Tuesday, October 27, 2015

UNFORGIVEN HERO - BAB 5

5

Perputaran  dunisungguh  tidak  dapat  diduga. Begitupun perjalanan hidup manusia. Elena melirik cincin berlian  elegan  yanberkilau  di jari manisnya.  Dia datang  ke perusahaan  ini karena sebuah panggilakeberuntungan  yang datang tak diduga. Dan hanya karena satu kejadian di malam pesta itu, tiba-tibdia menjadi  tunangapemilik  perusahaan ini.  Siapa  yang  bisa  mengira?  Bahkan  ddalaimajinasinya yang paling liarpun dia tidak pernah menduganya.
Semua  ini  terjadi  terlalu  cepat…  terlalu  tiba-tiba.  Dia bahkan tidak mengenal jauh Mr. Alex….
Elena membatin dalam hati, dan tanpa sadar mengernyitkan dahinya. Yang dia ketahui tentang Mr. Alex hanyalah   info   dari   majalah   bisnis   yang   dibacanya   ketika mencari tahu tentang perusahaan yang memanggilnya untuk interview  itu,  dan  beberapa  info  dari  Donita,  yang  sekarang sudah mengambil  cuti hamilnya.  Donita akan  sangat  terkejut kalau saja dia ada di kantor untuk menyaksikan semua drama ini. Elena tahu bahwa Mr. Alex adalah pendiri perusahaan yang jenius, berdarah Spanyol dari ibunya, dan mempunyai adik perempuan dengan masa lalu yang sungguh menimbulkan empati. Meskipun sekarang Victoria sudah menjadi wanita yang tegar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu alasan utama Elena menerima pertunangan ini adalah karena empatinya kepada Victoria, dan kekagumannya akan rasa bertanggungjawab  Mr.  Alex  karena  begitu  memikirkan kesedihan yang pernah dialami Victoria. Mr. Alex pasti sangat menyayangi adiknya. Elena tidak pernah punya saudara kandung, dia anak tunggal, yang pada akhirnya harus berakhir sebatang kara. Karena tragedi itu... Tragedi yang sudah dilupakannya dan dikuburkannya dalam-dalam. Karena setiap dia mengingatnya akan muncul rasa marah terpendam, membuatnya ingin berteriak atas ketidakadilan kehidupan. Ingatan tentang kemarahan itu menjadi samar-samar seiring berjalannya waktu. Elena belajar menyimpan jauh-jauh. Tidak sepenuhnya melupakan. Tidak sepenuhnya memaafkan.
Elena mengerjapkan mata ketika mobil hitam yang elegan itu meluncur dengan mulus dan berhenti tepat di depannya. Mr. Alex sendiri yang menyetir mobilnya, dengan sopan, dia turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang di sebelahnya untuk Elena,
“Maafkan  aku,  aku  sedikit  tertahan  di  lobi  tadi.  Aku harap kau tidak menunggu lama.”
“Tidak. Aku baru beberapa menit di sini.” Elena melangkah masuk ke mobil dan lelaki itu menutupnya, lalu kembali ke balik kemudi dan menjalankan mobilnya.
Tiba-tiba sebuah pemikiran  melintas di benak Elena, bahwa dia bahkan tidak tahu nama lengkap lelaki ini.
“Bagaimana   mungkin   kita   melanjutkan   semua   ini, kalau  kita bahkan  tidak saling mengenal sama sekali?”  tanpa sadar Elena menyuarakan pemikirannya.
Rafael  melirik  sedikit  ke arah  Elena  dan  tersenyum, “Masih banyak waktu, dan dengan senang hati aku akan membuka diri sehingga kau bisa lebih dalam mengenalku.” Suaranya merendah lembut, “Dan aku harap kau juga membiarkanku mengenalmu lebih dalam.”
Elena menghela napas. Kenapa kata-kata Mr. Alex yang biasa saja bisa terdengar begitu sensual di telinganya? Apakah itu memang nyata atau dia selalu berkonotasi mesum sejak kejadian malam itu? Dengan tak kentara Elena menggelengkan kepalanya, mencoba berkonsentrasi kepada sesuatu yang logis.
“Siapa nama lengkapmu?”
Rafael  mengerem  dengan  mendadak.   Hampir membuat  ban  mobil  berdecit  dan  tubuh  Elena  terdorong  ke depan, untunglah mereka sedang berada di jalanan yang sepi. Elena menoleh ke arah Mr. Alex dan menatap bingung. Lelaki itu tampak kaget… karena pertanyaannya, ataukah karena sesuatu di jalan?
Tetapi   Rafael   dengan   cepat   menguasai   diri,   dia menatap Elena dan meminta maaf, “Maafkan aku, TADI ada kucing menyeberang.” gumamnya cepat sambil mengalihkan pandangan kembali ke arah jalan.
Apakah hanya perasaannya saja…atau Mr. Alex sedang mencengkeram kemudinya erat-erat?
Elena  mengalihkan  pandangannya  ke  jalan  dan akhirnya   tersenyum,   “Kucing  memang  sering  menyeberang tiba-tiba, kadang kita baru melihat ketika mereka sudah di seberang mata, membuat kita kaget setengah mati.”
“Yah. Dan aku memang kaget setengah mati.” Lelaki itu melirik Elena, “Tadi kau bertanya apa?”
“Nama lengkapmu?”
“Oh…. Kau tidak tahu ya, padahal kau sudah beberapa lama  bekerja  sebagai  bawahanku.  Keterlaluan.”  Rafael  pura- pura mencela, padahal jauh di dalam hatinya dia tahu. Dialah yang mengusahakan  agar Elena tidak  tahu  nama lengkapnya. Bahkan  semua  surat  dan  dokumen  resmi  diperusahaan  itu selalu atas nama R. Alexander. Mungkin ini adalah saatnya mengambil  resiko.  Kalau  Elena  tidak  bereaksi  apapun  atas nama lengkapnya, berarti Rafael bisa melangkah ke rencana ke depannya dengan aman. Karena bagaimanapun, kalau mereka menikah   nanti,   Elena   harus   tahu   nama   lengkapnya.   Dia menghela napas sekali lagi, seakan hendak melepas sumbu granat, “Nama lengkapku tidak istimewa, Rafael Alexander.”
Rafael   mencoba   tenang   meskipun   jauh   di   dalam hatinya  dia  ketakutan  setengah  mati.  Selama  ini  dia menganggap nama itu tabu, karena takut akan membuat Elena langsung teringat kepada siapa dia sebenarnya. Dan sekarang setelah melepaskan nama itu. Rasanya seperti menanti sesuatu yang akan meledak, membuatnya berdebar.
Tetapi apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Elena memang sedikit mengernyitkan dahi, lalu perempuan itu mengangkat bahunya, “Nama lengkapku Elena Juliana.”
“Elena yang lahir di bulan Juli.” Rafael mencoba bercanda, menutupi rasa lega luar biasanya ketika menyadari Elena tidak menghubungkannya dengan pemuda yang telah membunuh   ayahnya  bertahun  lalu.  Tentu  saja  penampilan Rafael yang dulu dan sekarang berbeda. Rafael yang dulu kurus karena memakai obat dan minuman keras, perokok berat, ugal- ugalan  dengan  tindik  telinga dan  rambut  yang  di  cat  kuning menyala. Secara fisik sangat sulit menghubungkan dirinya yang sekarang dengan pemuda tak bertanggung jawab di masa lalu itu, tetapi Rafael memutuskan mengambil resiko sekali lagi, untuk melihat reaksi Elena, dengan hati-hati dia berucap,
“Kau   bisa   memanggilku   Rafael   kalau   kau   mau… keluargaku memanggilku begitu….”
“Tidak.”  Jawaban  Elena  begitu  cepat,  hanya sepersekian detik dari Rafael, “Aku tidak mau. Aku akan memanggilmu dengan ‘Alex’ saja jika kau tidak keberatan.”
Tubuh Elena begitu tegang. Rafael membatin, lalu menarik  napas  dengan  pedih,  Elena  masih  mengingat  jelas nama   lelaki   yang   membunuh   ayahnya.   Dan   menilik   dari sikapnya  yang  menolak  memanggil  siapapun  dengan  nama ‘Rafael’,  gadis  itu  jelas  masih  menyimpan  kebencian  kepada lelaki yang membunuh ayahnya. Rafael harus bisa membuat Elena melupakan “Rafael pembunuh ayahnya’ dan terbiasa mengasosiasikan nama ‘Rafael’ dengan lelaki baik yang akan menjadi suaminya.
“Aku keberatan.” Rafael tersenyum lembut, dan mengarahkan pandangannya kembali ke jalan. Elena harus belajar memanggilnya dengan nama ‘Rafael’. Dengan begitu, mungkin   saja   dia   bisa   melunturkan   kebenciannya   kepada
‘Rafael’  di  masa  lalunya.  “Sudah  kubilang,  keluargaku  selalu memanggilku  dengan  nama  ‘Rafael”  dan  kau  akan  menjadi keluargaku yg terdekat.”
“Tapi aku….”
“Cobalah Elena.” Panggil namaku. Rafael menahan erangan dalam hati. Ah, betapa inginnya dia mendengarnya, betapa inginnya dia mendengar namanya diucapkan oleh suara merdu dari bibir Elena…..
Elena menghela nafas, dan sejenak Rafael merasakan bahwa Elena ingin membantah, tetapi kemudian gadis itu memutuskan untuk tidak melakukannya.
“Rafael.”
Nama itu akhirnya terucapkan dari bibir Elena, dengan enggan, pendek, dan sederhana. Tetapi terdengar luar biasa di telinga Rafael, bagaikan alunan merdu menghembus telinganya. Mimpinya. Mimpinya selama ini telah terwujud. Rafael memejamkan matanya sekejap, berusaha menahan senyum lebarnya.

Ҩ

Alice   sedang   berjalan   santai   menelusuri   butik   itu ketika sebuah tangan keras mencengkeram lengannya, dia setengah memekik dan menatap marah kepada pencengkeram lengannya, Edo yang sedang berdiri di dekatnya.
“Lepaskan aku Edo, kau kasar sekali.” Alice tersenyum berusaha tampak tenang.
Edo lama menatap Alice dengan tajam, lalu akhirnya melepaskan  pegangan  tangannya.  Dengan  sinis  Alice mengusap-usap lengannya yang memerah bekas cengkeraman Edo.
“Ini  akan  memar.  Apa  yang  membuatmu mendatangiku  dan  tiba-tiba  bertingkah  sekasar  ini?” Tatapannya  berubah  menggoda,  “Apakah  kau  ingin melanjutkan yang tertunda waktu itu?”
Edo mendengus kesal, “Hentikan Alice, aku tahu pasti kau tidak tertarik kepadaku. Dulu aku mengejarmu dan kau menolakku mentah-mentah.” Tatapannya berubah tajam lagi, mengintimidasi, “Kenapa malam itu kau merayuku?”
Alice mengerling dan tersenyum, “Mungkin karena aku sedang ingin berubah pikiran.” Dia sengaja mengedipkan matanya menjengkelkan, “Kenapa Edo? Apakah kau tidak tersanjung dirayu olehku?”
Edo menyipitkan matanya, “Aku mencium bau busuk. Ada sesuatu yang tersembunyi di sini, dan aku menjadi korbannya,  tapi ingat Alice,  aku tidak  akan  tinggal diam,  aku akan mencari tahu.”

‘Mencari tahu apa Edo? Kau aneh..” Alice tertawa, “Mungkin kau sedang patah hati ya jadi sibuk berhalusinasi.”
“Patah  hati?  Apa  maksudmu?”  suara  Edo  menajam, waspada.
“Wah, kukira kau sudah tahu.” Alice mengedipkan matanya lagi, “Perempuan yang kau kejar itu, si cantik yang sederhana,  dia akan  menikah  dengan  Alex.”  Alice  tersenyum, menikmati rona pucat yang langsung menguasai wajah Edo, membuat   lelaki   itu   tertegun.   Dia   mengibaskan   tangannya, “Sudah ya, aku sibuk. Lain kali kalau mau membuang waktuku, tolong lakukan untuk sesuatu yang lebih penting.”
Ditinggalkannya Edo yang masih membatu di sana

Ҩ

“Kau tidak akan memberitahu  mama? Dia pasti akan langsung pulang dari Spanyol dengan bahagia mendengar kabar penikahanmu.”  Victoria  mengingatkan.  Sang  mama  memang baru  berkunjung  ke  Spanyol  untuk  menengok  adiknya  yang sakit.
“Tidak.  Aku  tidak  mau  dia  pulang.  Elena  mungkin mengingatnya.   Ketika  ayahnya  meninggal.  Mama  dan  papa datang ke rumah mereka dan menyampaikan permintaan maaf dan uang santunan, Elena dan ibunya menolak mentah-mentah. Bersikeras supaya semua dijalankan di jalur hukum. Entah apa yang dilakukan papa kemudian sehingga semua berhenti.”
“Jadi kau akan melarang mama selamanya bertemu menantunya? Itu rencanamu?” Victoria mengernyit, “Itu sama saja mencegah matahari terbit kak, suatu saat kau akan ketahuan.”
“Tetapi tidak sekarang. Tidak sampai aku sudah benar- benar berhasil memiliki Elena.” Rafael bergerak ke bar, dan menuangkan brendi untuk dirinya sendiri. Tidak dihiraukannya dengusan sinis Victoria.
“Kau   sepertinya   menjadi   sangat   terobsesi   kepada Elena. Dulu kau terobsesi mencukupi semua kebutuhannya, memastikan dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri, sekarang di saat itu semua tercapai, kau terobsesi untuk memilikinya.” Victoria ikut menuangkan brendi dan meminumnya lalu mengernyit, “Mungkin kau harus menemui psikiater.”
“Psikiater  hanya akan menemukan satu kesimpulan.” Rafael tersenyum simpul sambil menatap Victoria, membuat adiknya itu mengernyit bingung,
“Kesimpulan apa?”
“Bahwa aku sedang jatuh cinta.”
Victoria tertegun, benar-benar tertegun. “Kau… benar- benar jatuh cinta kepada Elena? Maksudku… semua ini bukan karena obsesi dan rasa bersalah?”
“Itu  juga. Awalnya karena rasa bersalah,  tetapi lambat laun,   mengamatinya   dalam   diam,   memperhatikannya,   dan tanpa sadar… mencintainya. Karena itulah aku ingin memilikinya,   dan  tidak  rela  membiarkannya  dimiliki  lelaki lain.”
“Kau mempertaruhkan hatimu kak.” Victoria mengernyit, “Dia akan membuatmu hancur berkeping-keping kalau dia tahu siapa sebenarnya dirimu.”
“Setidaknya  aku sudah mencoba.” Rafael mengernyit, mencoba menghilangkan apa yang sudah pasti akan terjadi di depannya nanti. Kalaupun itu terjadi nanti, semoga cintanya kepada Elena cukup untuk mempertahankan perempuan itu.
Victoria   menatap   sedih   kakaknya,   kemudian   dia teringat sesuatu dan nada suaranya berubah khawatir.
“Apakah kau sudah membereskan Luna?” “Ada apa dengan dia?”
“Dia  akan  sangat  marah  ketika  tahu  kau  akhirnya bersatu dengan Elena-mu.”
Rafael mendesah. Dia lupa sama sekali tentang Aluna, karena terlalu fokus pada Elena. Aluna atau cukup Luna, begitu ia ingin dipanggil adalah ‘pasangan tetapnya’ bisa dikatakan begitu, atau kalau mau secara lugas, Luna adalah ‘partner seks’nya.   Hubungan   mereka   bebas   dan   tanpa   komitmen, mereka saling memanfaatkan satu sama lain. Entah apa motif Luna,  mungkin  karena Rafael  cukup  tampan  dan  kaya  untuk dijadikan kekasih. Tetapi motif Rafael adalah mencari pelarian ketika  dia  sangat  menginginkan  Elena,  melihatnya  dari kejauhan tetapi tidak bisa menyentuhnya. Victoria hanya tahu kalau  Rafael  berkencan  dengan  Luna,  dia  tidak  tahu  bahwa Rafael benar-benar menggunakan Luna, bahkan pada saat bercintapun, Rafael melakukannya dalam kegelapan, dan memanggil  Luna,  dengan nama Elena.   Sekali,  Luna bertanya mengapa, tetapi Rafael menyuruhnya diam dan tidak bertanya lagi. Sejak itu Luna tidak pernah bertanya lagi, meskipun Rafael selalu memanggilnya dengan sebutan Elena ketika bercinta.
Sampai beberapa lama kemudian, Rafael merasakan kehampaan,   bahwa   dia   tidak   bisa   menipu   dirinya   sendiri dengan  memakai  Luna  sebagai  pengganti  Elena.  Bahwa  dia tidak bisa kalau bukan Elena. Maka ditinggalkannya Luna. Mengakhiri hubungan tanpa komitmen mereka baik-baik.
Seharusnya  Luna tidak  akan  menjadi  gangguan, kecuali   kalau   sampai   dia   mendengar   bahwa   Rafael   pada akhirnya  bersatu  dengan  perempuan  bernama  Elena.  Radar ingin tahu Luna pasti akan berbunyi, dan siapa yang bisa menebak apa yang akan dilakukannya nanti.
“Aku harap dia akan terus berada di luar negeri. Setidaknya sampai aku berhasil membawa Elena ke dalam pernikahan.”
“Kau tidak seberuntung itu kak. Aku dengar dia akan pulang   dalam   waktu   dekat.   Kau   harus   menjauhkan   Elena darinya. Luna memang menjalin hubungan tanpa komitmen padamu, tetapi dia selalu menganggap kau bebas dan bisa didatanginya kapan saja. Kalau dia sampai tahu kau sudah terikat, mungkin dia akan tergelitik untuk mengganggu.”
Dan seperti memilih waktu yang tepat, ponsel Rafael berbunyi,  dia  mengangkatnya  ketika  melihat  nama  Alice  di layar.
“Ada apa Alice.”
Di seberang telepon Alice menjelaskan perihal insidennya dengan Edo di butik barusan. Membuat Rafael menghela   napas   sekali   lagi.   Setelah   telepon   ditutup,   dia menatap Victoria penuh tekad.
“Pernikahan ini harus segera dilaksanakan.”

Ҩ

Dan untuk melaksanakan  pernikahan  dengan  segera, Rafael membutuhkan bantuan Damian. Dia mendatangi Damian di kantornya,
“Apa?  Pernikahan?”  Damian  sangat  terkejut.  Apalagi dia tidak pernah mendengar Rafael dekat dengan siapapun sebelumnya. “Jangan bilang kalau kau jatuh dalam jebakan perempuan licik yang berpura-pura hamil.”
Rafael  terkekeh,  “Bisa  dibilang  aku  yang  menjebak calon pengantinku.” Ditatapnya Damian serius, tahu bahwa sahabatnya itu tidak akan banyak bertanya kalau tidak dijelaskan,  “Aku  butuh  bantuanmu  agar  pelaksanaannya berjalan sempurna.”
“Aku bisa mengurusnya. Kau bisa tinggal di hotelku di sana. Dan untuk pernikahan kau bisa menghubungi nomor ini. Dia yang dulu mengurus pernikahanku dengan Serena. Semoga dia bisa membantumu.” Damian menyerahkan sebuah kartu nama ke tangan Rafael.
Rafael  menerimanya  dan  tersenyum,  “Terima  kasih Damian, kau tak tahu betapa berartinya ini untukku.”
Damian mengamati Rafael dengan tenang, dan menganalisa. Ini hampir sama seperti Mikail yang tergesa-gesa menikahi  Lana dulu.  Tetapi  Rafael  tampaknya  lebih  terdesak dan panik. Seperti memegang bom yang akan meledak dalam hitungan waktu tertentu.
“Calon pengantin  yang katamu  kau jebak ini, apakah kau mencintainya?”
Rafael tersenyum lembut membayangkan Elena, “Ya Damian. Tentu saja, kalau tidak untuk apa aku repot-repot menjebaknya ke dalam pernikahan ini.”
“Dan   mengingat   kau   sampai   perlu   menjebaknya, berarti dia tidak memiliki perasaan yang sama?”
“Mungkin saat ini tidak, tetapi aku akan membuatnya berubah pikiran.”
Damian terkekeh, “Kita para lelaki yang semula merasa begitu sempurna dan bisa menaklukkan wanita manapun, pada akhirnya  akan  menyerah  kepada  perempuan  yang  membuat kita penasaran  setengah mati. Membuat kita menebak-nebak, lalu tanpa disadari sudah terperosok ke dalam cinta yang begitu dalam.”


“Apakah itu yang kaurasakan kepada istrimu dulu?”
“Persis  seperti  itu.”  Jawab  Damian   puas.  “Dan  itu adalah hal paling membahagiakan dalam hidupku.”
Rafael mengamati Damian dan tersenyum, “Kau beruntung.”
“Dan   sepertinya    kau   juga,   mengingat    kau   akan menikah dengan wanita yang kau cintai.”
“Yah.  Aku  beruntung…  meskipun  begitu  banyak rahasia menyakitkan di masa lalu yang menghantui… aku masih berharap semuanya tidak akan membalik kepadaku nanti dan menghancurkanku.”
“Apa   maksudmu    Rafael.”   Suara   Damian   berubah waspada.
Rafael tertawa. “Aku tidak sedang dalam bahaya Damian. Ini menyangkut masa lalu dan masa depanku yang berjalinan. Ceritanya panjang, dan aku akan menceritakan kepadamu suatu saat nanti.”
“Oke.” Damian menatap Rafael dan akhirnya menarik kesimpulan, “Gadis yang akan kau nikahi ini ya, yang membuatmu begitu dingin dan tak bisa didekati selama ini.”
Rafael tersenyum, tidak membantah.

Ҩ

“Mungkin  ini  bukan  ide  bagus.”  Elena  menatap  Rafael bingung, “Apakah ini harus dilakukan?”
‘Ya. Aku sudah bertekad. Dan kau tidak bisa mundur Elena, demi dirimu sendiri, demi Victoria, ingat?”
“Ta… tapi aku tidak menyangka akan secepat ini… maksudku… kau bilang kita punya kesempatan untuk saling mengenal dulu, katamu  kita punya waktu untuk pertunangan yang panjang sehingga… sehingga….”
“Aku sudah memesan tiket, semua sudah disiapkan di sana. Victoria akan menyusul kita nanti. Tidak bisa dibatalkan. Dan sekarang kita sedang dalam perjalanan ke sana.”
Mereka menuju pulau itu, pulau yang sangat terkenal sebagai pulau impian, pulau tempat dewa-dewa pernah bersemayam. Tempat banyak pasangan menikah secara eksotis, dengan suasana yang eksotis pula. Dan Elena berangkat tanpa prasangka apapun.
Tadi pagi Rafael menyuruhnya bersiap-siap karena dia ada meeting mendadak dengan klien di pulau itu, dan Elena harus ikut. Elena sempat memprotes karena dia tidak mempersiapkan apapun. Tetapi Rafael bilang semua sudah disiapkan, bahkan lelaki itu berbaik hati memintakan izin langsung kepada ibu asramanya ketika mengantar Elena pulang untuk mengambil baju dan perlengkapannya.
Dan   baru   di   pesawat   Rafael   mengatakan   bahwa mereka berangkat untuk menikah. Kejutan katanya tanpa rasa bersalah. Meskipun bukan kejutan yang baik untuk Elena. Dia panik, gemetaran, dan merasa terjebak luar biasa.
Di bawa ke sebuah pulau yang belum pernah didatanginya untuk dinikahi, tanpa rencana dan pemberitahuan sebelumnya.  Ini   hampir seperti  dia diculik  oleh Rafael. Atau jangan-jangan memang ini rencana lelaki itu?
“Kau  sengaja.”  Tatapannya  menuduh.  Tetapi  Rafael tampak tidak terpengaruh, lelaki itu memasang muka datar.
“Apanya?”
“Ini semua, kau merencanakannya,  sengaja membuat aku tidak bisa mundur atau lari.”
Lelaki itu tersenyum lembut, “Tidak sayang, sungguh aku tidak sengaja melakukan itu….” Tatapannya berubah menerawang, “Sebenarnya ini karena Victoria… dia yang mendesak    pernikahan    ini    dilakukan    segera,    aku    sudah menceritakan insiden malam pesta itu … dan dia menangis.. Dia teringat kejadian yang menimpa dirinya…. Dan dia mendesakku untuk menjadi lelaki yang bertanggungjawab atau dia akan memusuhiku….semoga kau mengerti Elena…”
Elena tercenung. Lalu tatapannya berubah melembut, “Oh… begitu…”
Rafael menganggukkan kepalanya, “Dia akan menyusul ke sana, merayakan pernikahan kita. Semoga kalian bisa akrab nantinya.” Lelaki itu menghela napas lega sambil meminta maaf dalam hati kepada Victoria, karena menggunakan nama adiknya itu lagi untuk memanipulasi Elena.

Ҩ

Penerbangannya tidak lama, hanya dalam waktu dua setengah jam mereka sudah sampai.  Rafael membimbing Elena melalui  koridor  bandara,  menuju  pintu  keluar,  dan  seorang supir berpakaian rapi rupanya sudah menunggu, dan membawa mereka ke mobil hitam berkilat yang sudah disiapkan.
Perjalanannya sendiri singkat, dan mereka sudah tiba di jalan besar, dan berhenti di hotel yang penuh dengan lampu menyala yang elegan. Membuat Elena terpana. Meskipun dia menahan dirinya supaya tidak terlihat memalukan di depan Rafael. Lelaki itu menggandeng  tangannya dengan mesra dan membawanya ke president suite di lantai paling atas hotel. Sepertinya  para  pegawai  di  hotel  ini  telah  menunggu kedatangan mereka dan menyiapkan segalanya untuk mereka.
Terima kasih untuk Damian dalam hal ini. Hotel ini adalah salah satu hotel besar milik lelaki itu. Damian sudah menyiapkan segalanya untuk mereka seperti janjinya.
Elena mengernyitkan keningnya ketika mereka mendapatkan kamar yang sama. Dia menahan Rafael di depan pintu.
“Kita satu kamar?” Rafael   mengangkat   bahunya,   “Kita   akan   menikah besok jam sepuluh pagi. Apa bedanya?”
“Ada bedanya. Aku tidak mau sekamar denganmu sebelum menikah.” Gumam Elena keras kepala.
“Kita sudah pernah melakukannya sebelumnya Elena, tidur   sekamar.   Seranjang   malahan.”   Lelaki   itu   tersenyum lembut melihat kecemasan di wajah Elena yang memerah malu, “Maafkan  aku,  aku  hanya memikirkan  kepraktisan  saja tanpa memperhitungkan perasaanmu. Aku berpikir bahwa besok pagi toh  kita  sudah  menikah,  jadi  tidak  ada  gunanya  menyewa kamar  terpisah….Aku  tidak  sadar  hal  ini  akan  membuatmu tidak nyaman…..” Dengan lembut Rafael menyentuh pipi Elena, “Mungkin  kalau  aku  berjanji  tidak akan  berbuat tak senonoh padamu malam ini, kau bisa sedikit lebih tenang?”
Elena merasa tak yakin, “Apakah kita akan tidur seranjang?”
“Ada sofa besar di sana. Aku akan tidur di sofa jika itu maumu.”
Sejenak Elena berpikir, lalu menghela napas panjang. Sepertinya janji Rafael bisa dipercaya.
“Baiklah kalau begitu.”
Dan merekapun masuk ke kamar itu.

Ҩ

Ketika Rafael sedang mandi, Elena menyempatkan  diri untuk menelepon ibu Rahma. Perempuan itu sudah dia anggap sebagai  ibunya,  dan  tidak  mungkin  Elena  melakukan pernikahan tanpa mengabari sosok pengganti ibunya itu. Dijelaskannya semuanya kepada Ibu Rahma, dengan suara terbata-bata bahwa dia akan menikah dengan bosnya, Mr. Alex. Elena dengan  malu  akhirnya  menceritakan  insiden  di malam pesta itu, mengakui kepada Ibu Rahma bahwa dia berbohong mengatakan menginap di rumah temannya. Di luar dugaan, Ibu Rahma  tidak  mempermasalahkannya,   dengan  bijaksana  Ibu Rahma menerima penjelasan Elena,
“Ibu mengerti Elena, kalian berdua sudah dewasa dan kalian bisa menentukan sendiri apa yang menurut kalian baik. Ibu juga salut dengan bosmu yang bertanggungjawab. Tidak semua   lelaki   mau   menerima   tanggungjawab   begitu   besar karena sebuah insiden yang diakibatkan oleh mabuk. Kebanyakan lelaki akan melarikan diri.” Ibu Rahma menghela napas panjang, “Ibu hanya bisa mendoakan dari sini nak. Ibu yakin segala sesuatu yang awalnya dilakukan untuk tujuan yang baik, akan berujung kebaikan pula.”
Elena menghembuskan  napas lega, bersyukur karena Ibu Rahma merestui pernikahan buru-burunya, “Terima kasih Ibu, semoga.. semoga apa yang saya putuskan ini tidak salah...”, keraguan mewarnai suaranya.
“Kau harus yakin bahwa calon suamimu adalah suami yang baik...” Ada senyum dalam suara Ibu Rahma di seberang sana. “Menurut ibu dia orang baik. Lalu apa rencana kalian setelah menikah? Kalian akan langsung pulang?”
“Saya... saya masih belum tahu bu.”
“Kabari ibu kalau kalian pulang ya. Ibu akan mengerti kalau kau tidak langsung pulang ke asrama nantinya. Kau akan pulang sebagai perempuan yang sudah menikah, diskusikanlah semuanya dengan suamimu ya.”
Tanpa sadar Elena menganggukkan kepalanya, lupa kalau dia sedang berbicara di telepon, “Baik ibu, terima kasih ibu.”
“Kamarmu akan tetap tersedia seperti biasanya, dan pakaian-pakaianmu  masih  banyak  di  sini  kan?  Kalau  pulang nanti dan memutuskan akan langsung ke tempat tinggal suamimu, ibu akan menjaga kamarmu seperti kalau kau masih tinggal di sini. Kau bisa mengambil pakaian-pakaianmu dan barang-barangmu  kapan  saja,  jangan  cemaskan  hal  itu. Pokoknya fokuskan dirimu pada pernikahanmu dulu ya.”
Elena  tersenyum  ketika  percakapan  itu  selesai. Hatinya  terasa tenang.  Pendapat Ibu Rahma penting baginya, dan kalau Ibu Rahma sudah setuju, hatinya lebih tenang dan mantap.

Ҩ

Rafael menepati janjinya hingga Elena merasa tenang. Dia  masih  mencemaskan   hari  esok.  Hari  pernikahan   yang datang begitu cepat sampai tidak bisa dipikirkannya. Membuat perutnya bergolak karena cemas.
Elena mandi bergantian dengan Rafael, lalu menyantap makanan yang diantarkan ke kamar. Setelah itu dia berpamitan untuk tidur. Lampu dimatikan. Dan setelah berbagi selimut dan bantadengan Rafael, Elena naik ke ranjang untuberbaring dan mencoba tidur. Dia sempat melirik, Rafael sedang menata bantal dan selimut dengan nyaman di sofa depan sambil menyalakan televisi dengan suara lirih.
Mau  tak  mau  pikiran  Elena  melayang.  Besok  adalah hari  pernikahannya.  Meskipun  bisdisebut  hari  pernikahan yang tak wajar. Pengantin wanita mana yang baru tahu bahwa dia akan menikah sehari sebelumnya? Tetapi kalau ditilik dari masa lalu, kehidupannya memang tidak wajar. Kalau dia hidup di keluarga yang wajar, malam ini dia pasti sudah disimpan di kamar, tidak boleh bertemu dengan pengantin laki-laki. Kemudian seluruh keluarganya akan berkumpul di rumah. Orangtuanya ada di depan, menyalami tamu yang datang, dan berbahagia  dengapersiapan  pernikahan  putri mereka  satu- satunya esok hari, sebuah acara yang dianggap sakral. Tetapi itu semua hanya mimpi. Elena sebatang kara di dunia ini. Ayah dan ibunya telah meninggal. Direnggut paksa darinya. Air mata menetes dan mengalir di pipinya. Seandarinya saja semua itu tidak terenggut darinya.. Elena sangat ingin memeluk orangtuanya sebelum hari pernikahannya. Amat sangat ingin…. Dia merindukan mereka berdua

Ҩ

Rafael melangkah hati-hati ke arah ranjang, dan duduk di tepi ranjang. Elena tertidur dengan posisi meringkuk seperti janin  dalam  kandungan  ibu.  Ruangan  itu  temaram,  dengan hanya  satu  lampu  tidur  yang  menyala  remang.  Tetapi  Rafael bisa melihat. Bekas air mata yang sudah mengering, dari sudut mata Elena, mengalir ke pipinya. Dengan lembut Rafael mengusapnya. Hati-hati agar Elena tidak terbangun.
“Setelah ini kau tidak akan menangis lagi Elena. Tuhan tahu aku akan mengusahakan segala cara…”


No comments:

Post a Comment