Monday, November 16, 2015

SUMMER BREEZE - ORIZUKA - BAB 3


Bab 3


I Don't Want Her

ARES mengisap rokoknya dalam2 sampai dadanya terasa sesak, lalu mengembuskannya keras2. Dibenturkannya bagian belakang kepalanya ke pohon sehingga terasa sakit, lalu dia menengadah ke langit.
Tadi, setelah melihat Reina dan Orion bersama di gazebo, Ares segera berjalan kalap keluar rumah tanpa memedulikan teriakan Ayah, lalu akhirnya sampai di tempat ini, taman tempat Ares, Reina, dan Orion berjanji sepuluh tahun lalu. Ares juga tidak tahu mengapa kakinya membawanya ke tempat ini.
Ares berjongkok, bersandar pada pohon yg bertuliskan 'Ares-Rei-Rion', lalu mengisap rokok lagi. Orion. Dia selalu saja mengambil apa pun milik Ares. Ayah dan Ibu. Semua pemberian Ayah dan Ibu. Lala. Juga Reina.
Ares mendengus keras. Reina. Gadis itu bukan milik Ares. Gadis itu mungkin saja sudah menjadi milik Orion. Seperti semuanya, Orion tidak akan melepaskan begitu saja Reina yg pernah menjadi bagian dari hidup Ares.
Masih menjadi bagian dari hidup Ares.
Ares membenturkan kepalanya lagi dengan lebih keras ke pohon untuk menyingkirkan pikirannya barusan. Reina sudah keluar dari hidupnya sejak sepuluh tahun yg lalu, sejak Reina memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Reina sudah tak ada baginya. Saat ini, yg ada di rumahnya hanyalah gadis biasa yg akan menjadi kekasih Orion.
"Ares?"
Ares menundukkan kepala, melihat siapa yg memanggilnya. Sebenarnya, Ares tak perlu melakukannya, karna dia sudah tahu dari suaranya.
Reina. Berdiri tepat di depan Ares dengan kedua tangan di depan dada. Ares mendengus melihat gadis itu, yg lebih terlihat defensif daripada kedinginan.
"Ngapain kamu di sini? Kenapa nggak pulang?" tanya Reina cemas.
"Lo bukan istri gue," jawab Ares spontan, lalu detik berikutnya menyesal telah berkata sesuatu yg akan menjadi fantasinya seumur hidup.
Reina menatap Ares sedih. Ares sekarang sudah tak bisa dikenalinya lagi. Reina mengawasi Ares yg kembali mengisap rokoknya.
"Rokok nggak bagus lho, buat kesehatan," kata Reina.
"Nggak ada yg peduli sama kesehatan gue," tukas Ares. Bahkan Ares sendiri tak peduli pada kesehatannya.
"Aku peduli," kata Reina tiba2, membuat Ares selama beberapa saat merasakan perhatian yg tak pernah didapatkannya. Namun detik berikutnya, Ares mendengus.
"Kayak gue percaya," kata Ares datar.
"Kenapa kamu nggak percaya?" tanya Reina.
Ares memandang Reina tak percaya. "Kenapa gue nggak percaya? Pertanyaan bagus. Akting yg bagus," Ares bangkit dan menghampiri Reina, lalu melewatinya.
"Res," Reina memegang tangan Ares. Darah Ares berdesir, dan detak jantungnya mengalami percepatan gila-gilaan. "Aku peduli sama kamu."
"Simpen perhatian lo buat Orion," sergah Ares. "Gue udah terbiasa nggak dikasih perhatian." Saat Ares melangkah menjauh, Reina merasa sesak napas. Reina tidak mau Ares pergi. Reina sudah menunggu saat yg tepat untuk berdua saja dengan Ares.
"Apa kamu udah ngelupain aku?" sahut Reina membuat langkah Ares terhenti. "Aku harus denger dari mulut kamu sendiri. Aku nggak percaya sama orang lain! Aku percaya sama kamu!"
Pasti Orion yg sudah memberitahu Reina bahwa Ares sudah melupakan Reina.
"Orion bener. Gue udah ngelupain lo. Lo pikir, gue bakal inget lo terus selama sepuluh taun? Kayak lo pantes diinget aja," Ares mengirup rokoknya dengan emosi.
Reina hampir menangis. "Kenapa, Res? Kenapa kamu berhenti inget sama aku? Kenapa? Aku selalu inget sama kamu! Aku nggak pernah berhenti mengharapkan hari itu tiba!" sahutnya parau.
"Hari itu tiba? Hari itu udah lewat, Rei, hampir setengah taun! Lo pikir, pue mau nungguin lo
sampe tua? Yg bener aja! Dan lo selama sepuluh taun inget sama gue? Lo pikir gue bego?" sahut Ares tak sabar. Kepalanya terasa sangat sakit.
"Res, aku nggak bohong!" sahut Reina, sekarang air matanya sudah mengalir.
Ares membuang rokoknya. "Oh, jadi gue yg bohong? Jadi, lo selama sepuluh taun ini ngirim surat? Nelepon? Ngasih alamat lo di sana? Ngasih kabar kalo lo masih idup, hah, iya??" Reina menangis tersedu-sedu. Ares menatapnya sebal, lalu menginjak puntung rokok hingga nyalanya padam.
"Lo tau, lo seharusnya nggak usah dateng lagi ke sini," kata Ares sebelum berbalik dan meninggalkan Reina yg masih terisak.
Reina merasa lututnya bergetar dan tak kuat lagi menyangganya. Dia terduduk di lapangan basket yg dingin sambil terus terisak.
Mungkin memang sebaiknya dia tak datang lagi ke sini.
"Mau ke mana kamu?" jerit Ayah begitu Ares memasuki rumah. Jarum jam baru saja bergerak ke pukul sembilan malam.
"Ke kamar," jawab Ares ketus sambil bergerak cepat menuju kamarnya. "Seharusnya kamu nggak usah pulang!" sahut ayahnya lagi. "Sana tidur di luar!"
"OKE!" Ares balas menyahut dari dalam kamar. Dia memasukkan beberapa pakaian dan buku ke ranselnya, lalu keluar kamar dan berderap menuju pintu.
"HEH? Anak nakal!! Mau ke mana lagi kamu?" Ayah terdengar semakin berang karna Ares malah menurutinya.
"Katanya tidur di luar! Aku jabanin!" Ares membanting pintu, lalu menghilang di kegelapan malam.
"Anak kurang ajar!" sahut Ayah yg langsung ditenangkan oleh Ibu. Ibu melirik cemas ke arah Orion. "Ri, Reina mana?"
"Tadi sih katanya mau ke kamar," kata Orion lalu memeriksa kamar Ares. Tak ada siapa pun.
Orion bergerak ke arah kamar mandi, tetapi juga kosong.
Menyadari ada hal yg tidak beres, Orion segera menyambar jaketnya dan berlari ke luar rumah, menyusuri jalan kompleksnya. Langkah Orion terhenti di depan taman. Reina tampak sedang terduduk di lapangan basket sambil terisak.
Dada Orion mendadak terasa sakit. Dengan langkah cepat Orion mendekati Reina, melepas jaketnya, lalu meletakkannya di atas tubuh Reina yg berguncang.
Mendadak, Reina bergeming. Dia tahu itu Orion, wakaupun dia belum melihatnya. Ares tidak akan melakukan hal seperti ini.
Orion sendiri duduk di depan Reina, lalu mengusap-usap pelan kepalanya. Orion tahu ini perbuatan Ares. Pasti Ares telah mengatakan sesuatu yg menyakiti hati Reina.
Sesuatu tentang melupakannya.
Ares belum pulang semenjak kejadian semalam. Reina menatap ke luar jendela depan, berharap sosok Ares akan muncul dari balik pagar. Tapi Ares tak kunjung datang.
"Jangan khawatir, Rei," hibur Tante Risa. "Ares pasti pulang. Dia sering kabur kalo lagi banyak masalah."
Reina hanya mengangguk sambil tersenyum miris, tapi tidak beranjak dari tempatnya semula. Matanya masih menatap ke luar jendela.
Sementara itu, Orion mengawasinya dari meja makan, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ares. Ares bahkan kabur dari rumah saat Reina sudah susah2 datang dari Amerika. Orion mendesah, lalu melangkah menuju Reina.
Orion menepuk pundak Reina pelan. "Rei, ngelamun mulu."
Reina memaksakan senyum, dan itu membuat Orion sedikit sakit hati.
"Kita jalan yuk? Biar nggak bosen. Masa dari Amerika ke sini kerjaannya di rumah mulu," kata Orion.
Reina tampak menimbang-nimbang sebentar, lalu akhirnya menoleh ke arah Orion. "Boleh."
"Ini tempat nongkrong anak2 gaul Jakarta," kata Orion begitu mereka masuk ke salah satu mal terkenal di Jakarta.
Reina memandang mal itu tanpa minat. Sebenarnya, Reina lebih mengharapkan tempat2 yg lebih nyaman seperti cafe.
"Ri," Reina mencegah Orion memasuki mal itu. "Kita ke kampus kamu aja, yuk?" "Kampusku? Ngapain?" tanya Orion bingung.
"Ya, aku pengen liat aja kayak apa tempat kamu sama Ares kuliah," kata Reina dengan wajah memohon. "Ya?"
"Ya deh," Orion akhirnya mengalah. "Apa sih yg nggak buat sang ratu?" godanya sambil mengetok kepala Reina.
"Asyik!" seru Reina senang. Dengan demikian dia bisa mengetahui tempat Ares kuliah, dan dia berharap Ares ada di sana.
"Nih, kampusku," kata Orion setelah akhirnya sampai.
"Wah, gede juga ya," komentar Reina, sambil mengagumi beberapa bangunan yg tampak menjulang ke langit dan taman besar dengan lapangan basket luas di tengahnya.
"Ayo, kita jalan2," ajak Orion sambil menggandeng Reina.
Sesekali Orion melirik Reina ketika semua orang menatap mereka. Reina sangat cantik dibandingkan dengan semua gadis di kampus ini, dan Orion bangga karnanya.
"Orion!" sahut seseorang, membuat Orion dan Reina menoleh.
Lala berlari-lari kecil ke arah mereka, raut wajahnya yg tadinya ceria berubah bingung saat melihat Reina. Orion yg belum melepaskan pegangan dari Reina membuat dahi Lala berkerut. "Hai, La," sapa Orion santai.
"Hai," balas Lala dingin, lalu melirik Reina yg tersenyum kepadanya. "Hai," sapa Lala kepada Reina.
"Halo," Reina mengulurkan tangannya yg segera disambut Lala. "Reina, temen Orion sama
Ares."
"Lala," Lala mengerling Orion. "Temen Orion sama Ares? Kok gue nggak pernah liat?" "Oh, temen waktu kecil," kata Reina lagi.
"Oh," Lala sekarang melirik tangan kiri Reina yg masih digenggam Orion.
"Ng... Lala liat Ares, nggak?" tanya Reina, membuat ekspresi Lala menjadi curiga.
"Liat sih tadi. Emang kenapa?" tanya Lala.
"Dia kuliah?" sahut Reina, hampir berteriak karna terlalu senang. "Trus dia ke mana?"
"Mana gue tau?" Suara Lala tiba2 terdengar ketus, "Gue duluan ya, ada kelas. Dah," katanya sambil bergegas pergi.
Masih bahagia karna kabar dari Lala, Reina tersenyum lebar. Orion melepaskan genggamannya dengan sedikit menyentak. Reina menoleh ke arah Orion.
"Aku tau sekarang kenapa kamu ngajak aku ke kampus," Orion berkata dingin.
Reina menatap Orion dengan perasaan bersalah. "Ri, Ares udah nggak pulang dari tadi malem. Apa kamu nggak khawatir?"
"Kamu nggak perlu khawatir, dia tuh udah gede! Bisa jaga diri! Lagian siapa sih yg mau cari gara2 sama dia? Dia tuh preman kampus ini!" sahut Orion, mulai emosi.
Reina terdiam beberapa saat. Sadar kalau dia barusan lepas kendali, Orion menarik napas panjang dan menghelanya.
"Sori, tadi aku kelepasan," sesal Orion. "Rei, kamu nggak usah cemas soal dia, oke? Dia pernah kok nggak pulang sampe tiga hari, dan pulangnya dia baik2 aja. Jadi kamu tenang aja, oke?"
Reina menatap Orion tidak yakin, tapi akhirnya mengangguk. Ares memang jago berkelahi. Pasti tidak akan terjadi apa2 padanya. Tapi bagaimana kalau dia mencelakakan dirinya sendiri? Semalam Ares pergi dengan kemarahan, bukan tidak mungkin dia akan melakukan hal2 bodoh. "Orion!" seru Odi dari kejauhan. Dia berlari menuju Orion dan Reina.
"Kenapa, Di?" tanya Orion.
"Kenapa? Latihan, Ri!" sahut Odi setelah memutar bola mata. "Tadi si Raul udah kegirangan pas tau lo mau diganti! Lo harus ngelakuin sesuatu!"
"Di, santai aja. Kemaren kan gue udah bilang gue nggak keberatan," kata Orion sambil memberi isyarat tentang kehadiran gadis di sebelahnya dengan matanya.
Odi melirik Reina yg tampak sedikit bingung.
"Tapi Ri, lo bisa kehilangan posisi itu selamanya! Reno kecewa berat karna lo tiba2 ngundurin diri," desak Odi membuat Orion terdiam selama beberapa detik, memikirkan wajah pelatihnya yg galak itu.
"Ada apaan sih Ri?" tanya Reina akhirnya.
"Aku bolos latihan supaya bisa nemenin kamu selama kamu ada di sini, Rei. Kapan lagi sih kamu ke sini," jelas Orion, membuat Reina mengangakan mulutnya.
"Kamu ngapain pake bolos2 segala? Bodoh! Kamu latihan aja!" sahut Reina sambil mendorong tubuh Orion yg besar. "Ayo sana, latihan! Ntar kamu kehilangan kesempatan!"
"Trus kamu? Aku bakal kehilangan banyak waktu sama kamu kalo aku ikut latihan sama turnamen!" sahut Orion tidak rela.
"Aku temenin deh pas kamu latihan sama turnamen!" sahut Reina. Mata Orion segera berbinar. "Wah, serius kamu? Janji?"
"Iya! Udah sana! Dasar manja," kata Reina sambil tersenyum, lalu mengikuti langkah Orion menuju lapangan basket.
Ares mengisap rokoknya dalam2 sambil mengangguk-anggukkan kepala menurut irama lagu B.Y.O.B milik System of a Down. Saat ini dia sedang berada di atap gedung kampus utama, tempat yg sebenarnya terlarang bagi mahasiswa, tapi Ares menganggap dirinya penemu tempat itu. Dari sini, terlihat taman belakang kampus yg luas dengan sebuah kolam besar beserta beberapa gedung perkuliahan lain.
Ares mengembuskan asap rokok dan berusaha membentuk lingkaran2 kecil dengannya. Ares menatap cincin2 asap itu yg langsung hilang dan menyatu dengan angin. Musim kemarau ini, angin bertiup cukup kencang, cukup kencang untuk menggoyangkan rambut ikal setengkuk Ares ke sana kemari.
Ares kembali mengisap rokoknya, mematikan CD player-nya, lalu mengubah posisi duduknya untuk memandang taman belakang kampus yg luas. Dari sini, Ares sering mendapati Orion sedang berlatih basket di lapangan basket di tengah taman itu.
Mendadak Ares berhenti mengisap saat melihat sesuatu yg tidak ingin dilihatnya.
Reina. Duduk di bangku penonton, menyaksikan Orion yg sedang berlatih dengan wajah ceria. Kadang2 Reina bersorak saat Orion berhasil memasukkan bola. Ares mengawasi mereka dengan pandangan jijik.
Ares tak tahu apa yg menyebabkannya tidak cepat2 pergi dan malah mengawasi mereka.
Mungkin karna Ares ingin memandang Reina lebih lama tanpa disadari siapa pun.
Semuanya sudah benar2 berubah. Keadaan sudah tak seperti dulu lagi. Dulu, saat Ares harus menerima segala ketidakadilan, Reina-lah satu-satunya kekuatan yg dia punya. Saat Reina pergi, Ares kehilangan semuanya. Sekarang, saat Reina kembali, kekuatan itu malah berbalik menyerangnya dengan selalu memilih orang yg dari lahir sudah dibencinya. Awal dari segala ketidakadilan itu. Orion.
Ares tidak bertanya-tanya mengapa Reina memilih Orion. Orion jelas lebih segalanya dari Ares.
Orion hampir tanpa cela. Orion nyaris sempurna. Ares terlihat sangat buruk bila disandingkan dengan Orion. Dan gadis seperti Reina tidak mempunyai alasan untuk tidak bersama orang seperti Orion.
Ares tidak berharap apa pun. Ares tidak biasa berharap. Ares sudah berhenti berharap. Dia pernah melakukannya beberapa kali saat masih kecil, tapi harapan itu tidak pernah terjadi. Ares pernah berharap Ayah dan Ibu datang saat pengambilan rapor, tapi mereka berdua tidak datang karna harus menghadiri pengambilan rapor Orion yg menjadi juara kelas selama hidupnya. Ares pernah berharap pergi sekeluarga ke Dufan saat libur kenaikan kelas, tapi Ayah dan Ibu terlalu sibuk mengajak Orion berjalan-jalan, sementara Ares ditinggal di rumah karna tidak bisa menghabiskan buku bacaan yg disuruh Ayah.
Ares suah tidak tahu lagi bagaimana caranya berharap. Karna itu, dia tidak mau mengharapkan apa pun lagi dari seorang Reina, apalagi berusaha untuk merebutnya dari tangan Orion. Di mata Ares, Reina juga merupakan seorang pengkhianat. Dan Ares tidak memercayai siapa pun lagi. Reina bersorak lagi saat Orion berhasil mencetak angka, membuat Ares tersadar dari lamunannya. Orion berlari menuju Reina dengan cengiran bangga, berhenti di depannya, lalu Reina mengacak rambutnya seolah Orion seekor anak anjing yg berhasil menangkap frisbee.
Res, aku peduli sama kamu! Kata-kata Reina terngiang di telinga Ares, membuat Ares mendengus keras. Peduli apanya? Ares bangkit dengan gerakan menyentak, lalu segera pergi dari tempat itu.
"Res, bagi rokok dong."
Ares mengeluarkan kotak rokoknya, lalu melemparkannya kepada Dipo -teman satu band-nya- yg menangkapnya dengan gesit. Sementara itu, Wanda, anggota band-nya yg lain, mengamatinya dari pojok ruangan. Saat ini, mereka sedang berada di gudang rumah Wanda yg dijadikan markas band mereka.
"Res, lo kabur lagi?" tanya Wanda.
Ares hanya mengangguk sambil memetik gitarnya.
"Kayaknya masalah lo cukup gawat. Emang apaan sih?" tanya Dipo.
"Nggak usah ikut campur," kata Ares datar sambil bangkit. "Ayo, kita berangkat ke kelab. Ntar telat gak dapet bayaran, lagi."
Dipo dan Wanda berpandangan sebentar, mengedikkan bahu, lalu mengikuti Ares.

Reina menatap ke luar jendela. Ares masih belum pulang walaupun hari sudah larut. Reina melirik jam tangannya dengan gelisah. Pukul sepuluh malam.
"Rei, nggak usah sekhawatir itu," kata Orion, lalu menguap. "Paling dia lagi manggung." Reina menatap Orion ingin tahu, tapi segera mengubah ekspresinya agar Orion tidak curiga. "Oh," kata Reina seolah tak peduli. "Emangnya suka manggung di mana?"
"Di The Club, kali. Itu kelabnya orang2 katro," Orion kembali menguap, tak menyadari Reina mengangguk-angguk. "Rei, tidur sana. Udah malem."
"Iya deh," kata Reina, lalu melangkah riang ke dalam kamar Ares.
Setelah berada di dalam kamar, Reina segera mengunci pintunya, lalu melangkah cepat menuju kopernya dan mengeluarkan baju2 andalannya. Setelah menemukan sebuah setelan cantik, Reina mengenakannya dan memoles wajahnya dengan make up tipis. Reina kemudian membuka jendela kamar Ares dan tersenyum simpul.
Memang jendela khas anak nakal yg sering kabur. Jendela kamar Ares terbuka lebar tanpa memiliki teralis. Reina dengan mudah melompat keluar, lalu dengan langkah berjingkat, dia bergerak menuju pagar dan melompatinya.
Reina menelepon penerangan, meminta nomor telepon taksi. Setelah berhasil memesan taksi, dia menunggu di kegelapan. Angin malam yg berembus membuat Reina merasa bulu kuduknya berdiri. Dia tak pernah melakukan hal yg menegangkan seperti ini, tapi dia melakukannya demi Ares.
Tak lama taksinya datang, dan Reina bergegas masuk.
"The Club ya Pak," kata Reina, dan taksi pun bergerak maju.
"Makasih, Pak," kata Reina setelah memberi uang kepada sopir taksi.
Reina menoleh ke belakang dan mendapati sebuah kelab malam yg ramai pengunjung dengan papan nama besar 'The Club'. Walaupun demikian, kelab ini tidak seperti kelab2 mewah seperti yg sering Reina liat di serial TV Amerika, tapi lebih seperti kelab untuk kalangan menengah ke bawah mencari hiburan. Reina sempat bimbang apa kelab ini yg dimaksud Orion.
Reina melangkahkan kaki ke pintu kelab yg dijaga seorang laki2 bertubuh besar. Sebuah tangan tahu2 menjawil lengan Reina. "God!" seru Reina kaget.
Reina mendelik ke arah segerombolan preman yg kira2 seusianya. Anak2 itu menatap balik Reina dengan tatapan bernafsu. Reina bergidik sebentar, lalu berlari menuju penjaga pintu. "ID," kata penjaga itu dengan suara berat.
Reina menyerahkan pengenalnya yg berupa kartu pengenal penduduk Amerika Serikat. Penjaga itu mengernyit sebentar, lalu memindai Reina. Detik berikutnya, dia mengedikkan kepala yg artinya membolehkan Reina masuk.
Reina memasuki tempat itu dengan riang, kepalanya dipenuhi pikiran2 bahagia karna akhirnya akan bertemu dengan Ares. Dia kemudian mengambil tempat di depan meja bar. Kelab ini penuh sekali.
"Ya, berikutnya, kita akan ber-headbanging bersama The Forsaken!!" seru sang MC, membuat Reina menoleh ke arah panggung.
Ares tampak bergerak ke atas ke panggung tanpa ekspresi sementara semua orang bersorak riuh. Reina tiba2 paham. Kelab ini ternyata tempat berkumpul para pecinta rock. Hampir semua orang yg ada di sini berdandan ala punk dan rock star, sementara Reina mengenakan sebuah blus berenda dan rok mini yg juga berenda. Pantas dari tadi ada saja yg terus memerhatikannya. Walaupun demikian, Reina ikut bersorak saat Ares bergerak menuju mikrofon. Ares menarik napasnya sebentar, lalu mengembuskannya sambil menyapukan pandangan ke arah kerumunan di depan panggung.
Detik berikutnya, dia tersentak.
Reina. Ada di depan meja bar, tepat di depannya. Ares memejamkan matanya -berharap ini sekadar ilusi- tapi gadis itu masih ada di sana saat dia kembali membuka mata, sangat kentara dengan baju warna pink-nya. Reina melambai ke arah Ares.
Selama beberapa detik, Ares serasa mati rasa, sampai Dipo menyenggolnya. "Res, ngapain lo?" bisiknya.
Ares tersadar, lalu sekali lagi menarik napas panjang. Ares akan bersikap seolah tidak ada siapa pun di depannya. Tidak ada Reina. Sama seperti malam2 sebelumnya.
Tapi... sedang apa dia di sini?
"Res!" bisik Dipo lagi, dan Ares tau dia harus memulai pertunjukannya.
"Oke," kata Ares dengan suara berat khas perokok-nya. "Selamat malam. Malam ini, The Forsaken bakal ngebawain lagu baru, dan lagu ini agak slow. Buat yg mau head banging, sori mengecewakan." Perkataan Ares disambut keluhan bercanda dari berbagai pihak. "Judulnya, I Don't Want Her."
Penonton bersorak riuh dan mulai menyalakan korek masing2 saat lampu diredupkan. Reina sampai menganga. Dia tidak menyangka band Ares bisa sehebat ini, membuat orang2 mau saja mengikuti musiknya. Ternyata The Forsaken sudah memiliki fans tetap. Reina ingin ikut memberikan cahaya, tapi dia tidak mempunyai korek api.

"Ten years ago, there was a girl
She was bright like a star in the sky,
She gave me strength, gave me hopes We had a promise to be
Always together
But then she went away
Far, far away, without a trace
I've been waiting for her everyday Dreaming of her every night Picturing her face"

Reina merasakan air matanya mengalir saat mendengar Ares bernyanyi. Suara Ares memang tidak begitu bagus, tapi bukan itu yg Reina permasalahkan. Lagu ini adalah lagu untuk Reina, Reina tahu betul itu.
Ares menatap Reina lurus2 selama menyanyikan lagu itu. Dia tidak punya pilihan lain. Ares tidak menyangka Reina akan datang. Ares juga tidak menyiapkan lagu lain.

"Now she comes, and I don't want her
She's so fine and all that, but that don't impress me
She said she'd come back but she never came
Now she returns, but I don't want her"

Reina menangis lebih keras. Lagu ini diciptakan Ares. Pasti lagu ini diciptakan berdasarkan perasaannya.

"She's staring at me and sayin'
'I care about you, I really do'
but that doesn't work to my frozen heart
She made it that way, she broke it once
And now, I don't want her anymore"

Ares menyudahi lagunya, dengan permainan gitarnya yg mengagumkan. Ares berusaha keras untuk bermain gitar, padahal dulu Ares ingat betapa susahnya menghapal semua kunci dan chord.
Semua orang bertepuk tangan riuh begitu Ares selesai membawakan lagu. Ares menunduk untuk memberi penghormatan atas apresiasi para penontonnya, lalu turun dari panggung dan berderap menuju Reina.
Reina sendiri sudah berhenti menangis, tapi masih menggigit bibirnya. Dia menatap Ares yg sekarang sudah berdiri tepat di depannya dengan ekspresi marah.
"Ngapain lo? Sama siapa lo ke sini? Dari mana lo tau gue di sini?" cecar Ares emosi.
Reina tidak langsung menjawab. Dia menatap Ares lama. "Res," katanya lirih. "Apa bener? Apa bener kamu udah nggak menginginkan aku lagi?"
Ares menatap Reina sejenak, lalu membuang pandangannya. "Lo denger sendiri lagunya," kata
Ares dingin. "Sekarang, jawab pertanyaan gue. Gimana lo bisa sampe sini?"
"Res, aku nggak ada maksud nggak ngasih kamu kabar!" sahut Reina, tangisnya kembali pecah, membuat beberapa pengunjung menoleh.
"Jadi?" tanya Ares. Dalam hatinya, dia sangat ingin mendengarkan penjelasan Reina. Secuil sinar harapan tiba2 muncul di dalam hatinya yg gelap.
Reina tidak menjawab walaupun ingin. Air matanya terus mengalir tanpa bisa dikendalikan. Ares segera tahu Reina sebenarnya tak ingin memberikan penjelasan apa pun.
"Lo tau," kata Ares sambil memandang tajam Reina yg masih terisak. "Persetan dengan ini semua. Lo nggak harus kasih penjelasan apa pun."
Ares beranjak pergi, tapi Reina menahannya. Darah Ares kembali berdesir saat tangan Reina menyentuh tangannya.
"Res, ayo pulang," kata Reina di tengah isakannya.
Ares memicing Reina. Gadis ini jelas tak paham dengan kata2 Ares barusan.
"Gue ada kerjaan. Gue balik kalo gue mau balik," Ares menepis tangan Reina. "Lo pulang aja sendiri."
"Res, ini bukan tempat yg cocok buat kamu," Reina memerhatikan beberapa laki2 yg sedang merepet karna mabuk.
"O ya?" sergah Ares. "Trus di mana tempat yg cocok buat gue, hah? Di rumah?" Tawa Ares membahana, membuat Reina bingung. Ares mendekati Reina dan memandangnya tepat di mata. "Lo denger ya. Ini satu-satunya tempat yg cocok buat brengsek kayak gue. Lo yg nggak cocok di sini."
Reina membalas tatapan Ares dengan berani. "Kamu pikir aku nggak bisa kayak mereka?" tanya
Reina marah. "Mas, bir-nya segelas."
Ares melongo melihat Reina yg tiba2 memesan bir. Sebelum bir itu sampai di tangan Reina, Ares sudah meraih tangannya dan menariknya ke luar kelab. Reina mengikuti Ares dengan segumpal harapan bahwa Ares akan pulang.
Ares membawa Reina ke pelataran parkir, lalu melepaskannya di depan sebuah boks telepon umum. Ares mengeluarkan uang receh, lalu menelepon taksi. Reina secepat mungkin memutuskan pembicaraan Ares.
"Ngapain sih lo?" tanya Ares kesal.
"Kamu yg ngapain? Siapa yg bilang aku mau pulang?" tanya Reina.
"Lo harus pulang," Ares kembali memasukkan uang receh, dan Reina lagi2 menggagalkan usahanya.
Ares menarik napas panjang, mengembuskannya, lalu melangkah ke luar boks telepon. Dia mengeluarkan rokok, menyalakannya, lalu mengisapnya dalam2 supaya tidak terbawa emosi. Reina memerhatikannya lekat2.
"Rokok nggak baik buat kesehatan, Res." Reina mengulang apa yg pernah dikatakannya di taman.
Ares meliriknya sebal. "Nggak usah pake nentuin apa yg terbaik buat gue. Lo bukan siapa2."
Reina menatap Ares yg asyik mengisap rokoknya sambil bersandar ke kap sebuah mobil. Ares terlihat seperti seorang anak yg sangat kesepian dan butuh perhatian. Reina ingin sekali memeluknya. Reina berjalan mantap mendekati Ares.
"Kamu kesepian," kata Reina.
Ares menatap Reina tajam. "Bener. Lo bener. Seumur hidup gue, gue kesepian. Jadi sekarang lo nggak usah berusaha keras mengubah sejarah itu."
Reina terdiam tapi tetap membalas tatapan Ares yg hanya berjarak setengah meter darinya.
Ares kembali mengembuskan asap rokoknya, sengaja mengarahkannya ke wajah Reina. Reina segera saja terbatuk, tapi Reina berusaha menyembunyikannya.
Kesal, Reina mencabut rokok yg sedang dipegang Ares, lalu membuangnya ke aspal. Ares bengong sesaat, lalu memutuskan untuk tidak peduli dan menyalakan sebatang lagi. Reina dengan sigap membuangnya lagi. Begitu terus sebanyak empat kali. Saat Reina membuang rokok keempatnya, Ares tak mengeluarkan rokok lagi.
"Lo apaan sih?! Semua gue beli pake duit, tau!" sahut Ares kesal.
"Ya, trus kamu bakarin semua," tukas Reina.
Ares tak berkomentar. Dia hanya memandang Reina sebal sebentar, lalu kembali menyalakan rokok, tak mengacuhkan tatapan Reina yg menajam.
"Jangan ngerokok lagi," kata Reina setengah memohon.
"Kalo nggak?" tantang Ares sambil bermaksud mengisap rokok yg sudah nyala.
Reina menatap Ares dengan mata berkilat-kilat, lalu dengan nekat menyambar rokok Ares. Tapi, dia tidak membuangnya. Reina mematikan rokok itu dengan menggenggamnya. Ares terbelalak melihat tindakan Reina. Reina meringis saat rokok itu membakar telapak tangannya.
Telapak itu terbakar kehitaman. Ares segera membuang puntung rokoknya yg tadi digenggam gadis itu, lalu meniup tangan Reina yg melepuh. Reina malah tersenyum melihat sikap Ares. Menyadari ekspresi Reina, Ares menatapnya sebentar, lalu berhenti meniup.
"Lo gila," keluh Ares, lalu menggandeng Reina menuju kelab untuk mencari obat-obatan.
Reina berjalan di belakang Ares tanpa berhenti tersenyum. "Susah juga ya ngedapetin perhatian kamu," katanya jenaka. "Aku harus menderita dulu."
Ares tidak menjawab.

"Welcome home," kata Reina riang setelah mereka sampai di depan rumah.
Tadi Reina telah meyakinkan Ares untuk kembali ke rumah setelah mengancam untuk naik ke atas meja bar dan menari kalau Ares tidak mau pulang. Ares tidak punya pilihan lain selain menurutinya.
Ares meloncati pagar rumahnya, tapi tidak berusaha membantu Reina. Reina cemberut sebentar, lalu ikut memanjat pagar. Ares membuka jendela kamarnya yg gelap dan memanjatnya. Mendadak, lampu kamar dinyalakan saat Ares baru masuk. Ayah, Ibu, dan Orion ternyata sudah menunggu di sana dengan ekspresi yg tak dapat ditebak.
Ares membatu saat melihat mereka. Detik berikutnya, Reina melemparkan tasnya ke dalam
kamar lalu ikut memanjat jendela. Ares merasa sebentar lagi hidupnya pasti berakhir.
Reina berhasil memanjat jendela, tapi langsung tersentak saat melihat kedua orangtua Ares dan
Orion. Reina buru2 melirik Ares yg sedang menatap nanar keluarganya. "Ares ke kamar Ayah sekarang. Ayah mau bicara," kata Ayah dingin.
Ares langsung tahu apa yg akan terjadi selanjutnya. Dulu, Ares pernah dihajar habis-habisan saat Orion tidak sengaja tercebur ke selokan dan kepalanya terbentur. Itu hanya hukuman karna

Ares dianggap telah lalai menjaga adiknya. Sekarang, Ares pasrah jika dianggap membawa kabur seorang gadis di tengah malam.
Jadi, Ares bergerak mengikuti Ayah. Reina berusaha menahan Ares dengan meraih tangannya - yg langsung ditepis.
"Om, Ares nggak salah!" seru Reina, hampir menangis. "Reina, kamu tidur saja," kata Ayah terdengar lelah.
Ares mendahului Ayah memasuki kamarnya. Ares segera meneguk ludah, ingat kalau dia memiliki banyak kenangan pahit di kamar ini. Ares pernah dipukul dengan sapu lidi. Dia juga pernah dilecut dengan ikat pinggang.
Belum selesai Ares mengingat semua kenangannya, Ares merasakan tamparan keras pada pipi kirinya. Lalu pipi kanannya. Ares tidak berusaha melawan walaupun hatinya teramat ingin. Ares sudah terlalu terbiasa disalahkan atas sesuatu yg tidak diperbuatnya.
"DASAR KAMU MEMANG ANAK KURANG AJAR!" sahut Ayah dengan volume yg membuat telinga Ares berdenging. "BERANI-BERANINYA NGAJAK REINA KABUR!!"
Ares menatap Ayah berani. Wajah Ayah sudah memerah karna marah. Entah mengapa Ares tidak bisa membalas jika melihatnya. Ayah sudah tua. Ayah yg disayanginya. Dulu, disayanginya. Sebelum dia mulai menarik diri.
Pipi kiri Ares ditampar lagi, kali ini cukup keras sampai membuat bibir Ares robek dan gusinya berdarah. Ares menatap Ayah yg sudah terengah-engah. Ayah punya penyakit jantung.
"Apa nggak capek kamu bikin Ayah marah, Res?" tanya Ayah setelah emosinya mereda. "Udah, sana keluar," perintah Ayah tanpa menunggu jawaban Ares. "Ayah nggak pengen denger kamu bikin masalah apa pun lagi."
Ares melangkah keluar dari kamar dengan darah menggelegak di kepalanya. Reina ada di ruang keluarga, begitu pula Ibu dan Orion. Reina langsung menekap mulutnya sendiri saat melihat Ares. Ibu juga terlihat khawatir, tapi Ibu tak pernah melakukan apa pun dan cuma meremas- remas tangannya sendiri.
"Res, kamu baik2 aja?" Reina menghamphri Ares. "Sini aku bersihin-"
Tangan Reina sudah dipegang oleh Orion sebelum sempat sampai ke wajah Ares. Reina menoleh kepadanya.
"Masuk kamar, Rei. Udah malem. Kamu harus tidur," Orion menggiringnya ke kamar Ares. Reina hanya bisa mengikutinya tanpa mengalihkan pandangannya dari Ares.
Orion menatap Ares benci setelah Reina masuk ke kamar, lalu masuk ke kamarnya sendiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah Orion menghilang, Ares bergerak menuju sofa -yg sudah beberapa hari ini menjadi tempat tidurnya. Dia duduk di sebelah Ibu yg terlihat salah tingkah. Mendadak, Ibu bangkit. "Tidur ya, Res," katanya, lalu masuk ke kamarnya tanpa melihat Ares.
Ares merebahkan dirinya ke sofa, lalu seketika semua lukanya terasa sangat menyakitkan. Luka2 saat kecil, luka2 saat remaja, luka2 yg baru saja berbekas, semuanya mendadak terasa oleh Ares.
Pipinya yg berdenyut terasa hangat karna air matanya. Ares tak berusaha menghapusnya. Semakin banyak air mata yg keluar. Yg bisa Ares lakukan hanyalah membiarkannya.
Ares terbangun sangat siang keesokan harinya. Semua keluarganya sudah sibuk dengan aktivitasnya masing2, begitu pula Reina. Begitu Ares membuka mata dan melemparkan pandangan ke arah meja makan, Ares menangkap Reina sedang memerhatikannya. Ternyata sudah waktunya makan siang.
"Makan siang, Res," kata Ibu. "Tapi lukanya dibersihin dulu."
Ares merasa tidak berselera untuk makan. Dia masih merasakan darah di mulutnya. Tapi Ares akhirnya bangkit untuk mencuci mukanya dan membersihkan lukanya. Setelah itu, Ares bergabung dengan semua orang di meja makan. Ares tidak berusaha melihat Reina. Sebenarnya, Ares berusaha untuk tidak melihat siapa pun dan berkonsentrasi pada piringnya. Semua orang sepertinya bersikap tak pernah terjadi apa pun.
Makan siang berjalan begitu tenang. Tak seorang pun ingin membuka pembicaraan. Ares yg pertama kali menyudahi makannya, bergerak ke gazebo untuk menjauhkan diri dari semua anggota keluarganya.
Baru beberapa menit Ares menatap taman, Reina muncul. Ares sedang sangat tak ingin bertemu dengannya, terutama setelah semalam Ares dihabisi karna dirinya. Tampak tak menyadari itu, Reina mengambil tempat duduk di depan Ares. Ares harus mengalihkan pandangannya ke arah kolam renang.
"Res, aku udah cerita yg sebenernya sama mereka," kata Reina. "Dan mereka percaya sama aku."
Ares mengangguk-anggukkan kepala. "Mereka percaya lo tapi nggak kasih kesempatan buat gue cerita," gumam Ares, tak tampak kecewa. "Dan siapa pun terlalu gengsi untuk minta maaf." Reina tampak serba salah setelah Ares mengatakannya. Ares melirik Reina sebentar. "Lo nggak perlu ngerasa bersalah. Gue udah terlalu terbiasa sama itu semua."
"Res, aku minta maaf," sesal Reina. "Gara2 aku-"
"Bukan gara2 lo," sambar Ares cepat. "Nggak ada lo juga, ini selalu terjadi. Lo cuma ada di tempat dan waku yg salah."
Reina mengamati sosok yg terlihat tegar itu. Ares sebenarnya menderita. Reina bisa merasakan itu.
"Res, aku mau ngebantu kamu," kata Reina sungguh2.
"Gue baik2 aja," sergah Ares sambil mengernyitkan dahi.
"Bohong," kata Reina tegas. "Kamu sebenarnya sangat butuh bantuan. Aku mau bantu kamu." "Lo ngomong apa sih, Rei? Gue nggak butuh bantuan apa pun, apalagi dari seseorang yg nggak berarti buat gue," sahut Ares ketus lalu meninggalkan Reina.
"Res, gue mau ngomong."
Ares menoleh ke arah Orion yg menyambutnya di pintu, lalu bersikap seolah menunggu Orion berbicara.
"Nggak di sini," kata Orion lagi, lalu berjalan ke pintu depan menuju teras. Ares mengikutinya. "Apaan?" tanya Ares yg berjalan di belakang Orion.
Mendadak, Orion berbalik dan dengan secepat kilat meninju wajah Ares. Ares yg tak sempat mengelak terhuyung ke belakang, lalu bergerak dengan buas ke arah Orion. Ares sudah mengunggu begitu lama untuk melakukannya, sekarang kesempatan itu datang. Kesempatan untuk menghajar Orion.
Ares menarik kaus Orion, lalu meninju perutnya. Orion tak pernah bisa berkelahi dengan Ares.
Orion tidak sekuat Ares. Setelah meninju perut Orion, Ares meninju wajahnya. Ares terengah-engah menyaksikan Orion terjatuh. Orion menatap Ares sengit.
"Kenapa lo, banci?" sahut Ares sambil menyeka darahnya dengan punggung tangan, lebih karna luka semalam terbuka lagi daripada kerasnya tinjuan Orion.
"Kalo lo mau ngerebut Reina, jangan pake cara licik!" sahut Orion tanpa bisa bangkit karna perutnya terasa kram. "Sok-sok pake masalah lo biar dia kasian!" Ares terdiam sesaat saat menyadari kebenaran dari perkataan Orion. Reina kasihan terhadapnya karna dia adalah si anak yg terbuang, anak yg bermasalah, anak yg butuh pertolongan, bukan anak yg keren, berbakat, dan mempunyai dunia di tangannya.
"Bangun lo," Ares menarik kaus Orion dan mengangkatnya dengan sekali hentakan. "Kalo lo mau Reina, ambil aja. Gue nggak tertarik," kata Ares lagi sambil mengempaskan Orion sehingga dia kembali terduduk di lantai teras. Ares menatap Orion benci, lalu berbalik, bermaksud kembali masuk ke rumah. Tapi, dia mendapati Reina di ambang pintu, sedang menatapnya kecewa. Ares membalas tatapan itu sebentar, lalu memutar haluan, melewati Orion, kemudian menghilang di balik pagar. Reina menatap punggung Ares sampai menghilang, lalu menghampiri Orion yg tampak kepayahan. "Kamu nggak apa2, Ri?" tanya Reina sambil membantu Orion berdiri. "Nggak apa2," kata Orion sambil meringis. "Aku juga salah, pake acara mukul dia. Jelas aja dia bisa bunuh aku." "Kenapa kamu pukul dia?" tanya Reina heran. "Karna dia adalah dia," jawab Orion. "Apa kamu nggak pengen mukul dia sekali aja?" Sebenarnya, Reina ingin memukul Ares karna perkataannya tadi. Ares mengatakan bahwa
dia tidak tertarik kepada Reina dan menyeragkannya begitu saja kepada Orion. Padahal, semalam Reina yakin Ares sudah kembali menjadi Ares sepuluh tahun yg lalu.

No comments:

Post a Comment