahat. Dia merasa sebentar lagi paru-parunya akan pecah. "Bola ada pada Heru, assist pada Odi, Orion, mencoba three points... gagal! Rebound oleh Hernan... Ini bola keempat kalinnya yg miss dari Orion... tampaknya dia mulai kelelahan... sebagai catatan, hanya Orion yg belum diganti oleh pelatih Reno... Sepanjang pertandingan dia sudah mencetak 35 poin!"


"Dengar itu, sialan!" umpat Orion kesal sambil melirik Reno yg tampak tak acuh dan malah meneriaki Odi yg sedang mengawal Simon.
Kuarter kedua selesai. Tim UII sekarang tertinggal 42-50. Reno mengamuk tak karuan.
"Pengawalan lo Di, ancur! Lo liat kan beberapa kali Simon bisa nyetak three points gara2 lo ketinggalan! Terus lo Ri! Ngapain aja lo sepuluh menit terakhir? Lo cuma bisa nyetak dua angka!" sahut Reno kalap.
"Lo nggak kasih gue istirahat! Gue capek!" Orion balas menyahut.
"Oh, jadi lo capek? Lo mau diganti? Boleh, tapi jangan harap lo main lagi!" seru Reno membuat semua orang bengong.
Orion hanya mengumpat pelan sambil menendang botol minumannya. Beberapa menit kemudian kuarter tiga dimulai. Orion menarik napas dalam2.
"Oh, ternyata playmaker dari tim UII kembali masuk! Entah apa strategi coach Reno, tapi sepertinya hanya Orion yg diandalkan... padahal mereka memiliki three points shooter, Raul!" Orion sekali lagi melirik Raul, yg meremas botol minumannya sampai gepeng. Sebenarnya Orion merasa bersalah karna Raul sama sekali tidak dimainkan oleh Reno. Tapi semua ini diluar kuasanya. Entah kenapa, Reno malah memainkan Orion secara penuh, tapi tidak memberikan kesempatan bagi Raul. Padahal, saat ini Orion akan dengan senang hati diganti untuk beristirahat sebentar.
"Bola ada di Orion, dia mencoba mengulur waktu... Tampaknnya pemain ini sudah lelah... Dioper ke Faisal, ke Damar... Damar adalah pemain pengganti Aryo... Assist dari Odi ke Orion, Odi sudah melakukan rebound sebanyak 5 kali sepanjang pertandingan... Three points Orion, gagal! Rebound oleh Hernan! Simon... three points! Tim UII semakin jauh tertinggal... 42-53!"
Orion mengumpat lagi. Dia harus melakukan sesuatu. Harus. Tak peduli kalau paru-parunya sampai pecah dan urat2 kakinya putus.
"Bola ada pada Odi... dioper ke Orion... dia melesat lepas dari kawalan Hernan, three points! Tampaknya tim UII mulai bangkit! 45-53!"
Orion bisa mendengar kembali teriakan2 heboh dari pinggir lapangan yg rasanya tadi mulai menghilang. Orion merasakan semangatnya kembali berkobar.
"Bola pada Mario... Steal! Orion tidak dikawal... Three points! Ini adalah three points ketujuh kali yg dibuat Orion sepanjang pertandingan! 48-53 untuk tim UII! Sekarang bola ada pada Arman... mencoba mengulur waktu... STEAL LAGI! Three points ke delapan oleh Orion! Benar2 luar biasa permainan Orion hari ini..."
Orion nyengir saat Odi menepuk kepalanya. Orion menikmati saat2 ini, saat semua orang memanggil namanya keras2.
Kuarter keempat berakhir dengan poin 59-60 untuk tim UK. Orion sendiri sudah mencetak empat puluh tujuh poin. Sekarang dia terduduk kelelahan di pinggir lapangan.
"Begitu dong Ri kalo maen! Yg semangat!" sahut Reno senang. "Kita sekarang cuma ketinggalan satu angka! Kita bisa menang!"
"Yeah, dan playmaker kita bisa mati," gumam Odi disambut ringisan oleh Orion.
Orion menghela napas, lalu melirik le arah penonton. Orion masih belum melihat Ares.
Ares mengawasi Orion dari atas gedung. Si pelatih bodoh itu sepertinya sudah gila karna tidak mengganti Orion. Orion sekarang tampak terkapar tak berdaya.
Bukannya Ares tak senang, dia justru senang Orion bermain sangat bagus dan sebagainya. Tapi dia juga tak ingin melihat Orion mati konyol karna kelelahan bermain basket.
Ares sudah melihat perjuangan Orion. Ares hampir saja merasa bangga karnanya. Mungkin memang bangga, tapi sedikit rasa gengsi menyergapnya. Ares tak pernah merasa apa yg dilakukan Orion membanggakan. Ares dulu merasa basket adalah hal konyol yg dilakukan Orion untuk memikat gadis2. Tapi melihat Orion berjuang keras seperti ini membuatnya sadar, kalau setiap orang memiliki cita2 yg berbeda-beda. Basket adalah hal yg ingin dilakukan Orion, sebagaimana Ares menginginkan menjadi pilot. Orion mencintai basket. Ares tahu sekarang. Setiap orang bersinar dengan caranya sendiri2.
"Kuarter keempat sudah dimulai... Ini akan menentukan siapa juaranya... Orion ternyata kembali dimainkan! Mungkin dia mengincar MVP? Entahlah, tapi seharusnya usahanya tidak usah sekeras ini... Dia memimpin top scorer sementara dengan 47 poin, sementara Simon ada tepat di bawahnya dengan 45 poin... Bola sekarang ada pada Arman dari tim UK, dioper ke Hernan... jump shot, masuk! 59-62 untuk tim UK!"
Orion menyeka peluhnya lalu kembali berkonsentrasi. Dia harus memenangkan pertandingan ini untuk beberapa hal. Untuk Reina. Untuk masa depannya. Untuk Ares.
Lima menit lagi pertandingan usai. Tim UII masih tertinggal 70-73, padahal Orion dan teman- temannya sudah berusaha keras. Orion merasa kondisinya benar2 ambruk. Dia hampir2 tak sanggup berlari dan menjaga Hernan.
"Time out dari tim UII! Tampaknya akan ada pergantian pemain... HARUS ada pergantian pemain kalau coach Reno tidak ingin playmaker-nya ambruk..."
"Tinggal empat menit lagi," Reno jelas2 tak mengacuhkan saran si announcer. "Ri, empat menit lagi. Lo mau menang kan? Lo mau MVP kan?"
"Tapi dia nggak mau mati," kata Aryo kesal.
"Diem lo! Cuma dia harapan gue! Emang lo bisa ngehasilin angka kayak dia, hah?"
"Tapi kondisinya udah nggak fit lagi! Mainin dia sama aja bohong!" Kali ini, Faisal yg menyahut. "Look, dia butuh dianti. Masih ada Raul. Lo nggak mau minin dia?" tanya Odi dan secara serempak semua orang menoleh kepada Raul.
"Nggak. Gue butuh menang. Dan untuk itu gue butuh Orion. Gue percaya sama dia, dia bisa bawa kita ke kemenangan. Lo ngerti, Ri?" sahut Reno kepada Orion.
"Ya," kata Orion membuat semua temannya mengernyit. "Nggak apa2 guys, gue masih bisa kok. Let's finish the game."
"Ya ampun... ternyata Orion kembali diturunkan! Ini menjadikan dia sebagai satu-satunya pemain yg tidak diganti selama empat kuarter! Entah apa ini menguntungkan atau malah merugikan bagi timnya... Maksudnya, Orion memang bagus, tapi sekarang sepertinya dia sudah tidak fit! Sekarang bola ada pada Arman... Hernan... Simon... Jump shot, gagal! Rebound oleh Odi... Orion sudah di depan, tak terjaga! Lay up... masuk! 72-73!"
Orion merasakan kakinya sudah lemas, seolah tak bertulang. Hernan sekarang sudah bebas dari pengawalannya, membuat kerja Aryo dua kali lebih berat karna harus menjaga dua orang sekaligus. Orion tak punya cukup tenaga untuk kembali ke posisinya, jadi dia hanya menunggu di depan.
"Steal yg bagus dari Aryo! Lemparan yg jauh ke depan... ternyata ada Orion! Astaga... ini berarti
Orion tidak kembali ke posisi menjaga... lay up lagi... masuk! Sekarang tim UII berhasil mengejar! 74-73!"
Orion kembali mendengar sorak-sorai penonton, tapi tidak membuatnya kembali bersemangat.
Tubuhnya terasa remuk seakan baru saja dilindas truk.
Ketika pertandingan tinggal satu menit lagi, kedudukan 83-79.
"Bola ada pada Simon... gawat, tidak terjaga! AAHH! Three points! Kedudukan menjadi 83-82! Kalau begini tim UII akan susah untuk mengungguli tim UK! Bola ada pada Odi, mencoba mengulur waktu... Ya ampun! Steal dari Simon! Three points lagi! 83-85! Waktu tinggal dua belas detik!"
Orion menegakkan kepalanya. Jantungnya berdegup tak karuan. Bisa-bisanya mereka kecolongan saat waktu sudah tinggal dua belas detik lagi. Orion merasa semua semangatnya lenyap. Mereka akan kalah.
Orion melirik ke arah temannya yg lain. Wajah mereka masih bersemangat. Odi menganggukkan kepalanya. Orion jadi merasa malu telah putus asa duluan. Orion balas mengangguk mantap.
"Ya ampun... Ini saat2 menegangkan... Bola ada pada Odi, 10 detik lagi... Sial, Odi dikepung oleh dua orang... tujuh detik lagi... Odi masih belum bisa juga melepaskan diri... LIMA DETIK LAGI! Odi meleparkan bolanya asal saja! Di saat2 penting begini! Apa sih yg dia pikir -Oh, ternyata ada Orion! Dua detik lagi! Orion menembak dari jarak yg sangat jauh!"
Orion menunggu detik2 ini, bersama kira2 ratusan orang lainnya. Bola itu sepertinya melenceng dari ring... Orion bisa mendengarkan tanda pertandingan berakhir tepat saat dia menembak tadi... Semuanya serasa menjadi slow motion bagi Orion saat melihat bolanya bergerak lamban menuju ring. Tampaknya arahnya oke2 saja...
"MASUUK!!" seru announcer, membuat semua orang bersorak dengan gegap gempita. Orion belum sepenuhnya lega. Semua orang yg ada di lapangan belum sepenuhnya lega. Mereka tahu di papan nilai tim UII belum bertambah.
"Oh, tunggu sebentar... Tim UII belum tentu menang! Orion memembak tepat saat bel pertandingan selesai! Kita dengarkan keputusan wasit!"
Suasana mendadak hening dan semua mata menatap sang wasit. Mendadak dia membuat pergerakan dengan kedua tangannya.
"Basket count!!" serunya, membuat kaki Orion lemas seketika.
Seketika suasana menjadi heboh lagi saat melihat kedudukan berubah 86-85 untuk kemenangan tim UII.
Orion tidak sadar saat teman-temannya menyerbu dan menabrak tubuhnya yg lemas. Pikiran Orion kosong dan dia hanya bisa melihat langit yg biru cerah. Orion terlalu senang untuk merasakan pukulan dan pelukan kencang dari teman-temannya dan Reno.
"Hebat lo Ri!" seru Odi sambil mengacak-acak rambut Orion yg basah.
"Dengan demikian, tim UII menang 86-85 atas tim UK! Piala Turnamen UII Cup tetap di tangan tuan rumah! Good game, guys!"
"ORIOOON!" seru Lala dan Reina bersama dari pinggir lapangan sambil melambai-lambaikan tangan. Orion bergegas mendekati mereka setelah bisa membebaskan diri dari teman- temannya.
"Gila, kamu keren banget!" seru Reina sambil memeluk Orion penuh rasa haru.
Orion nyengir lalu ber-high five dengan Lala yg juga nyengir lebar. "Lo emang jago, Ri," kata Lala sambil mengacak rambut Orion.
"Thanks," kata Orion lagi. "Ini kado buat lo Rei, sebelum lo berangkat ke Amrik."
"Hua... kadonya bagus banget! Aku sampe deg-degan tadi!" sahut Reina dengan mata berkaca- kaca.
Orion hanya nyengir melihat ekspresi Reina. Dengan begini, dia sudah membuktikan kepada Reina kalau dia bukanlah anak kecil yg cengeng lagi.
Tahu-tahu, Orion melihat sosok Ares yg sedang berdiri di sebelah pohon tak jauh darinya. Tatapan Ares tak sinis seperti biasa. Orion merasa Ares sedang memberinya selamat melalui tatapannya itu.
Selama beberapa detik, Orion hanya bisa bengong menatap kakaknya. Ares lalu tersenyum. Kepada Orion. Orion sampai tidak memercayai penglihatannya. Untuk pertama kali, Ares tersenyum kepadanya. Senyum bangga. Orion dengan segera membalasnya dengan cengiran. Ares kemudia beranjak pergi. Orion merasa lelahnya terbayar. Kakak satu-satunya sudah melihat perjuangannya. Ares sudah melihat bagaimana Orion bisa membuatnya bangga.
"Ri, maaf ya, Ares nggak dateng. Tadi aku udah ajak dia, tapi dia nggak mau. Dia sekarang nungguin aku di pintu belakang kampus, sekalian mau nganter aku ke bandara," kata Reina. "Hah?" kata Orion bingung, lalu berikutnya dia paham. "Oh, nggak apa2 kok."
Orion tahu Ares tadi menontonnya.
"Yak, sekarang saatnya pengumuman MVP! Dan dapat ditebak, MVP untuk pertandingan ini adalah Orion dari tim UII!"
Reina dan Lala bersorak bersamaan, sambil mendorong Orion ke arah panggung. Orion naik ke panggung dengan senyum lebar. Titel juara dam MVP di tangannya. Selain itu, Ares menonton pertandingannya. Semuanya terasa seperti mimpi.
Setelah pembagian hadiah dan medali, Orion kembali menghampiri Reina dan Lala untuk memamerkan medalinya.
"Iya deh, yg medalinya bagus," goda Lala, lalu tertawa.
"Eh, aku harus cepet2 ke Ares nih, ntar dia ngamuk nungguinnya kelamaan," kata Reina tiba2, membuat sebuah batu kembali memenuhi lambung Orion. Reina harus pergi.
"Rei, jangan luapin aku, ya?" pinta Orion.
Reina bengong sesaat, lalu memukul Orion. "Ya nggak akan lah!" serunya, lalu memeluk Orion. "Thanks ya Ri, untuk segalanya. Dan kamu harus janji, kamu bakal baikan sama Ares. Ya?" Orion mengangguk, lalu melepaskan medalinya, dan mengalungkannya ke Reina. Reina bengong menatap Orion.
"Hadiah buat kamu. Supaya kamu inget terus sama aku."
Reina tersenyum manis, lalu mengangguk.
"Orion? Kita punya urusan yg belum selesai," kata Raul yg muncul tiba-tiba. Orion menoleh, memandang sengit Raul, lalu kembali menatap Reina dan Lala.
"La, lo anterin Reina ke belakang ya, gue masih punya urusan," kata Orion, lalu mengikuti Raul
yg sudah jalan duluan.
Reina dan Lala menatap kepergian mereka cemas.

Sementara itu, Ares berjalan tenang menuju pintu belakang kampus. Sayup2, baru saja didengarnya bahwa Orion adalah MVP untuk pertandingan ini. Orion memang pantas mendapatkannya. Dan tentang Reno, Ares tadi sudah sempat menghajarnya sebelum pergi. Ares hanya memastikan Reno tidak akan melatih tim kampusnya lagi dan pergi untuk selamanya.
Ares berhenti sesaat, lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. Copy formulir Deraya. Sebentar lagi Ares akan kembali ke sana, untuk melakukan tes bahasa Inggris. Setelah itu, Ares akan mendapatkan Student Pilot Permit yg sudah lama diinginkannya. Ares sudah tak sabar ingin tahu bagaimana reaksi keluarganya. Ares tersenyum sendiri. Orion sudah membuatnya bangga, dan sekarang giliran Ares yg melakukannya.
Saat Ares hendak kembali berjalan, dia berpapasan dengan sekelompok orang yg terlihat
garang dan membawa balok2 kayu yg ukurannya superbesar. Ares memerhatikan mereka, merasa pernah melihat mereka di suatu tempat. Mereka terlihat sangat buru2 dan bersusah payah tidak terlihat banyak orang. Ares memicingkan mata untuk mengamati mereka, sembari mengingat-ingat.
Karna tak kunjung ingat, Ares memutuskan untuk kembali berjalan. Tapi beberapa detik setelahnya, langkahnya terhenti. Dia ingat. Itu kawanan geng suruhan Raul yg pernah dilawannya.
Ares mengumpat sebentar, teringat Orion yg menjadi MVP dan Raul yg sama sekali tidak
diturunkan, lalu segera berlari sekuat tenaga untuk mencari Orion. Nyawa adiknya jelas dalam bahaya.
"Jadi?" tanya Orion setelah mereka sampai di taman yg sepi.
"Jadi, lo udah ngambil kesempatan gue buat main di final," kata Raul tenang. "Lihat lo, dengan maruknya main di empat kuarter tanpa diganti, demi MVP. Menjijikkan."
Orion mengangkat bahu. "Bukan gue yg mau main penuh. Reno yg nyuruh gue."
"Oh, jadi lo nggak bisa nolak," kata Raul masih dengan nada tenang. "Atau lo malah kesenengan karna gue nggak dimainin?"
"Heh, sumpah gue juga mau istirahat!" sahut Orion, mulai emosi. "Tapi Reno nggak kasih kesempatan! Lo tadi liat sendiri!"
"Lo bisa aja istirahat," Raul menggeleng-geleng kepala. "Tapi lo memang nggak mau kasih gue kesempatan untuk bisa lebih baik dari lo."
"Bukan gitu, man! Gue bakal nggak dimainin lagi kalo gue minta ganti! Dan terus terang aja, gue nggak mau hal itu terjadi!" sahut Orion panas.
"Oh, jadi inilah sisi lain dari Orion yg terkenal. Egois, mau menang sendiri, nggak peduli sama nasib orang lain... Gue bahkan harus nyembah2 sama lo... Lo emang hebat, Ri," kata Raul lagi. "Tapi lo harus tau, suatu saat lo harus ada di bawah. Gue udah kasih peringatan buat lo dari kapan tau, dan lo harus tau gimana rasanya kalah."
"Omongan pecundang," tukas Orion sengit. "Lo terlalu pengecut buat bersaing!"
"Ya ampun, si superstar. Tau apa lo soal pecundang? Lo nggak pernah kalah dalam hal apa pun! Yg lo tau cuma menang, lo nggak pernah liat ke bawah! Dan sekarang gue bakal ngajarin lo gimana menjadi pecundang!" sahut Raul, lalu memberi sinyal dengan tepukan yg tidak dimengerti Orion.
Sekitar tujuh atau lebih laki2 besar dan kuat tahu2 muncul dari belakang Orion. Orion menatap mereka ngeri, lalu menggeleng marah kepada Raul.
"Terima kasih Tuhan, gue nggak pernah jadi pecundang macem lo," kata Orion. "You'll be. About... now?"
Beberapa detik setelah Raul berbicara, seorang laki2 yg membawa balok menyerbu Orion. Orion berhasil berkelit, tapi dari sisi lain, laki2 lain menghajar badannya dengan balok besar. Seketika Orion terjatuh. Tubuhnya sudah terlalu lelah untuk melawan mereka sekaligus. Bahkan Orion cukup yakin dia akan kalah seandainya hanya Raul yg menghajarnya.
"Yap, yap, gue tau di mana letak kelemahan lo. Lo nggak bisa berkelahi!" sahut Raul, lalu tergelak kejam. "Ya ampun... gue terlalu berlebihan ya, pake ngirim sepasukan buat melumat lo. Padahal gue sendiri juga bisa."
Orion mengutuk Raul, yg segera dibalas dengan tendangan tepat di pelipis kiri Orion.
"Ngomong apa lo? Nggak kedengeran! Apa gue denger kata 'tolong'?" sahut Raul disambut tawa geng-nya.
"Gue tadi bilang, PECUNDANG!" sahut Orion berani.
Raul berhenti tertawa. "Gede juga nyali lo," katanya, lalu melirik gerombolan tadi. "Hajar dia sampe mampus."
Orion bisa merasakan tulang rusuknya patah saat ditendang oleh salah satu preman itu.
Pukulan2 lain dilayangkan bertubi-tubi ke badannya yg lemah. Orion terbatuk, dan mengeluarkan darah.
Orion berguling di rumput, kesakitan. Dia mencoba untuk menahan rintihannya. "Sakit, hah? Itu dia rasanya kalo kalah," kata Raul lagi. "Hajar lagi."
Baru ketika kawanan itu hendak menyerang Orion lagi, Ares muncul dan menghajar salah satunya. Orion mendongak dan mendapatinya sedang menghajar beberapa orang lagi dengan tangguhnya.

Mendadak, Raul pucat. Ares bukanlah orang yg ingin dihadapinya. Ares sudah terkenal sebagai jago berkelahi di kampus ini. Tujuh atau delapan orang kuat sama saja. Mereka tak akan menang. Menyadari ini, Raul segera meninggalkan tempat itu sementara pasukannya sedang bergulat dengan Ares.
Ares menghajar pelipis seseorang dengan buas, lalu menarik kerah yg lain untuk ditendang.
Ares sudah benar2 marah. Adiknya sudah dikeroyok tujuh lawan satu sampai terjatuh. Ares tidak menyadari bahwa Reina dan Lala ada di tempat itu sampai dia mendengar terikan histeris Reina. "Ri, lo minggir sana!" sahut Ares sambil memiting tangan seseorang yg berambut gondrong. "La, lo telepon polisi!"
Orion segera merangkak menjauhi baku hantam yg terjadi, lalu mendekati Reina yg sudah terisak. Reina segera mengeluarkan sapu tangannya lalu mengelap darah yg keluar dari mulut Orion. Lala dengan gemetar menekan nomor telepon polisi.
"Kamu nggak apa-apa, Ri?" tanya Reina yg sudah terisak hebat.
Orion tidak menjawab. Dia memandangi sosok Ares yg dengan gagah berani menghadapi tujuh orang sekaligus. Karna tak bisa berbuat apa2, mereka bertiga hanya bisa menonton Ares yg mati-matian berkelahi.
Ares mulai kewalahan. Tujuh orang itu bergerak secara sekaligus. Orion menyesali keadaannya yg tak bisa membantu Ares.
"Halo? Polisi? Ada kerusuhan, Pak..." "Aku panggil orang2 terdek-"
Belum sempat Reina menyelesaikan kalimatnya, dia menyaksikan sendiri Ares terpukul telak di perut sehingga dia terhuyung-huyung. Reina menekap mulutnya. Lala juga sudah berhenti berbicara.
Kejadian selanjutnya terjadi sangat cepat di depan mereka bertiga. Ares sedang menghadap ke arah mereka sehingga itu terlihat sangat jelas.
Ares lengah. Dia tidak menyadari bahwa ada seseorang di belakangnya yg membawa balok besar. Dia sedang sibuk melawan dua orang di depannya. Orang itu mengayunkan baloknya ke arah kepala Ares, dan mengenai belakang kepalanya secara telak. Bunyi 'duak' mengerikan terdengar jelas di telinga Orion. Dan dalam hitungan detik, darah segar muncrat dari kepala Ares. Seakan dalam gerakan lambat, Ares terdiam, berhenti bergerak, lalu roboh ke tanah. "ARES!" sahut Orion, memecah keheningan.
Reina terduduk, wajahnya pucat pasi melihat Ares yg menelungkup. Wajahnya mencium tanah yg sudah basah oleh darah. Ponsel terlepas begitu saja dari genggaman Lala. Semuanya merasakan hal yg sama. Ketakutan yg luar biasa.
Orion yg pertama sadar. Dia merangkak mendekati Ares yg terkapar, tapi sepertinya kakaknya itu masih sadar. Kawanan itu terkekeh puas, lalu menginjak-injak tubuh Ares dengan buas. "JANGAN!" sahut Orion pilu. "JANGAN!"
Orion dapat melihat dengan jelas tubuh Ares yg mengejang. Orion sendiri tidak dapat bergerak
lagi. Tubuhnya sudah kaku, dan pandangannya sudah kabur. Tidak, dia harus menolong Ares, harus...
"JANGAN MATI DULU, RES!" Orion berusaha sekuat tenaga mendorong tubuhnya yg terasa lumpuh. "LO HARUS TETAP SADAR!"
"ADA APA INI?"
Sesorang menyahut, yg ternyata satpam kampus dan beberapa orang lain yg mendengar keributan itu.
Seketika, kawanan itu kocar-kacir ke segala arah karna tertangkap basah. Satpam itu tak bisa
berbuat apa pun untuk mengejar mereka. Dia hanya berteriak untuk meminta bantuan lalu bergerak menuju Ares.
"Pak, tolong dia Pak...," kata Orion lemah sebelum kesadarannya menghilang. "Tolong dia... dia kakak saya..."



"Res, ayo kita ke Dufan," kata Ibu dengan senyum selembut peri.
"Bener, Bu? Kita ke sana?" sahut Ares tak percaya. Ibu mengangguk. "HORREE!" "Tunggu dulu," sambar Ayah tiba2. "Nanti malem kamu habisin dulu bacan ini. Kalo besok selesai, baru kita pergi ke Dufan."
Ares mengangguk bersemangat. Akan dibacanya habis buku ini. Seumur hidup Ares sudah memimpikan Dufan, dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Besoknya, Ares tampak murung.
"Gimana Res, bukunya?" tanya Ares.
"Yah, semalem Ares muntah," kata Ares jujur.
"Apa? Muntah? Kamu sakit, Nak? Ya sudah, kapan2 saja kita ke Dufan," kata Ibu khawatir sambil memegang dahi Ares.
"Ya, kapan2 saja kita ke Dufan, kalau kamu udah berhasil selesai membaca buku yg kemarin Ayah kasih."
Ares menatap sedih ayahnya. Dia sadar. Sampai kapan pun, dia tak akan pernah melihat Dufan.
Ares membuka matanya perlahan. Sangat silau. Dan kabur. Kepalanya nyeri, rasanya seakan mau pecah. Oh, mungkin saja sudah pecah, Ares tak tahu lagi. Yg jelas kepalanya berdenyut hebat, menyakitkan, dan membuatnya ingin muntah. Yg pertama dilihatnya adalah Ayah. Dia tertidur di samping Ares. Ares mengerjapkan matanya, lalu dia bisa melihat Orion di seberang ruangan yg sedang membaca koran. Pipinya lebam dan dia memakai baju pasien, sama seperti dirinya.
Orion tidak sengaja melirik Ares dan mendapatinya sudah siuman. Dia langsung melompat lalu mendekati Ares, melupakan luka di tubuhnya sendiri.
"RES! Lo udah siuman? Syukurlah... Yah, Ares udah sadar, Yah!" sahut Orion bersemangat. Ares mengernyit melihat wajah Orion yg babak belur dan tangannya yg digips.
Ayah bergerak bangun, lalu menatap Ares. Entah apa Ares bermimpi, tapi jelas2 bisa melihat kalau Ayah baru menangis. Ayah. Menangis. Bukan hal yg bisa diimpikan Ares.
"Ri, panggil Ibu sama Reina," perintah Ayah, membuat Orion segera keluar. "Res, kamu udah koma hampir sejam," kata Ayah sambil menahan tangis. "Ayah pikir kamu nggak akan sadar lagi."
Ares tak menjawab. Otaknya dipenuhi pikiran mengharukan bahwa ayahnya tidak marah karna dia habis berkelahi, dan malah menangis.
Seakan belum cukup membuat shock, Ayah mengusap dahi Ares dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, terdengar suara Ibu yg tergopoh-gopoh masuk.
"Ares!!" serunya sambil menghambur ke arah Ares. Air matanya sudah berlinang-linang. "Ya ampun Ares, Ibu sayang banget sama Ares!"
Orion bergabung dengan keluarganya, lalu menatap Ares hangat. "Thanks, Res," kata Orion tulus.
Ares hanya tersenyum lemah menghadapi keluarganya. Diliriknya Reina yg sudah hamper menangis di samping Orion. "Hai," bisik Ares lemah.
Reina tersenyum, lalu mendengus sebal. "Bego," katanya, lalu terkekeh.
Saat ini, Ares merasakan kebahagiaan yg luar biasa. Dia sampai merasa mati pun tidak apa2 kalau bisa mendapatkan perhatian yg selayak ini.
"Anak Bapak mengalami gegar otak," kata dokter Ardi, dokter yg menangani Ares. "Dia sudah mengalami gejala2 vegetatif, pusing dan muntah2. Hal ini wajar saja, berhubung dia sudah mengalami koma selama hampir satu jam dan baru siuman dari operasi beberapa hari setelahnya."
"Apa cukup parah Dok?" tanya Ayah khawatir. "Apa dia bisa sembuh?"
"Begini, Pak. Kemungkinan sembuh itu selalu ada, tetapi mungkin tidak seratus persen. Kita harus melihat perkembangan anak Bapak. Sejauh ini perkembangannya bagus, dia bahkan masih bisa mengingat semuanya dengan baik, tapi kita tidak tahu apa yg akan terjadi selanjutnya. Bapak harus waspada dengan gejala2 lain yg bisa timbul," jelas Dokter Ardi. Ayah dan Ibu saling melirik cemas. Orion bisa melihatnya dari balik bahu mereka.
"Kapan dia bisa pulang, Dok?" tanya Ibu dengan suara gemetar.
"Setelah keadaannya membaik. Mungkin seminggu lagi dia boleh pulang. Tapi saat di rumah nanti, Anda harus melakukan pengawasan. Dia mungkin akan mengalami gangguan bicara, dan mungkin juga gerakan. Lebih utama lagi, dia mungkin akan menjadi lebih sensitif dan ingatannya bisa melemah sejalan dengan waktu. Jadi, lebih baik menjaga perasaannya," kata dokter Ardi lagi. "Bapak dan Ibu harus rajin membawanya check up, terutama kalau dia sudah menunjukkan tanda2 tadi."
Ayah dan Ibu menghela napas secara bersamaan. Mereka sangat mengharapkan keadaan Ares cepat membaik, sehingga dia bisa dapat pulang secepatnya.
Orion juga. Bahkan, tidak ada yg lebih diinginkannya daripada kehadiran kakaknya yg judes di rumah itu sekarang.

Selama tiga minggu Ares berada di rumah sakit, Reina selalu menemaninya. Sesekali Reina membacakan cerita dari buku yg dulu tidak bisa dihabiskan Ares, yg ternyata ditemukan Reina di dalam lemari pakaian Ares.
Ares bukannya membaik. Keadaannya saat ini bahkan jauh lebih menyedihkan daripada saat pertama dibawa ke rumah sakit. Tubuhnya semakin kurus dan wajahnya pucat. Belum lagi Ares sering mengalami kejang secara tiba2, membuat Reina sempat histeris di awal2. Seluruh keluarga sudah mulai pasrah dan menerima kondisi Ares, tapi Reina belum. Reina masih belum bisa melihat Ares menderita seperti ini. Ares yg harusnya bisa dibawa pulang seminggu setelah operasi, akhirnya tetap berada di rumah sakit karna kondisinya yg buruk.
Ares juga tidak bisa bicara normal. Dia sering berbicara gagap, dan tak jarang salah memanggil nama orang2 yg datang menengoknya. Untunglah Reina selalu ada di sisinya, jadi Ares tak pernah salah memanggil namanya.
Reina selalu menangis di tengah malam karna saat dia tertidur, mimpinya selalu sama. Selalu tentang perkelahian siang itu. Reina malah menyaksikan Ares meninggal menggunakan baju putih. Reina jadi takut tidur. Akhir2 ini, dia jadi jarang tidur. Dia sangat takut mimpinya menjadi kenyataan.
"Rei?" bisik Ares lemah di balik tabung oksigennya.
Reina segera menghapus air matanya. "Kenapa Res?" tanya Reina sambil tersenyum.
"Kenapa kamu nangis?" bisik Ares lagi.
"Nggak nangis," Reina memegang tangan Ares yg kurus dan terasa dingin.
"Aku lagi berdoa buat kesembuhan kamu." Ares tidak menjawab Reina. Dia hanya menatap Reina lama. Ares ingin selalu menatap wajah Reina sebelum dia melupakannya. Ares tak mau melupakan Reina. Bukannya Ares tak tahu. Dia sadar, selama beberapa hari ini dia sudah terlalu banyak melupakan apa pun. Ingatannya sudah tak sebaik dulu.
"Janji, Res," Reina meletakkan tangan Ares di pipinya.
"Jangan pernah tinggalin aku." Ares menatap Reina lagi. Dia tidak bisa berjanji. Kepalanya akhir2 ini terasa sangat sakit hingga membuatnya tidak tahan, belum lagi dia sudah sangat sering kejang2. Bukannya Ares tidak mau berjanji -meninggalkan Reina adalah pilihan terakhir yg ingin dibuat Ares- tapi Ares juga tak tahu apa yg akan terjadi kepadanya nanti.
"Rei," bisik Ares lemah. "Kalaupun cuma ada satu lagi doaku yg bisa dikabulin Tuhan, aku mau hidup lebih lama lagi. Karna aku sayang kamu. Karna aku sayang keluargaku." Reina berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya.
"Aku juga sayang sama kamu, Res. Sayang banget," kata Reina. Setetes air mata mengalir dari matanya.
"Rei, jangan nangis. Please. Someday you'll live without me," bisik Ares lagi, lalu terkekeh pelan. "And I'll be watching you from heaven. Only if God trusts me to get there." Reina terdiam dan hanya memelototi Ares yg sudah berhenti terkekeh. Seenaknya Ares bicara bercanda seperti itu di saat2 seperti sekarang ini.
"All you have to know is, I love you. And I will always do, till death do us part." Reina kembali
menangis sambil mengawasi senyum Ares yg perlahan memudar.
"I'll love you even though we're no longer alive. I'll love you more than you know," bisik Reina di telinga Ares, lalu jatuh tertidur di sampingnya.