Tuesday, October 27, 2015

UNFORGIVEN HERO - BAB 4


4

Dengan  lembut  tetapi bergairah  dibaringkannya  tubuh Elena.  Gadis  itu  sudah  pasrah  dalam  pelukannya,  dan  Rafael amat sangat tergoda untuk memilikinya, seketika itu juga.
Tubuhnya  menindih  tubuh  Elena,  jemarinya menyibakkan gaunnya, menelusuri paha Elena dengan lembut, semakin ke atas, sampai kemudian menyentuh kewanitaannya. Jemari   Rafael   memainkannya   dengan   lembut,   tahu   bahwa tempat itu tidak pernah tersentuh sebelumnya dan sangat sensitif.
Elena mengejang merasakan sensasi aneh yang menyengat   di   pusat   kewanitaannya   ketika   jemari   Rafael bermain di sana. Tempat yang tidak pernah tersentuh sebelumnya. Rafael begitu ahli, mengetahui titiknya yang paling sensitif, lalu menggerakkan  jemarinya memutar di sana membuat Elena merasakan kenikmatan aneh yang tidak pernah berani dia bayangkan sebelumnya.
Sementara  itu  Rafael  merespon  gerakan  Elena dengan bergairah, kejantanannya telah begitu mengeras, mendesak celananya. Ingin segera merasakan tubuh Elena dan menenggelamkan  diri di kewanitaannya  tanpa pembatas apapun.
“Kau menginginkannya sayang? Jawab aku.” Suara Rafael begitu parau penuh gairah. “Aku tidak ingin memaksamu, aku ingin kau menyerah karena kau mau.” Kejantanannya yang mengeras menggantikan jemarinya, mendesak di sana, di pusat kewanitaan Elena yang paling sensitif.
Rafael menunggu, menunggu Elena menjawab, dia membutuhkan  persetujuan  Elena,  entah  dalam  bentuk  kata- kata, entah dalam geliatan respon tubuhnya yang menunjukkan bahwa perempuan itu setuju. Tetapi suasana berubah menjadi hening, Elena bahkan tidak bergerak di bawah tindihannya.
“Elena?” Rafael menundukkan kepalanya, wajahnya sangat dekat dengan wajah Elena, napasnya masih memburu, menunjukkan gairahnya. Tetapi kemudian dia menyadari napas Elena yang teratur.
Gadis itu ... tertidur…..
Rafael menahan dirinya untuk tidak mengumpat. Tubuhnya yang sakit karena gairah tak tersalurkan mendorongnya  untuk menumpahkannya  dalam  kata-kata. Tetapi   Rafael   berhasil   menahan   diri.  Dia  menghela   napas dalam-dalam, sambil menggertakkan gigi karena kejantanannya menggesek  tubuh Elena. Rafael memundurkan  tubuhnya dengan hati-hati hingga duduk di atas ranjang. Menatap Elena yang sepertinya sudah tenggelam dalam tidur pulasnya.
Oh Ya Ampun, akhirnya dia bisa membawa Elena dengan penuh gairah ke atas ranjangnya. Hal yang tidak pernah dilakukannya kepada perempuan lain, dan Elena bisa-bisanya tertidur! Dengan pulas pula. Mungkin tadi tidak seharusnya dia membiarkan Elena meminum anggurnya. Satu gelas anggur rupanya terlalu berlebihan untuk gadis yang tidak berpengalaman seperti Elena.
Rafael  tersenyum  ironis  memikirkan  semua  kejadian tadi.   Disentuhnya   pipi   Elena   dengan   lembut.   Tidak   bisa menahan dirinya. Lelaki itu lalu mengecup bibir Elena dengan hati-hati, kemudian dengan gerakan cekatan dan tak kalah hati- hatinya,  dilepaskannya  gaun  Elena.  Pelan-pelan,  hingga gadis itu setengah telanjang hanya mengenakan pakaian dalam.
Tubuh Elena terasa begitu menggoda. Sama seperti mimpi-mimpi   Rafael  di  malam   sepinya  ketika  merindukan Elena, bahkan pemandangan  di depannya  ini jauh lebih baik. Tubuh ini nyata, hangat dan mengundang, seakan mengajaknya untuk membenamkan dirinya dalam kelembutannya.
“Maafkan   aku   sayang.”   Rafael   lalu  melepaskan   baju dalam Elena hingga perempuan itu telanjang sepenuhnya. Ditatapnya sejenak tubuh Elena, lalu memalingkan muka. Nuraninya seakan menghantamnya karena dia akan membuat gadis ini benar-benar mengalami kejutan buruk di pagi hari ketika dia terbangun nanti.
Sejenak Rafael ragu, lalu dia menghela napas panjang. Dia tidak boleh mundur. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat Elena terikat dengannya.   Dengan tenang dia lalu melepas kemejanya, kemudian celananya, dan yang terakhir, semuanya.  Hingga dia berdiri  telanjang  bulat di tepi ranjang, tubuhnya  begitu  kokoh,  berwarna  perunggu  keemasan. Warisan darah Spanyolnya membuat warna kulitnya begitu indah  dipandang.  Lalu  Rafael  naik  ke atas  ranjang,  memeluk Elena. Gesekan tubuh telanjang  Elena yang lembut, membuat kejantanannya mengeras lagi, keras dan siap.
Rafael   menggertakkan   gigi   untuk   menahan   dirinya. Tidak. Belum. Dia tidak akan merenggut Elena begitu saja, tidak di saat gadis itu tidak siap dan tidak rela menyerahkan dirinya. Saat ini yang dia perlukan hanyalah tidur dan memeluk Elena dalam  kondisi  telanjang  bulat.  Memastikan  apa  yang  terjadi esok hari sesuai dengan rencananya.

Ҩ

Yang   dirasakan    Elena   ketika   pagi   hari   membuka matanya adalah pening yang luar biasa. Kepalanya serasa berat dan seakan ada suara berdentam-dentam di telinganya. Cahaya redup Matahari yang menyelinap di balik gorden terasa begitu menyilaukan, menyakitkan mata dan membuatnya semakin pusing.
Elena  mengerang,  lalu  mencoba  duduk  sambil memegangi  kepalanya  yang  pening,  untuk  kemudian merasakan   hawa dingin menyergapnya...karena selimutnya melorot sampai ke pinggang. Elena menunduk, hendak menaikkan selimutnya, hanya untuk menyadari bahwa dia telanjang bulat di balik selimutnya.
Tunggu dulu…. Telanjang bulat??
Mata Elena tiba-tiba tertuju kepada lengan kekar yang melingkarinya dengan posesif. Lengan itu melingkarinya tepat di bawah buah dadanya yang telanjang. Dengan panik dia menoleh ke arah pemilik tangan itu dan menyadari bahwa seorang lelaki yang sekarang sedang tidur satu selimut dengannya. Dan menilik kulit kecoklatannya yang terpampang jelas di depan matanya, lelaki itu telanjang sama sepertinya!

Astaga, apa yang terjadi semalam? Elena memutar ingatannya dengan  cepat,  tetapi apa yang  dia ingat hanyalah percakapan  samar  sebelum  minum  anggur,  dan  ciuman  itu… lalu  dia  tidak  ingat  apa-apa  lagi.  Apakah  dia  telah  berbuat terlalu jauh dengan atasannya ini? Oh Ya Ampun!
Gerakan Elena membuat Rafael terjaga dari tidurnya, bahkan cara bangunnya pun begitu elegan. Elena memandang terpana  untuk  kemudian  mengutuk  dirinya karena bukannya panik, malah sempat-sempatnya mengagumi cara Mr. Alex terbangun.
Bulu mata gelap Mr. Alex yang tebal bergerak-gerak, untuk kemudian mata tajamnya terbuka, dan langsung menatap Elena.  Mr.  Alex  rupanya  jenis  orang  yang  langsung  terjaga ketika bangun tidur. Mereka bertatapan dalam keheningan. Lama.
Sampai kemudian ada kesadaran di mata Mr. Alex, yang membuat lelaki itu tersenyum simpul.
“Selamat pagi.” Gumamnya parau, “Kuharap tidurmu menyenangkan semalam.” Nada sensual tersemat jelas di sana. Membuat Elena semakin panik. Sapaan itu. Jelas-jelas ditujukan untuk kekasih yang habis bercinta semalaman. Jadi benarkah mereka berdua telah berbuat sesuatu yang lebih semalam?
Rafael bergerak duduk mengikuti Elena. Selimut ikut turun sampai ke pinggangnya, sampai ke batas dimana kejantanannya yang telanjang hampir mengintip di sana. Kejantanan lelaki itu mengalami ereksi. Elena mengerang dalam hati.  Astaga,  kenapa  dia  langsung  melirik  ke  sana?  Tetapi bagaimanapun juga dia sangat ingin tahu. Elena tahu bahwa kejantanan lelaki akan menjadi keras ketika dia bergairah, dari buku-buku yang dibacanya. Tetapi dia tidak pernah melihatnya langsung. Dan melihat sesuatu yang menonjol dengan tegak dan tampak keras di balik selimut yang menutupi pinggang dan selangkangan  Mr. Alex, Elena langsung  menyimpulkan  bahwa lelaki itu sedang ereksi.
Rafael mengikuti arah pandangan Elena, dan menyadari bahwa ketegangan di selangkangannya yang membuat Elena tampak segan dan waspada. Dia lalu mengangkat bahu dan tersenyum meminta maaf. “Maaf, begitulah yang sering terjadi kepadaku ketika bangun di pagi hari, dia keras dengan sendirinya.” Dengan gerakan menggoda Rafael menarik selimutnya menuruni pinggangnya seolah-olah akan menunjukkan kejantanannya yang tersembunyi di sana.
“Jangan!” Elena memekik, menutup kedua matanya dengan jemarinya. Dan ketika mendengar Rafael terkekeh dia langsung  membuka jemarinya dan menatap  lelaki itu dengan malu.
“Kau begitu berbeda di pagi hari. Begitu pemalu.” Rafael dengan lembut mendekatkan bibirnya ke dahi Elena dan mengecupnya,  “Kau  pasti  pusing.  Mandilah,  akan  kubuatkan kopi untukmu.”
Lelaki itu  lalu  turun dari ranjang,  telanjang  bulat,  dan seolah-olah tidak malu memamerkan tubuh telanjangnya di depan Elena. Kemudian melangkah pergi keluar kamar, meninggalkan Elena sendirian.

Ҩ

Elena membiarkan seluruh tubuhnya terguyur oleh shower air panas di kamar mandi. Merasa bingung. Kepalanya masih berdenyut-denyut  , tetapi setidaknya pikirannya sudah mulai  fokus.  Dia  telanjang  bulat  bersama  Mr.  Alex,  di  atas ranjang di kamar pribadi lelaki itu. Apakah mereka sudah bercinta?
Kalau begitu, kenapa Elena tidak merasakan perbedaan? Elena tidak pernah bercinta dengan lelaki lain sebelumnya, jadi dia tidak tahu. Tetapi dari yang dia dengar, saat pertama adalah saat yang menyakitkan. Dan sakit itu akan terasa hingga beberapa  saat.  Tetapi  saat  ini  dia  tidak  merasakan  apa-apa. Tidak  ada perbedaan  di tubuhnya,  tidak  ada rasa nyeri yang katanya akan terasa di kewanitaannya beberapa lama setelah malam pertama. Elena ragu. Apakah semalam dia benar-benar tidur dengan Mr. Alex?
Batinnya berharap bahwa kejadian itu tidak benar-benar terjadi, mungkin saja mereka hanya tertidur bersama dan tidak berbuat terlalu jauh bukan? Tetapi… sikap Mr. Alex tadi begitu mesra dan sensual, menyiratkan kalau mereka sudah menjadi sepasang kekasih…
Air mata menetes di mata Elena, air mata bingung dan frustrasi.  Apa  yang  harus  dia  lakukan  kalau  dia  benar-benar telah menyerahkan  kegadisannya  kepada Mr. Alex? Apa yang harus dia lakukan?
Elena  mengusap  air  matanya  dengan  tangan  gemetar. Dia akan menanyakannya langsung kepada Mr. Alex, mungkin saja – tidak seperti dirinya – lelaki itu ingat apa yang terjadi semalam.

Ҩ

“Aku  baru  tahu  ada  orang  yang  bisa  mabuk  hanya dengan  meminum  segelas  anggur.”  Lelaki  itu  sudah  tampil elegan  dan  tampan, dengan rambut  basahnya  yang disisir ke belakang. Mungkin dia mandi di kamar mandi lain. Dia menyodorkan  secangkir  kopi yang mengepul panas ke depan Elena, “Minumlah mungkin ini akan menghilangkan rasa pusingmu.”
Elena, yang memakai kembali gaunnya semalam meraih cangkir  kopi  itu  dan  menggenggamnya  dengan  kedua tangannya.  Suasana  sangat  canggung  baginya  meskipun  Mr. Alex tampak bersikap santai kepadanya. Dia merasa sangat murahan saat ini, memakai kembali gaun yang dipakainya semalam. Seperti wanita dengan gaya hidup bebas yang tidak keberatan bercinta tanpa ikatan hanya untuk kesenangan semalam.
“Apakah…  semalam  kita  melakukan  itu?”  Suara  Elena lirih dan ragu, Membuat Rafael yang sedang menuangkan kopi untuk dirinya sendiri menghentikan gerakannya dan menoleh, menatap ke arah Elena.
“Mungkin.   Aku   tidak   ingat.”   Rafael   sejenak   merasa kasihan kepada Elena, gadis itu begitu pucat dan seperti Rafael duga merasa tidak suka dengan kejutan di pagi hari ini. “Tapi kemungkinan besar kita melakukannya.” Bagaimanapun juga Rafael tidak bisa mundur, dia sudah melangkah sejauh ini untuk memiliki Elena.
“Tetapi saya tidak berdarah, dan tidak ada rasa sakit… “ Elena menelan ludahnya ketika suaranya hilang di tenggorokan, “Mungkin saja kita tidak melakukannya.”
“Tolong jangan gunakan ‘saya’ dan ‘anda’ ketika kita bercakap-cakap. Mengingat apa yang mungkin terjadi semalam, penggunaan kata itu sudah terlalu formal untuk kita berdua.” Rafael membawa cangkir kopinya dan meletakkannya di meja di depan Elena. Dia lalu menyusul duduk di hadapan Elena, menatap  perempuan  itu  dengan  mata  elangnya  yang  tajam, “Aku tidak pernah bercinta dengan perawan sebelumnya Elena, jadi aku tidak bisa memberikan penjelasan kepadamu.” Rafael tidak bohong mengenai tidak pernah bercinta dengan perawan sebelumnya, dia selalu memilih kekasih yang sudah berpengalaman,  yang  bisa  memuaskan  hasratnya  tanpa perasaan  dan tanpa ikatan. “Tetapi dari yang aku tahu, tidak semua   perempuan   merasakan   rasa   sakit   dan  berdarah   di malam pertamanya.”
“Kalau begitu? Apakah kita sudah bercinta?” wajah Elena tampak pucat pasi.


Rafael mengangkat bahunya, “Aku tidak bisa memastikannya untukmu sayang, sepertinya aku terlalu mabuk semalam dan tidak ingat semuanya, sama sepertimu.” Itu bohong,  Rafael  ingat semuanya,  setiap  detiknya.  “Kurasa  kita harus membicarakan hubungan kita ke depannya.”
“Hubungan kita ke depannya?”
“Ya.  Mengingat  kemungkinan  aku  sudah  menodaimu, yang pasti akan menjadi permasalahan yang sangat besar bagi gadis  baik-baik  sepertimu.  Aku  akan  bertanggungjawab.  Kita bisa membicarakan tentang pernikahan.”
“Pernikahan?!!”  Elena merasakan  dirinya  bagai burung beo,  hanya bisa menirukan  kalimat-kalimat  Mr. Alex.  Apakah atasannya ini sedang bercanda? Membicarakan pernikahan dengan begitu mudahnya? Pernikahan adalah hal yang penting dan sakral bagi Elena. Dan itu membuatnya langsung menolak mentah-mentah tawaran Mr, Alex, “Aku tidak bisa menikah denganmu begitu saja…..”
“Kau mungkin saja sudah mengandung anakku.” Gumam Rafael tenang, “Tidak terpikirkan olehmu kan Elena?”
Elena tertegun. Mengandung anak Mr. Alex? Tetapi bukankah itu terjadi kalau mereka benar-benar berhubungan intim semalam? Sedangkan sekarang mereka sama-sama tidak bisa memastikan apakah hal itu benar-benar terjadi atau tidak.
“Aku akan menemui dokter.”
“Dan mengatakan apa?” Rafael tersenyum sinis, “Bahwa kau tidak ingat sudah bercinta atau belum lalu ingin mengecek keperawananmu?”
Elena menelan ludahnya, tentu saja dia tidak bisa melakukan itu, dia akan mati karena malu sebelum melakukannya. Denyutan di kepalanya semakin terasa, antara bingung dan frustrasi, membuatnya meringis kesakitan. Rafael melihatnya dan mendorong cangkir kopi Elena mendekat.
“Minum   kopimu.   Percayalah   itu   akan   membuatmu sedikit lebih baik.” gumamnya lembut sembari menyesap kopinya sendiri.
Elena menurutinya.  Menyesap  kopi itu dan merasakan rasa pahit yang kental memenuhi rongga mulutnya, mengembalikan  kesadarannya.  Mereka  duduk  dalam keheningan, saling berhadapan di meja makan kecil di dapur itu, sampai kemudian Rafael menghela napas dan memulai pembicaraan.
“Aku  tidak  akan  memaksamu  Elena,  yang  perlu  kau tahu aku bersedia bertanggung jawab. Kau perlu tahu aku tidak pernah merusak perempuan yang lugu sebelumnya, dan kemungkinan kau sudah mengandung anakku…..” Lelaki itu menatap Elena, mencoba berkompromi karena kasihan melihat wajah Elena yang semakin pucat, “Mungkin kita bisa bertunangan dulu sampai ada kepastian apa tindakan kita selanjutnya.”
Elena hanya terdiam,  masih bingung dengan  apa yang harus dilakukannya.
“Pertunangan tidak akan merugikanmu. Kita tidak akan mengumumkannya. Hanya antara aku dan kau dan mungkin beberapa orang terdekat kita. Kita bisa membatalkannya kapan saja kalau ternyata tidak ada kesepakatan di antara kita.” Rafael mengutuk  dirinya  sendiri  karena  menawarkan  pertunangan yang longgar. Seharusnya dia langsung menikahi Elena, memastikan  bahwa  gadis  itu  tidak  bisa  lari  darinya.  Tetapi Rafael tidak bisa tergesa-gesa. Karena ketergesa-gesaan hanya akan membuat Elena semakin menjaga jarak kepadanya. Dia harus membuat Elena merasa nyaman dengannya, sebelum kemudian,  perempuan  itu  akan  menyerahkan  diri kepadanya secara sukarela.
Elena  terdiam  meresapi  kata-kata  Mr.  Alex.  Lelaki  ini pasti sangat jago bernegosiasi, karena dia bisa merangkai kata- katanya dengan begitu membujuk. Elena merasa dirinya terbujuk.  Perempuan  mana  yang  bisa  menemukan  seorang lelaki  yang  begitu  bertanggungjawab  kepadanya,  mengingat kalau  mereka  memang  melakukan  hubungan  intim  itu,  tidak ada cinta di dalamnya.
“Aku akan memikirkannya.”
“Kau harus menerimanya Elena.” Rafael setengah memaksa, tidak mau memberi kesempatan Elena berpaling lalu lepas darinya, “Kau akan bertunangan denganku dan kita akan membicarakan pernikahan.” Dengan tegas lelaki itu berdiri dan menatap Elena dengan tatapan tak terbantahkan, “Tunggu sebentar. Aku akan kembali.” Gumamnya tegas, lalu meninggalkan Elena.
Tak  lama  kemudian,  dia  kembali.  Membawa  sebuah kotak  yang  jika  Elena  tak  salah  duga  berisi  sebuah  cincin. Wajah Elena langsung memucat begitu memahami keseriusan dari pihak Rafael.
“Tunggu sebentar Mr. Alex …”
“Jangan   menolak   Elena.”   Mr.   Alex   tersenyum,   “Dan panggil aku dengan namaku, panggil aku Alex…” Meskipun aku akan sangat bahagia kalau kau bisa memanggil namaku  yang sebenarnya  dengan  bibir  lembutmu,  namaku  yang sebenarnya… Rafael…, Rafael meringis ketika suara hatinya seakan menohoknya. Nanti akan tiba saatnya Elena akan memanggil namanya yang seungguhnya, sekarang dia harus cukup  puas  dipanggil  dengan  nama  Alex,  tanpa embel-embel
‘Mr’ di dalamnya. “Aku ingin memakaikan cincin ini di jarimu, tanda kesepakatan pertunangan pribadi kita.”
“Tapi…  aku  tidak  bisa  melakukannya  begitu  saja.  Oh Astaga, kau juga tidak bisa melakukannya begitu saja.”
“Aku dan kau bisa.” Suara Rafael begitu tenang meskipun jantungnya berdegup kencang ketika meraih jemari Elena, dan memakaikan cincin berlian mungil yang indah itu di jari Elena, “ Ini adalah cincin warisan dari keluarga ayahku, yang harusnya diberikan  kepada  tunanganku.  Lihat,  pas  sekali  di  jemarimu. Nah, sekarang kita sudah bertunangan.” Elena menatap  jemarinya  yang sudah dilingkari cincin itu dan merasakan serangan panik melandanya, membuatnya kebingungan.

Ҩ

Ketika Rafael mengantarkannya pulang, Elena meminta lelaki itu menurunkannya di ujung jalan. Dia tidak siap menghadapi pertanyaan Ibu Rahma nanti ketika melihat dia diantarkan  lelaki,  atasannya,  dalam  keadaan dia tidak pulang semalaman. Elena tidak pernah menginap di rumah siapapun sebelumnya,  apalagi  menginap  tanpa pamit. Ibu Rahma  pasti menunggunya dengan panik dan mencemaskannya semalaman. Pemikiran  itu  membuatnya  merasa  bersalah.  Bagaimana  dia akan menjelaskan kejadian ini kepada Ibu Rahma? Apakah dia harus memberikan kebohongan demi kebohongan lagi?
Mobil Rafael berhenti di ujung jalan, dia menatap Elena lembut,   “Kau   benar-benar   tidak   ingin   diantar   sampai   ke rumah?”
Elena  langsung  menggelengkan  kepalanya,  “Tidak, terima kasih. Aku akan mencoba menjelaskan sendiri kepada ibu asramaku.”
“Kau tinggal di asrama?” Rafael tentu saja bersandiwara, dia hanya harus menanyakan itu, kalau tidak akan terlihat aneh bagi Elena, “Di mana keluargamu?”
Sejenak suasana hening. Keheningan yang pahit bagi Elena, tetapi meresap ke dalam benak Rafael, membuatnya dipenuhi rasa bersalah.
“Tidak ada. Aku sebatang kara di dunia ini.” Elena menjawab pelan, lalu membuka pintu keluar, “Terima kasih sudah mengantarkanku pulang.” gumamnya sebelum menutup pintu dan melangkah pergi.
Rafael masih menatap Elena melangkah menjauh sampai menghilang di tikungan, sebelum kemudian tersadar dan menekan sebuah nomor di ponselnya.
Suara Ibu Rahma yang cemas langsung terdengar di seberang sana, “Rafael, syukurlah. Elena tidak pulang semalaman, aku tidak bisa menghubungi ponselnya, dan ponselmu juga tidak diangkat… “
“Ibu ... Elena bersama saya semalam.”
Hening. Lalu suara di seberang sana menyahut hati-hati.
“Apakah kau melakukan sesuatu di luar yang seharusnya?”
Rafael menghela napas, “Tidak Ibu Rahma, percayalah. Saya  tidak  merusak  Elena  kalau  itu  yang  ibu  maksud.  Saya hanya membuat Elena percaya bahwa saya sudah melakukannya.”
“Oh…”  Ibu Rahma meghela  napas panjang di seberang sana, “Ibu mengerti.”

Ҩ

Syukurlah Ibu Rahma bisa mengerti penjelasan Elena, meskipun dengan terbata-bata dia berbohong bahwa dia menginap di rumah teman kantornya semalam. Elena tidak terbiasa berbohong sebelumnya sehingga kebohongannya pasti terlihat jelas di matanya yang panik. Tetapi rupanya Ibu Rahma tidak   menyadarinya,   perempuan   itu  rupanya  sudah   cukup senang karena Elena sudah pulang dengan selamat.
Elena  melangkah  masuk  ke  kamarnya  dan  melirik  ke arah jam tangannya. Hari ini hari minggu dan sudah pukul tiga siang. Perjalanan dari rumah Mr. Alex ke asramanya cukup jauh dan  harus  menembus  kemacetan.  Biasanya  di  hari  minggu Elena akan menemani Ibu Rahma berbelanja untuk keperluan makan malam anak-anak asrama. Tetapi dengan berat hati dia tidak ikut hari ini dan membiarkan Ibu Rahma ditemani oleh anak asrama yang lainnya.
Elena membaringkan tubuhnya di ranjang dengan mata nyalang   menatap   langit-langit.   Dia   telah   berganti   pakaian dengan    pakaian    rumahan,    gaun    pestanya    tersampir    di punggung kursi seolah-olah menuduhnya.
Bagaimana mungkin semua bisa berubah secepat ini? Semalam bahkan dia masih yakin bahwa dia dan Edo akan menjadi sepasang kekasih. Elena berencana menjawab ‘ya’ kepada Edo seusai pesta. Tetapi kenyataan kemudian berkata lain. Edo ternyata lelaki yang tidak bisa menahan nafsu dengan pergaulan yang begitu bebas, yang tidak bisa diterima Elena.
Tetapi dia sendiri juga melakukannya bersama Mr. Alex - meskipun dia belum yakin, dan mereka dalam kondisi mabuk- tetap saja itu tidak bisa dibenarkan. Elena merasa mengkhianati semua norma yang selama ini selalu dipegangnya dengan teguh. Tanpa sadar air matanya menetes lagi, air mata kebingungan, dan tak tahu harus mengungkapkannya kepada siapa.

Ҩ

Ponselnya berdering terus menerus, membuatnya terbangun. Elena rupanya sudah tertidur pulas tanpa sadar ketika menangis di kamarnya tadi. Dengan mata perih dia melihat ke arah ponselnya yang masih berkedip dengan nada dering   yang   berbunyi   makin   nyaring,   seolah   tidak   mau menyerah sebelum Elena mengangkatnya.
Elena menggapai dan meraih ponsel itu. Nama ‘Edo’ tertera di sana. Seketika membuat jantungnya berdenyut, sakit. Dipegangnya ponsel itu tanpa niat mengangkatnya. Lama HP itu berdering  seolah Edo tidak  mau menyerah  di seberang  sana. Sampai kemudian deringannya mati, membuat Elena menghela napasnya lega.
Tetapi   kemudian   ponselnya   berbunyi   pelan,  sebagai tanda sebuah pesan masuk. Elena mengintipnya. Dari Edo. Dibacanya pesannya.
–  Aku  akan tiba di Asrama sebentar lagi. Kita harus bicara langsung – Edo
Elena  mendesah,  dia  sungguh-sungguh  tidak  siap bertemu Edo sekarang ini. Tetapi lelaki itu sungguh memaksa, dan Elena tahu Edo sangat gigih, lelaki itu tidak akan menyerah sebelum Elena menemuinya.

Ҩ

Edo benar-benar datang sore itu, tampak sangat tampan dengan sweater hijau tuanya dan celana hitam yang membungkus ketat kaki panjangnya. Tetapi Elena tidak bisa merasa tertarik lagi. Bayangan Edo bercumbu dengan penuh gairah   dengan   perempuan   itu   membuatnya   merasa   mual. Karena itulah dia berdiri agak jauh dari Edo di teras asrama itu dan menatap Edo dengan dingin,
“Tidak  ada  yang  perlu  dibicarakan   lagi.”  Gumamnya pelan, berusaha tenang.
Edo di sisi lain menatap Elena dengan pandangan penuh penyesalan. “Aku minta maaf Elena. Aku tahu mungkin kau merasa jijik dan muak kepadaku.  Di awal malam aku memintamu menjadi kekasihku dan mengatakan mencintaimu, tetapi kemudian kau menemukanku sedang berbuat mesum dengan   perempuan   lain.”   Lelaki   itu   mengacak   rambutnya dengan   frustasi,   “Aku  sendiri  tidak  tahu  apa  yang  terjadi dengan diriku, aku juga jijik dan muak kepada diriku sendiri.”
Elena hanya diam. Tidak bergeming, bahkan melihat Edo tampak   begitu  menyesal  dan  frustasi  tidak  membuat   rasa ibanya  muncul,  entah  kenapa.  Dia  seperti  sudah  mati  rasa kepada lelaki itu.
“Aku ingin kau mempertimbangkanku kembali, kemarin aku khilaf dan aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Alice, perempuan itu memang perempuan gampangan yang suka merayu laki-laki manapun yang dia mau. Entah kenapa malam itu aku menjadi targetnya, aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa menolak, mungkin karena aku sedikit mabuk. Mungkin juga karena hal lainnya, entahlah Elena, yang pasti aku tidak pernah sengaja berniat mengkhianatimu. Aku mencintaimu Elena. Kuharap  kau  mengerti  bahwa  itu  hanya  kekhilafan  dan  aku tidak akan melakukannya lagi.”
Bagaimana dia bisa yakin bahwa Edo tidak akan melakukannya lagi? Beberapa saat kemudian lelaki itu mengatakan mencintainya,  tetapi beberapa saat yang lain dia mencumbu  perempuan  lain.  Elena  tidak  bisa  menerima  Edo lagi, dengan alasan apapun. Perasaan apapun yang pernah ada di dalam hatinya kepada Edo sekarang sudah mati.
“Maafkan  aku Edo.” Elena menatap  Edo dengan sedih, “Aku sungguh tidak bisa.”
“Bahkan  kalau  aku  berlutut  di  kakimu  dan  memohon satu kesempatan lagi?” Edo menatap Elena penuh harap.
“Jangan   lakukan,   itu   tidak   akan   berhasil…”   Elena menghela napas panjang, “Perasaanku sudah mati.”
Edo menatap Elena dengan tajam, “Apakah karena Mr.Alex?”
Elena    terperanjat,    tak    menduga    akan    menerima pertanyaan seperti itu dari Edo, “Apa maksudmu?”
“Mr. Alex.” Suara Edo menjadi tajam. “Aku kemari semalam, dan menungguimu sampai pagi di mobil, di depan asrama, tetapi kau tidak pulang. Apakah kau bermalam dengannya Elena? Apakah dia berhasil merayumu dan membuatmu tidak bisa menerimaku lagi?”
“Kau bicara apa Edo?”
“Aku tahu ada yang aneh dari ini semua. Alice, sahabat Mr. Alex yang sebelumnya  tidak pernah melirikku,  meski dia terkenal dengan reputasinya mempermainkan  laki-laki, tetapi tiba-tiba dia  merayuku dengan panasnya di pesta Mr. Alex. Dan kebetulan juga kau dan Mr. Alex yang menemukan kami. Lalu kau tiba-tiba bermalam dengan Mr.Alex.” Edo tiba-tiba mendekat, lalu mencengkeram tangan Elena dan membawanya ke depan wajahnya, “Dan kau mengenakan cincin ini! Apakah ini dari Mr. Alex, Elena?? Benarkah Elena??”
‘Lepaskan Edo! Sakit!” Elena meringis, berusaha melepaskan cengkeraman Edo di tangannya, Cengkeraman itu begitu kuat sehingga membuatnya  nyeri. Tetapi Edo rupanya terlalu terbawa emosinya….
“Lepaskan dia.”
Suara yang tegas dan berwibawa itu membuat Edo tersadar dan melepaskan tangan Elena. Mereka menoleh bersamaan dan mendapati Ibu Rahma berdiri di sana, perempuan itu rupanya sudah pulang dari berbelanja.
“Saya harap anda bersikap sopan ketika bertamu di asrama ini. Kalau tidak anda tidak diterima di sini.” Ibu Rahma melewati Edo yang masih tertegun, lalu menghela tubuh Elena ke  pintu,  “Ayo  masuk  Elena.”  Ibu  Rahma  membawa  Elena masuk dan menutup  pintunya dari dalam, meninggalkan  Edo sendirian di luar. Lelaki itu masih berdiri di sana beberapa saat, lalu menyerah dan melangkah pergi. Sejenak kemudian terdengar suara mobilnya pergi meninggalkan halaman asrama, membuat Elena menghela napasnya.
“Kau tidak apa-apa Elena?” suara Ibu Rahma terdengar di  belakangnya.  Elena  bahkan  hampir  lupa  kalau  sang  ibu asrama masih berdiri di belakangnya.
“Eh… saya tidak apa-apa ibu.”
“Syukurlah  ibu  datang  pada saat yang  tepat,  ibu  tidak menyangka Edo yang tampaknya baik bisa berlaku kasar kepadamu.”  Ibu  Rahma  menatapnya  ragu,  “Kalau  ada  yang perlu kau ceritakan agar hatimu lebih lega, ibu siap nak.
Elena  menggelengkan  kepalanya,  “Tidak  apa-apa  ibu, saya hanya ingin menenangkan diri.”
Ibu Rahma menganggukkan kepalanya dan tersenyum penuh pengertian, lalu melangkah meninggalkan Elena sendiri. Elena berdiri diam dan memegang tangannya yang sakit, peganga kasa Edo   tad tela membua kulitny sedikit memar. Elena menggosoknya untuk menghilangkan rasa nyerinya. Pandangannya tersapu kepada cincin berlian indah di jari manisnya, yang tadi dipasangkan Mr. Alex dengan mantap di sana. Edo mungkin terlalu terbawa emosi sehingga menghubungka semuany dalam   pikira negatifny dan bahkan mengkambinghitamkan Mr. Alex sebagai dalang atas semuanyaSunggupemikiran  yanbodoh.  Bagaimana mungkin Mr. Alex yang menyuruh Alice merayu Edo? Tidak ada untungnya sama sekali untuk Mr. Alex.
Elena  menatap  ke  halaman  dengan  cemas….Apa  yang harus dia lakukan sekarang?

Ҩ

Mr.   Alex   menatap   Elena   yang   berdiri   di   depannya dengan  mantap.  Baru  beberapa  menit  yang  lalu  Elena melangkah masuk ke ruangannya, melepas cincin itu dari jemarinya, dan meletakkannya di meja, di depannya.
“Aku tidak bisa melanjutkan pertunangan ini, Mr. Alex.”
Rafael menatap Elena dalam-dalam. Ada ketegasan yang dalam di balik sikap rapuh Elena. Ketegasan  yang sama yang dirasakan Rafael bertahun lalu ketika perempuan itu mengusirnya  dengan  kasar  dari  rumahnya,  mengetuk nuraninya sampai terasa sakit. Dia tidak boleh gegabah menghadapi Elena, kalau dia gegabah, perempuan itu akan lari.
“Panggil aku Alex.” Rafael menaatap Elena dalam, “Aku pikir   kita   kemarin   sudah   mencapai   kesepakatan,   Elena..” gumam Rafael tenang. Menolak untuk menatap cincin yang diletakkan Elena di depannya, dan memundurkan tubuhnya, bersandar di kursinya.
“Kemarin  aku  masih  bingung.”  Elena memeluk dirinya sendiri, seakan berusaha melindungi dirinya. “Aku sudah memikirkannya   semalaman   dan   kupikir   semua   ini   adalah kesalahan.  Aku  tidak  bisa  menerima  pertunangan  ini  karena sebuah kecelakaan semalam. Tidak. Tidak bisa.”
“Kenapa kau tidak bisa?”
“Kenapa pula kau bisa?” Elena setengah menjerit, setengah frustasi dengan ketenangan datar yang ditampakkan Mr. Alex.. Apakah bagi lelaki itu, masalah ini serupa dengan masalah bisnis yang harus diselesaikan dengan sikap datar dan tanpa perasaan? “Ini pertunangan yang akan mengarah kepada pernikahan. Pernikahan adalah hal yang sakral dan serius, tidak bisa  dilakukan  begitu  saja,  mungkin  kau  bisa melakukannya, tetapi aku tidak.”
“Jadi kau pikir aku tidak serius dalam mengajukan pertunangan dan pernikahan ini.” Dengan elegan Rafael berdiri, mengitari  meja  dan  bersandar  di  sana,  “Aku  sungguh  serius, dan aku bertanggungjawab atas perbuatan yang mungkin kulakukan padamu malam itu. Baru kali ini mungkin aku temukan  seorang perempuan  yang menolak lelaki yang  ingin bertanggungjawab kepadanya.”
“Tetapi kita tidak saling mencintai.”
“Pernikahan yang didasarkan oleh cinta yang terlalu menggebu-gebu biasanya adalah pernikahan yang paling cepat berakhir.” Rafael tersenyum dingin, “Percayalah, aku cukup berpengalaman  dengan  teman-temanku.  Mereka  menikah karena  cinta,  karena  tergila-gila  satu  sama  lain.  Seolah  tidak bisa dipisahkan.  Tetapi beberapa saat kemudian,  ketika cinta itu pudar, mereka tidak punya apa-apa lagi.” Mata Rafael semakin menggelap. “Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang   dilakukan   atas   dasar   saling  pengertian,   kesepakatan, saling menghormati dan… ketertarikan seksual yang dalam.”
“Apa?”
“Kurasa kau sudah mendengar  kalimat terakhirku  tadi Elena.” Senyum Rafael berubah dalam dan sensual, “Mengenai ketertarikan sensual aku tidak bisa membantahnya” Lelaki itu menyingkap   jasnya,   dan  menunjukkan   kejantanannya   yang menegang di balik celananya, “Ini selalu bergairah setiap aku bersamamu.”
“Kau sungguh menjijikkan!” Elena berteriak frustasi, frustasi karena sikap Mr. Alex telah membangkitkan sesuatu dalam dirinya, gelenyar panas yang mengalir pelan tapi pasti. Dia   memundurkan    langkahnya    dan   berusaha   pergi   dari ruangan itu secepat mungkin. Tetapi Rafael bergerak cepat, menarik   lengannya   dan   memeluknya    erat.   Mendekapnya dengan kencang seakan tidak mau melepaskannya. Elena meronta tetapi Rafael lebih kuat, lelaki itu mengetatkan lengannya, mencoba meredam gerakan Elena.
Ketika Elena tidak berhenti meronta, Rafael menarik punggung Elena ke arahnya dan mencium bibirnya, tidak tanggung-tanggung langsung melumatnya. Dan langkahnya berhasil karena rontaan Elena melemah. Ciuman Rafael berhasil membuat Elena lemah dan tak berdaya. Lelaki itu lalu melepaskan bibirnya, tetapi belum melepaskan pelukannya. Napasnya   terasa  panas   dan   terengah   di  bibir  Elena,  dahi mereka  saling  menempel,  dan  mereka  begitu  dekat  sampai Elena merasa terperangkap dalam tatapan Mr. Alex yang begitu tajam.
“Maafkan   aku   Elena.   Maafkan   aku.”   Rafael   berbisik lembut mencoba menenangkan, “Aku tidak ingin menyakitimu.”
Kata-kata  Rafael membuat  Elena berkedip  dan merasa ragu. dia menatap laki-laki itu dengan bingung. Tadi Mr. Alex tampak begitu sensual dan mengancam, menciumnya tanpa permisi. Sekarang lelaki ini berubah menjadi begitu lembut dan menyentuh  hati.  Apa sebenarnya  yang  ada di  benak  laki-laki ini?
“Aku ingin kau mendengarkan aku dulu.” Lelaki itu mengangkat bahu ketika kejantanannya yang keras menyentuh Elena, membuat Elena langsung mendongakkan kepalanya dan menatap Rafael dengan pandangan menuduh. “Aku tidak bisa mengendalikannya.” Rafael tersenyum. “Maafkan aku. Aku akan melepasmu  kalau  kau  berjanji  tidak  akan  pergi  sebelum  aku menyelesaikan  kata-kataku.  Kuharap  kau  mengerti  dan  bisa memahami.”
Elena masih menatap Mr. Alex dengan waspada, tetapi kemudian menemukan kesungguhan di mata laki-laki itu. Akhirnya dia menyerah dan mengangguk. Dengan lembut lelaki itu lalu melepaskannya dan mengedikkan bahunya ke arah sofa.
‘Duduklah.”
Elena duduk dan Rafael menyusul duduk di depannya. Menatapnya dengan lembut.
“Dari  semua  alasan  yang  kupaparkan  nanti,  aku  pikir kita pasangan yang cocok, Elena. Aku akan sangat senang memiliki isteri sepertimu, yang kau tahu sendiri… sangat menggugah gairahku.”  Lelaki itu kembali tersenyum meminta maaf, “Dan aku pikir aku tidak terlalu buruk untuk seleramu."
Terlalu tampan. Terlalu sempurna. Terlalu segalanya hingga terasa menakutkan. Elena membatin.
“Aku merasa bertanggungjawab ketika menidurimu malam itu. Memang itu perbuatan yang sama-sama tidak kita sadari. Tetapi aku tidak pernah merusak perempuan lugu sebelumnya, aku sudah pernah mengatakannya bukan? Dan aku….. aku merasa berdosa kepada adikku kalau sampai aku tidak bertanggungjawab dan menikahimu.”
“Merasa berdosa kepada adikmu?”
“Ya. Kau ingat Victoria? HR Manager di perusahaan ini?”
Elena sudah tentu ingat. Dia tidak akan melupakan perempuan cantik dan berwibawa yang memberikan kesan luar biasa kepadanya itu. Jadi perempuan itu adalah adik Mr. Alex? Pantas,  mereka  berdua  sama-sama  menyimpan  keanggunan yang misterius di balik kulit keemasan dan rambut gelap yang eksotis.. Tetapi apa hubungan Victoria dengan semua ini?
“Victoria pernah berhubungan dengan kekasihnya  saat remaja. Hubungan mereka berjalan terlalu jauh sampai Victoria hamil.  Tetapi  kekasihnya  meninggalkannya.  Dia…  dia hancur, berkali-kali mencoba bunuh diri dan kehilangan semangat. Untung kami bisa membangkitkannya  lagi hingga dia menjadi perempuan tegar seperti sekarang. Tetapi sejak saat itu aku berjanji bahwa aku tidak akan menyakiti perempuan lugu manapun dan menghancurkannya, seperti yang dilakukan laki- laki itu pada adikku.”
Rafael  memajukan  tubuhnya  dan  meraih tangan Elena dari seberang meja dan menggenggamnya lembut, “Menikahlah denganku Elena. Aku yakin ini semua akan berakhir baik.”

Ҩ

“Hebat. Kau menjadikan aku perempuan yang pernah ditipu  kekasihku  di  masa  remaja  lalu  menggugurkan kandungan dan mencoba bunuh diri berkali-kali?” Victoria berkacak pinggang di depan Rafael, “Hebat kakak. Dan setelah ini , Elena akan memandangku dengan tatapan iba sembunyi- sembunyi.”

Rafael tersenyum melihat kemarahan adiknya, lalu menatap Victoria lembut sambil tersenyum, adiknya itu tidak pernah bisa marah terlalu lama padanya kalau dia menatapnya seperti  itu.     “Maafkan   aku  Vicky,  harus   mengarang   cerita bohong  seperti  itu.  Tetapi  aku  kehabisan  ide.  Dan  hanya  itu yang terpikirkan. Aku tahu Elena mempunyai rasa empati yang besar, dan dia akan menerimaku kalau hal itu aku lakukan demi adikku. Seorang perempuan yang sama sepertinya.”
“Kau memang hebat dalam berbohong dalam waktu sempit.”  Victoria  menyipitkan  matanya,  masih  belum memaafkan kakaknya karena mengarang cerita tentang dirinya untuk melelehkan hati Elena, “Dan aku duga kau berhasil?”
Rafael tersenyum, Dia menerima cincin itu lagi dan mempertimbangkan lamaran pernikahanku.”
Victori menggeleng-gelengka kepalany tak   habis pikir dengan obsesi kakaknya terhadap Elena. “Aku tak bisa menahan  kemauanmu  kak….  Aku  harap  kau  tidak  menyakiti dirimu sendiri nanti.” Victoria menatap Rafael dengan hati-hati,
“Malam itu kau tidak menyentuhnya bukan?

Tidak.” Rafael bergumam tak jelas, “Aku hanya membuatnya berpikir bahwa kemungkinan besar aku telah merusaknya.”
Oke. Sepertinya tujuanmu tercapai. Kau akan memiliki Elena, bahkan mungkin menikahinya. Tetapi semua ini didasarkaoleh kebohongan,  sadarkah kau Kak? Apakah kau tidak takut kalau nanti semua kebohongan itu terungkap? Kalau nanti Elena mengetahui yang sebenarnya?
Rafael terdiam, lama.

“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.” Suaranya pelan, ditelan oleh kepahitan, Yang terjadi, biarkan terjadi…”


No comments:

Post a Comment