Tuesday, October 27, 2015

UNFORGIVEN HERO - BAB 14


14


Berita itu membuat jantung Rafael berdenyut kencang. Elena hamil, Elena mengandung anaknya. Mereka akan punya bayi  bersama.  Tadi Rafael  langsung  menyetir  mobilnya setengah mengebut ke arah asrama Elena. Dia tidak sabar bertemu Elena, memastikan istrinya baik-baik saja, dan calon anaknya juga sehat di kandungan istrinya.
Apapun yang akan terjadi, dia akan mempertahankan pernikahan ini. Bayi itu semakin memperkuat alasannya untuk berjuang  mendapatkan  Elena  kembali.  Semoga  Elena setidaknya mau memberinya kesempatan.
Hati-hati dia memarkir mobilnya di depan asrama. Beberapa mahasiswa yang lalu lalang di jalan menoleh ke arahnya, beberapa yang lain bahkan sampai tidak mampu mengalihkan pandangannya. Asrama itu memang dekat dengan kampus ternama di kota ini, sehingga banyak mahasiswa yang lewat dengan berbagai urusannya. Rafael memang layak untuk dilihat dua kali. Ketampanannya sangat eksotis dan menyolok, sehingga menarik perhatian orang. Hari ini dia mengenakan celana jeans santai dan kemeja senada dan memakai rompi rajutan yang membungkus dengan indah badannya. Dadanya yang bidang tercetak dengan jantan di sana, rambutnya yang agak basah karena buru-buru sehabis mandi, disisir begitu saja ke belakang dengan jemarinya, membuatnya tampak semakin eksotis. Lelaki itu benar-benar tampan.
Tetapi dia adalah lelaki tampan yang gugup. Langkahnya ragu sekaligus bersemangat. Seluruh kata-kata terjalin campur aduk di benaknya. Dia harus bisa meyakinkan Elena supaya kembali   kepadanya.   Ketika   Rafael   sampai   ke  depan   pintu asrama, dia hendak mengetuk.  Tetapi pintu langsung terbuka dari dalam, menampakkan wajah Ibu Rahma yang pucat pasi.
“Elena pegi. Dia tidak ada di mana-mana, aku tidak tahu kapan dia pergi. Dia meninggalkan surat ini...” Mata Ibu Rahma membelalak  panik,  “Ya  Tuhan,  Rafael,  sepertinya  dia mendengar percakapan kita tadi pagi dan marah karena menemukan satu kebohongan lagi.”
Kepala Rafael seperti dihantam dengan keras menerima kabar itu, dia menerima surat itu dari Ibu Rahma dan membacanya. Wajahnya memucat membaca pesan singkat yang ditulis di atas kertas sederhana tersebut.
Kau tidak akan bisa mengatur-atur kehidupanku lagi Rafael. Aku akan pergi jauh, dan kau tak akan bisa menemukanku lagi

Ҩ

Elena mengetuk pintu rumah Donita, dan menunggu dengan cemas. Beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam dan pintu dibuka.
“Elena?” Donita menatap Elena dan tersenyum lebar, “Kenapa kau tidak mengabari kalau kau mau datang? Aku bisa memasakkan makanan istimewa untukmu...”
“Donita.” Ekspresi wajah Elena yang begitu serius membuat senyum Donita memudar dan menatap Elena dengan bingung. “Berjanjilah kepadaku kau tidak akan mengatakan kepada Rafael kalau aku ada di sini.”
“Ada  apa  Elena?”  Donita  melihat  kepada  Elena,  “Apa yang terjadi kepadamu?”
“Berjanjilah dulu Donita.”
Donita melihat betapa seriusnya Elena. Dia menganggukkan kepalanya dengan cepat, “Baiklah, aku berjanji. Ayo  masuklah  dulu,  aku  akan  membuatkan  minuman untukmu.”
Elena mengikuti Donita masuk ke dalam rumah. Donita membuatkan  teh untuknya dan mengajaknya duduk di ruang keluarga.   Sepertinya   bayinya  sedang   tidur  karena  suasana rumah sangat sepi.
“Suamiku sedang keluar kota. Tugas kantor, dia baru pulang seminggu lagi. Jadi aku hanya berdua di sini dengan si kecil.” Donita menuangkan teh ke cangkir Elena, “Ini minumlah dulu.”
Elena  menerima  cangkir  itu  dan  menyesapnya, merasakan keharuman mint dan melati yang menyegarkan. Donita menatapnya dengan cemas,
“Apakah kau sedang bertengkar dengan Rafael?”
Elena mengangguk, lalu menggelengkan kepalanya, bingung, “ Hampir seperti itu, tetapi bukan juga... ceritanya panjang..”
“Aku punya banyak waktu.” Donita tersenyum, “Ayo, ceritakanlah kepadaku.”
Dan Elena pun bercerita, semuanya, dari awal. Menjelaskan  perasaannya  kepada Rafael,  sakit hatinya  ketika dibohongi Rafael, dan keputusannya untuk menjauhkan dirinya dari lelaki itu.
Ketika selesai. Donita hanya termenung dan menatapnya dengan skeptis. Elena memandang Donita, meminta pendapatnya,
“Benar bukan Donita? Menurutku Rafael sangat arogan, dia mengatur seluruh kehidupanku, berusaha membentukku menjadi apa yang dia mau. Dia seolah ingin berperan sebagai Tuhan  dalam  kehidupanku.  Dan  lagi  dia  memulai  semuanya dari kebohongan.” Elena berusaha mencari pembenaran dari Donita.
Sahabatnya  itu  menghela  napas  panjang,  “Menurutku Rafael sudah gila.”
“Mungkin   juga.”   Elena   mengerutkan   kening   bingung dengan kata-kata Donita. “Rafael sudah gila. Gila karena terlalu mencintaimu.” “Cintanya  hanyalah  kebohongan.”  Elena  menyela,  dia ingin mendapatkan dukungan dari Donita, tetapi sahabatnya itu tampaknya malahan bersimpati kepada Rafael.
“Tidak  mungkin  orang  dengan  cinta  bohongan melakukan  segala  cara  untuk  memilikimu.  Coba  kau  pikir? Untuk  apa  dia  menikahimu?  Aku  tahu  pasti  di masa  lalunya Rafael tidak pernah membuka hatinya untuk perempuan lain. Dia selalu tampak... sedih. Ternyata karena ini. Ternyata karena dia menanggung rasa bersalah yang dalam. Kau dari tadi mengulang-ulang bahwa Rafael mengatur segalanya dalam hidupmu,   mengubah   menjadi   apa   yang   dia   mau.”   Donita menatap  Elena  dalam-dalam,  “Tetapi  yang  kulihat,  dia  tidak ingin menjadi Tuhan dalam kehidupanmu, Elena. Dia ingin menjadi pahlawan. Dia menjagamu.”
“Tidak!” Elena membantah lagi, “Dia hanya ingin memuaskan egonya, menyembuhkan rasa bersalahnya, dan membuat aku berhutang kepadanya agar semua kesalahannya impas!”
“Untuk  apa  dia  melakukan  itu?  Tidak  ada  untungnya buat Rafael.” Donita memajukan  tubuhnya,  “Elena. Orang lain dalam  posisi  Rafael,  dia  akan  meninggalkanmu  dengan setumpuk uang, meminta maaf dan pergi. Kalaupun kau tidak mau menerimanya, setidaknya dia sudah mencoba. Rafael bisa melenggang pergi kapan saja tanpa beban, tanpa kerugian apapun.  Tetapi  itu  tidak  dilakukannya.  Dia  memilih mengikatkan rantai berat berisi rasa bersalah di kakinya. Menjagamu agar hidupmu mudah dan bahagia. Dan kemudian menikahimu    serta   menjadi   suami   yang   luar   biasa   baik untukmu.”
Elena terdiam. “Kenapa kau membela Rafael?”
“Karena, demi Tuhan. Bukalah hatimu Elena. Pikirkan baik-baik.   Oke,  Rafael  memang   bersalah  di  masa  lalu,  dia memang menyebabkan kematian ayahmu. Itu sudah terjadi, waktu tidak akan bisa diputar kembali. Dan dia sudah berusaha menebus kesalahannya.” Donita menghela napas panjang, “Pikirkanlah Elena. Semua yang dilakukan Rafael untukmu, kebohongannya, semua rencananya untuk mencampuri kehidupanmu, adakah yang merugikanmu? Tidak bukan? Dia selalu memastikan kebahagiaanmu di atas segalanya. Dia mencintaimu Elena. Dan jauh di dalam hatimu kau mengetahuinya.”
Elena mengetatkan gerahamnya, “Aku tidak percaya.” Matanya terasa panas, “Dia telah membohongiku. Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan membohongiku.”
Donita  tersenyum  lembut  melihat  Elena mulai  terisak, ditepuknya pundak Elena memberi semangat. “Kau bisa menginap di sini dulu, kau tidak punya tempat tujuan kan?”
“Aku berencana pergi ke luar kota. Tetapi kondisi kesehatanku tidak memungkinkan, aku muntah-muntah sepanjang jalan kemari tadi.” Elena mengusap air matanya dan menatap Donita ragu, “Mungkin aku akan merepotkanmu, bolehkah aku menginap di sini untuk beberapa lama? Kalau kondisi kesehatanku sudah memungkinkan, aku akan pergi.”
“Kau boleh tinggal selama kau mau. Kami punya dua kamar kosong di sini. Suamiku juga akan sangat senang kalau kau tinggal disini. Dia sering keluar kota, dan pasti akan senang karena aku ada temannya.”
“Aku tidak akan tinggal lama di sini, aku harus pergi segera, kalau tidak, Rafael akan menemukanku.”
“Kau masih bertekad untuk pergi?”
Elena    memijat    kepalanya,    “Entahlah...aku    bingung Donita, dan aku pusing.”
“Kau sedang hamil muda, kondisimu harus dijaga baik- baik demi dirimu dan calon anakmu. Dulu aku selalu mual dan muntah di awal-awal kehamilanku. Tinggalah di sini dulu Elena. Istirahatlah  dan  pulihkan  dirimu.  Kau  bisa  memikirkan  apa yang harus kau lakukan kedepannya nanti.”

Ҩ

Rafael  sudah  mencari  kemana-mana  tanpa  tujuan  dan dia bingung. Rasanya dia hampir gila karena tidak tahu Elena ada dimana, sedang apa, dan bagaimana kondisinya.

Istrinya itu sedang hamil, demi Tuhan! Sedang mengandung anaknya, dan sekarang dia ada di luar sana entah dimana. Dengan marah dibantingkannya tangannya di setir mobilnya.
Sebegitu bencikah Elena kepada dirinya? Kenapa Elena tidak mau mengerti? Rafael tahu dia bersalah dan penuh dosa kepada Elena. Dia memang tak termaafkan. Tetapi apakah dia tidak berhak mencintai? Tidak bolehkah dia mencintai Elena?

Ҩ

“Aku sudah menengok kak Rafael, kondisinya buruk. Dia sudah tidak datang ke kantor lagi sejak dua minggu yang lalu, yang dia lakukan setiap hari hanya berputar-putar mencari Elena. Dan ketika aku menengok ke rumahnya, dia tampak mengenaskan kalau sedang di rumah, dia tidak bercukur, dan hanya diam di kamar seperti orang gila. Mengutuk dirinya sendiri.” Victoria duduk di depan mamanya dengan prihatin, “Kita harus menemukan Elena untuknya, kalau tidak aku cemas dia akan benar-benar jadi gila.”
“Kata supir pribadinya, dia juga selalu berkeliling setiap malam, tidak pulang, mengitari seluruh penjuru kota, mencari Elena.” Sang mama memijit kepalanya yang berdenyut, “Mama juga  mencemaskan  Rafael.  Apakah  kau  sudah  mencari informasi? Bagaimana dengan para pegawai yang mengenal Elena di kantor dulu?”
“Aku  menanyai  mereka  semua.  Tetapi  tidak  ada  yang tahu di mana Elena.”
“Bagaimana  dengan  Donita,  Elena  menggantikan tugasnya bukan? Dan aku dengar mereka cukup akrab.”
“Donita adalah orang pertama yang didatangi Rafael.” Victoria mengingat Rafael pernah bercerita kepadanya. “Tetapi kata Donita, Elena tidak datang kesana.”
Kedua wanita itu bertatapan. Bingung. Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk menolong Rafael. Yang dibutuhkan Rafael adalah kehadiran Elena. Hanya itu.
Ah Elena. Dimanakah kau? Tidak kasihankah kau kepada Rafael?

Ҩ

Pagi itu seperti biasanya Elena membantu Donita memandikan si kecil. Sudah satu minggu Elena tinggal di rumah Donita. Sahabatnya itu melarangnya pergi dulu. Dan Elena menerima tawarannya itu. Mengingat kondisinya tidak memungkinkan.  Dia  selalu  merasa  mual,  dan  ingin  muntah setiap saat. Kepalanya kadang terasa pening sehingga berdentam-dentam. Dan kondisinya itu bahkan belum membaik selama seminggu tinggal bersama Donita.
Si Kecil sudah dimandikan, dan Donita memberinya asi. Sementara Elena merapikan kembali perlengkapan mandi bayi. Ketika  dia  membungkuk  untuk  meletakkan  handuk  ke keranjang  cucian,  tiba-tiba  ada  rasa  sakit  yang  menjalar  di perut bagian bawahnya. Nyeri luar biasa yang membuatnya mengerang sambil berpegangan ke rak handuk di sampingnya.
“Elena?”
“Sakit sekali.” Elena memegang perutnya yang serasa di remas-remas. Nyerinya luar biasa.
Donita meletakkan bayinya yang sudah tertidur dan kenyang di buaian, dia melangkah mendekati Elena. “Ayo Elena, mungkin kau terlalu tegang dan kelelahan. Berbaringlah dulu..... Oh Astaga!” Donita memekik, “Elena... kau berdarah!”
Elena   menunduk   dan   menatap   ke   bawah.   Ke   arah kakinya. Dia memakai rok selutut. Dan dari lututnya,  tampak cairan  merah  yang  mengalir  dari  kewanitaannya,   mengalir turun melewati betisnya, sampai ke kaki.
“Aku akan menelepon Rafael!” Donita meraih ponselnya, Elena mengerang, mencoba mencegah Donita, “Jangan! Jangan Donita!”
Sahabatnya itu menatapnya tajam. “Harus Elena. Dia suamimu , ayah dari bayi di perutmu. Rumahnya dekat dari sini, dia bisa sampai dalam beberapa menit. Lebih cepat daripada kalau kita memanggil taksi.” Donita melirik cemas kepada Elena yang kini sudah duduk di kursi dan memegang perut bawahnya dengan kesakitan. Lalu menelepon Rafael.

Ҩ

Rafael datang dengan begitu cepat. Lelaki itu sepertinya mengebut kemari. Ketika Donita membuka pintu, atasannya itu berdiri dengan mata nyalang, cemas luar biasa.
“Di mana Elena?”
“Di    dalam.    Mr.    Alex,    maafkan    saya    waktu    itu membohongi anda....”
“Tidak apa-apa... terima kasih sudah meneleponku.” Rafael  bergerak  masuk  setengah  berlari.  Menemukan  Elena yang terduduk di kursi. Darah segar mengalir di kakinya, dan Elena   tidak   berani   berdiri   sama   sekali,   takut   dia   akan mengalami pendarahan yang lebih parah. Wajah Elena semakin pucat  ketika  dia  melihat  Rafael  masuk  dan  berdiri  dengan cemas di sebelahnya.
“Sayang...” lelaki itu berbisik lembut bercampur kecemasan, “Tahan cintaku, aku akan membawamu ke rumah sakit.” Dengan cepat Rafael membungkuk di depan Elena menyapukan tangannya di punggung dan lutut Elena, lalu mengangkatnya seolah Elena begitu ringan. Elena melingkarkan lengannya  di  leher  Rafael,  menyandarkan  kepalanya  di dadanya. Perutnya sakit, tetapi berada digendongan Rafael membuatnya  merasa nyaman. Lelaki itu berhenti  sebentadi dekat pintu, Terima kasih Donita.”
“Sama-sama.   Semoga   Elena   tidak   apa-apa.” Donita mengiringi kepergian mereka dengan tatapan cemas.
Rafael melangkah cepat menuju mobilnya, ke tempat supirnya yang sudah menunggu dan membukakan pintu. Masih menggendong Elena, Rafael masuk kemudian memangku Elena. Mobil pun melaju dengan kencang menuju rumah sakit.
Elena  mengerang  ketika  rasa  nyeri  itu  menyerangnya lagi. Membuat Rafael menunduk menatapnya dengan cemas, “Sakitkah sayang? Tahan ya. Kita sebentar lagi sampai.”
Elena bergerak tidak nyaman di pangkuan Rafael, dia hanya memakai  rok dan dia berdarah.  Darahnya  akan mengotori celana Rafael, “Aku berdarah... aku akan mengotori..”
“Jangan cemaskan itu.” Rafael menyela tajam, lalu memeluk Elena erat-erat. “Ya Tuhan. Elenaku. Semoga kau tidak apa-apa. Aku bisa mati kalau kau kenapa-kenapa.”
Elena masih mendengar kalimat terakhir itu dan hatinya terasa hangat, tetapi setelah itu, dia tidak mendengar apa-apa lagi. Rasa sakit yang luar biasa telah merenggut kesadarannya. Mambuatnya pingsan.

Ҩ

Elena terbangun  lama kemudian.  Bau  obat dan rumah sakit menyelimutinya. Membuatnya mengerutkan keningnya. Tangannya  langsung  digenggam  dengan  hangat, membuatnya menoleh dan bertatapan langsung dengan Rafael. Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas.
Rafael   belum   bercukur.   Itu   yang   dipikirlan   Elena pertama kali ketika melihat bayangan gelap, bakal jenggot yang hampir tumbuh di dagu lelaki itu. Dan matanya tampak ketakutan sekaligus lega. Lelaki itu mengecup jemari Elena penuh perasaan, “Syukurlah kau sudah sadar sayang.” Suaranya serak penuh perasaan, “Aku sangat mencemaskanmu.”
Refleks   Elena   memegang   perutnya,   menatap   Rafael dengan takut. “Bayiku?”
“Dia  kuat,  dan  bertahan.”  Rafael  menatap  perut  Elena dengan lembut.
Elena mendesah lega mengetahui kondisi bayinya baik- baik saja. Tetapi kemudian, wajah Elena memerah mengetahui tatapan Rafael ke perutnya. Dia memalingkan wajah, tidak mau menatap Rafael.
“Elena.” Suara Rafael melembut. “Aku tahu waktunya tidak tepat membahas ini semua. Tetapi aku harus mengatakannya kepadamu.”
Hening  dan  Rafael  menunggu  jawaban  Elena,  ketika Elena tetap diam, Rafael menarik napas panjang, “Aku mencintaimu Elena. Itu bukan kebohongan. Aku mungkin mengatur kehidupanmu, tetapi itu semua kulakukan untuk menjagamu. Karena aku mencintaimu, bukan semata untuk penebusan  dosa.”  Suara  Rafael  menjadi  serak,  “Aku menikahimu karena aku mencintamu. Semua yang kulakukan, semua kebohongan itu, karena aku mencintaimu.”
Elena tetap diam. Memejamkan matanya. Merasakan air mata menetes di sudut matanya.

”Aku tahu kau tidak bisa memaafkanku. Dosaku memang tak   termaafkan.   Dan   aku   sudah   menerimanya.    Mungkin memang aku yang berharap terlalu muluk kau bisa tetap mencintaiku  dan  melanjutkan  pernikahan  ini.”  Rafael tersenyum pahit, “Maafkan aku karena memaksakan sesuatu yang tidak kau inginkan. Mulai sekarang aku tidak akan memaksakan kehendakku kepadamu lagi. Segera setelah anak kita lahir. Aku akan menceraikanmu dengan penyelesaian yang baik.”


UNFORGIVEN HERO - BAB 15

No comments:

Post a Comment