Tuesday, October 27, 2015

UNFORGIVEN HERO - BAB 2


2

Dia memang tampan. Sangat tampan. Sayang terlalu tampan,   bukan   tipeku.   Elena   langsung   memutuskan   pada tatapan pertama mereka. Pria berdarah Spanyol dengan kulit emas tembaga dan rambut ikal yang hitam legam serta mata yang dalam itu tampak terlalu berbahaya untuk dijadikan tipenya.

Sementara   itu   bos   barunya   itu   hanya   menatapnya dengan tatapan menilai-nilai, menimbang-nimbang. Sehingga hening cukup lama dan Elena tak juga dipersilahkan duduk.
"Duduklah." Mr. Alex tampak tersenyum kecil, seperti puas karena telah memutuskan sesuatu, "Kau tahu siapa aku?"
Pertanyaan apa itu? Batin Elena tanpa sadar mengernyit. Tentu saja dia tahu.
Mr. Alex tersenyum lagi, seperti menyadari retorika dalam pertanyaannya,
"Ah, maaf aku sedikit gugup."
Sekali lagi Elena mengernyit, gugup? karena bertemu dengannya? Tidak mungkin. Pasti bosnya ini sedang gugup karena sesuatu yang lain.
"Kita belum berkenalan." Lelaki itu lalu mengulurkan jemarinya yang ramping ke arah Elena dan mau tak mau Elena menyambut uluran tangan itu.
"Kita langsung bersikap informal saja ya, mengingat aku dan kau akan sering sekali berhubungan.  Apalagi saat Donita memulai periode cuti hamilnya, kau bisa memanggilku dengan sebutan  Mr. Alex saja." gumam  lelaki itu  setelah melepaskan genggaman tangannya yang kuat.
'Saja'. Elena kadang-kadang merasa geli dengan ketajamannya  menganalisa  kata  perkata,  tetapi  itu  memang tidak bisa ditahannya. Kenapa Mr. Alex menggunakan kata 'saja' di akhir kalimatnya? Seolah-olah dia memiliki nama lain, bukankah namanya memang Alex?
Lelaki itu berdehem. "Mungkin kau bertanya-tanya kenapa  kau  dipanggil  masuk  ke  perusahaan  ini.  Aku mempunyai referensi dari universitasmu bahwa kau adalah lulusan terbaik disana, dan aku sangat senang memberikan pengalaman  dan ruang untuk lulusan-lulusan  baru sepertimu agar bisa mengeksploitasi kecerdasan dan kemampuan kalian. Aku senang mempekerjakan lulusan-lulusan baru", Mr. Alex tampak  tersenyum  dan  Elena  sedikit  bergetar  ketika menyadari, bahwa jika tersenyum lelaki itu tampak luar biasa tampan,  "Karena  lulusan  baru  biasanya  lebih  mudah  diajari cara-cara  modern,  mereka  mudah  menyerap  ilmu  dan  yang pasti mereka sangat bersemangat."
Mr. Alex berhenti sejenak untuk melihat apakah Elena mendengarkan  kata-katanya,  lalu melanjutkan,  "Itu juga yang kuharapkan darimu, kemampuan untuk menyerap ilmu baru dengan cepat dan semangat yang luar biasa tinggi, bisa?"
"Bisa," Elena menjawab dengan cepat dan mantap. Dia yakin bisa, dia sangat bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru di sini. Dunia kerja adalah hal baru baginya dan dia yakin dia memiliki kemampuan untuk belajar secara cepat.
"Bagus," Mr. Alex mengangguk puas, "Melihat dari bagusnya angka akademismu,  aku yakin kau juga akan bagus pada prakteknya. Kalau begitu, selamat datang di perusahaan ini  Nona  Elena,  semoga  kerjasama  kita  baik  sampai kedepannya", lelaki itu mengulurkan tangannya lagi, dan tersenyum sangat manis, "Aku sangat mengharapkanmu Elena"
Elena menerima uluran tangan itu dengan formal.
"Baik, saya akan berusaha sebaik mungkin,"  kemudian dia berdiri dan berpamitan kembali ke ruangannya.
"Oh. Elena?"


Elena yang sudah di depan pintu dan bersiap membukanya  menoleh  ke  arah  Mr.  Alex  yang  masih  duduk tegak di kursinya,
"Aku dengar kau menggunakan transportasi umum kemari?"
Elena mengangguk. "Benar, saya menggunakan angkutan umum," jawabnya mengernyit dan bertanya-tanya, bukankah informasi seperti ini sepertinya kurang penting untuk diketahui oleh seorang big boss?
"Dan aku tahu lokasi rumahmu cukup jauh", Mr. Alex tampak merenung, berpikir, lalu menatap Elena dengan tegas, "Aku  akan  mengusahakan  kendaraan  operasional  untukmu. Kami memiliki fasilitas antar jemput karyawan khusus untuk karyawan yang lokasi tempat tinggalnya jauh. Mungkin kau bisa bertanya kepada Donita untuk mendaftar."
"Itu bagus sekali," mata Elena berbinar tanpa dapat ditahan, fasilitas antar jemput karyawan ini akan sangat membantunya. Elena bisa mengirit biaya pulang pergi ke kantor yang memerlukan berganti angkot tiga kali dalam satu periode perjalanan,  dia akan  bisa menabung.  "Terima  kasih Mr. Alex, saya akan bertanya kepada Ibu Donita.”
Mr. Alex mengangguk, dan Elena melangkah keluar dari ruangan itu.

Ҩ

Dia  tidak  mengenaliku.   Tanpa  sadar  Rafael  menarik napas panjang, merasa lega. Dengan pelan diusapnya wajahnya. Bersyukur bahwa Elena tidak menyadari betapa gugupnya dia tadi. Betapa dia berjuang menampilkan sosok tegas yang berwibawa. Karena sosok seperti itulah yang bisa menutupinya dari kecurigaan Elena.
Aku bukan lagi manusia yang tidak punya harga diri seperti dulu, Elena. Kau  pernah mengatakan  kepadaku  untuk datang   padamu   ketika   aku   sudah   punya   harga   diri   lagi. Sekarang  aku  punya,  harga  diri  beserta  semua  atributnya, kedewasaan,  kebijaksanaan,  kebaikan  hati.  Tetapi  entah kenapa, aku masih merasa tak pantas menemuimu. Aku ini, manusia yang tak termaafkan.
Rafael mendesah pelan dan menyandarkan kepalanya di kursinya.
Sampai kapan dia harus begini? Tidak bisa mengakui dirinya  yang  sebenarnya  di  depan  satu-satunya  perempuan yang menjadi tujuan hidupnya? Sampai kapan dia harus begini? Bersembunyi? Malu mengakui diri? Rafael tidak punya jawaban, dia hanya merasa saat ini lebih baik dia memilih jalan pengecut, bersembunyi di balik bayang-bayang sosok Alex.
Bukankah dengan begini kau bisa lebih bebas menjaganya?,  suara  hatinya  berbisik  dan  Rafael menganggukkan kepalanya tanpa sadar.
Ya. Keputusannya tepat. Akan lebih baik jika Elena tidak pernah  mengetahui  identitas  dirinya  yang  sebenarnya.  Luka hati perempuan itu sudah sembuh, sangatlah tidak tepat kalau dia merusaknya dengan pertemuan dari masa lalu yang pasti akan membuka luka lama itu.

Ҩ

“Mr. Alex," panggilan itu membuat Rafael yang sedang menekuri perjanjian kontrak terbaru mereka dengan sebuah perusahaan properti mengangkat kepalanya. Rafael sebenarnya tidak begitu suka dengan panggilan itu, tetapi di perusahaan ini dia harus dipanggil dengan nama 'Alex", karena dia menginginkan Elena bekerja disini. Kalau dia tetap memakai nama Rafael, kemungkinan besar hal itu akan membuat Elena curiga dan kalau   Elena sampai tahu semuanya hal itu akan menggagalkan rencananya.
Sekretaris   Rafael,   muncul   di   pintu,   tampak   gugup,
"Itu…Tuan Damian ingin bertemu."

Rafael  mengernyitkan   kening,  Damian  adalah  CEO  - Untuk perwakilan Indonesia dari perusahaan asing yang menjalin kerjasama dan menanamkan modal di perusahaan ini. Mengingat  betapa  dingin  dan  sinisnya  penampilan  Damian, pantaslah kalau sekretarisnya menjadi begitu gugup.
"Persilahkan beliau masuk."
"Aku sudah masuk tanpa kau persilahkan."   Damian melangkah masuk tanpa peduli, dan menggangguk kepada sekretaris Rafael untuk membuatnya pergi dan langsung duduk di sofa ruang tamu Rafael.
"Kau membuatnya takut." gumam Rafael sambil melirik pintu yang ditutup sekretarisnya dengan pelan. Dia melangkah ke arah bar pribadi di pojok ruangannya dan menuangkan brendi untuk Damian, dan kopi untuk dirinya sendiri.
Damian melirik pintu dan mengangkat bahu, sambil menerima gelas brendi dari tangan Rafael,
"Kau harus sedikit lebih keras kepada bawahanmu kalau ingin   dihormati,"   Damian   menatap   Rafael   tajam,   berubah serius, "Aku ada dua undangan pesta makan malam di rumah Mikail Raveno dan aku mengira kau mungkin  bisa datang ke sana juga dan berkenalan dengannya."

Kopi yang ditelan Rafael tersedak di tenggorokannya. "Apa?" Rafael butuh mendengar ulang lagi, merasa tak percaya dengan indera pendengarannya, “Mikail Raveno?”
"Ya, berkenalan dengan Mikail Raveno,"    Damian tersenyum tipis melihat ketidakpercayaan di mata Rafael, "Kenapa   kau   tampak   begitu   terkejut?   Kau   tahu   kan   aku menjalin hubungan bisnis dengannya?"
"Aku tahu kau menjalin hubungan bisnis dengannya, tapi aku tidak menyangka kau berteman dengannya sampai-sampai menghadiri persta di luar urusan bisnismu."  Rafael bersungut- sungut, dan duduk di sofa, di hadapan Damian.
Damian menggeleng, masih tersenyum. Dan menurut Rafael, lelaki itu sudah lebih banyak tersenyum dari yang biasa ditampilkannya.   Sepertinya   pernikahannya   dengan   Serena telah membuatnya menjadi orang yang murah senyum.
'Aku   tahu   kau   tidak   menyukai   Mikail   Raveno.”   Itu pernyataan bukan pertanyaan.
“Ya. Aku tidak suka. Aku memang tidak berhak menghakimi   seseorang   dari   gosip   yang   kudengar,   tetapi reputasi  akan  watak  Mikail  Raveno  memang  sangat menakutkan. Aku bahkan mendengar bahwa dia dijuluki ‘Sang Iblis’ dan aku tidak suka tipikal pengusaha kejam semacam itu.”
“Mereka   berlebihan,   dia   tidak   sejahat   itu.”,   Damian terkekeh, “Lagipula isteriku bersahabat dengan istri Mikail.”
"Istri Mikail?", Rafael membelalakkan  matanya, "Ah ya, perempuan  yang  menimbulkan  gosip  heboh  beberapa  waktu lalu karena Mikail menculiknya ya? Mungkin perempuan itu memang  bisa menaklukkan  Mikail, aku dengar Mikail Raveno menjadi ‘jinak’ setelah isterinya itu melahirkan seorang putra untuknya.”
Damian terkekeh. “Mikail sudah menemukan keberuntungannya, dia jatuh cinta kepada istrinya.”
"Dan dari senyummu  yang  aneh itu, pasti kau hendak mengatakan kalau Mikail bernasib sama denganmu, sama-sama takluk karena cinta kepada istri kalian.”
"Memang," tak ada bantahan dari Damian, lelaki itu tampak bangga mengakuinya. Dia lalu meletakkan amplop undangan berwarna keemasan itu di meja kopi, "Ini undangannya, dan datanglah dengan membawa pasanganmu," mata Damian berkilat geli, "Entah kau pandai merahasiakan pasanganmu atau memang kau tidak tertarik. Kau tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan siapapun dan itu membuat kami bertanya-tanya tentang orientasi seksualmu"
Rafael langsung terbahak, "Aku menunggu yang terbaik." Damian   mengganggukkan   kepalanya.   "Well   menurut pengalamanku,   kita   memang   akan  menyerah   kepada   yang terbaik, semoga yang terbaikmu itu segera datang."
Rafael  merenung,   lalu  membayangkan   Elena.     'yang terbaiknya’ memang sudah datang.

Ҩ

Rafael memarkir mobilnya di tempat biasa, di sebuah sudut, tertutup bayang-bayang sebuah pohon besar yang teduh. Matanya  menatap  ke arah  bangunan  asrama  tua  itu.  Tempat yang sangat dihafalnya dan mungkin merupakan satu-satunya tempat yang paling sering dikunjunginya secara berkala.
Lalu Elena melangkah keluar dari sana, Rafael melihat jamnya, selalu tepat jam Sembilan di hari Minggu. Elena akan pergi berbelanja kebutuhan asrama ke pasar. Gadis itu tampak ceria dan sehat. Syukurlah, Rafael mendesah dalam hati.
Matanya mengikuti Elena dengan waspada ketika perempuan itu berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum  untuk  mengantarkannya  ke  pasar,  dan  Rafael mengernyit ketika sebuah angkutan yang penuh sesak berhenti di depan Elena dan perempuan itu masuk ke dalamnya.
Dia  tidak  boleh  naik  angkutan  umum  lagi.  Putusnya dalam hati, Rafael harus mengusahakan sesuatu. Setelah yakin bahwa Elena sudah benar-benar pergi, Rafael mengangkat ponselnya.
"Saya sudah menunggu disini,"  gumamnya tenang.
Tak  lama  kemudian,  sosok  ibu  Rahma  keluar  dengan hati-hati dari asrama, dan melangkah ke tempat parkir Rafael yang biasa.
Dengan sopan Rafael membukakan pintu dan ibu asrama itu melangkah masuk.
"Dia sangat senang karena diterima di perusahaan itu," Ibu Rahma memulai percakapan sambil tersenyum.
Mau  tak mau  Rafael  tersenyum,  membayangkan  Elena bahagia membuatnya tak bisa menahan senyum lebarnya.
"Saya senang, apakah dia merasa curiga? Apakah dia membicarakannya?" Rafael menatap Ibu Rahma dengan sopan. Wanita di depannya ini adalah mantan asisten mamanya yang sudah pensiun dan kemudian karena tidak mempunyai sanak keluarga, mengajukan diri untuk menunggui asrama putri tersebut.
Asrama ini sebenarnya adalah salah satu dari asrama milik yayasan sosial yang dikelola oleh Mama Rafael. Dan ketika Mama Rafael menceritakan  semua rencana Rafael, Ibu Rahma menawarkan diri dengan senang hati untuk membantu. Dan Rafael sangat menghormati wanita ini, hampir seperti dia menghormati mamanya sendiri.
"Dia sempat curiga." Ibu Rahma tersenyum melihat kecemasan di mata Rafael, "Tapi saya sudah berusaha menghilangkan kecurigaannya itu, lagipula nilai-nilai ijazahnya memang sangat bagus jadi tidak menutup kemungkinan perusahaan-perusahaan besar bersaing memperebutkannya."
Rafael menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkirnya semula di bawah pohon besar itu dengan tenang, mengarahkan mobilnya menuju rumahnya. Karena setiap minggu, Ibu Rahma akan berkunjung ke rumahnya untuk bertemu dengan mamanya. Setiap minggu itulah Rafael akan memanfaatkan waktu itu untuk mengevaluasi dan memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dari Ibu Rahma tentang Elena.
"Mungkin memang saya terlalu berlebihan, seharusnya saya menempatkannya sebagai staff biasa dulu, tapi saya tidak tahan, saya lelah melihatnya secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Saya ingin bisa berinteraksi langsung dengannya."
"Saya mengerti," Ibu Rahma tersenyum penuh kelembutan, "Tetapi tidak adakah ketakutan di hati anda kalau nanti lama-kelamaan Elena akan menyadari siapa anda sebenarnya?”
Pandangan Rafael menerawang ke depan. "Saya tidak tahu... saya menganggap ini semua seperti pertaruhan yang melibatkan hidup dan mati saya... Anda tahu kan betapa saya sangat menginginkan pertemuan ini, bisa bertatapan langsung dengan Elena, bisa berbicara langsung. Saya sangat menginginkan   pertemuan  ini....  sekaligus  takut...  sebab  jika Elena sampai mengenali saya... maka selesailah sudah semuanya."
Dengan  penuh  rasa  keibuan,  Ibu  Rahma  mengamati sosok  disampingnya  itu.  Rafael  sedang  berkonsentrasi menyetir, pandangannya lurus ke depan dan tidak menyadari kalau wajahnya diamati.   Ibu Rahma sudah mengenal Rafael sejak  lama,  karena  dia  sudah  menjadi  asisten  mama  Rafael sejak Rafael masih kecil.
Dia sendiri yang menjadi saksi betapa nakal dan pemberontaknya   Rafael   di   masa   mudanya,   dia   juga   yang menjadi saksi ketika kecelakaan itu telah mengubah Rafael 180 derajat. Dari seorang pemuda ugal-ugalan  yang sombong  dan hanya mengandalkan nama ayahnya, menjadi pengusaha yang berjuang dengan kekuatannya sendiri seperti sekarang.

Tidak. Ibu Rahma memutuskan, Elena tidak akan mengenali Rafael yang sekarang. Rafael yang sekarang jauh berbeda dengan Rafael yang dulu. Kebandelan masa remajanya sudah berubah menjadi sikap dewasa yang penuh wibawa. Fisiknya sudah berubah menjadi lebih dewasa pula, dan aura kesombongan dan keangkuhannya telah berubah menjadi kebijaksanaan yang tenang. Ibu Rahma yakin, Elena tidak akan bisa mengenali Rafael yang sekarang sebagai pemuda kaya yang dulu telah merenggut nyawa ayahnya.

"Saya sangat tahu perasaan anda, dan saya akan mendoakan yang terbaik, untuk anda dan untuk Elena juga. Dia anak yang baik, anak yang baik luar dan dalam. Hatinya sangat lembut, dan saya yakin, suatu saat nanti akan datang waktu di mana Elena akhirnya akan memaafkan anda."

Rafael  tersenyum  sedih  mendengar  kata-kata  Ibu Rahma, dimaafkan? Itu terdengar  terlalu mewah baginya. Dia tidak pernah sedikitpun berani memohon agar dimaafkan, karena dia tahu permohonan itu akan terlalu muluk untuknya. Dia bersalah, dan dia tak termaafkan, sesederhana itu. Yang diabutuhkan sekarang hanyalah agar Elena bahagia. Kebahagiaan
Elena entah sejak kapan, telah menjadi obsesi kehidupannya.

Ҩ

Elena memasuki lift dengan tergesa-gesa sambil membawa map berisi berkas-berkas yang kemarin diserahkan Donita kepadanya. Malangnya, karena kurang berhati-hati, map itu terlepas dari tangan Elena dan berhamburan di lantai lift. Membuat Elena dengan gugup langsung berjongkok dan memunguti kertas-kertas itu di lantai. Sampai kemudian dia sadar ada sepasang kaki dengan sepatu mahal dan terbungkus celana panjang hitam dari bahan khasmir yang mahal pula sedang berdiri di hadapannya.
Elena  mendongakkan  kepalanya  dan  bertatapan langsung  dengan  Mr.  Alex,  bos  barunya.  Lelaki  itu  berdiri dengan   elegan   dan   menatap   Elena   yang   berjongkok   di bawahnya dengan sinar geli di matanya,
“Butuh bantuan?”
Elena langsung merenggut seluruh kertas-kertas yang berhamburan di lantai itu secepatnya,
“Eh tidak Mr. Alex… maaf, saya ceroboh…”
Tiba-tiba Mr. Alex sudah berjongkok di depannya, tangannya yang kuat tetapi berjemari ramping itu membantu Elena memungut kertas-kertas yang berserakan, lalu tanpa kata menyerahkannya kepada Elena.
“Eh…  te…terima  kasih.”  gumam  Elena  gugup  sambil memasukkan kertas-kertas itu kembali ke dalam map.

“Lain kali tidak perlu terburu-buru, tidak akan ada yang memarahimu.”, Mr. Alex meluncur berdiri dengan anggun bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Lelaki itu lalu melangkah pergi, meninggalkan Elena yang masih berjongkok di dalam lift.


2 comments:

  1. Yuhuuu thanks yg udah kasih linknya 🙏cieee Abang Damian sma Mikail nongol nih yeee😇

    ReplyDelete