Tuesday, October 13, 2015

SLEEP WITH THE DEVIL - SANTHY AGATHA - BAB 11

BAB 11

Mikail membaringkan Lana ke atas ranjang. Jemarinya menyusup ke balik rok Lana dan langsung menyentuh pusat kewanitaannya. Sentuhan itu membakar sekaligus menyejukkan dan Lana langsung mengangkat tubuhnya penuh gairah. Mikail menundukkan kepalanya, mengecup leher dan pundak Lana sambil menurunkan kemejanya, menikmati betapa Lana menyerah kepada gairahnya.
“Ah sayangku, kau begitu indah,” Mikail menangkup buah payudara Lana di telapaknya, merasakan dan menikmati kelembutan itu. Lalu bibir panasnya turun dan menangkup pucuknya, melumatnya penuh gairah, membuat Lana hampir menjerit karena siksaan kenikmatan yang berbaur menjadi satu.
Lelaki itu menurunkan rok Lana dan mulai menyentuhnya, dimana-mana, meninggalkan gelenyar panas yang membakarnya. Jemari Mikail menyentuh pusat kewanitaannya dan Lana merasakan dorongan yang amat sangat untuk memohon agar Mikail mau memasukinya.
Dan Mikail sudah siap, Lelaki itu terasa begitu keras dan panas di bawah sana. Lana mendesak-desakkan tubuhnya dengan frustrasi, permohonan tanpa kata.
“Tenang sayangku,” Mikail mulai terengah, menahan pinggul Lana yang bergairah di bawahnya, “Aku akan meuaskanmu sebentar lagi”
Mikail menyentuhkan dirinya, dan langsung menggertakkan giginya, melawan dorongan kuat untuk memasuki Lana dengan kasar. Lana sudah sangat siap menerimanya, tetapi Mikail bertekad memperlakukannya dengan lembut, memberikan tubuhnya untuk kenikmatan Lana.
Ketika kehangatan Mikail merasukinya, tenggelam dalam tubuhnya yang panas dan basah, Lana mengerang dan memejamkan mata. Oh astaga! Rasanya begitu tepat, kenikmatan ini, kedekatan ini yang telah dia sangkal selama ini. Rasanya luar biasa tepatnya!

Mereka bergerak dalam alunan gairah yang keras, berusaha memuaskan gejolaknya sendiri-sendiri. Sampai akhirnya tubuh Lana terasa melayang, mencapai puncak kenikmatannya didorong oleh rasa klimaks yang begitu dalam. Ketika mendengar erangan, Mikail mengikutinya. Menyerah dalam orgasme bersamanya.

***

Ada yang berbeda dalam hubungan mereka. Lana menyadari pagi itu, mengingat senyum lembut Mikail ketika Lana terbirit-birit kembali ke kamarnya ketika hari hampir menjelang pagi. Terutama perasaan Lana ke Mikail, ada yang berubah.
Ternyata selama ini dia juga frustrasi oleh gairah yang tertahan, sama seperti yang dirasakan Mikail. Dan ketika semalaman mereka saling memuaskan gairah masingmasing, pagi ini perasaannya luar biasa bahagia. Lana bahkan merasa ingin bersenandung.
Pagi ini, karena Mikail biasanya sudah berangkat bekerja jam-jam segini. Lana memutuskan untuk mengisi waktunya dengan menjelajah seluruh isi rumah. Dia memutuskan untuk menjelajahi area sayap kanan rumah yang besar itu. Tanpa di temani siapapun, Lana menyusuri lorong-lorong, ruangan demi ruangan, sampai akhirnya tiba di ujung lorong, dengan dinding yang sepenuhnya terbuat dari kaca, memantulkan cahaya matahari ke seluruh lorong dan pemandangan yang luar biasa indahnya di balik kaca. Pemandangan kebun mawar berwarna merah tua yang merambat dan memenuhi taman kecil di sana.
Lana terpesona hingga hampir sesak napas. Dia berdiri cukup lama di depan taman itu, lalu kemudian mengerutkan keningnya ketika menyadari, bahwa sayap kanan rumah ini, meskipun tampak bersih dan terawat, tampaknya hampir tidak pernah digunakan.
Lana menoleh ke kiri, dan menemukan sebuah pintu besar berwarna keemasan, dengan penuh rasa ingin tahu dia membuka handle pintu itu. Sepertinya susah dan macet, tetapi kemudian setelah Lana mencoba beberapa kali, pintu itu terbuka dengan mudahnya, dengan suara berderit karena engsel yang sudah lama tak diminyaki.
Ruangan itu temaram, karena jendela kamarnya tertutup rapat oleh gorden, baunya pengap seperti sudah lama tidak dimasuki. Lana meraba-raba dinding dan menemukan saklar di kamar itu, ditekannya saklar kamar itu, dan cahaya kekuningan yang lembut langsung menyinari seluruh ruangan.
Itu sebuah kamar. Kamar yang sangat feminim dengan nuansa merah muda yang lembut, hampir putih. Lana mengitarkan pandangannya ke kamar itu dan mememukan sesuatu yang membuatnya tertegun…. Dan memucat.
Ada sebuah lukisan besar yang digantung di kamar itu. Lukisan yang sangat besar dengan bingkai keemasan yang sangat indah. Tetapi bukan besarnya lukisan itu atau indahnya bingkai itu yang membuat Lana tertegun, tetapi orang dalam lukisan itu.
Di sana terlukis seorang perempuan yang sedang berdiri di tengah taman mawar, dengan gaun merah muda dan rambut cokelat tuanya yang panjang dan berkilau, sedang tertawa bahagia, seolah-olah perempuan itu tidak bisa menahan senyumnya kepada siapapun yang melukisnya. Perempuan itu memeluk perutnya yang sedikit buncit, sedang hamil muda. Perempuan itu tampak penuh bahagia… penuh cinta, dan yang membuat Lana luar biasa kagetnya, wajah perempuan itu…. Wajah perempuan itu…. Sama persis dengan wajahnya.
Oh ya Tuhan! Sama persis! Bagaikan pinang di belah dua. Meskipun perempuan di lukisan itu tampak lebih anggun dan
lebih feminim, Lana sangat yakin bahwa selain semua alasan itu, wajah mereka berdua tampak begitu serupa!
Tapi Lana yakin itu bukan lukisan dirinya. Dia tidak pernah mengenakan gaun merah muda, dia tidak pernah dilukis di tengah taman mawar, dan yang pasti, dia tidak pernah hamil sebelumnya!
Jadi siapakah perempuan itu? Siapakah dia…? “Seharusnya Anda tidak boleh ke area ini”
Suara dingin dan tenang di belakangnya membuat Lana terlonjak kaget. Dia menolehkan kepalanya gugup dan menemukan Norman berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan dingin yang biasanya.
“Siapakah perempuan di lukisan itu Norman?” Norman melirik sekilas pada lukisan di dinding itu, Lana merasa melihat sepercik kesedihan di sana, meskipun dia tidak yakin, karena ketika menatap Norman lagi, lelaki itu sudah kembali memasang ekspresi datar.
“Saya tidak bisa mengatakannya kepada Anda, Tuan Mikail akan sangat marah….”
“Kumohon,” Lana menyela dengan cepat, “Jika kau tidak mau mengatakannya kepadaku, aku akan menanyakan langsung kepada Mikail”
Wajah Norman mengeras, “Anda tidak boleh melakukannya, saya tidak akan membiarkannya karena itu akan menyakiti Tuan Mikail”
Perkataan Norman itu makin membuat Lana penasaran. Ada apa ini sebenarnya? Apakah inilah jawaban kenapa Mikail menyekapnya selama ini?
Lana akan mengejar jawaban itu dari Norman, apapun yang terjadi, ditatapnya Norman dengan keras kepala, “Kalau begitu jelaskan padaku siapa perempuan ini, kenapa wajahnya begitu sama denganku, dan apakah ini penyebab Mikail menyekapku?”
Norman menghela nafas panjang, “Baik akan saya jelaskan, tetapi jangan di sini, ayo ikut saya,” Lelaki itu membalikkan tubuhnya dan bergegas keluar dari kamar, seolah-olah berada di dalam kamar itu terasa menyesakkannya. Tiba-tiba Lana juga merasa sesak sehingga dia langsung mengikuti langkah Norman keluar dari kamar itu.

***


“Perempuan itu adalah Nyonya Natasha Raveno,” Norman bergumam datar, menatap mata Lana dalam-dalam. Mereka sekarang duduk di ruang duduk di bagian belakang rumah yang berakses langsung ke taman belakang dan dilengkapi dengan sofa-sofa cantik yang nyaman dan meja kopi yang saat ini menyediakan kopi hangat yang mengepul di meja.
Lana mengernyit mendengar informasi itu, Natasha Raveno? Apakah dia ibu Mikail? Tetapi setahunya, ibu Mikail bernama Francessa.
“Bukan ibu tuan Mikail,” Norman sepertinya bisa membaca pikiran Lana, “Nyonya Natasha Raveno adalah almarhum isteri Tuan Mikail”
Lana terperangah dan tiba-tiba merasa sesak napas, dadanya seperti dihantam oleh ribuan ton batu sehingga terasa nyeri. Isteri?? Mikail pernah punya isteri sebelumnya? Dan kenapa wajah perempuan itu sama persis dengannya?
“Tuan Mikail menikahi Nyonya Natasha ketika masih sangat muda, di Italia ketika Tuan Mikail lulus dari kuliahnya, pada usia 20 tahun. Mereka pasangan muda yang saling mencintai. Setahu saya, Tuan Mikail sangat mencintai isterinya,” Norman berdehem, “Saya sudah mulai bekerja kepada Tuan Mikail ketika itu… Dulu, beliau adalah orang yang baik, sangat mudah tertawa dan ramah….tetapi….Nyonya Natasha memang berbadan lemah sejak awal, dia mempunyai penyakit jantung dengan katup yang tidak sempurna…..,” Norman menghela nafas panjang, seolah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bercerita,
“Kemudian Nyonya Natasha hamil… mereka sangat bahagia sekaligus cemas… bahagia karena itu adalah anak pertama mereka, dan cemas karena itu adalah kehamilan yang sangat beresiko……. Nyonya Natasha seharusnya tidak boleh hamil karena kondisi penyakitnya, tetapi dia perempuan yang keras kepala di balik tubuhnya yang lemah…,” Norman tanpa sadar tersenyum, melembutkan garis-garis datar di wajahnya, “Dia bertekad untuk hamil dan melahirkan anak Tuan Mikail, meskipun semua orang menentangnya, bahkan Tuan Mikail sendiri”
“Mikail menentangnya?,” Lana membayangkan seorang perempuan dengan tubuh lemah, tetapi mampu menantang. seluruh dunia demi calon anak yang dikandungnya, sungguh perempuan yang luar biasa.
“Ya, sudah pasti Tuan Mikail menentangnya, kehamilan itu berbahaya, nyawa Nyonya Natasha taruhannya,” Norman menundukkan kepalanya sedih, “Kemudian Nyonya Natasha keguguran".
Lana tertegun. Keguguran, jadi bayi mereka tak pernah lahir? Tiba-tiba Lana merasa sedih mengingat senyuman Natasha di lukisan itu, senyuman seorang calon ibu yang sangat bahagia, dengan tangan memeluk perutnya seperti melindungi sang buah hati yang sedang terlelap di sana.
“Tubuh nyonya Natasha ternyata terlalu lemah untuk menumbuhkan seorang bayi dalam rahimnya, dia tidak mungkin mengandung sampai anak itu lahir….kenyataan itu menghancurkan perasaan Nyonya Natasha dan membuat ondisi fisiknya makin lemah….,” Norman menghela nafas,
“Nyonya Natasha semakin hari semakin sakit, hingga akhirnya sudah tak mampu bangun dari ranjangnya. Di suatu pagi, Tuan Mikail menemukannya sudah meninggal dalam tidurnya”
Air mata Lana menetes, meninggal karena patah hati. Lana teringat kepada ibunya. Mereka berdua meninggal karena patah hati…. Tidakkah mereka menyadari bahwa mereka egois? Meninggalkan semua beban di dunia ini dengan lepasnya, tanpa memikirkan bahwa mereka juga meninggalkan patah hati bagi siapapun yang mereka tinggalkan?
Sejak kematian Nyonya Natasha, sepuluh tahun yang lalu… Tuan Mikail berubah, dia menutup hatinya. Dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Dia tidak pernah sama lagi sejak saat itu.
Lana mengusap air matanya dan menatap Norman tajam. “Jadi, karena itukah Mikail menyekapku di sini? Karena wajahku sama persis dengan almarhumah isterinya?”
Norman menatap Lana dalam-dalam, “Anda seharusnya tahu bahwa…..”
“Norman” Suara dingin Mikail dari arah pintu membuat mereka berdua menoleh. Wajah Norman memucat menemukan Mikail sedang berdiri di sana, berdiri bersandar di pintu dengan wajah tidak terbaca.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengganggu kau yang sedang asyik bergosip dengan Lana,” Mata Mikail menajam, “Tetapi aku membutuhkanmu sekarang. Ada sesuatu yang perlu kita bahas”
Secepat kilat Norman berdiri, meskipun ada kekhawatiran yang terpancar di wajahnya, dia telah melangkahi wewenangnya dengan menceritakan tentang Nyonya Natasha kepada Lana. Entah apa yang akan dilakukan Tuannya ini kepadanya.
Mikail bahkan sama sekali tidak menoleh ke arah Lana, dia membalikkan badan dan membiarkan Norman mengikutinya.

***

Lana termenung di kamarnya, seluruh kata-kata Norman terngiang di telinganya, berulang-ulang. Kisah tentang Natasha Raveno yang cantik dan sempurna dan betapa Mikail mencintainya.
Jadi, selama ini dia hanya dipakai sebagai pengganti dari Natasha. Entah kenapa perasaan sedih yang samar menyeruak di dada Lana, terasa begitu menyakitkan. Mikail menyekap dan mempertahankan dirinya di sini karena wajahnya mirip dengan Natasha. Bahkan Mikail bercinta dengannya mungkin juga sambil membayangkan Natasha. Kemiripan wajahnya dengan almarhumah isteri Mikail-lah yang menyelamatkannya, mungkin. Kalau tidak dia sudah dibunuh dan dihancurkan oleh Mikail atas percobaannya melukai lelaki itu.
Ternyata bahkan gairah Mikail yang meluap-luap itu bukan ditujukan kepadanya. Dia hanyalah sosok pengganti dari perempuan yang benar-benar diinginkan oleh Mikail.
“Aku berani bertaruh bahwa pikiran-pikiran yang buruk sedang berkecamuk di kepalamu yang mungil itu”
Karena sibuk dengan pikirannya, Lana tidak menyadari kedatangan Mikail. Lana mengamati Mikail, lelaki itu tampak lelah,
“Aku ingin segera keluar dari sini, setelah aku mengetahui semuanya, kau tidak berhak lagi memanfaatkanku dan menahanku di sini,” Lana mendongakkan dagunya dengan angkuh.
Mikail melangkah mendekat, berdiri di sofa di depan Lana duduk, dan menatap tajam,
“Kupikir semalam kita sudah mencapai kesepakatan” “Semalam terjadi karena kau mengancamku!!,” Napas Lana terengah menahan emosi, “Sekarang aku sudah kembali ke pikiran warasku”
“Tidakkah kau ingin bersamaku Lana? Kita begitu cocok di ranjang, kau dan aku. Kita bisa menjalin hubungan yang saling menguntungkan”
“Aku menolak untuk dimanfaatkan untuk menjadi pengganti siapapun”
“Kau bukan pengganti siapapun!,” Mikail menyela tampak marah.
Mereka berdiri berhadap-hadapan saling mengukur kekuatan masing-masing. Akhirnya Lana berkata,
“Aku sudah mengetahui semua kebenarannya Mikail. Aku memang bersalah mencoba mencelakaimu. Tetapi itu tidak penting lagi. Kau memang bersalah atas kematian kedua orang tuaku, dan aku berhak merasa benci dan dendam kepadamu. Tetapi kau juga sudah menyelamatkan nyawaku, jadi aku menganggap kita impas. Kalau kau melepaskanku, aku berjanji tidak akan muncul dalam kehidupanmu lagi dan tidak akan pernah berusaha mencelakaimu lagi,” Lana menatap Mikail sungguh-sungguh, “Itulah penawaran terbaik yang bisa kuberikan”
“Penawaran katamu?,” Mikail mengibaskan tangannya jengkel, “Kau boleh berprasangka dengan semua kebencian tak beralasanmu itu, yang harus kau tahu, semua yang kau pikirkan di dalam kepala cantikmu itu salah”
“Aku tahu mana yang salah dan benar Mikail. Dan kali ini aku sungguh-sungguh,” Lana menatap Mikail dengan tatapan mengancam, “Pilihanmu hanya dua, melepaskanku, atau mendapati aku mati”

***

Lana melaksanakan ancamannya. Dia mogok makan. Di hari pertama Mikail masih menganggap remeh ancaman Lana yang kekanak-kanakan itu, dan menertawakannya.
Tetapi sekarang sudah hampir dua hari, dan Norman melapor bahwa Lana sama sekali tidak menyentuh makanan dan minumannya.
“Sama sekali?,” Mikail berdiri dari duduknya dan menatap Norman frustrasi.
“Dia sama sekali tidak menyentuh makanannya, kami meletakkan makanannya di kamar dan dia hanya tidur di sana. Ketika kami menengok nampannya, dia tidak menyentuhnya sama sekali, bahkan minumannya pun tidak disentuhnya. Anda harus melakukan sesuatu sebelum perempuan itu membahayakan dirinya sendiri,” jawab Norman datar, meskipun ada nada khawatir di sana. “Aku akan menengoknya” Mikail melangkah memasuki kamar putih itu, dan menemukan Lana terbaring lemah di ranjang. Perempuan ini benar-benar keras kepala.
“Kenapa kau tidak memakan makananmu?,” Mikail mendesis menahan kemarahannya, “Apakah kau ingin membunuh dirimu sendiri?” 
Lana membalikkan badan dan menatapnya, membuat Mikail mengernyit, wajah Lana tampak pucat dan bibirnya kering, perempuan itu juga tampak lemah.
“Kau harus memakan makananmu Lana, kalau tidak kau akan sakit dan membahayakan dirimu sendiri”
Lana menggelengkan kepalanya dan memalingkan wajahnya dari Mikail.
Mikail mengacak rambutnya frustrasi.
“Oke, Kau mau apa?! Kau ingin bebas? Baik! Kau akan dapatkan apa yang kau mau, asalkan kau mau makan!”
Pernyataan itu membuat Lana menolehkan kepalanya lagi menatap Mikail, dia berdehem, tenggorokannya terasa kering membuatnya susah berbicara, perutnya terasa nyeri, dan kepalanya pusing,
“Kau… berjanji…?,” gumamnya lemah.
Mikail menatap Lana marah, “Kau pikir aku bisa berbuat lain?? Aku berjanji, kau bisa pegang janji seorang Raveno. Sekarang, biarkan aku membantumu minum!”
Sambil berdehem kembali karena tenggorokannya sakit, Lana berusaha menantang tatapan marah Mikail dan membaca arti yang tersirat di dalamnya. Ya, Mikail Raveno selalu menjunjung harga dirinya, dia tidak akan mengingkari janji. Setelah merasa yakin, Lana menganggukkan kepalanya.
“Astaga Lana,” Mikail mendesah lega, meraih gelas air putih yang tak tersentuh, tak jauh dari ranjang, lalu duduk di samping ranjang dan membantu Lana duduk,
“Kau bisa minum?”
Lana haus sekali, dan keinginannya yang paling besar adalah langsung minum dari gelas itu dengan sekali teguk. Ketika menerima gelas itu, Lana langsung meneguknya dengan rakus, tetapi berhenti di tegukan pertama karena tersedak dan sakit di tenggorokannya.
“Pelan-pelan,” bisik Mikail lembut, menjauhkan gelas itu dari Lana, “Gadis keras kepala,” gerutunya, lalu meneguk minuman di gelas itu,
Selanjutnya yang terjadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lana. Mikail duduk menerjangnya dan melumat bibirnya, sekaligus mengalirkan air minum itu ke tenggorokannya.
Air minum itu meluncur dengan mulus ke tenggorokan Lana, membasahinya yang kehausan. Sejenak, ketika air itu telah seluruhnya berpindah, Mikail masih bermain-main di bibir Lana, mempermainkannya.
Kemudian, sedikit terengah, Mikail melepaskan bibir Lana, mereka duduk dengan wajah berhadapan, sangat dekat hingga napas panas mereka bersahutan.
Lalu dengan gerakan tiba-tiba Mikail menjauhkan tubuhnya dari Lana dan menatapnya tegang, “Besok Theo akan membantu mengemasi pakaianmu dan Norman akan mengantarkanmu pulang”
“Aku tidak mau membawa apapun dari sini, aku datang kesini tanpa membawa apapun, dan begitupun ketika aku keluar dari sini”
Mikail mendesis tajam, “Aku memaksa, Lana dan jangan bermain-main dengan kesabaranku”
Lana terdiam. Mikail membebaskannya, itu sudah cukup. Dan kalau konsekwensinya Lana harus bertoleransi dengan sikap arogan lelaki itu, mungkin itu cukup sepadan.

***

Pakaian-pakaian yang dibelikan Mikail untuknya sangat banyak hingga membutuhkan 3 koper besar untuk mengepaknya, belum lagi satu koper besar berisi perhiasan dan aksesoris seperti koleksi sepatu dan tas yang bahkan tidak sempat Lana pakai.
Pegawai Mikail sudah mengatur barang-barang itu dengan rapi di bagasi, dan Norman sudah berdiri di sisi mobil, mempersilahkan Lana masuk untuk diantar pulang.
Lana melirik ke arah rumah besar itu, Mikail tidak ada dari pagi tadi, lelaki itu pergi entah kemana tadi pagi-pagi sekali dan Lana tidak berani bertanya kepada Norman. Seharusnya Lana berbahagia, Dahi Lana berkerut memikirkan perasaannya. Tetapi entah kenapa dia tidak bahagia. Rasanya menyesakkan dada dan menyedihkan entah kenapa. Dan Lana menahan diri kuat-kuat atas dorongan emosi yang membuatnya ingin menangis. Dengan cepat, tanpa berani menoleh ke arah rumah Mikail, Lana memasuki mobil hitam itu. Norman menutup pintu penumpang dan duduk di kursi supir bersama seorang pengawal lain. Pelan, mobil itu meluncur melalui taman besar di halaman Mikail dan melewati gerbang.
Detik itulah Lana memberanikan diri menatap rumah Mikail, mungkin ini akan jadi yang terakhir kalinya. Dia menyerap pemandangan rumah itu dan mengenangnya, sampai kemudian pintu gerbang hitam yang tinggi itu tertutup, menghalangi pandangannya.
Selamat tinggal Mikail Raveno. Lana mengusap setitik air mata di sudut matanya. Setelah ini aku tidak akan memikirkanmu lagi.

***


No comments:

Post a Comment