Tuesday, October 13, 2015

SLEEP WITH THE DEVIL - SANTHY AGATHA - BAB 14


BAB 14

“Aku masih punya satu syarat lagi,” Lana tanpa sadar melangkah menjauhi Mikail, “Aku ingin tinggal di kamar putih yang dulu… kau.. eh bisa mengunjungiku kalau kau perlu sesuatu…”
“Cukup! Sekarang giliranku memberikan pengaturan untuk pernikahan kita!,” kesabaran Mikail tampaknya sudah habis, lelaki itu meraih pinggang Lana dan merapatkan di tubuhnya membuat Lana merasakan tubuh Mikail yang mengeras di sana, “Kau rasakan itu?,” Mikail menatap Lana, marah sekaligus bergairah, “Aku berniat untuk menjadikanmu isteriku yang sesungguhnya. Bukan kekasih yang kukunjungi jika aku perlu bercinta,” Jemari Mikail menuruni sisi lengan Lana dengan sensual dan kemudian berhenti di sisi payudaranya, meremasnya lembut, “Dan jika kita melakukan itu, kita tidak akan tidur di kamar yang terpisah!”
Hening.
“Kenapa? Kau tidak suka dengan syarat dariku?,” Mikail terus menahan payudara Lana dengan posesif. Lana adalah isterinya, sekarang dia harus menerima seluruh dirinya, tidak lagi berusaha menentangnya sekehendak hatinya. Pilihannya adalah mereka suami isteri atau tidak sama sekali, “Jika kau tidak menyukainya, lebih baik kita berhenti di sini sekarang juga,” sambil berusaha menahan keposesifannya, Mikail memperlembut tuntutannya, “Malam ini cukup sampai di sini kalau kau tidak siap”
Satu-satunya yang mendesak saat ini adalah tubuhnya yang berhasrat, tetapi Mikail masih mampu mengendalikannya jika Lana tidak mau melanjutkan. Perempuan ini telah menunjukkan keberanian besar dengan mengemukakan persyaratannya di depan Mikail dan Mikail menghargainya, dan karena itu ia bersedia memberikan waktu sebanyak yang diinginkan Lana.

Lana hanya terdiam di sana, menatap Mikail dengan tatapan kosong. Astaga, apa sebenarnya yang ada di dalam kepala mungil itu? Lana pasti sudah larut dalam persepsi dan pemikirannya sendiri. Apalagi setelah dia mengetahui kisah tentang Natasha.
Mikail sendiri tidak bisa menjelaskan perasaannya. Memang pada mulanya, dia menginginkan Lana karena kemiripannya dengan Natasha. Tetapi sekarang, dia merasa Tuhan telah memberikannya kesempatan kedua, dalam wujud perempuan yang sangat mirip dengan Natasha. Tidak, dia tidak pernah membayangkan Natasha. Tidak lagi. Setelah malam-malam kelam yang menghancurkan hati, yang dia lalui karena kematian Natasha dulu, Natasha telah berubah menjadi bayang samar yang kadang hadir dalam bentuk kenangan masa lalu yang indah. Mikail bahkan sudah berhasil tidak memikirkan Natasha lagi sejak bertahun-tahun  lalu.
Lana terasa… berbeda… tetapi bagaimana dia menjelaskannya kepada Lana? Perempuan itu tidak akan percaya bahwa gairah yang meluap-luap ini memang murni untuk dirinya. Mikail menyadari bahwa ia menginginkan pernikahan yang nyata, bersama Lana.
Lana bagaikan malaikat yang menariknya dari kegelapan. Hatinya yang kelam telah tersentuh secercah Matahari sejak kehadiran Lana. Dan Mikail tidak ingin melepaskannya.
“Baiklah,” suara pelan terdengar dari bibir Lana, terdengar enggan seolah-olah Lana tidak benar-benar setuju dengan dominasi Mikail dalam hubungan ini. Dan itu membuat Mikail senang, seorang isteri yang selalu setuju dengan pendapat suaminya sama sekali tidak menyenangkan. Di dalam
kehidupan pernikahan yang nyata, terdapat banyak ketidaksepakatan, sebanyak kasih sayang, tawa, maupun kesetiaan.
Mikail tersenyum dan menatap Lana dengan penuh bergairah, “Apakah kau sudah siap untukku Lana?,” jemari Mikail mengusap ujung payudara Lana dengan lembut. “Aku…..,” sekujur tubuh Lana bergetar,
“Mungkin aku perlu memeriksanya dulu,” Mikail meluncurkan sebelah tangannya dari payudara Lana, mengusap perut Lana yang basah dan terus bergerak turun. Dan karena kaki Mikail, entah sejak kapan, berada di antara kakinya, Lana tidak bisa menghalangi niat Mikail kalaupun ia ingin.
Mikail bergerak perlahan-lahan, memperhatikan isyarat sekecil apapun kalau-kalau Lana ingin berhenti. Di luar dugaan, Lana tidak menolaknya, tubuh perempuan itu menyambutnya, membuat Mikail harus menggertakkan gigi menahan hasratnya yang makin menggelegak. Lana membiarkan jemari Mikail menyentuhnya. Tubuh Lana begitu lembut, dan ia gemetar ketika Mikail menyentuh tubuhnya di bagian yang paling sensitif , berusaha menemukan pusat dirinya. Ketika akhirnya menemukannya, Mikail menggerakkan jemarinya dengan lembut. Hanya sekedar menggoda. Lana mengerang, tubuhnya bergetar hebat. Tubuh Mikail sendiri sudah menegang putus asa.
“Ya, kau memang sudah siap,” ucap Mikail sangat parau, Lalu mendorong Lana terbaring di ranjangnya yang berseprai satin hitam.
Mikail mengangkat kedua tangan Lana, meskipun Lana sedikit melawan. Sambil meletakkan kedua tangan Lana ke atas kepalanya, Mikail bergerak menindih Lana. Lana menatap Mikail dengan liar, teringat peristiwa yang mirip, ketika Mikail mengikat kedua tangan Lana di atas kepala dengan dasinya, apakah Mikail akan mengikatnya lagi?
“Aku tidak perlu mengikatmu sayang,” Mikail melepaskan tangan Lana dan mengecup bibirnya penuh gairah, jemarinya menyentuh kembali payudara Lana, membuat seluruh tubuh Lana menggelenyar,
“Mikail….,” tubuh Lana bergetar karena gairah,
“Betul sayang, ucapkan namaku,” Mikail bergeser turun dan menunduk, lalu mengulum puncak payudara Lana dalam bibirnya yang panas.
Lana mengerang setengah meronta, “Mikail… please… please…”
Erangan itu membuat Mikail ingin menyerah kepada Lana. Tubuhnya sendiri sudah sangat bergairah sampai terasa nyeri, Tetapi ia tahu betapa pentingnya mencumbu Lana sebelum bercinta dengannya. Setelah bercinta nanti, ia pasti ingin mencicipi Lana, lagi dan lagi dan dia ingin isterinya terus menginginkannya dengan hasrat yang sama besarnya.
Mikail menelusurkan tangannya ke bawah dan mengangkat pinggul Lana. Lana melingkarkan kedua kakinya di tubuh Mikail, mendekap Mikail ke tubuhnya, membuka diri,
“Belum, sayang,” Ketika Lana membuka bibirnya untuk memprotes, Mikail menciumnya.
Karena bibir Lana telah terbuka, ciuman itu berlangsung dengan sangat sensual. Mikail menggoda Lana dengan belaian dan jilatan lidahnya dan kemudian mencicipi bibir
Lana dengan sedikit lebih dalam.
Kedua tangan Lana mencengkeram rambut Mikail, untuk sejenak Lana tampak ragu, tetapi kemudian lidahnya membalas, membelai bibir Mikail dengan malu-malu dan hatihati. Mikail tidak dapat menahan diri lagi. Ia sudah berada di dalam tubuh Lana sebelum mereka sempat menarik napas.
Lana merapat, berusaha agar mereka menyatu lebih dalam lagi. Mikail menahan diri, meskipun gairah membuat tubuhnya menegang,
“Cium aku sayang, cium aku seperti kau menginginkanku untuk berada jauh di dalam dirimu, di dalam tempat yang belum pernah didatangi oleh siapapun”
Lana merespon dengan malu-malu tetapi tepat, tubuh Lana sedikit maju ke atas, lalu menangkup wajah Mikail dengan kedua tangan dan menciumnya. Kelembutan sikap Lana mengguncang Mikail, dan meruntuhkan segenap kendali dirinya.
Sambil menjalin jemarinya dengan jemari Lana, Mikail mendesak lebih dalam. Api gairah berdesir di dalam tubuhnya, mendesaknya untuk menandakan kepemilikannya pada diri Lana.
Sambil menggertakkan gigi untuk melawan godaan melakukannya dengan cepat, Mikail bergerak sedikit demi sedikit ke dalam tubuh Lana. Sebagian dirinya yang benarbenar primitif menggeramkan kepemilikannya. Lana adalah miliknya. Selamanya. Hanya dirinya yang boleh memiliki Lana.
Mikail meraih bibir Lana dengan ciuman rakus, dan bergerak kembali dengan kekuatan penuh, bagi Lana kenikmatan yang dirasakannya tak terlukiskan. Sementara bibir mereka bertautan, sebelah tangan Mikail kembali bergerak ke payudara Lana, membelainya. Lana hampir kehilangan kewarasannya akibat cumbuan itu dan dia berusaha menahan dirinya,
“Lepaskan sayang, jangan menahan diri lagi,” Mikail seolah mengerti apa yang dirasakan Lana, permintaan panas itu dibisikkan ke mulut Lana yang nyaris tenggelam dalam hasrat gairahnya.
Dan ketika jemari Mikail menyentuh sekujur tubuhnya, Lana menyerahkan dirinya. Tubuhnya mendesak di tubuh Mikail sementara gelombang kepuasan mendera tubuhnya.
Orgasme Lana menggiring Mikail hingga ke ambang batas kesadarannya, ia mulai mempercepat iramanya dan merasakan dirinya meledak, di dalam tubuh Lana. Terbenam dalam puncak kepuasannya.

***

Kehidupan perkawinan mereka berlangsung seperti yang seharusnya. Setiap malam Mikail selalu menyentuhnya, gairahnya seperti tak pernah habis. Tetapi hanya itulah saat mereka bisa dekat. Lana mengernyit menyadari bahwa dia hanya bisa dekat dengan suaminya ketika mereka bercinta. Mikail memang berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dia tidak pernah kasar dan memaksakan kehendaknya lagi.
Lelaki itu hanya mengangkat alisnya ketika Lana mulai membantah kata-katanya, kemudian melangkah pergi. Memilih menghindari konfrontasi.
Pernikahan mereka sudah berlangsung hampir dua bulan dan Lana masih merasakan ada yang mengganjal di hatinya. Oh ya, dia menyadari bahwa landasan pernikahan ini sudah salah dari awal. Hanya berlandaskan kontrak kerja yang dilapisi hasrat. Belum lagi alasan yang tidak mau diakui Mikail, bahkan sampai sekarang ini : bahwa Lana hanyalah pengganti Natasha.
Lana tidak pernah lagi mengunjungi sayap rumah yang menyimpan lukisan Natasha itu, dan Norman bahkan sudah tidak pernah menyinggung tentang isteri pertama Mikail lagi. Lana curiga bahwa Mikail melarang Norman dan semua orang di rumah ini membahasnya.
Karena Mikail sendiripun tampak tak pernah menjelaskannya, Lana menjadi semakin bingung. Akan seperti apakah pernikahan ini nantinya? Salahkah ia ketika menerima lamaran Mikail waktu itu? Dan satu lagi pertanyaan yang mulai mengusik hatinya, apakah ia mencintai Mikail?
Semakin Lana mencoba memikirkannya, semakin kepalanya terasa sakit. Ah, dia memang sering merasa pusing akhirakhir ini, pusing yang aneh karena timbul tenggelam tanpa tahu waktu.
“Lana?,” Mikail tiba-tiba sudah ada di depannya, “Kau kenapa?,” Lelaki itu mengernyit melihat Lana yang berjalan terhuyung-huyung sambil berpegangan di dinding lorong.
Lana mencoba berdiri tegak, tetapi pusing kali ini benarbenar menyerangnya dengan kuat sehingga dia oleng.
Seketika itu juga Mikail langsung menangkapnya. “Lana?,” Suara panik Mikail masih terdengar sebelum semuanya ditelan dalam kegelapan.

***

“Nyonya Raveno hamil, selamat tuan,” dokter tua itu menyalaminya dengan penuh semangat, “akhirnya ada calon penerus nama Raveno yang akan terlahir”
Mikail pucat pasi. Dokter itu terus berceloteh tentang kehamilan dan calon bayi mereka, tetapi yang ada di benak Mikail hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang selama ini coba dia lupakan, tetapi sekarang kembali datang menghampirinya.
Mikail menyuruh Norman mengantar kepergian dokter itu, dan kemudian Norman kembali dan menatap Mikail dengan cemas. Lelaki itu tentu tahu apa yang berkecamuk di dalam hati Mikail.
“Dia hamil,” Mikail mengulang pemberitahuan dokter tadi, meskipun dia tahu Norman sudah mendengarnya, dia hanya ingin mengucapkannya supaya benar-benar yakin bahwa mimpi buruk itu ternyata telah menjadi nyata.
“Kondisi nyonya sangat sehat tuan…”
“Sehat katamu??,” Mikail membentak marah, “Dia tadi pingsan di depanku, tampak pucat dan begitu lemah!” “Tetapi Nyonya Lana tidak sama dengan…”
“Diam!,” Mikail menggeram marah, “Lana tidak boleh hamil!,”
serunya memutuskan.

***

Lana membuka matanya dalam cahaya temaram di kamar Mikail. Yang ditemukan pertama kalinya adalah Mikail yang sedang duduk muram di kursi samping ranjang, sepertinya lelaki itu sedang menunggunya tersadar.
“Apa yang terjadi?,” tanya Lana lemah, memegang kepalanya dan mengernyit, masih pusing.
Mikail menatapnya tajam, tampak tidak suka dengan pemandangan Lana yang mengernyit kesakitan.
“Kau hamil,” gumamnya datar.
“Oh,” Lana terkesiap, otomatis langsung memegang perutnya dan menutupinya dengan gerakan melindungi.
Mikail mengikuti arah pandangan Lana dan ekspresi wajahnya mengeras.
“Kau harus menggugurkannya.”
Kali ini Lana benar-benar terkejut dengan kata-kata Mikail sampai hampir terduduk dari ranjang. Tetapi rasa pusing langsung menghantamnya, hingga dia terbaring lagi.
“Apa Mikail??,” Lana menatap Mikail tak percaya. Dia tahu lelaki ini memang kejam. Tetapi meminta Lana mengugurkan kandungannya, yang adalah darah dagingnya sendiri benar benar di luar dugaan.
“Aku tidak menginginkan anak itu, kau harus menggugurkannya”

***


No comments:

Post a Comment