Monday, November 16, 2015

SUMMER BREEZE - ORIZUKA - BAB 9



Bab 9

The Winner

DUA bulan berlalu semenjak kejadian itu. Reina masih di Indonesia. Dia sudah memutuskan tinggal di sini sementara. Reina masih mencintai Ares, apa pun konsekuensinya.
"Rei? Udah makan?" tanya Tante Risa ramah. Wajahnya tampak lebih tua dari biasanya. Reina memakluminya. Tante Risa pasti sangat lelah.
"Belum, Tante. Belum laper," kata Reina, lalu memandangi fotonya bersama Ares dalam pigura yg dulu pernah dibelinya.
Ares tampak sangat lucu di foto itu. Dia sedang tersenyum, hal yg jarang dilakukannya. Tak terasa air mata Reina menitik. Tante Risa menghampiri Reina, lalu memegang pundaknya lembut. Reina balas memegang tangan itu.
Segalanya memang sudah berubah. Padahal, Reina sempat berpikir bahwa tak akan ada yg berubah.
"Ngapain lo?" Orion mengambil tempat duduk di gazebo. "Mau gue temenin?"
Ares tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. Walaupun demikian, matanya menatap kosong ke arah kolam renang. Orion mencoba untuk tak menatap Ares lama2, lalu memutuskan untuk melihat kolam renang juga.
"Eh Res, tadi gue menang pertandingan persahabatan lho." Orion coba mencairkan suasana. Ares menelengkan kepalanya. Matanya berkedip-kedip lugu. "M.. VP?" tanyanya pelan.
"Gue dapet juga," kata Orion sambil terkekeh. "Hebat kan, adek lo nih?"
Ares mengangguk-angguk kecil. Tangannya terulur untuk mengambil minum. Orion bisa melihat tangan itu bergetar hebat. Orion segera membantunya untuk minum.
Orion hampir2 tidak bisa menahan emosinya saat Ares minum dari gelas yg dipegangnya.
Kakaknya yg supertangguh bisa menjadi selemah ini hanya karna ulah si brengsek Raul. Ares sekarang sama rapuhnya dengan balita. Dia nyaris tidak bisa melakukan apa pun sendiri. Beberapa sarafnya sudah tidak bekerja. Ares memang masih bisa berjalan, tapi itu pun harus pelan2, dan harus ada yg menemaninya karna siapa pun tidak ingin dia jatuh lagi.
Kira2 dua bulan yg lalu, Ares dinyatakan sembuh dengan cacat sementara. Tim dokter sudah melakukan yg terbaik dan menurut Ayah dan Ibu Ares memang sudah waktunya pulang ke rumah.
"Res? Lala titip salam," kata Orion setelah Ares selesai minum. Ares memandang Orion ingin tahu. "La-la?"
Orion terenyak. Ingatan Ares menurun drastis selama beberapa hari ini. Dia sudah lupa pada kedua teman baiknya Dipo dan Wanda, dan sekarang dia justru sudah melupakan Lala. Orion tak ingin Ares melupakan dirinya. Benar2 tak ingin.
Hari ini hari yg sangat cerah. Ares melemparkan pandangannya ke luar jendela dari tempat tidurnya, lalu menghela napas. Ini waktu yg tepat. Ares mengumpulkan segenap tenaganya, memejamkan matanya sesaat, lalu bangkit.
"Ares? Sayang? Mau ke mana?" tanya Ibu saat Ares keluar kamar. "Pergi," jawab Ares nyaris berbisik.
Ibu hanya mengernyitkan dahinya.
"Oh iya, ada hadiah buat Ayah sama Ibu di kamar. Nanti dilihat ya," katanya lancar.
Ayah, Ibu, dan Orion saling pandang. Ini pertama kalinya Ares berbicara lancar setelah keluar dari rumah sakit. Seketika, harapan mulai membuncah di dada mereka.
"Pergi ke mana? Sama siapa?" tanya Ayah sambil membantu Ares duduk di sebelahnya. "Ke taman, sama Reina," jawab Ares.
Ayah menatap Ares bahagia. Hari ini Ares tampak sangat cerah, dan penuh semangat.
"Ya udah. Tapi kamu hati2, ya," kata Ayah lagi, dan Ares mengangguk pelan.
"Ares sayang kalian semua," kata Ares tiba2, membuat Ibu menangis seketika. "Maaf ya, kalo selama ini Ares nyusahin."
"Ares, kamu adalah milik Ayah yg paling berharga. Seluruh keluarga ini adalah harta Ayah. Ayah juga sayang sama kamu. Maafin Ayah kalo selama ini terlalu keras sama kamu," kata Ayah, air matanya juga tak terbendung.
"Res, lo bener2 kakak yg keren di mata gue. Lo selalu ada kalo gue butuh. Gue juga... ng... sayang sama lo," kata Orion salah tingkah. Ares tersenyum kepada Orion. "Gue juga, Ri,"
Orion menatap Ares ragu sejenak, lalu menghambur memeluknya. Ares terlihat shock sesaat, namun detik berikutnya dia membalas pelukan Orion.
"Gue bener2 seneng kondisi lo membaik, Res. Gue nggak nyangka lo bisa baikan secepat ini. Ini bener2 keajaiban," kata Orion lagi yg disetujui oleh keluarganya.
Ares hanya tersenyum tanpa menjawab. Tak lama kemudian, Reina muncul dari kamarnya. Dia terperanjat saat melihat Ares.
Bukan kondisinya yg membaik yg membuat Reina kaget. Saat ini, Ares mengenakan baju dan celana putih. Ini mengingatkannya kepada mimpi buruknya.
"Ayo, Rei," kata Ares sambil bangkit.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu memegang tangannya dan melingkarkannya ke bahunya. Reina benar2 mempunyai perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg benar2 baik, dia mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju taman. Reina dapat merasakan hangatnya tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares bisa sesehat ini.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu memegang tangannya dan melingkarkannya ke bahunya. Reina benar2 mempunyai perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg benar2 baik, dia mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju taman. Reina dapat merasakan hangatnya tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares bisa sesehat ini.

Pemakaman Ares sudah berakhir. Ayah dan Ibu tampak masih shock. Kepergian Ares yg tak terduga kemarin memang mengejutkan banyak orang. Orion tak menyangka kalau kemarin Ares hanya berpura-pura sehat.
Tapi Orion tak menyesal. Dia sudah berbaikan dengan Ares. Orion merasa sangat lega sekaligus kehilangan pada saat yg bersamaan. Lega karna akhirnya Ares terbebas dari penderitaan, kehilangan karna Orion belum sempat menghabiskan banyak waktu bersama dengannya.
Tadi Ayah dan Ibu sangat terkejut dengan penemuannya di kamar Ares. Mereka menemukan sebuah berkas berlabelkan Deraya Flying School, sekolah penerbang yg ada di bandara Halim Perdana Kusuma. Berkas itu berisi segala sesuatu tentang sekolah itu mulai dari brosur, copy formulir, dan juga surat pengantar. Tak ada yg percaya bahwa Ares memiliki keinginan yg kuat untuk menjadi pilot, dan dia berhasil membuktikan kepada semua orang bahwa dia mampu. Ayah sampai menangis karnanya.
Dan seakan belum cukup, dokter Affandi, dokter umum yg dulu sering menerima keluhan Ares, datang ke pemakaman dan mengatakan bahwa Ares pengidap disleksia sejak kecil. Jelas, Ayah, Ibu, dan Orion terperanjat saat mendengarnya. Selama ini, mereka menyangka Ares anak yg bodoh atau ber-IQ rendah. Dokter Affandi malah bingung karna tak ada seorang pun dari keluarga Ares yg mengetahui hal ini, padahal Ares mengatakan sebaliknya. Dia segera meminta maaf karna merasa telah menambah kesedihan Ayah dan Ibu.
Ares sering mendapat perlakuan tak adil karna dia menderita disleksia. Ayah lah yg paling menderita karna berita ini. Dia merasa buruk karna telah salah paham, juga absen memerhatikan tanda2 disleksia pada Ares kecil. Ibu pun menderita karna merasa dirinya bukan ibu yg baik karna tak mengenali gejala penyakit itu. Orion juga merasa bersalah karna dulu dia malah selalu berusaha menjadi lebih dari Ares. Segala persaingan yg pernah dilakukannya dengan Ares terasa sangat membebani pikiran Orion. Seumur hidup, Orion sudah bertarung dengan Ares dalam hal apa pun, tapi pada akhirnya memang Ares-lah yg pantas menjadi juaranya.
Orion menatap Reina yg masih memandang pusaran Ares yg dipenuhi bunga. Orion tahu Reina pasti sangat terpukul karna kehilangan Ares, karna dia lah orang terakhir yg berada di samping
Ares menjelang ajalnya.
Lala, Dipo, dan Wanda berpamitan kepada Ayah dan Ibu, lalu menghampiri Orion. Lala memeluknya kuat2, lalu tangisnya pecah lagi. Orion mengelus-elus punggungnya yg berguncang. Setelah tenang, Orion melepasnya untuk memeluk Dipo dan Wanda.
Sekarang, semua orang sudah pulang, begitu pula Ayah dan Ibu. Ibu sempat pingsan beberapa kali saat jasad Ares dimasukkan ke liang kubur, jadi Ayah segera membawanya pulang supaya dia bisa beristirahat. Yg tertinggal hanyalah Reina dan Orion.
Reina tidak menangis. Dia sudah cukup menangis. Air matanya nyaris habis. Dia hanya memandang pusaran Ares dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam setangkai mawar putih.
Tidak ada yg berbicara di antara mereka selama beberapa menit. Orion dan Reina sibuk dengan pikirannya masing2.
"Aku pernah bilang, kalo aku nggak akan bisa hidup tanpa dia," kata Reina akhirnya. "Itu karna aku nggak pernah berpikir kalau suatu saat dia akan pergi dengan cara seperti ini. Dia pergi ke tempat yg nggak bisa aku ikutin."
Orion memandang Reina yg tampak hampa.
"Mungkin sekarang aku masih hidup tanpa dia, tapi nggak akan sama," lanjut Reina. "Dia pergi dengan membawa sebagian hatiku. Aku ragu apa aku nantinya bisa mencintai orang lain. Aku pun nggak ingin mencintai orang lain."
Reina meletakkan bunga mawar itu di atas pusaran Ares.
"Sebenernya dari dulu aku tau aku nggak akan bisa menang dari dia. Dan seumur hidup aku udah mengidolakan dia. Aku mengkhayalkan bagaimana hidup dengan bebas tanpa ekspektasi dari siapa pun kayak dia," kata Orion.
Reina menatap Orion dengan mata berkaca-kaca. Orion tak membalasnya. Dia memandangi kosong pusaran Ares.
"Dari kecil aku terbiasa liat dia yg selalu ngelindungin aku. Dia udah kayak superhero-ku," Orion mendengus geli sesaat, lalu detik berikutnya wajahnya kembali murung. "Dia selalu, selalu jadi role model-ku. Entah kenapa akhirnya aku ngotot bersaing dengan dia, padahal itu pertarungan yg nggak bisa aku menangin. Aku tau dia berusaha keras. Tapi aku sama sekali nggak nyangka dia disleksia."
Orion mengeraskan rahangnya, menahan emosi. "Aku, yg katanya pinter, cerdas, dan segala macem, nggak sadar kalo kakakku sendiri menderita disleksia. Aku malah ikut-ikutan nyangka dia bodoh. Tapi, dia bener2 udah membuktikan dirinya. Aku bangga banget punya kakak kayak dia."
"Dia hebat kan, Ri?" tanya Reina, seulas senyum terlukis di wajahnya yg lelah.
Orion menatapnya sebentar, lalu balas tersenyum.

"Ya, Rei. Dia hebat," katanya, lalu kembali memandang pusaran Ares. "Dia hebat. Dia kakakku yg hebat. I wish I knew it earlier." Orion mengambil bunga dari keranjang, lalu meletakkannya persis di sebelah bunga Reina. "May you rest in peace, brother," kata Orion pelan, lalu melirik Reina. "and lover." Reina tersenyum, lalu bersama Orion pergi dari pemakaman, meninggalkan cintanya. Hanya untuk sementara saja, janji Reina.


Epilog


ORION membuka kamar Ares lebar-lebar, berusaha menemukan sosok yg sedang bermalas- malasan di tempat tidur sambil menggoyang-goyangkan kepala dan mengayun-ayunkan tangannya dengan heboh.
Tapi tak ditemukannya. Dia hanya menemukan puluhan poster-poster di dinding kamar Ares. Bagi Orion ini seperti mimpi. Tak pernah sekalipun dia berpikir untuk kehilangan suara dentuman-dentuman dari kamar Ares, teriakan-teriakan yang sering disebutnya sebagai nyanyian, suara-suara bantingan barang... Dan tak pernah Orion melihat kamar Ares serapi ini. Orion tiba-tiba membayangkan Ares duduk di jendela sambil menyanyi dan memainkan gitar. Orion juga bisa melukiskan bagaimana keadaan Ares waktu itu. Rambut acak-acakan, kaus usang, celana belel...
"Sialan!" sahut Orion sambil melemparkan barang terdekat yang bisa diraihnya.
Orion tak bisa lagi menahan tangisnya. Tangis yg selama setahun ini berusaha untuk disembunyikannya.
Orion membaca lagi surat dari Ares yang dulu ditinggalkannya di kamar. Surat itu meminta Orion untuk menjaga Reina, juga berisi pujian tentang permainan basket Orion, dan Ares bangga karnanya. Seorang Ares bisa menulis itu semua, rasanya bagai mimpi bagi Orion.
Ares memang orang yang penuh kejutan. Selama ini, dia selalu bertahan tanpa pernah
mengeluh. Ternyata dalam hal inilah dulu Orion harusnya membantu Ares.
Orion tak pernah tahu. Siapapun tak pernah tahu. Yang diketahuinya hanyalah, kakaknya adalah sebuah misteri baginya.
Selalu menjadi misteri. Bahkan pada saat-saat terakhirnya.
Walaupun demikian, Ares akan selalu menjadi bagian dari diri Orion. Selamanya. "I miss you, bro'," bisik Orion lemah.

Aku pertama kali melihatnya saat musim panas yang terik
Dia datang tanpa ada seulas senyum pun di wajahnya
Dia tampak seperti seorang laki-laki yang kesepian
Menanti seseorang untuk menemukan kunci ke hatinya yang gelap
Aku tak tahu ternyata akulah sang pemegang kunci itu
Aku menyinari hatinya, sampai akhirnya dia mau merekah
Aku menyukai caranya tersenyum untukku
Aku menyukai sikapnya yang membuatku merasa spesial dan betapa sosoknya sudah menjadi menu utama dalam mimpiku
Dia adalah cinta pertama, juga sejatiku
Ares, sang angin yang berhembus sepoi di musim panas kini telah kembali ke tempatnya berasal Walaupun tak lagi bersama, tapi dia tetap akan menjadi hal terbaik yang pernah terjadi padaku Aku akan selalu teringat padanya juga selalu tak sabar,
Menanti datangnya musim panas,
Saat di mana aku bisa kembali bertemu dengannya.

Reina tersenyum pedih saat membaca tulisannya. Dia kemudian menggulung surat itu, memasukkannya ke kaleng, lalu menguburnya kembali di bawah pohon perjanjian. Setelah itu, dia berdiri, menatap tulisan di pohon yang sudah mulai hilang. Pohon itu mulai meranggas, karna cuaca yang kering. Suasana persis seperti saat Ares meninggal. Daun-daun yang berguguran mengingatkan Reina kembali pada saat mereka bertemu untuk pertama kalinya, juga saat mereka berpisah untuk selamanya.
Sudah setahun semenjak kematian Ares. Reina baru saja kembali dari Amerika. Hari ini tepat hari kematian Ares, dan Reina sudah berjanji kepada keluarga Ares untuk datang berziarah. Sebelum itu, Reina menyempatkan diri untuk membaca tulisan yang ditulisnya setahun yang lalu, yang kemudian dikuburnya di bawah pohon akasia yang dulu pernah dijadikan tempat perjanjian.
"Rei," panggil seseorang yang sudah sangat dikenal Reina, membuatnya berbalik.
Reina mendapati Orion dan Lala yang sedang menunggunya. "Kita pergi sekarang?" tanya Orion sambil tersenyum lembut.
Reina mengangguk perlahan, lalu bergerak menuju mereka. Reina menoleh ke arah pohon itu untuk yang kesekiankalinya, membayangkan masa kecilnya bersama Ares yang indah.
Reina tak akan pernah meninggalkan apa pun di belakang. Reina akan terus membawa kenangannya bersama Ares. Selamanya.
"I'll always love you," bisik Reina.

Setelah menatap cincin hijau di jari manisnya, Reina tersenyum lalu masuk ke mobil.


No comments:

Post a Comment