Wednesday, October 28, 2015

REFRAIN WINNA EFFENDI - PART 3

BIKE

W i sh # 4 1 : me ne mukan Ni ki (Nat a)

Kring kring!
Niki tidak sadar sudah berapa lama bunyi yang tidak asing itu terdengar. Ketika mendongak, dia melihat sosok seseorang dengan senyum pengertian yang membuatnya ingin menangis lagi.
Nata.
“Pulang yuk.”
Cowok itu menepuk-nepuk bagian belakang sepedanya dengan raut jenaka. Ia bangkit dari  sepedanya dan berjalan ke arah Niki, lalu mengulurkan sebelah tangan untuk membantunya berdiri.
“Ayo.”
Niki menatapnya dengan mata basah. Mengapa Nata ada di sini? Bagaimana Nata bisa tahu? Tapi, dia merasa begitu lega melihatnya. Melihat sahabatnya datang untuk menyelamatkannya.

***

Tadinya, Nata mengayuh sepedanya menuju SMU Pelita sekuat mungkin, berdoa dalam hati supaya dia belum terlambat. Ketika dilihatnya gadis itu terduduk di luar  pagar, sendirian dengan bahu mungil yang berguncang oleh tangis, Nata merasa hatinya terenyuh. Ia ingin memeluknya dan melindunginya sepenuh hati, tapi untuk sesaat dia hanya bisa memandang dan menunggu.
Kenangan perlahan-lahan muncul di benaknya seperti rekaman video. Tangan kecil  yang menarik ujung bajunya, sosok yang mengikutinya ke mana pun dia pergi. Wajah anak perempuan yang tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang ompong. Ucapan menghibur yang keluar dari  mulutnya setiap kali Nata sedang menghadapi masalah—dan ia selalu bisa mengetahuinya bahkan sebelum Nata berkata apa-apa. Belaian lembut di pundaknya ketika anak itu menemukan Nata bersembunyi di balik  lemari, malu ketahuan sedang menangis. Sejak kecil,  Niki selalu bisa menemukannya. Kali ini, adalah gilirannya menemukan dan melindungi Niki.
Niki menatapnya dengan air mata masih mengaliri kedua sisi wajahnya, bibirnya bergetar dan matanya sembab. Nata tersenyum, lalu menarik gadis itu berdiri.
Awalnya tangan Niki masih dengan tentatif berpegangan pada tempat duduknya, lalu lama-kelamaan, melingkari pinggang Nata seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Tidak  ada yang berusaha memulai percakapan, hanya keheningan yang mengisi perjalanan pulang mereka. Nata mengayuh lambat-lambat, angin menerpa wajahnya dan temaram lampu menerangi jalannya. Ia merasakan punggungnya basah, dan pelukan pada pinggangnya mengerat. Nata mencengkeram setang sepedanya erat-erat, mencoba menahan gejolak emosi yang meluap dan membuatnya ingin melampiaskannya kepada siapa pun yang sudah melukai Niki.
Lo aman di sini Ki, bersama gue.
Entah sudah berapa lama Nata mengayuh, sampai ia berhenti di depan rumahnya. Niki bergerak turun dari  sepeda, buru-buru mengeringkan air mata dengan kedua tangannya. Nata tahu apa yang akan dilakukannya—mengucapkan terima kasih sambil memaksakan senyum. Keesokan harinya, mereka akan kembali menjadi dua orang asing yang berpura-pura seakan kejadian malam ini tidak pernah ada. “Boleh duduk di trampolin?”
Pertanyaan itu mengejutkan Nata. Niki sedang menatapnya penuh harap, menawarkan sesuatu yang tidak berani ditanyakannya sejak  mereka berhenti berteman. Nata mengangguk.
Kain elastis trampolin itu berguncang mengikuti berat badan mereka. Rasanya, sudah lama sekali  sejak  mereka berdua duduk di sini, sekedar ngobrol ngalor ngidul tentang apa saja, sembari memainkan musik.
“Aku dengerin tape kamu, beberapa hari yang lalu.”
Nata mendongak, wajahnya memerah. “Isi kaset itu semua lagu  yang pernah gue buat.” Untuk lo.
Niki mengangguk samar. “Lagu-lagu itu bagus sekali.  Kamu  memang berbakat.” Nata memandang Niki tepat di kedua manik matanya, sudah letih berpura-pura.
“Sejak kapan kita secanggung ini, Ki? Kenapa kita harus berbasa-basi, nggak bisa lagi ngomong jujur apa yang ada di pikiran kita?”
Niki yang pertama kali mengalihkan pandangan. Mereka berdua sama-sama tahu jawabannya.
“Gue nggak minta apa-apa dari  lo. Gue  nggak merasa sakit hati karena lo nggak bisa terima perasaan gue,  gue  justru lebih sakit hati karena lo menghindari gue. Gue  kecewa lo nganggep gue  sepicik itu, bahwa gue  akan menjadi orang yang berbeda hanya karena perasaan gue  berubah. Gue  nggak mau kita berhenti berteman gara-gara masalah seperti ini.”
“Semua orang selalu bilang, cewek dan cowok nggak pernah bisa jadi sekedar sahabat. Pada  akhirnya, itu bener kan, Nat?”
Nata tersenyum pahit. “Yang gue  tau, persahabatan itu nggak memilih. Persahabatan bukan didasari oleh gender, usia, motif, atau apa pun itu. Persahabatan yang tulus gak harus punya alasan.”
Senyum Niki berubah sendu. “Kamu benar. Sejak dulu, aku selalu mengharapkan bentuk cinta yang sempurna. Kukira  kalau aku berteman dengan murid-murid yang populer dan pacaran dengan cowok yang istimewa, hidupku juga akan sempurna. Aku baru sadar, nggak ada yang sempurna di dunia ini. Teman sejati adalah orang-orang yang bisa nerima aku apa adanya, seperti kamu dan Anna. Aku yang udah ngecewain kalian, maaf ya.”
Nata memotong permintaan maaf itu dengan meletakkan kedua tangannya di atas bahu Niki, merasakan kulit mereka hangat oleh sentuhan itu. “Gue maafin, asal mulai sekarang, lo nggak pura-pura nggak kenal sama  gue  di sekolah.”
Niki tertawa kecil  di balik  air matanya. Nata berusaha tampak tak acuh, tapi dia tahu dia tidak bisa menghentikan senyum yang kini bermain bebas di wajahnya. “Apa pun yang terjadi, jangan pernah memperlakukan kami  seperti orang asing lagi.”
Niki mengangguk mantap. Untuk pertama kalinya malam ini, Nata memperhatikan Niki dalam balutan gaun yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya—berbahan halus, sebatas lutut, dipenuhi dengan potongn renda-renda. Jalinan rambutnya sudah terlepas, riasan ringan di wajahnya berantakan dan ada bekas-bekas air mata di sana, namun di matanya, Niki terlihat sangat cantik.
“Hari ini lo cantik banget.”
Niki belum pernah mendengar Nata berkata seperti itu. Nata tidak pernah memuji penampilannya, tidak pernah memperhatikan gaya berpakaian perempuan apalagi berkomentar mengenainya. Wajah Nata merah padam selagi mengatakannya, dan Niki merasakan senyumnya mengembang, perasaannya jauh lebih ringan, seolah-olah beban berat telah terangkat.
“Thanks, Nata.”
Mereka berbaring menatap kerlip bintang yang bertebaran di langit-langit—seperti butiran gula-gula. Nata mengalas kepalanya dengan sebelah lengan, dan Niki mengandarkan kepalanya pada bahu pemuda itu, mengenakan sweatshirt sahabatnya yang kebesaran. Hanya mereka berdua, dan itu saja sudah lebih dari  cukup.

**

FO R GIVE

W i sh # 4 2: t e r t awa  ke r as. Be nar - b e nar t e r t awa.  (Ni ki )

Niki tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Oliver  lagi. Setidaknya, jika dia bersua dengan pemuda itu secara tidak sengaja, dia yakin dia akan segera berjalan menjauh ke arah yang berlawanan, sebisa mungkin menghindari kontak apa pun. Hubungan mereka sudah selesai, diputuskan sebelah pihak. Namun, sampai sekarang, Niki masih belum bisa melupakan kejadian malam itu.
Karena itulah, ketika Niki menemukan pemuda itu berdiri di depan pintu rumahnya, dia ingin segera membanting pintu dan berlari ke kamarnya. Tapi bersembunyi, menghindar, dan berlari adalah hal-hal yang sudah terlalu sering dilakukannya; terhadap Nata, terhadap Annalise, terhadap dirinya sendiri. Dia tidak ingin mengakhirinya seperti ini, membiarkan kata-kata belum selesai terucapkan, lalu menyesalinya kemudian.
Jadi Niki memaksakan diri untuk memandangnya dan bertanya apa yang dia inginkan.
“Aku mau bicara.”
Mereka mencari privasi di sebuah lapangan basket kosong tidak jauh dari  sana. Niki merasakan hatinya berdegup kencang, seperti yang selalu dirasakannya saat berada di dekat Oliver.  Diam-diam, dia membenci dirinya sendiri karena masih merasa seperti itu.
“Aku datang untuk minta maaf.”
Niki sudah menduga perkataan itu akan keluar dari  mulut Oliver.  Dia pun sudah tahu mengapa. Tapi, ternyata lebih sulit—lebih menyakitkan, untuk mendengarnya langsung.
“Helena memintaku supaya tetap membawa kamu ke pesta itu, lalu ninggalin kamu di sana. Tapi, aku nggak bisa....”
Hati Niki melunak. “Kalau kamu nggak melakukannya, Helena nggak akan mempertemukan kamu dengan Zahra, kan?”
Oliver  tampak terkejut mendengarnya. “Kamu tahu tentang Zahra?”
“Sedikit.” Hanya tahu dengan jelas kalau kamu begitu mencintainya sehingga memilih dia dibanding aku.  “Kenapa akhirnya kamu nggak membawaku ke prom?”
Oliver  menggeleng. “Aku nggak bisa mempermalukan kamu di depan mereka semua, Niki. Akhirnya, Helena pun bohong mengenai kepulangan Zahra. Dia merencanakan semua ini untuk membodohi kita.”
“Terima kasih.”
Oliver  mendongak lagi, kali ini benar-benar menatap Niki sejak  malam itu. “Terima kasih? Buat apa?”
“Karena kamu masih punya hati. Karena kamu memilih untuk jujur sama  aku.” Niki tersenyum samar.
Bahasa tubuh Oliver  berubah rileks  ketika melihat Niki menerima permintaan maafnya. Mereka duduk di kursi tembaga yang diletakkan di sudut lapangan, tidak jauh dari  padang ilalang kecil  tempat Nata dan Niki dulu sering mencari jangkrik dan kunang-kunang.
“Zahra itu kakak kelasku, dua tahun lebih tua. Dia atlet renang sekolah, juga
juara lomba Matematika. Dia murid kesayangan guru-guru, disukai semua orang, dan banyak cowok yang tergila-gila sama  dia. Waktu orientasi, dia jadi mentorku, dan sejak  saat itu kami  sering ngobrol. Waktu aku kelas  satu SMU, Zahra pacaran dengan salah satu guru sekolah kami.  Aku selalu bilang kalau mereka nggak akan bisa sembunyi-sembunyi seperti itu, tapi Zahra nggak peduli. Beberapa kali aku mengungkapkan perasaanku sama  dia, tapi Zahra bilang aku hanya seperti adik  baginya. Sampai suatu hari, hubungan mereka ketahuan. Mereka putus, guru itu dipecat, dan Zahra dikirim untuk sekolah ke luar  negeri oleh orangtuanya.”
Oliver  menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Wajahnya terlihat lelah dan sedih—ekspresi yang berbeda dari  yang selama ini diperlihatkannya kepada semua orang, Niki baru menyadarinya.
“Aku yang melaporkan hubungan mereka ke kepala sekolah. Sejak saat itu, Zahra nggak mau lagi menemui aku.  Dia nggak mau membalas e-mail dan teleponku. Kami nggak pernah ketemu lagi, tapi aku nggak bisa ngelupain dia.” Oliver  memandang Niki lekat-lekat. “Kamu orang yang baik, Ki. Aku bener-bener senang setiap kali menghabiskan waktu bersama kamu, dan kukira aku bisa menyayangi kamu... tapi aku nggak mau melukai kamu lebih dari  ini. Kuharap kamu nggak menganggap aku orang yang jahat.”
Niki mengangguk kebas, tidak lagi mendengarkan permintaan maaf Oliver. Selama ini, Oliver  memang tidak pernah menyayanginya, tidak menganggapnya sebagai bentuk cinta pertama yang sempurna. Hanya dirinya yang sudah bodoh dan berharap lebih.
Oliver  tersenyum sedih. “Aku akan kuliah di Melbourne, berangkat bulan depan. Aku mau menyusul Zahra ke sana, mencoba memulai dari  awal.”
Niki menyapukan pandangan pada Oliver  sekali  lagi, melihat sisi dewasa pemuda itu, sosok yang tidak pernah benar-benar dikenalnya.
“Good luck.” Hanya itu yang bisa dikatakannya.
Oliver  mengangguk, dan mereka berpisah di sana. “Good bye.”
Niki secepat mungkin melangkah pergi, supaya Oliver  tidak melihat air mata yang mengalir deras di wajahnya.

***

Nata baru saja kembali dari  swalayan kecil  di kompleks perumahannya untuk membeli sekotak susu ketika ia melewati lapangan basket. Niki dan Oliver sedang berada di sana, berdiri berhadapan dengan bahasa tubuh yang kaku. Ekspresi Oliver  penuh penyesalan, sedangkan Niki tampak tidak nyaman.
Nata menghentikan sepedanya tanpa suara dan memperhatikan mereka dari kejauhan. Tidak  lama kemudian, Niki setengah berlari meninggalkan Oliver,  dan Nata tahu dia sedang menangis. Niki selalu membuat ekspresi dan gestur seperti itu jika dia menangis. Tak dapat menahan Sarasalannya, Nata meninggalkan sepeda dan barang belanjaannya di tepi jalan, lalu berlari mengejar Oliver  yang kini sedang berjalan ke arah mobilnya.
“Tunggu!”
Oliver  berhenti dan berbalik, hanya untuk mendapati Nata sudah mencengkeram kerah kemejanya dan mengayunkan sebelah tinjunya di udara. Untuk sesaat, dia memejamkan mata, menunggu kepalan tangan itu mendarat di sisi wajahnya, tetapi dirasakannya tekanan pada cekalan tangan Nata meringan dan akhirnya melonggar.
Nata sedang menatapnya dengan marah—itu satu-satunya adjektif yang tepat untuk menjelaskannya.
“Gue udah bilang lo nggak boleh bikin dia nangis lagi,” desisnya.
“Gue dateng untuk minta maaf,  dan mengucapkan selamat tinggal.” Oliver menjawab dengan tenang. “Itu aja.”
Mereka berdua saling berhadapan, menjaga privasi jarak  masing-masing. “Lo itu pengecut.”
“Definisi pengecut adalah orang yang nggak punya cukup keberanian untuk mengakui yang sebenarnya.”
Cih. Nata mengusap keringat dengan sebelah tangan, matanya tidak meninggalkan Oliver.  Dia ingin sekali  menghajar cowok ini, satu hantaman kuat saja sudah cukup, tapi dia tidak melakukannya. Sedetik sebelum kepalan tangannya menyentuh rahang Oliver,  Nata teringat pada Niki, dan dia tidak bisa melakukannya.
“Gue nggak pernah bermaksud nyakitin Niki. Karena itu gue  datang ke sini untuk menjelaskan semuanya.”
“Tapi, justru itu yang lo lakukan, nyakitin dia.”
Oliver  menggeleng. “Kalau gue  pergi begitu saja tanpa penjelasan apa-apa, selamanya gue  akan merasa bersalah sama  dia.”
Nata memaki dalam suara rendah. “Kalau lo nggak mau nyakitin dia, lo nggak akan bohong sama  dia di pesta itu. Lo nggak akan seperti pengecut ngikutin semua omongan Helena dan ninggalin Niki sendirian di sana.”
Oliver  terdiam lama dan suaranya merendah. “Karena itu gue  nelepon lo. Karena Cuma lo yang bisa menyelamatkan Niki, saat gue  nggak bisa.”
Itu adalah penjelasan paling pengecut yang pernah Nata dengar. “Jangan pernah muncul lagi untuk nyakitin Niki. Gue  nggak akan maafin lo untuk kedua
kalinya.” Dia berbalik dan meninggalkan Oliver,  tapi dapat dengan jelas mendengar seruannya di kejauhan.
“Gue bukan orang yang tepat untuk Niki. Gue  dan lo sama-sama tahu itu.” Nata terus berjalan.

***

Niki berhenti di depan trampolin, terengah-engah setengah berlari dari lapangan ke rumah Nata. Air mata masih mengaliri wajahnya, tidak bisa berhenti walaupun dia berusaha sebisa mungkin untuk menghentikannya. Dia tidak ingin menangisi berakhirnya hubungannya dengan Oliver,  tidak ingin menunjukkan betapa lemah dan terluka hatinya.
Dia menerima alasan Oliver,  mengerti sakit hatinya. Tapi bagaimana dengan sakit hatinya sendiri?
“Niki?”
Suara itu mengejutknnya. Niki mengangkat kepala dan melihat Annalise sedang berdiri di sana, memegang kameranya dan segulung rol film. Sudah lama sekali Niki tidak melihat Annalise, raut wajahnya yang khawatir jika salah satu di antara dirinya atau Nata sedang dilanda masalah.
“Are you  alright?”
Dengan satu pertanyaan itu, Niki kembali terisak. Annalise beranjak maju, dan tanpa ragu, melingkarkan kedua tangannya pada bahu Niki serta menariknya dalam pelukan. Niki tersedu-sedu di sana, dan Anna memeluknya dalam diam, tidak memerlukan jawaban, penjelasan, apa pun, hanya ada di sana untuknya.
Tidak  lama kemudian, dirasakannya kehangatan tubuh Nata turut mengelilingi mereka. Nata beraroma susu dan keringat, bau yang sangat menenangkan. Perlahan, air mata Niki mengering dan dia merasa jauh lebih tenang.
“Barusan gue  ketemu Oliver.  Hampir aja gue  tonjok dia sampai bonyok.” Nata berkata sambil mengepalkan kedua tangannya.
Niki ternganga kaget.
“Tapi, nggak jadi.” Nata tersenyum. “Karena gue  tau lo nggak akan mau gue berbuat begitu.”
Niki tertawa di antara tangisnya, diikuti dengan Annalise yang terSarah lembut di sebelahnya.
“Aku punya sahabat seperti kalian, tapi aku malah menjauh.” Niki mengusap air matanya cepat-cepat, lalu menggenggam tangan kedua sahabatnya, Nata dengan tangan kiri, Annalise dengan tangan kanan. “Maaf ya.”
“Apologies accepted.” Annalise menyeringai.
“Setuju.” Nata mengangkat tangannya yang masih berbalut tangan Niki. Mereka tertwa bersama, tangan saling terpaut.

***

H EL ENA

Menjelang ujian akhir semester, tidak banyak pertandingan basket antarsekolah yang diadakan. Hal ini membuat jadwal latihan cheers semakin berkurang, dan Niki bersyukur untuk itu. Kini, dia tidak lagi bertegursapa dengan Helena. Di kelas,  mereka terpisah dalam sudut yang berlawanan, Niki dengan Nata dan Annalise, Helena dengan teman-temannya. Terkadang, jika berpapasan dengan sesama cheerleader, mereka akan tersenyum sekilas pada Niki, tetapi tidak pernah benar-benar memulai percakapan seperti yang dulu mereka lakukan. Awalnya Niki merasa tidak nyaman, seperti kehilangan teman dekat, tapi dia akhirnya sadar, bahwa sebenarnya teman-teman itu tidak pernah menjadi miliknya.
Bukankah lucu jika persahabatan harus memiliki sebuah alasan? Lebih lucu lagi karena sebuah hubungan pertemanan bisa putus begitu saja hanya karena alasan itu sudah tidak lagi eksis.  Niki merasa sedih jika memandang murid-murid perempuan berseragam cheers sedang berkumpul di sudut ruangan, tertawa-tawa tanpa dirinya. Dulu  dia sempat menjadi bagian dari mereka.
Dia pun tahu Helena mengharapkan dirinya berhenti dari  tim. Keluar begitu saja, dengan alasan tidak tahan diperlakukan seperti orang asing, dan merasa tidak lagi diterima di sana. Tapi, Niki tidak ingin berbuat begitu untuk melayani ego  mereka. Jika dia sudah kehilangan teman-temannya, dia tidak ingin kehilangan cheers juga.
Hari  ini pertandingan basket tahunan antara SMU Pelita dan SMU Harapan dilaksanakan lagi. Tepat setahun yang lalu, acara inilah yang mempertemukan Niki dengan Oliver.
Kapten basket yang kini menggantikan posisi Oliver  berdiri di tengah lapangan sambil men-dribble bola.  Niki masih ingat dulu Oliver  melakukan hal yang sama, memicingkan mata untuk mencari anggota timnya yang sedang berda dalam posisi bebas. Pandangan mereka sempat bertemu untuk sepersekian detik, lalu pecah oleh gerakan lawan yang mencoba merebut bola  itu dari tangan Oliver.  Sudah lama sekali,  tapi masih segar dalam ingatan seakan baru terjadi kemarin.
Niki melakukan gerakan rutin yang sudah dilatihnya tanpa semangat. Kenangan-kenangan itu terasa masih mentah dalam benaknya. Oliver,  Helena, Nata, malam itu.
Dia bahkan tidak sepenuhnya sadar bahwa gerakannya sudah melencong jauh dari  anggota cheers yang lain.

***

Helena membiarkan air dari  keran shower menitik turun dan membasahi tubuhnya seperti gerimis. Dia selalu menyukai perasaan setelah memenangkan sebuah pertandingan, merasa menjadi bagian dari  kemenangan itu, walau hanya berada di samping untuk menyemangati.
Hanya saja, hari ini dia tidak merasa menang. Entah karena alasan apa,  adrenalin yang sama  tidak dirasakannya, hanya kehampaan yang amat sangat.
Dia mengingat wajah Niki ketika melihat Oliver  dalam gandengan tangannya. Wajah Oliver  ketika mengetahui bagian dari  rencananya, dan tatapan mata pemuda itu ketika berbalik untuk meninggalkannya. Pandangan itu lebih menyakitkan daripada kata-kata penuh amarah dan kesedihan yang dia harapkan dari  Oliver.
Air mata kini berbaur dengan air dingin, mengguyur wajahnya yang kotor oleh keringat dan debu. Helena memutar keran, berharap dentuman air menyembunyikan isakannya supaya tidak terdengar oleh siapa pun.

***

Niki meletakkan peralatan mandinya di sisi wastafel, membersihkan wajahnya dengan sepotong kapas. Dia selalu menunggu hingga anggota cheers lain sudah pulang sebelum menyelinap ke dalam ruang ganti untuk membersihkan diri,karena dia merasa tidak nyaman bertukar pakaian di tengah orang-orang yang tidak bersahabat dengannya.
Samar-samar, didengarnya suara tangisan dari  salah satu ruang mandi yang sedang digunakan. Niki tidak tahu masih ada orang di sana, karena tadi dilihatnya sekelompok murid perempuan berjalan keluar dari  ruangan itu sambil tertawa-tawa.
Dengan tentatif, ia menghampiri kubikel yang tertutup oleh tirai plastik, mengulurkan tangan untuk menyibakkannya, tapi lalu berubah pikiran dan memutuskan untuk menunggu, menemani siapa pun yang ada di sana hingga tangisannya mereda.

***

Baik Niki maupun Helena sama-sama terkejut ketika mendapati satu sama  lain di ruangan itu. Helena keluar dengan rambut basah, tetapi yang mengejutkan Niki adalah betapa pias wajahnya, bibirnya pucat dan kedua matanya merah. Dia belum pernah melihat Helena terlihat rapuh—sama sekali.  Helena selalu terlihat composed, percaya diri, penuh otoritas.
“Helen?”
Helena mengangkat dagu dengan angkuh dan mengubah ekspresinya, tapi Niki tidak tertipu.
“Kamu... nggak apa-apa?”
Mereka saling menatap, memikirkan seribu satu makna yang terkandung dalam satu pertanyaan sederhana itu. Mereka sama-sama tidak pernah menanyakannya kepada satu-sama lain, mungkin karena mereka tidak pernah menjadi seakrab itu untuk saling memperlihatkan sisi rapuh masing-masing. “Lo masih peduli?”
Mata Niki menyipit mendengarnya. “Kita pernah berteman, Helen. Aku masih nganggep kamu salah satu teman dekatku.”
Helena terSarah hambar. “Bahkan, setelah hal-hal jahat yang gue  perbuat?” “Hal-hal yang kamu lakukan itu beralasan, bukan?”
Niki sering kali memikirkan kejadian malam itu, perkataan Helena yang menusuk, pengakuan Oliver  yang membuatnya kecewa, dering lonceng sepeda Nata. Dan, yang paling tidak bisa dilupakannya adalah sorot mata mereka, terutama Helena. Saat itu, dia mengartikannya sebagai perasaan menang telah menyakiti Niki, bangga telah membawa Oliver  ke sisinya, tapi kini Niki menyadari, pandangan mata itu penuh kesedihan.
Sudah berapa kali dia melewatkan ekspresi yang sama?  Ketika dia bercerita penuh semangat mengenai perkembangan hubungannya dengan Oliver,  dia hanya memikirkan kesenangannya sendiri, tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Helena. Niki lupa betapa sering Helena menyebut nama Oliver sebelum pertandingan basket antarsekolah itu dimulai, melupakan pandangan memuja yang disapukan Helena pada pemuda itu saat mereka berkumpul di lapangan, dan senyumnya ketika membicarakan Oliver.
Niki terlambat menyadari bahwa dialah yang sudah melukai Helena. “Maaf.”
Helena mendongak cepat, mengira dirinya salah dengar. “Maaf?” ulangnya ragu. Niki mengangguk. “Maaf, karena aku juga nggak pernah menjadi teman yang baik untuk kamu. Aku nggak pernah sadar kalau kamu sangat menyayangi Oliver.”
Helena menggeleng, ekspresi wajahnya letih. “Lo pasti senang udah menemukan kelemahan gue,  tapi gue  nggak butuh dikasihani.”
“Bukankah kita berdua sama-sama terluka oleh hal yang sama?”
Helena tersenyum pahit, menyadari kebenaran di balik  pertanyaan itu. “Dia pernah suka sama  lo, sedangkan dia sama-sekali nggak punya perasaan apa-apa buat gue.  Benci, mungkin.”
Niki tahu alasan sebenarnya Helena melakukan hal itu bukan sekedar untuk melukainya, tapi untuk membuktikan sesuatu—perasaan Oliver  yang sesungguhnya. Dia juga paham bagaimana rasanya mengetahui bahwa cinta yang kita miliki selama ini bertepuk sebelah tangan, dan kita tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengubahnya.
“Oliver  bilang dia akan pergi ke Australia untuk nyusul Zahra. Dia nggak nyalahin kamu untuk sesuatu yang udah seharusnya dia lakukan sejak  dulu.”
Helena menggeleng. “Lo nggak tahu, gue  udah memperhatikan Oliver  selama bertahun-tahun, sejak  kami  bertemu di pesta ulang tahun Zahra. Dia nggak ingat gue  sama  sekali,  karena pandangannya selalu mengikuti gerak-gerik Zahra. Lagi pula, siapa yang nggak jatuh cinta sama  Zahra? Dia sempurna, punya segalanya. Tapi dia nggak bisa menerima Oliver,  malah berhubungan dengan seorang guru yang udah menikah. Gue  invisible di hadapan Oliver.  Dia nggak pernah ngeliat gue,  padahal gue  selalu berusaha sebisa mungkin untuk terlihat. Dia banyak pacaran dengan cewek-cewek lain setelah ditinggal Zahra, sampai akhirnya dia ketemu lo. Kenapa harus lo? Kenapa dia bisa ngeliat lo dan cewek-cewek itu, dan bukan gue?”
Niki tidak berusaha menjawab pertanyaan itu. Perlahan, dia mendekat dan menyentuh lengan Helena dengan gestur bersahabat.
“Kita nggak bisa memaksakan perasaan seseorang untuk menyukai kita. Yang bisa kita lakukan Cuma merelakan, berharap supaya dia bahagia.” Niki tidak dapat menahan diri untuk menyelipkan sebuah canda. “Walau yang jelas dia rugi  besar karena udah ngelewatin cewek-cewek hebat seperti kita, ya, kan?”
Helena mengangguk, diwajahnya tersungging seulas senyum tulus yang pertama kali Niki lihat, walau kedua matanya berkaca-kaca. Mereka mungkin tidak lagi bersahabat, tapi Niki senang dapat memulai halaman baru dengan seseorang yang bisa disebutnya teman.

***

SURAT UNTUK NATA

Nata melongok ke dalam kotak pos,  menemukan beberapa amplop di dalamnya. Tagihan kartu kredit milik Dhanny, katalog, undangan untuk kedua orangtuanya, lalu sepucuk surat beramplop putih yang ditujukan untuknya.
Nama  sekolah yang tertera di sudut amplop membuat hatinya bergejolak. Beberapa bulan yang lalu, dia pernah mengirimkan aplikasi dan tape audisi atas rekomendasi guru musiknya, lalu melupakannya segera setelah mengeposkannya. Sekolah itu adalah salah satu sekolah musik terbaik di Amerika, dan dia tidak terlalu berharap dapat diterima, karena banyak sekali anak-anak berbakat yang gagal  masuk ke sana.
Disobeknya ujung amplop dengan perasaan tidak enak. Kata-kata yang tercetak pada lembaran suratnya membuat Nata gelisah.
Nata mengumpulkan surat itu dan menyelipkannya ke dalam saku,  mencoba melupakan.

***

“Nat.”
Sebuah tangan mungil dikibaskan di hadapan wajahnya, membuatnya tersadar dari  lamunan.
“Nat!”
Suara itu kian tak sabaran. Nata mengerjapkan mata dan memfokuskan pandangan pada Niki yang sedang menatapnya dengan aneh.
“Kenapa sih, dari  tadi bengong melulu.”
Nata baru menyadari bahwa sedari tadi suaranya menggema di ruangan. Niki sedang memasang tape berisi lagu-lagu yang direkamnya. Suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. Dengan satu gerakan, dimatikannya tape, menghentikan lagu  yang baru memasuki reff.
Niki merengut. “Kenapa dimatiin?” “Jelek.”
“Bagus. Kalo jelek  kenapa sering kuputar, coba?” “Jelek.”
“Bagus.” “Jelek.”
Niki mengembuskan napas kesal.  “Kamu selalu pesimis, padahal lagu-lagu ini bagus sekali,  lho. Nggak  kalah sama  lagu-lagu yang sering diputer di radio.”
“Kalo lo ngedengerin suara lo sendiri menyanyikan lagu-lagu ini, lo akan ngerti kenapa gue  ngerasa risih.”
Niki mengangkat bahu, lalu menarik kaset itu dari  tape dan memasukannya ke dalam walkman miliknya. “Kalau kamu nggak mau dengerin, biar  aku aja.”
Sejak memiliki kaset itu, Niki semakin sering mendorongnya untuk menulis lebih banyak lagu,  juga mengambil kesempatan untuk manggung di kafe-kafe kecil.  Dia selalu berkata bahwa lagu-lagu Nata harus didengarkan oleh semua orang, ada dalam setiap CD player dan dikumandangkan di stasiun radio terkenal.
Hiperbola, Nata tahu, karena lagunya tidak sebagus itu. Masih perlu banyak perbaikan di sana-sini, dan permainan gitarnya tidak sempurna. Lagi pula, dia benci mempertunjukkan lagunya di depan khalayak ramai, dan ini sudah menjadi rahasia umum.Nata ingin belajar musik lebih banyak lagi, di sebuah lingkungan yang profesional. Itulah satu-satunya alasannya mengirimkan aplikasi ke sekolah itu. Dan, kini begitu surat penerimaannya tiba, dia malah tidak tahu harus berbuat apa.
Dhanny yang menemukan gumpalan surat itu di tepi tong sampah ketika sedang berkunjung ke kamarnya. Rasa penasaran membuatnya meraih lembaran lecek itu dan meluruskannya untuk membaca isinya.
“Kamu daftar ke universitas musik di luar  negeri?”
Nata tertegun. “Disuruh sama  guru musik di sekolah,” dia berusaha menjawab senetral mungkin.
“Dan kamu diterima untuk audisi kedua. Lalu, kenapa surat ini mau dibuang?” Nata menyambar surat itu. “Bukan dibuang, tapi tercecer.”
Abangnya tidak percaya, dia tahu itu. “Kamu mau pergi?” “Masih belum tahu.”
“Ini kesempatan yang jarang datang, lho.”
Nata juga tahu itu. Gurunya sudah menceritakannya berulang-ulang, bahwa sekolah musik itu menetapkan standar yang tinggi dengan acceptance rate hanya tujuh persen. “Aku masih belum bisa memutuskan.”
“Karena Niki?”
Sebagian besar, ya. Dia tidak ingin meninggalkan Niki, Annalise, sekolah, rumahnya. Niki, terutama. Siapa  yang akan menjaga gadis manja itu jika dia tidak ada? Lagi pula, bukankah banyak sekolah musik yang bagus di Jakarta?
“Dia udah dewasa, Nat.” Dhanny melanjutkan seakan-akan dia bisa membaca penjelasan dalam kepala Nata dengan gamblang. “Membuat pilihan bukan berarti harus meninggalkan salah satu. Kamu  masih bisa memiliki keduanya—persahabatan dan cita-cita.”
Nata menatap abangnya datar. Tidak  semudah itu. Baginya, pilihan adalah menentukan mana yang lebih penting bagi  dirinya.
Bagaimana jika dia kembali dan Niki sudah berubah? Atau, justru dia yang berubah?

***

“Pergilah, Nat, it’d be silly to waste such a big opportunity.”
Nata sudah mengira Annalise akan berkata begitu, dengan nada yang sama seperti abangnya. Sebenarnya, dalam hati dia pun tahu itu adalah jawaban yang benar, tapi dia masih menyimpan secercah keraguan. Surat itu masih saru di antara sampah yang tidak lagi diinginkannya.
“Kalau memang nggak kepengen pergi, kenapa harus ragu?”
Nata ingin pergi. Nata ingin belajar. Nata ingin menjadi seseorang. Tapi, mengapa sulit untuk menjelaskan?
“Jangan bilang-bilang ke Niki dulu sebelum gue  memutuskan ya, Ann?” pintanya pada Annalise. “Gue butuh waktu.”
Annalise hanya menggeleng-geleng dengan pasrah, lalu menyipitkan mata untuk mengamati Nata. Ia mengambil gumpalan surat penerimn itu dari  tempat sampah dan meletakannya di meja  Nata, sebuah pesan agar  ia memikirkannya baik-baik.

***

Akhir-akhir ini, Niki merasa Nata terlihat kurang bersemangat. Dia sering bengong kalau diajak bicara tentang ujian akhir. Gitarnya diletakkan jauh-jauh di sudut lemari, lagu-lagu yang dulu sering disenandungkannya hampir tidak pernah terdengar lagi. Setiap kali Niki memutar tape pemberian Nata keras-keras, cowok itu pasti segera mematikannya. Terkadang, dia memandang
Niki lama,  seakan sedang berusaha menemukan sebuah jawaban. Akhir-akhir ini, Niki tidak bisa mengerti Nata.
“Ada apa,  sih?” Begitu dia selalu bertanya.
“Nggak ada apa-apa.” Begitu juga jawaban otomatis itu selalu terdengar.
Nata juga enggan membicarakan pilihan kampusnya. Ketika Niki membicarakan kehidupan kampus yang tampaknya menyenangkan, Nata terlihat masa  bodoh dengan semuanya.
“Kalau udah jadi mahasiswa nanti, kita masih tetap bisa hangout bareng, Nat. Kalo jam kuliahnya pas, kita bisa janjian makan siang juga,  sama  Anna. Seru banget, bisa belajar pake baju bebas, nggak terikat peraturan macam-macam dan nggak ada hukuman kalo  membolos. Rasanya jadi kayak  orang dewasa, iya nggak?”
Nata hanya mengangguk tanpa banyak komentar.
Niki tidak jadi meneruskan ocehannya. Ia terdiam menatap Nata lama, menunggu hingga sahabatnya jengah dan mendelik ke arahnya.
“Ada apa sih!” cetus Nata dengan tidak senang. “Kenapa gue  diperhatiin kayak objek penelitian begitu?”
“Justru aku yang harusnya nanya gitu, Nat. Kamu  kenapa, sih? Akhir-akhir ini selalu begitu, menghindari pembicaraan. Bete tau, dicuekin kayak  gitu.”
“Jadi gue  harus gimana?”
“Cerita dong, kalau ada yang ganggu pikiran.”
Nata menghela napas. Dia tahu pada akhirnya dia harus memberi tahu Niki yang sebenarnya. Dalam beberapa hari ini, dia sudah membicarakan kepergiannya ke Amerika dengan guru musiknya, juga keluarganya dan Annalise. Mereka semua sangat mendukung, apalagi kesempatan semacam ini jarang datang dua kali. Kini yang belum dilakukan Nata adalah memberitahu Niki, dan ini adalah bagian yang tersulit untuknya. Bagaimana caranya, jika setiap hari yang bisa dibicarakan Niki adalah betapa senangnya jika mereka bisa kuliah di tempat yang sama?  Setiap kali ingin buka mulut, Nata berhenti dan menyimpan kembali kata-katanya. Dia tidak ingin ada ekspresi kecewa di wajah mungil itu.
Namun, ketika memandang wajah Niki yang bahagia, Nata sadar akan sangat tidak adil jika tidak segera memberi tahunya. Sekarang, Niki memandanginya dengan intens, menunggu apa pun jawaban Nata yang bisa menjelaskan perilaku anehnya belakangan ini. Nata menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah meja  belajarnya, membuka laci paling atas tempat surat-surat mengenai kepergiannya ke Amerika tersimpan. Lembaran surat penerimaan masih terletak paling atas, lecek karena Nata pernah berusaha melenyapkannya. Diambilnya kertas itu dan diberikannya tanpa kata-kata kepada Niki.
Niki menerimanya dengan ekspresi bingung. Diluruskannya lembaran tersebut dan dibacanya sekilas. Nata menunggu perubahan raut wajah Niki, seperti yang telah diduganya. Perubahan itu datang. Terkejut, pada awalnya, lalu gembira, lalu sedih. Berubah kecewa.
“Ini surat apa?” Dia bertanya walaupun isinya sudah jelas.
“Surat yang menyatakan gue  diterima di sekolah musik, di New york.” Nata berusaha menjelaskannya sedatar mungkin, tetapi tidak dapat menghentikan gejolak aneh dalam suaranya.
“Aku nggak tahu kamu apply ke sekolah di luar  negeri.”
Nata mengangguk. “Gue apply beberapa bulan yang lalu atas rekomendasi Pak Gunawan, yang juga alumni sekolah itu. Gue  nggak nyangkan akan diterima, makanya gue  nggak pernah bilang sama  siapa-siapa.”
“Kamu udah mutusin untuk pergi ke sana?” Pertanyaan itu bernada menuduh. “Gue nggak tahu.” Nata meringis dalam hati. Dia tidak ingin berbohong pada Niki, bahwa ada sebagian besar dari  dirinya yang sudah memutuskan bahwa dia ingin mengambil kesempatan langka ini.
“Semua orang udah tau? Orangtua kamu, Kak Dhanny, Anna?”
Nata menunduk, tidak dapat menjawab. Dia tidak menemukan jawaban untuk berkata-kata, kata-kata yang akan memperbaiki kesalahannya dan mengobati Sarasalan Niki.
Niki tersedak dengan tawanya sendiri, tetapi kedua matanya berlinang air mata. “Selamat ya, Nat. Kamu  memang hebat.”
Nata merasa hatinya kecut ketika air mata pertama meluncur di pipi  Niki. Dia telah membuat Niki menangis. Selama ini, dia berjanji akan menghajar jahanam mana pun yang membuat Niki menangis, tapi ternyata dialah si berengsek itu.
Dipandangnya gadis itu meremukkan surat penerimaannya sekali  lagi, lalu beranjak keluar dari  kamarnya tanpa sepatah kata pun.

***

Niki meremas erat-erat surat di kepalan tangannya dengan gemas, lalu melemparkannya ke ujung ruangan. Bola kertas itu memantul sedikit di ujung tempat sampah lalu berguling ke lantai.
Patutkah ia kesal?  Bukankah seharusnya dia gembira karena Nata berada satu langkah lebih dekat menuju mimpinya?
Dia tidak menghiraukan ketukan samar pada pintu kamarnya. Didengarnya pintu berderit terbuka, juga langkah kaki yang berjalan mendekat. Annalise.
Niki menoleh, bekas air mata masih menodai wajahnya, Annalise mengulurkan sebelah tangan untuk menghapusnya. Dibelainya helaian anak rambut Niki yang menempel di sisi wajahnya yang basah, lalu menyelipkannya di balik  telinga. “Kamu marah karena Nata akan pergi atau karena dia memutuskan tanpa memberi tahu kamu?”  tanyanya lembut.
“Aku marah karena aku jadi orang terakhir yang tahu.” Niki menatap Annalise. “Aku marah sama  diri sendiri karena aku egois. Lebih egois lagi karena aku nggak mau dia pergi.”
Raut Annalise berubah muram. “Kita semua nggak mau dia pergi, Ki. Nata nggak berani memutuskan kepergiannya karena mikirin kita, terutama kamu. Tapi terkadang, kita harus membiarkan dia membuat pilihan yang terbaik.”
Pertanyaannya adalah, yang terbaik untuk siapa?

***

Wish # 4 3 : saling memiliki, apapun yang terjadi (Nata, Niki , dan Annalise )

Sudah tengah malam. Nata bolak-balik berjalan mengelilingi kamarnya, menghempaskan tubuh di atas tempat tidur, melongok ke luar  jendela, bahkan mencoba untuk tidur, tapi tidak berhasil. Akhirnya ia menyerah dan menyambar gagang telepon, hmpir saja menekan digit-digit angka yang dihafalnya di luar  kepala, jika tidak menyadari bahwa sudah terlalu malam baginya untuk menelepon. Oh ya, Niki juga sedang marah padanya.
Frustasi karena insomnia dan rasa tidak nyaman yang menyesakkan dada, Nata bangkit lalu berjalan ke luar  melalui pintu belakang di dapur. Tiba-tiba saja ia ingin melompat-lompat di atas trampolin, sekedar untuk melampiaskan Sarasalannya.
Nata tidak menyangka akan menemukan Niki di sana, mengenakan setelan piyama putih dengan corak kelinci, berbalut selimut perca yang selalu dipakainya setiap malam. Niki tampak terkejut juga ketika melihatnya tapi tidak ingin berkata-kata, hanya menatapnya dingin.
“Ngapain lo malam-malam di sini sendirian?” Pertanyaan itu terdengar kasar, padahal Nata tidak bermaksud begitu.
“Mau ngerasain gimana rasanya duduk sendirian di sini, setelah kamu pergi nanti.”
Entah mengapa jawaban itu justru membuat Nata sedih.
“Ki, gue  minta maaf.  Karena gue  egois, dan gue  berengsek. Untuk pertama kalinya gue  akuin hal itu.”
Sudut-sudut bibir Niki terangkat, hampir membentuk seulas senyum, dan Nata merasa sangat lega melihatnya.
“Gue tau seharusnya gue  langsung ngasih tahu lo saat daftar ke sekolah itu, juga waktu gue  diterima. Tapi sebelumnya gue  mau mikirin keputusan gue matang-matang, supaya nggak ada penyesalan di kemudian hari. Gue  nggak bisa bilang, karena gue  tahu lo pasti kecewa.”
“Kamu kepingin banget masuk sekolah itu kan, Nat?” Ketika Nata tidak menjawab, Niki menatapnya sendu. “Aku ngerti, kok. Maaf, karena aku jadi alasan yang ngebebanin kamu dalam ngambil keputusan.”
Nata tercekat saat mendengar permintaan maaf itu. “Jangan bilang begitu.”
Niki tersenyum, walau masih dengan air mata di pelupuk matanya. “Bodoh. Aku akan selalu ngedukung kamu, apa pun yang kamu pilih. Selama itu adalah impian kamu.”
Nata tidak dapat menahan diri untuk beranjak mendekat dan menarik tubuh mungil itu dalam pelukannya, tidak lagi berpikir apa yang seharusnya dia lakukan dan tidak lakukan. Gadis  dalam pelukannya tidak meronta, justru mengulurkan kedua lengan untuk balas melingkari pinggangnya. Mereka berpelukan dalam diam, dua sahabat yang saling mengerti dan menerima bahwa mimpi yang berubah menjadi kenyataan adalah hal terbaik yang dapat terjadi pada seseorang. Walaupun salah satu dari  mereka harus berkorban untuk itu.

***

D EP AR T UR E

Hari  ini, Nata dan Niki berjanji untuk menghabiskan hari terakhir Nata di Jakarta bedua saja. Niki berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menangis, apa pun yang terjadi, tapi janji itu sepertinya lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.
Menjelang kepergian Nata, ia berusaha keras untuk tampak gembira, memasang ekspresi bangga walaupun sejujurnya ia masih menyimpan sedikit luka di hati. Puncaknya adalah ketika dia dan Annalise membantu mengepak barang-barang Nata. Melihat separuh isi kamar Nata yang kini berpindah ke dalam koper, entah mengapa Niki merasa tertekan. Dia tidak menyadari bahwa dia sedang menangis hingga Annalise menegurnya lembut.
Buru-buru, Niki menyusut air matanya, berharap teman-temannya tidak akan mempermasalahkannya lebih lanjut. Tapi, Nata meletakkan tumpukan pakaian yang telah dilipat rapi,  berjongkok di hadapannya dan berkata dalam nada lembut yang jarang digunakannya.
“Lo nggak perlu ngerasa harus pura-pura senang di depan gue,  Ki. Gue  juga ngerasain hal yang sama  dengan lo.”
Niki mengangguk, mati-matian berusaha menghapus air matanya yang kini mengucur deras dan tidak bisa dihentikan. Annalise merasakan matanya sendiri basah dan ia menyelinap keluar, meninggalkan dua sahabatnya sendirian. Dia juga butuh waktu untuk menata perasaannya.
Selagi  bergerak ke arah dapur untuk membuat secangkir teh hangat, ia berpapasan dengan Dhanny yang memegang sekantung besar keripik kentang pedas di tangannya.
“Hai.” “Hei.”
Mereka berdua berdiri di dipan, memandang ke luar  jendela. Matahari bersinar cerah, kebun kecil  keluarga Nata tampak terawat dengan bugenvil warna-warni yang mekar pada saat yang tepat, tapi Annalise merasa mendung dan kelam. Dia tidak pernah mengungkapkannya, tapi mengetahui bahwa keputusan Nata akan pergi sudah final juga membuatnya merasa sedih.
“Besok Nata akan pergi.” Annalise mengangguk kaku.
“Kamu juga nggak mau dia pergi, kan?”
AAnn mendekatkan cangkir ke bibir, sesekali meniup minuman di dalamnya supaya cepat dingin, sengaja mengulur waktu untuk menjawab. “Semua orang nggak mau Nata pergi.”  Dia berusaha menjawab dengan netral.
“Tapi, kamu masih sayang sama  dia.”
Itu bukan pertanyaan. Hanya pernyataan yang membuat hatinya lebih miris  lagi. “Gimana perasaan Kakak waktu Sivia pergi?”
Dhanny tidak berusaha menghindari pembicaraan ketika mendengar pertanyaan tersebut, tidak juga memasang ekspresi sedih. Dia hanya tersenyum, senyum seseorang yang sedang mengenang masa  lalu tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang harus disesali.
“Sivia orang yang tegas. Dia bilang ada tiga jenis orang di dunia ini; orang yang memiliki mimpi lalu memilih untuk mengejarnya sampai dapat, orang yang memiliki mimpi, tapi tidak melakukan apa-apa untuk menjadikannya nyata, dan orang yang sama  sekali  tidak mempunyai mimpi. Sejak kecil,  dia tahu kalau dia akan pergi jauh dari  sini, dan aku nggak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya pergi.”
“Kakak pernah memintanya untuk tinggal?”
“Ya. Tapi, dia bilang aku egois kalau memaksanya tinggal, bodoh kalau mengorbankan diri sendiri untuk mengikutinya ke sana. Karena kami  punya mimpi yang berbeda. Dia ingin jadi penari, sedangkan saat itu aku masih nggak tahu apa yang kuinginkan. Kalau mengikutinya, aku tahu aku hanya jadi beban buat dia, begitu juga sebaliknya. Perasaan kami  saat itu tidak cukup kuat untuk mempertahankan apa yang kami  punya.”
Mengapa sangat mudah bagi  seseorang untuk mengorbankan cinta demi cita-cita? Annalise ingin tahu.
Dhanny menatapnya tenang, dan saat itu juga Annalise mengetahui jawabannya. Karena cinta tidak ingin bertahan dalam hati dua orang yang tidak menginginkan hal yang sama.  Karena jika salah satunya tidak memiliki ruang yang cukup untuk cinta, maka cinta itu akan beranjak pergi.

***

Wish # 4 4 : menjadi anak-anak lagi, yang tidak  pernah memusingkan banyak  hal rumit (Nata)
Niki menyiapkan berbagai kudapan di basecamp mereka. Marshmallows bakar berbalut selai  cokelat. Nachos saus  keju  kesukaan Nata. Gelato matcha dan yogurt rasa blueberry. Soda dingin dan jus jeruk.
Mereka duduk bersebelahan, mendengarkan musik sambil memandangi bintang. Hangat kulit Nata bergesekan dengan lengannya, membuatnya merasa aman. Sesekali, Niki melihat kerlip siluet pesawat melintas di kejauhan, dan ia merasakan tendangan kecil  dalam hati, teringat bahwa besok pagi  sahabatnya juga akan dibawa pergi oleh salah-satu benda tersebut.
Sudah belasan tahun mereka melakukan hal ini setiap malam, sebuah rutinitas yang sama  kentalnya seperti minum air. Bagaimana dengan esok?  Niki memaksa dirinya sendiri untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Apa pun untuk mengalihkan pikirannya.
“Inget nggak waktu kamu pertama kali ngajak aku duduk di atas trampolin ini?” Saat itu, mereka berdua berusia tujuh tahun. Trampolin baru itu terlalu besar untuk tubuh mereka yang mungil sehingga Niki selalu merasa dia tenggelam dalam kegelapan hitam pekat kain raksasa itu. Orangtua mereka mewanti-wanti supaya mereka tidak terlalu sering bermain di luar  hingga larut malam, tapi baik Niki maupun Nata tidak terlalu memedulikan nasihat itu. Merasakan angin semilir di wajah mereka selagi  berada di udara, di bawah langit yang cerah mengikuti terbenamnya matahari adalah salah satu hal terbaik yang pernah mereka rasakan.
“Ingat,” Nata menjawab dengan senyum di nada suaranya, “waktu itu lo jatuh.” Pada  hari kedua, Niki mengusulkan mereka berdua melakukan kontes untuk menentukan siapa yang bisa melompat lebih tingga. Niki melepaskan kedua sepatunya, lalu mulai memantulkan tubuh di atas trampolin, merasakan adrenalin yang luar  biasa hanya dengan melompat dan melayang di udara selama beberapa detik. Namun saat mendarat, salah satu kakinya menyentuh ujung trampolin dan dia terpantul ke luar,  terjerembab ke atas tanah. Niki hanya ingat tangannya terpelintir dalam posisi tak wajar,  seluruh tubuhnya sakit bukan main, sedangkan Nata berteriak-teriak histeris seperti kesetanan. “Pertama kali aku masuk ambulans.” Niki mengingat dengan senyum. “Gue juga.”
Saat itu, Nata memaksa ikut masuk ke dalam ambulans bersama Niki, tidak pernah melepaskan tangannya sedetik pun. Niki mendapat lima jahitan di dagu, sekujur tubuhnya lebam dan luka-luka, tetapi untungnya tidak ada yang patah. Sejak saat itu, trampolin dilipat dan mereka dilarang menyentuhnya lagi, tapi setiap malam Niki dan Nata mengendap-endap untuk berbaring di atasnya, memandang ke atas dan merasakan guncangan-guncangan kecil  hasil gerakan tubuh mereka. Tidak  pernah lagi diadakan kontes melompat.
“Setiap kali ngambek, pasti lo ngumpet di sini dan nggak mau pulang.” Nata tidak ingat lagi berapa kali dia menemukan Niki yang bersembunyi di kebun ini, entah menangis cengeng sehabis diomeli karena nilainya jeblok, atau merajuk karena tidak diizinkan pulang malam. Tempat ini jadi semacam tempat rahasia mereka.
“Aku pernah liat kamu ngajak Anna ke sini.” Niki berkata dalam suara kecil. “Waktu itu aku marah, karena tempat ini adalah tempat kita berdua. Mungkin egois kalau aku ngomong begitu, tapi entah kenapa aku nggak senang kalau ada orang lain yag duduk di sini selain aku.”
“Kamu cemburu sama  Anna?” Nata memainkan senyum nakal di wajahnya, membuat Niki mencubit pinggangnya keras-keras.
“Kalau kamu nggak ada nanti, aku akan ngajak cowok lain duduk di trampolin ini. Nanti baru kamu tahu gimana rasanya.”
Nata berubah cemberut. “Nggak boleh,” tithnya tegas. “Malam ini, kita di sini aja, ya?”
Permintaan itu diekspresikan dengan sangat polos dan manja sehingga Nata mengiyakan sambil menyembunyikan senyum di wajahnya. Dia ingin menghabiskan malam-malam berbintang, mengobrol dengan Niki di sampingnya, selamanya.

***

Hampir pukul lima pagi.  Nata terjaga dari  tidurnya, merasakan gelap masih mengelilingi mereka. Semalaman, dia dan Niki mengobrol ngalor-ngidul hingga subuh, hingga mereka berdua akhirnya tertidur. Nata merasakan hangat tangan kecil  Niki dalam genggamannya. Entah bagaimana, kedua tangan mereka saling menemukan satu sama  lain dan berpegangan erat, seakan tidak ingin terlepas.
Di ufuk timur, dua bintang yang sangat terang membentuk dua titik di langit. Tidak,  bukan bintang. Nata menyadari bahwa apa yang dilihatnya adalah planet Jupiter dan Venus, dalam sebuah fenomena alam yang dibacanya di halaman Astronomi koran pagi  kemarin. Beberapa saat sebelum matahari terbit, kedua planet tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang, berdekatan membentuk segitiga dengan bulan.
Nata menggoncang bahu Niki, yang meracau sejenak sebelum membuka mata dengan malas.
“Bangun Ki, liat tuh.”
Niki tidak berkata apa-apa, tapi Nata tahu ia sudah sepenuhnya terjaga. Menahan napas, memperhatikan kedua planet bersinar, berdekatan seperti dua sahabat yang saling menjaga.
Jari-jari Niki menggenggam tangan Nata dengan lebih erat. Nata melakukan hal yang sama.

***

Perjalanan menuju bandara diisi keheningan yang menyesakkan. Nata duduk bersama Niki di kursi belakang, tangan gadis itu erat-erat mencengkeram lengan kemejanya seakan tidak merelakannya pergi. Nata pun tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan, hanya sesekali mengulurkan sebelah tangan untuk menyandarkan kepala Niki di pundaknya. Dhanny yang sedang menyetir dan Annalise yang duduk di sampingnya menangkap gestur itu melalui kaca spion, lalu tersenyum samar.
Mereka berempat duduk berdempetan di ruang tunggu bandara yang penuh. Jarum ham merangkak pelan menuju waktu keberangktan Nata. Panggilan yang ditujukan kepada seluruh penumpang pesawat yang akan berangkat ke New York sudah diumumkan dua kali, tetapi Nata tidak kunjung beranjak dari kursinya untuk menuju antrean imigrasi. Tiket di tangannya dicekal hingga lecek, satu-satunya bukti nyata yang mengingatkannya bahwa dia sudah harus pergi. Sampai akhirnya ia menghela napas berat, lalu bangkit dan menatap mereka satu per  satu—abangnya, Annalise, lalu Niki.
“Gue harus pergi.”
Kalau bisa, Nata tidak ingin mengucapkannya, tapi dia tidak punya pilihan. Air mata perlahan-lahan mengalir di kedua sisi wajah Niki, walau wajahnya tersenyum. “Aku akan kuat, Nat. Aku janji.”
Dengan satu gerakan cepat, Nata menarik Niki ke dalam pelukannya, tidak memedulikan orang-orang di sekitarnya yang sedang memperhatikan. “Kalau begitu jangan nangis, dong,” dia berbisik, tapi suaranya sendiri serak. “Gue akan telepon sesering mungkin. Kalau ada perlu, lo juga bisa hubungi gue  kapan aja.”
Nata merasakan anggukan Niki. Pelukannya mengendur dan dipandangnya wajah Niki dalam-dalam, ingin menghafalkan garis  wajah itu baik-baik. Dia menahan diri untuk tidak mengatakan sekali  lagi bahwa dia menyayangi Niki, dan akan melakukan apa saja untuknya.
Dia bahkan rela untuk tinggal, seandainya saja Niki memintanya sekarang. Nata merasakan matanya mulai berair, tapi berusaha untuk menyembunyikannya. Walaupun membenci kebiasaan yang kekanakan itu, dia mengulurkan jarinya dan mengaitkannya pada kelingking mungil Niki sebagai janji. “Jaga diri baik-baik, ya.”
Sekali  lagi Niki mengangguk. Annalise dan Dhanny menyentuh lengan Nata, mengucapkan selamat jalan. Mereka saling berpelukan singkat. Panggilan ketiga samar-samar terdengar melalui speaker, dan Nata merunduk untuk mengecup kening Niki, membekaskan seluruh rasa cintanya pada gadis itu di sana.
Gue  akan segera pulang. Dan, saat itu, gue  gak akan melepaskan lo lagi.
Dia berbalik dan berjalan menjauh, berusaha untuk tidak menoleh ke belakang lagi, pandangannya kabur oleh air mata yang tidak jadi menetes.

***

W i sh # 4 5 : aku  nggak mau Nat a p e r gi (Ni ki )

Siluet tubuh Nata menghilang di balik  kerumunan orang yang memadati bandara. Niki tidak terlalu merasakan kehadiran orang lain di sana,hanya kehampaan yang amat sangat. Keningnya masih hangat akibat ciuman singkat barusan. Ketika menyaksikan Nata menjauh, tiba-tiba saja ia merasakan separuh jiwanya ikut pergi meninggalkan dirinya.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang sangat penting. Dia menyayangi Nata—tidak, bukan hanya menyayangi. Dia mencintai sahabatnya itu.
Niki tidak dapat lagi membendung air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya. Annalise maju dan merangkulnya erat, mengusap punggungnya dan memisikkan kata-kata lembut untuk menenangkannya.
“Aku sayang banget sama  Nata, Ann.” Niki berkata lirik di antara isakannya. Gerakan Annalise terhenti ketika mendengar pernyataan yang mendadak itu.
“Kenapa kamu nggak bilang sama  Nata sebelum dia pergi?”
Niki menggeleng. “Karena hanya dengan begini, dia akan tetap pergi untuk mengejar mimpinya.”
Annalise terdiam, menemani Niki yang terus menangis di sampingnya, air matanya sendiri meleleh tanpa bisa dihentikan.

***

Niki mendorong pintu kamar Nata, lalu perlahan berjalan masuk dan memandang sekeliling. Segalanya terlihat kosong tanpa Nata. Gitar cowok itu tidak ada di sana. Tidak  ada tumpukan kertas yang berserakan di atas karpet, kertas-kertas yang berisi partisi lagu  dan musik yang baru separuh dibuat. Kamar  itu masih kental dengan aroma khas pemiliknya, walau sudah hampir sebulan Nata meninggalkannya. Entah apa yang membuat Niki menyelinap masuk ke sana—untuk mencari sisa-sisa diri Nata, mungkin, karena ia merindukannya.
Pandangan matanya berhenti pada sekotak kaset yang diletakkan di atas meja belajar. Benda tersebut terlihat asing dalam ruangan kosong yang tak berpenghuni.
Niki meraih kaset itu, lalu memasukkannya ke dalam tape dan memencet tombol play. Petikan gitar yang lembut mengisi keheningan, mengiringi suara Nata yang menyanyikan sebait lagu  pendek.
Bulan emas tinggal separuh Bintang-bintang sangat pemalu Kau terduduk di sampingku Aku lantas mencintai bayangmu Kau menoleh untuk tersenyum Hatiku berserakan... lebur dan lepuh Hanya satu lagu  itu yang terekam dalam kaset. Niki tercenung. Di mana, ya, dia pernah mendengar kata-kata yang sama?  Untaian kalimat itu sepertinya tidak asing. Mungkin lagu  yang sempat diputarkan di radio? Atau sajak yang pernah dibacanya dalam sebuah buku sastra?
Tunggu sebentar. Puisi. Puisi  yang disalin pada selembar kertas polos yang diselipkan ke dalam amplop biru, salah satu surat yang diterimanya pada hari Valentine. Ya, dia ingat sekarang.
Ternyata, bukan seorang penggemar rahasia tak bernama yang mengirimkan surat itu untuknya, tapi Nata. Nata yang selalu memperhatikannya, menjaganya, menyayanginya. Niki memejamkan mata dan membiarkan lagu  itu bermain berulang-ulang, tersenyum sambil membisikan sutas doa  dalam hati. Tersenyum karena mengetahui Nata telah meninggalkan lagu  itu untuknya.

***

EP IL O G

Niki mengunyah cepat sandwich isi telur yang menjadi menu makan siangnya hari ini, lalu buru-buru menyambar telepon genggam yang bergetar di atas meja.  Ia tersenyum ketika melihat nama peneleponnya di layar.
"Hei, Anna!"
"Hei, Ki, lagi ngapain?"
Niki mengepit telepon di antara pipi  dan bahu sambil terus memeriksa setempuk berkas di hadapannya. "Biasa, nyambi makan sambil menilai hasil ulangan anak-anak. Kamu?"
"Baru selesai meeting dengan redaksi, dan sekarang mau nge-drop beberapa foto permintaan klien di kantornya. Oh ya, paket kirimanku udah nyampe belum?"
"Mmmm... sebentar." Niki mengobrak-abrik surat-surat yang berserakan di atas mejanya. Sekali  lagi ia mengingatkan diri sendiri agar  segera membereskan segunung barang yang sudah menumpuk di sana, malu mengingat mejanya memang sudah melewati tahap berantakan yang normal. Beberapa saat kemudian, ia menemukan sebuah paket berbentuk segi empat dengan namanya dalam tulisan tangan Annalise di bagian depan, lalu menyobeknya hingga terbuka.
Sebuah bingkai sederhana yang terbuat dari  kaca,  dengan selembar foto diselipkan di dalamnya. Niki masih ingat foto itu—diambil pada hari kelulusan SMU, yang juga merupakan hari ulang tahun Niki yang kedelapan belas. Niki, Nata, dan Annalise membolos upacara kelulusan dan pergi ke pantai tanpa sepengetahuan guru. Dalam foto itu, mereka bertiga tersenyum lebar, masing-masing saling merangkul, seragam mereka basah kuyup. Niki tersenyum, ujung jemarinya menyentuh permukaan bingkai dengan rindu.
"It's my birthday present for you.  Happy birthday, Niki."
"Thanks, Ann. Aku suka banget hadiahnya."
Tiba-tiba, Niki merasa sentimentil. Tidak  terasa, lima tahun telah berlalu menggantikan hari cerah di pantai itu. Dia rela melakukan apa saja untuk kembali ke masa-masa itu, saat mereka hanyalah anak-anak yang polos, saat persahabatan saja sudah cukup.
Annalise sepertinya dapat membaca perubahan emosinya, karena ia lalu menyambung dengan suara lembut, "We'll always have each other. Kita bertiga."
Niki mengangguk walau Annalise tidak bisa melihatnya. Dia pun percaya pada hal itu.

***

Nata berdiri di depan pagar sekolah lamanya dengan kedua tangan dalam saku. Sekolah itu tidak berubah, masih dengan cat biru muda yang sama  walau terlihat dimakan usia.  Pak Tugiran yang selalu menjaga pagar telah digantikan oleh seorang laki-laki muda berseragam satpam, sedang berusaha menghalau penjual asongan yang berkumpul di depan sekolah.
Sebuah gedung baru telah dibangun di sebelah gedung tempatnya bersekolah dulu. Ruang-ruang kelasnya masih tampak sama  walau kini terlihat lebih modern. Nata menyusuri satu-per satu, bersyukur telah datang pada sore hari seusai jam pelajaran sehingga dia dapat mengenang kembali masa  kecilnya tanpa gangguan.
Rasanya sudah lama sekali  sejak  dia terakhir menginjakkan kaki di sana. Ketika berdiri di bawah naungan pohon besar yang sudah puluhan tahun menjaga sekolah itu, Nata melihat bayangan dirinya sendiri sedang berlari menuju pagar, Niki mengikuti di belakangnya. Mereka berdua terengah-engah, memohon pada Pak Turigan supaya membukakan pintu dan membiarkan mereka masuk, sebelum mereka dihukum karena terlambat. Nata melihat dirinya menyendiri di balik  pilar,  memandangi Niki yang sedang bersenda-gurau bersama teman-temannya. Dia melihat Niki yang masih kental dalam ingatannya, berbalut seragam cheers, melakukan gerakan dalam formasi piramid yang selalu membuatnya menahan napas, takut gadis itu jatuh. Dia melihat mereka berdua bersepeda pulang, tangan Niki memeluk pinggangnya.
Selama ini, Nata tidak pernah melupakan Niki. Kepergiannya ke Amerika tidak mengubah apa-apa, perasaannya masih sama  seperti dulu.
Teriakan seseorang membuatnya menoleh mencari asal suara. Suara tawa anak-anak yang mengerjai gurunya dalam sebuah permainan petak umpet tidak jauh dari  sana membuat Nata berhenti untuk memperhatikan.
Sang guru, seorang perempuan muda, berdiri memutari kebun belakang, mengenakan celana jeans biru tua dan kemeja putih berlengan pendek. Rambutnya yang lurus panjang sepinggang, kulitnya kuning langsat. Ia mengenakan sepatu hak tinggi berujung runcing. Kedua matanya ditutupi oleh saputangan, bibirnya membentuk senyum jenaka sambil memanggil-manggil sekelompok anak kecil  berderagam merah putih yang sedang berlarian di sekelilingnya.
"Kirana! KeDhan! Kalian di mana?"
Hati Nata berdesir. Dia terpaku di sana, tidak mampu bergerak, bahkan ketika perempuan itu berjalan semakin dekat, lalu tersandung supaya tidak jatuh. Nata mengulurkan tangan untuk memegangi kedua bahunya, menahan napas saat perempuan itu melepaskan ikatan di matanya sambil tersengal.
Mereka berdua saling berpandangan. Tawa perempuan itu surut, mulutnya menganga seakan tidak memercayai pengelihatannya. Dia sepertinya ingin berseru, tapi justru hanya berbisik dengan suara tercekat.
"Nata."

***

Niki terpaku lemas, lidahnya berubah kelu  begitu mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya. Tubuhnya gemetar saat ia mengambil satu langkah mundur.
Perubahan pertama yang Niki sadari mengani Nata adalah tinggi badannya. Dulu,  Nata memang tergolong jangkung, tapi sekarang tingginya jauh melampaui Niki. Tubuhnya kekar, bahunya bidang, dan tangannya besar. Rambutnya dipotong cepak, wajahnya lebih dewasa dan dagunya dipenuhi bintik-bintik halus. Tapi banyak hal mengenai Nata tidak berubah—senyumnya, pandangan matanya, sentuhannya.
Mereka berpandangan untuk waktu yang cukup lama,  berhadapan tidak hanya sebagai sepasang sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tetapi juga  sebagai individu yang memiliki banyak hal yang belum sempat tersampaikan.
Ia ingin berkata bahwa dia sudah menemukan mimpinya—menjadi seorang guru. Ia ingin bilang bahwa Annalise kini sudah mendapatkan tambatan hatinya dalam sosok Kak Dhanny. Ia ingin Nata tahu bahwa mereka semua baik-baik saja.
Niki selalu menunggu Nata—ingin mengetahui perasaan apa yang akan terefleksikan saat ia menatap langsung pada dua bola  mata pemuda itu. Ingin tahu apakah semuanya sudah berubah, sudah terlambat, atau lebih baik tidak terucapkan seperti kalimat yang disimpannya dalam hati pada hari kepergian Nata, lima tahun yang lalu.
Tapi, ketika mereka berdiri tidak jauh dari  satu sama  lain dan saling berusaha menata hati, Niki menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu dikatakan hanya untuk membuatnya nyata. Dia tahu jelas apa yang ingin Nata katakan kepadanya melalui pandangan mata itu, dan dia yakin Nata pun mengerti isi hatinya.
Tidak  ada yang berubah. Mereka masih saling memiliki; dulu, sekarang, dan selamanya.
"Gue udah kembali, Ki."
Niki menyambut ucapan itu dengan senyum. "I've missed you."
Nata membalas senyumnya, tangan kanannya menyentuh jari-jari Niki dan menggenggamnya erat. "I know."

***

Plain melodies
Simple guitar chords
Your  humming to my song
Lyrucs of the heart
...and the rhymes of the moon Make  the best night music Night music
That belongs to you  and I


***