Tuesday, October 27, 2015

UNFORGIVEN HERO - BAB 1



1


"Kamu  sangat  menyedihkan",Victoria  menoleh  ke laki- laki di sebelahnya, yang kebetulan kakaknya.
"Bukan urusanmu."
Victoria mendengus lalu menyesap minuman kalengnya dan meletakkannya di dashbor mobil.
"Sampai kapan kamu mau begini terus? sampai dia menjadi  nenek-nenek  datetap  tidak  menyadari keberadaanmu ?"
"Sttt."  Rafael  bahkan  tidak  menoleh  ke wajah  adiknya yang duduk di sebelahnya, tatapannya lurus ke depan, ke pintu keluar sebuah gerbang kampus.
Tak   lama   soso yan dicariny it keluar,   dengan senyum   mani yan suda dihafalnya sedan bercanda bersama teman-temannya.
"Dia tersenyum." gumam Rafael lega.
"Tentu saja dia tersenyum, dia berhasil lulus dengan predikat cum laude", tukas Victoria dengan gusar, "Dan itu karena siapa coba?"
"Aku tidak mau membahasnya...."
"Karenkamu!  Semua karena perjuanganmu."  Victoria tidak mempedulikan peringatan kakaknya dan terus melanjutkan.
"Dan sekarang kamu bahkan tidak bisa memberi selamat kepadanya, malah mengintip dari jauh seperti ini. Benar-benar menyedihkan!"
Rafael terus menatap sosok itu sampai menjauh, menghilang di dalam angkutan umum yang dikendarainya.
Dia bahkan masih naik angkutan umum, Aku harus mengusahakan kendaraan untuknya. Supaya dia tidak perlu capek berpanas-panasan naik angkutan umum lagi."
Perkataaitu semakin membuat Victoria gusar karena kakaknya itu tidak memperhatikan kata-katanya.
"Kamu menyedihkansampai kapan kamu menghukum diri sendiri seperti ini ?"
Sepi. Tampaknya Rafael mengganggap pertanyaan Victoria itu tidak perlu dijawab. Dua kakak beradik itu terdiam di dalam mobil mewah yang sengaja di parkir agak jauh dari kampus, agar tidak mencolok. Rafael sibuk dengan pikirannya sendiri, pikirannya melayang ke masa sepuluh tahun lalu, saat usianya masih 18 tahun. Kaya, tampan, punya kuasa, dan tidak tahu tentang rasa tanggung jawab........

========================

10 tahun yang lalu
"Ini mobil hadiah ulang tahunku, baru ada dua di Negara ini.“ gumam Rafael bangga pada teman-temannya waktu itu.
Semua temannya mengagumi mobil sport warna merah yang diparkir Rafael di lapangan itu.
"Gila  Raf,  mobil  ini  enasekali  dibawa  ngebut!"  seru salah satu temannya.
"Tentu saja, namanya juga mobil sport."
"C'mon Let's try." seru salah seorang temannya yang lain. Rafael   tertawa   bangga   dengan   kesombongan   masa mudanya  waktu  itu.  Malam  itu  mereka  mabuk-mabukan  dan berpesta pora.
Dan  malam  itu  pula Rafael  belajar  bahwa  kesenangan sesaat kadangkala bisa merenggut nyawa orang yang tidak bersalah. Mobil yang dia kendarai dalam keadaan mabuk, menabrak sebuah taksi yang berjalan pelan di jalur berlawanan.
Pengemudi taksi itu, lelaki tua yang tidak tahu apa-apa, tewas seketika.
Tentu   saja   semua   permasalahan   dapat   dibereskan dengan cepat. Ayah Rafael adalah pengusaha yang sangat berpengaruh karena harta dan kekuasaannya yang melimpah.
Tidak ada yang mempermasalahkan kenapa Rafael mengendarai kendaraannya dalam kondisi mabuk berat, uang jaminan sudah disiapkan. Rafael sendiri waktu itu lebih mencemaskan  keadaannya  daripada  memikirkan  supir  taksi tua yang tewas itu. Toh supir taksi itu lebih beruntung langsung tewas, tidak merasakan sakit seperti dirinya.
Limpanya terbentur keras, bengkak, sehingga memerlukan perawatan dan pengobatan khusus, dan rasa sakitnya sungguh tidak terkira. Bahkan Rafael sempat menyalahkan supir taksi yang menurutnya kurang ajar. Kenapa bisa ada di jalan yang berlawanan dengan dirinya sehingga membuatnya tertabrak.
Semua permasalahan dibereskan dengan cepat oleh ayahnya.  Rafael  langsung  di kirim ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Sampai 6 bulan kemudian setelah kecelakaan itu, dia pulang ke Indonesia.
Mamanya, seorang perempuan Spanyol yang sudah tinggal di negara ini sejak menikah dengan Ayah Rafael, mengingatkannya,
"Kau tidak pernah ingin tahu tentang mereka?" tanya mamanya waktu itu.
Rafael yang saat itu merasa bosan karena masih harus beristirahat di rumah dan tidak bisa keluar rumah menatap mamanya dengan marah,
“Buat apa Ma? Bukankah papa sudah memberikan tunjangan yang sepadan untuk mereka? Mungkin malahan lebih banyak  dari  yang  bisa  dihasilkan  supir  taksi  itu  ketika  dia hidup."
Kesombongan membuat suaranya terdengar keras.
Sang mama menggelengkan  kepalanya,  "Supir taksi itu memiliki isteri yang berduka dan seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah. Apakah kamu tidak menyesal atas kehilangan yang dialami anak kecil itu, Rafael?"
Rafael merasa terganggu mendengar ucapan mamanya, "Sebenarnya apa yang mama inginkan dari Rafael ?"
"Mama  hanya  ingin  merasa  sedikit  lega,  mama  ingin kamu kesana dan meminta maaf langsung. Bahkan selama ini hanya pegawai papa yang datang kesana dan mengurus semuanya."
Rafael  mencibir,  "Mereka  itu  keluarga  miskin,  kalau Rafael datang kesana dan menunjukkan  penyesalan,  mungkin mereka akan meminta tambahan tunjangan lagi."
"Kalau begitu beri saja. Kau sudah mengambil nyawa seorang ayah Rafael. Berapapun harta yang kau berikan, itu tak akan tergantikan."
Dan datanglah Rafael keesokan harinya, dengan diantarkan sopir dalam mobil mewah. Tentu saja tak lupa membawa buket bunga di tangannya.
Ternyata mobil tidak bisa masuk ke kompleks itu, Rafael masih harus berjalan melewati gang sempit dan rumah-rumah tak terurus dengan bau yang mengganggu indra penciumannya. Dengan  jijik  dipandanginya  lumpur  di  sepatu  mahalnya,  dia akan membuang sepatu ini, putusnya jengkel.
Rumah itu sederhana, terletak di ujung gang, tetapi tampak paling bersih di antara semua rumah yang berdesak- desakan di sana. Kelihatannya seseorang berusaha meletakkan pot-pot mungil berisi bunga mawar untuk menutupi pagar jelek yang menyedihkan di depan rumah itu. Ketika Rafael mengucapkan permisi di depan pintu, seorang gadis remaja, mungkin usianya beberapa tahun di bawahnya muncul di ruang tamu dan menatapnya curiga.
Gadis itu cantik, itu yang Rafael pikirkan pertama kali melihatnya. Cantik, dengan tatapan mata yang cerdas, dan meskipun hanya berpakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menahan keterpesonaan Rafael.
"Siapa?" tanya gadis itu hati-hati.
Rafael memasang  senyumnya yang paling mempesona, selama ini banyak perempuan yang mengejarnya. Dia tidak pernah meragukan pesonanya.
"Saya....saya datang kemari untuk minta maaf atas kecelakaan itu, maaf saya baru bisa kemari. Saya baru pulang dari Singapura setelah menjalani perawatan medis karena luka setelah kecelakaan itu."
Hanya kalimat itu yang bisa ia keluarkan. Karena setelah kalimat  itu, Rafael  bahkan  tidak  bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi.
Yang bisa diingatnya adalah jeritan histeris penuh kemarahan sang gadis, tetangga-tetangga yang berdatangan untuk memisahkan mereka karena sang gadis tiba-tiba menyerangnya dengan tamparan bertubi-tubi. Bunga-bunga berserakan dihancurkan, dan ancaman penuh kebencian keluar dari gadis kecil itu.
"Jangan pernah kau menampakkan wajahmu di muka kami!, Kau manusia hina yang bersembunyi di balik kekuasaan ayahmu,  manusia  pengecut,  tidak  bertanggung  jawab!!  Kau pikir  nyawa manusia  bisa diganti  semudah  itu dengan uang? Kami memang miskin, tapi kami punya harga diri!! Jadi sebelum kau  bisa  menunjukkan  kalau  kau  punya  harga  diri,  jangan berani-berani menunjukkan mukamu di depan kami!!! "
Hari  itu,  Rafael  diberitahu  oleh  seorang  tetangga,  ibu gadis itu yang jatuh sakit karena tak kuat menahan kepedihan, meninggal semalam dalam kondisi sakit parah, menyusul ayahnya. Hari itu, Rafael menyadari, bahwa perbuatannya telah menghancurkan hidup sebuah keluarga.
"Mereka  sama  sekali  tidak  mau  menerima  uang tunjangan dari keluarga ini, itulah yang mengganjal di hati mama." sang mama menatap Rafael sedih.
"Gadis itu membenciku Ma, baru kali ini aku  menerima tatapan kebencian seperti itu."
Rafael masih terpekur shock dengan kejadian yang baru di alaminya. Sang mama hanya menatapnya sedih,
"Gadis itu kehilangan ayahnya dengan tragis, dan ibunya pula, apalagi yang bisa dilakukannya selain menumpahkan kebencian kepadamu, penyebab semua ini ?"
"Dia   sebatang   kara,   dan   dia   tidak   mau   menerima bantuan dari kita, lalu Rafael harus berbuat apa,Ma ? "
Mamanya menatap Rafael dengan kebijaksanaan yang diperolehnya dari pengalaman hidupnya bertahun-tahun,
"Mungkin  kau  harus  memulainya  dari  dirimu  sendiri dulu Rafael..."
========================

"Mau sampai kapan kita parkir di sini? Gadis itu sudah pergi sejak tadi," suara Victoria memecahkan keheningan, hampir membuat Rafael berjingkat karena kaget.
"Melamun  lagi  ya?  Akhir-akhir  ini  kebiasaanmu melamun semakin parah. "
Rafael   menarik   napas   lalu   memundurkan   mobilnya keluar dari parkiran,  "Thank's sudah menemaniku  menunggu dia,"
Victoria menatap kakaknya seksama, lalu tatapannya berubah penuh sayang. Kejadian kecelakaan itu sudah lama, tetapi kakaknya menanggung beban rasa berdosa itu di pundaknya tanpa henti. Hingga seolah-olah Rafael sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.
"Aku  sayang  padamu  kak,  aku  tidak  tahan  kalau  kau terus-terusan dalam kondisi seperti ini."
Rafael terdiam, tidak menanggapi. " Dia sudah lulus kuliah, nilainya  bagus, dia pasti akan diterima di perusahaan yang juga telah susah payah kamu siapkan untuknya."  Victoria menatap Rafael penuh arti, lalu mendesah ketika Rafael tidak mengatakan apa-apa, “Bukankah ini waktunya kamu berhenti?"
"Berhenti apa?"
"Berhenti memikul tanggung jawab ini seolah-olah kamu tidak akan pernah termaafkan. "

Cengkeraman Rafael di roda kemudi semakin erat, "Aku memang tidak akan pernah termaafkan."
"Kejadian itu sudah lama berlalu, gadis itu bahkan mungkin sudah kehilangan kesedihannya dan menjalani hidup dengan bahagia...."
Rafael mengernyit menggelengkan kepala, membantah apapun yang berusaha diucapkan oleh adiknya.
"Tidak. Aku yang merenggut semua kebahagiaannya. Sebelum semua bisa aku kembalikan kepadanya dalam kondisi utuh, aku tidak akan berhenti."
"Kau  sungguh  menyedihkan."   Victoria  menatap kakaknya dengan pandangan jengkel, merasa seperti kaset yang rusak karena mengulang-ulang kalimatnya terus-menerus, "Aku berdoa  semoga  suatu  saat  nanti  gadis  itu  tahu,  siapa  yang berada di balik hidupnya yang berjalan dengan begitu mudah selama ini."
Ò¨
"Surat panggilan untukmu." ibu asrama menyerahkan surat  yang  terbungkus  rapi  dalam  amplop  berbahan  kertas mahal itu.
Elena mengernyitkan  kening, dibacanya kop di amplop surat itu yang ditulis dengan tinta emas elegan dengan emblem lambang perusahaan yang sangat bonafit. Perusahaan ini bergerak di bidang jasa konstruksi dan sangat terkenal, Elena tahu emblem perusahaan ini, dan dia mengenal perusahaan ini, yang  sering   disebut-sebut   oleh  dosennya,   dan  juga  sering muncul di berbagai  media massa terutama  yang  menyangkut literatur bisnis dan keuangan.
Perusahaan ini benar-benar didirikan dari bawah, ownernya yang menurut gosip masih muda, memulai usaha ini setelah pulang dari sekolahnya di Amerika. Dia mendirikan perusahaan  dengan sistem yang  serupa dengan joint ventura dengan penanaman modal dari perusahaan asing yang bergerak di bidang sejenis. Dan kemudian dalam waktu lima tahun sudah merajai jajaran perusahaan konstruksi yang patut diperhitungkan.
Sebuah surat panggilan? Itu benar-benar membuat Elena bingung, dia tidak pernah merasa mengirimkan lamaran ke perusahaan  ini. Perusahaan  ini terlalu  bonafit  untuk  seorang fresh graduate  seperti  dirinya.  Tapi  bagaimana  mungkin  ada surat panggilan kalau dia tidak pernah mengajukan surat lamaran?
Ibu asrama tersenyum melihat keragu-raguan Elena, "Sudah buka saja, mungkin isinya benar-benar panggilan kerja untukmu."
"Tapi saya tidak pernah merasa mengirimkan  lamaran ke perusahaan  ini, Ibu." Elena terbiasa memanggil  ibu asramanya dengan sebutan ibu.
Ibu asrama ini sudah seperti ibu kedua baginya, ketika dia  sebatang  kara  dan  kedua  orang  tuanya  meninggal  dulu, Elena memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencari pekerjaan. Kebetulan waktu itu seorang tetangganya mengenalkannya dengan ibu Rahma, seorang pegawai yang bertanggung jawab terhadap sebuah asrama putri yang saat itu sedang membutuhkan pembantu dan teman untuk menunggui asrama milik sebuah yayasan swasta tersebut.
Ibu Rahma adalah seorang janda tanpa anak yang hidup sendirian, dan kehadiran Elena sangat membantunya.  Bahkan kemudian  ibu  Rahma  mengusahakan  beasiswa  untuk  Elena agar dia bisa melanjutkan sekolahnya. Dan kemudian semua terasa mudah bagi Elena, beasiswanya  terus berlanjut hingga Elena  bisa  lulus  kuliah,  tentu  saja  sebagian  biaya  hidupnya harus Elena tanggung sendiri. Dia sekolah sekaligus bekerja sebagai pegawai asrama putri tersebut, mengurus administrasinya,  bahkan  kadang menjadi  pegawai  kebersihan kalau sedang tidak ada tenaga kebersihan.
"Mungkin itu rekomendasi dari Universitasmu, kau kan lulusan terbaik." Ibu Rahma tersenyum lembut, "Ayo, bukalah."
Dengan enggan dan sedikit takut-takut, Elena merobek amplop  itu,  sebelumnya  dia  memastikan  kalau  amplop  itu benar-benar  ditujukan  padanya.  Setelah  yakin  dia mengeluarkan kertas surat yang tak kalah elegan dengan amplopnya itu dan mulai membaca isinya

Dengan Hormat,
..........maka kami memanggil anda untuk menjalani rangkaian interview.............
Elena mengerutkan  keningnya,  membacanya  berulang-ulang
"Bagaimana?"    Ibu  Rahma  tampak  begitu  optimis  dan penasaran,
Elena tersenyum, "Memang surat panggilan pekerjaan..." "Kau harus datang."
"Tapi, Bu... saya masih bingung..."
Ibu Rahma  menggelengkan  kepalanya,  menelan  semua bantahan Elena, "Tidak semua orang berkesempatan sepertimu Elena, kau harus datang memenuhi panggilan kerja itu."
Elena terdiam, mengerutkan kening, tapi pikirannya melayang,  hidupnya  terasa  begitu  mudah,  seolah-olah  Tuhan mengulurkan tanganNya langsung dan membantunya. Dia mendapatkan semuanya dengan begitu mudah, rumah asrama yang menampungnya gratis, beasiswa demi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya, ibu asrama sebagai pengganti orangtuanya. Pekerjaan yang sangat fleksibel yang memungkinkannya bekerja sambil sekolah, sekaligus menyediakan uang untuk kebutuhan pribadinya. Dan sekarang, begitu  luluspun,  tawaran  pekerjaan  langsung  datang kepadanya, dan tidak tanggung-tanggung,  langsung  di sebuah perusahaan bonafit berkelas tingggi.
Elena tersenyum dan otomatis memandang ke atas, ke titik khayalan yang dibayangkannya,
"Hei   malaikat   pelindungku,"   bisiknya   pelan   kepada langit, "Kau pasti sudah bekerja sangat keras, bernegosiasi dengan Tuhan untuk membuat hidupku begitu mudah, terima kasih ya"

Ò¨

Elena merapikan rok setelan kerjanya yang sedikit kusut dengan  gugup.  Angkutan  yang  dinaikinya  sangat  penuh  dan sesak sehingga penampilan  Elena jadi tidak serapi  ketika dia berangkat  tadi.  Dan  sekarang  disinilah  dia  berdiri,  di  lobi mewah perusahaan ini dengan keragu-raguan dan kecemasan yang tampak jelas.

Aku telah berbuat kesalahan dengan datang ke sini, ini bukanlah tempatku.....
Elena mengusap keringat di dahinya ketika petugas resepsionis  yang  ramah  tersenyum  kepadanya, mengundangnya mendekat,
"Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu mungkin kasihan  melihat  Elena  yang  gugup  dan  kebingungan  seperti salah tempat,
"Eh...  ini...."  Elena  mengeluarkan  surat  panggilan interview yang diterimanya kemarin. Dia mengeluarkannya dengan    hati-hati    seolah    itu    harta    karun    berharga    dan menunjukkannya kepada sang resepsionis, "Saya mendapatkan panggilan interview di perusahaan ini hari ini."
Resepsionis itu menerimanya dan mengerutkan kening, dia adalah pegawai berpengalaman dan tahu, bahwa surat panggilan ini tidak main-main, dikirimkan langsung oleh sekretaris   sang  owner.  Bahkan  ditandatangi  langsung  oleh owner mereka.... Ini bukan surat main-main, ini surat penting....
"Sebentar, saya akan menelepon." sikap resepsionis yang ramah dan mengasihani  itu langsung  berubah  serius dan dia meninggalkan Elena untuk mengangkat telepon.
Jantung Elena langsung berdegup kencang, pikiran- pikiran buruk langsung menerpanya, apakah dia salah? Apakah surat itu surat palsu, mungkin sekedar lelucon untuk mengerjai Elena? Astaga!! Kenapa tak pernah terpikirkan di benaknya tentang kemungkinan itu?
Elena memandang sekeliling dengan gelisah, apakah dia akan diusir? Apakah dia akan dipermalukan?
Rasanya lama sekali ketika resepsionis itu akhirnya kembali dari belakang. Dia sudah berhasil menguasai diri rupanya, senyum ramahnya sudah kembali,
"Interview akan dilakukan di lantai lima, saya akan meminta petugas kami untuk menemani anda ke atas."
Seorang petugas entah muncul dari mana dengan ramah menemani  Elena  melangkah  masuk  ke  lift  menuju  ke  lantai lima.
"Mari nona, silahkan duduk dulu di situ, saya akan memberitahukan kedatangan anda."
Elena duduk di sofa sambil tetap mengerutkan kening, memberitahukan  kedatangannya?  Kenapa  seolah-olah  dia adalah  tamu  yang  sudah  ditunggu  dan  bukannya  salah  satu calon pegawai yang akan menghadapi test  ? Dan dimana yang lainnya?   Elena   memandang   ke   sekeliling   yang   sepi,   dia menyangka  akan  di  interview  bersama  calon-calon  pegawai lainnya, tetapi ternyata dia cuma sendirian,
"Silahkan nona. Beliau berkenan menemui anda."
Masih dengan bertanya-tanya Elena melangkah memasuki   ruangan   itu,   sebuah   ruangan   rapat   kecil   yang mungkin difungsikan untuk mewawancarai calon pegawai.
Seorang perempuan yang sangat elegan dan cantik menunggunya  di sana,  cantik  sekali seperti  model.  Wajahnya sangat eksotis seperti perempuan Latin, dengan setelan kantornya yang terlihat mahal dan menarik.
"Selamat siang, silahkan duduk," gumamnya datar mempersilahkan.
Dengan canggung Elena duduk di hadapan perempuan itu,  "Saya  Victoria,  HR  Manager  di  perusahaan  ini,  mungkin anda bertanya-tanya kenapa anda bisa mendapat panggilan di perusahaan  ini.  Kami  memperoleh  rekomendasi  dari universitas anda, bahwa anda adalah lulusan terbaik di sana."
Rupanya kata-kata Ibu Rahma ada benarnya,  dia dipanggil karena rekomendasi dari kampusnya...
"Baik, pekerjaan yang akan ditawarkan kepada anda adalah staff inti dari direksi. Maksud saya, anda akan bekerja sebagai bawahan langsung dari Owner kami....”

Otak Elena serasa dicubit, Staff  Direksi?  kenapa untuk jabatan sepenting staff direksi, perusahaan ini mengambil seorang lulusan baru sepertinya? Bukankah untuk jabatan seperti itu biasanya sebuah perusahaan  akan mengambil dan mempromosikan pegawainya yang sudah lama mengabdi untuk naik jabatan? Tapi pertanyaan-pertanyaan  di otak Elena langsung terabaikan ketika dia berusaha berkonsentrasi penuh atas wawancara resmi yang mulai dilakukan oleh HR Manager yang cantik itu.
Wawancara  itu  berlangsung  lama,  dan  begitu  resmi, Elena  menjawab  semua  sesuai  kemampuannya,  dan  setelah pertanyaan terakhir dijawab, Ibu Victoria (menyebutnya "ibu" mengingat jabatan perempuan itu sebagai HR Manager. Kalau dilihat dari usianya, Ibu Victoria ini masih sangat muda, muda dan cantik) terdiam agak lama dan menatap catatan di mejanya.
Perempuan  itu  lalu  menatap  Elena  lama  seolah-olah ingin membaca isi hati Elena,   "Kalau anda diterima, seberapa cepat anda bisa mulai bekerja di perusahaan kami?"
Elena tergagap, tidak menduga akan ditanya selugas itu, biasanya mereka akan menyalamimu, kemudian mengatakan akan melakukan evaluasi dan akan menghubungi beberapa waktu nanti bukan?
"Saya bisa kapan saja", jawab Elena cepat Ibu Victoria menganggukkan kepalanya,
"Anda diterima, saya ingin anda siap dan mulai bekerja Senin  depan.  Cukupkah  waktu  untuk  mempersiapkan semuanya? Dalam tiga hari?"
Elena menganggukkan kepalanya meski masih merasa seperti mimpi,
"Baik. Saya akan bersiap."
Ibu Victoria berdiri dan mau tak mau Elena ikut berdiri juga,  perempuan  itu  lalu  menyalami  Elena  dengan  senyum aneh.
"Semoga sukses di perusahaan ini." Dia lalu melepaskan tangannya dan melangkah keluar, "Sampai bertemu lagi, anda bisa keluar sendiri kan." dan dengan langkah cepat dan tegas, setegas pembawaannya, wanita itu meninggalkan Elena sendirian.
Meninggalkan Elena yang masih terpaku di tengah ruangan itu, menahan keinginan kuat untuk mencubit dirinya sendiri, secepat ini prosesnya? Mimpikah ia....?

Ò¨

"Sudah beres," Victoria meletakkan berkas-berkas itu di meja Rafael.
"Trim's," Rafael tersenyum menatap adiknya, "Bagaimana?"
"Dia kebingungan," Victoria mencibir, "Semua ini terlalu mudah, Kalau aku jadi dia, pasti juga akan sebingung dia, dan kamu sudah membuat aku melanggar aturan perusahaan dalam merekrut pegawai."
Rafael tersenyum miris,
"Perusahaan ini punyaku, dan aku juga yang berhak menentukan penerapan aturan itu."
Victoria mengangkat bahunya, "Yah... lagipula siapalah aku, bisa dibilang kau merintis perusahaan ini demi gadis itu... sekarang keinginanmu sudah tercapai Rafael."
"Panggil aku Alex kalau berada disini." Victoria meringis.
"Dia  pasti  akan  tahu  suatu  saat nanti,  Rafael,"  dengan keras kepala Victoria tetap memanggil kakaknya dengan panggilan  'Rafael". Papa kita bisa dibilang  pengusaha dengan nama  besar.  Suatu  saat  nanti  dia  pasti  akan  bisa menghubungkan namamu dengan papa, dan identitasmu pasti akan terbongkar.”
Rafael  diam  tidak  membantah  kebenaran  yang  terasa jelas di ucapan Victoria, matanya menerawang.
"Dia akan  tahu,  nanti,  setelah aku  bereskan  semuanya untuknya."
"Dan kamu pikir dia akan berterimakasih padamu nantinya?"
Rafael menggeleng dan tersenyum.
"Ini bukan tentang pemberian dan rasa terima kasih... ini tentang  hutang  yang  dibayar,  Victoria.  Dan  tidak  pernah  ada orang yang wajib berterimakasih atas hutangnya yang dibayarkan. Yang ada, yang berhutang itulah yang wajib mengucapkan terima kasih."
Victoria mendesah, menatap kakaknya dengan sedih. "Aku cuma bisa mendoakanmu, semoga semua baik-baik saja."   dan   menyerahkan   semuanya   pada   Tuhan,   sambu ng
Victoria dalam hati. Meskipun dia mulai merasa tidak yakin, sebab kalau seperti kata orang-orang  bahwa Tuhan itu Maha Pemaaf, kenapa Dia membiarkan kakaknya menanggung dosa dan rasa bersalahnya selama bertahun-tahun?

Ò¨

"Ini ruanganmu," Seorang perempuan yang lebih tua darinya menunjukkan sebuah ruangan kecil di sudut yang terletak di lantai paling atas gedung megah itu.
"Seluruh staff direksi berjumlah delapan orang -- termasuk dirimu, kami bertugas untuk memfasilitasi kegiatan owne perusahaa ini yait Mr.   Alex Tugasm adalah membantu Donita, sekretaris direksi terutama karena dia akan cuti hamil beberapa bulan lagi. Kamu harus bisa memback up semua  pekerjaannya  selama  dicuti  nanti.  Jadi sekarang  dia yang akan menjadi mentormu," kata perempuan itu, yang ternyata bernama Ibu Grace. Ia  mengedikkan bahu ke arah seorang perempuan muda yang tadi tidak sempat dilihatnya,
Donita, perempuan muda cantik yang kelihatan montok karena sedang hamil besar itu tersenyum padanya, dan Elena merasa lega karena mentornya itu kelihatannya sangat baik.
"Ibu Grace memang kelihatan ketus, tapi dia sangat baik, dia bisa dibilang wakil direktur utama disini. Dia yang menghandle semuanya kalau Mr. Alex sedang tidak ada di tempat," Donita menjelaskan sambil tersenyum ketika mereka duduk bersama dan Donita menerangkan tugas-tugasnya.
"Pemilik perusahaan ini namanya Mr. Alex?" Elena sudah tahu sebenarnya, karena penasaran kemarin dia membeli dan membaca     berbagai     majalah     bisnis     yang     menyangkut perusahaan ini. Dan sesuai dengan keterangan dosennya sewaktu  mencontohkan  perusahaan  insebagai  materi kuliahnya, pemilik perusahaan ini masih muda. Muda dan cemerlang karena bisa membangun bisnis sesukses ini dalam waktu yang begitu singkat.
"Ya, kau akan sering bertemu dengannya nanti, apalagi saat  aku  cuti  melahirkan  nanti.  Bisdibilang  pekerjaanmu adalah mengatur seluruh jadwal dan keperluannya,"   Donita tersenyum dan matanya menerawang, "Jangan kuatir, Mr. Alex tidak  seketus  ibu  Grace,  disangat  baik  dan  tenang,  tidak pernah meledak marahnya..... dan sangat tampan karena ibunya berdarah Spanyol, bayangkan pria-pria Spanyol yang sexy itu.” Donita mengedip nakal, “Biarpun beliau sedikit murung, seperti ada sesuatu yang selalu tersimpan di benaknya, membuatnya susah tersenyum, tapi walaupun begitu..." Donita mengedipkan matanya lagi, "Dia adalah bujangan paling diincar disini, kesan misteriusnya malah membuatnya semakin memiliki banyak penggemar. Sayang dia begitu penuh rahasia, tidak pernah terlihat dia dekat dengan siapapun."
Elena mengernyit,  muda,  kaya,  sukses,  dacemerlang, tetapi tidak pernah dekat dengan satu perempuanpun?
Donita tertawa, bisa membaca apa yang ada di pikiran Elena,
"Dia bukan gay," bisiknya pelan, "Sebenarnya ini rahasia, tapi aku pernah mengatur beberapa pertemuan beliau dengan perempuan-perempuan  cantik  dari  kalangan  atas.  Tapi hubungan mereka sambil lalu saja, Mr. Alex tidak pernah menjalin hubungan lama dengan satu wanita,"    Donita mengehela napas dengan dramatis, "Lelaki setampan itu.... dan kau tidak boleh jatuh cinta kepadanya Elena, daripada kau nanti patah hati seperti yang dialami beberapa karyawan di sini yang berani  memendam  perasaan  kepada Mr. Alex. Mereka  semua berujung patah hati, karena Mr. Alex sedikitpun tidak akan melirik mereka."
Aku tidak akan jatuh cinta kepada 'Mr. Alex' itu. Elena tersenyum dikulum, berpikir dalam hati, dari ceritanya, lelaki itu terdengar terlalu sempurna. Sempurna dan pemurung, ralatnya,  sama sekali bukan  tipe lelaki idaman Elena,  karena kekasih yang diimpikannya adalah lelaki biasa, yang ceria dan bisa membuatnya tertawa setiap saat.
Dan  lelaki  itu  bukan  Mr.  Alex,  aku  tidak  akan  pernah jatuh cinta kepadanya. Elena merasa yakin.
Meskipun      keyakinan      manusia      kadangkala      bisa bertentangan dengan kehendak Tuhan….

Ò¨

Dia ada disini.
Rafael menelan ludahnya, merasa konyol karena kegugupannya. Astaga! dia yang selama ini menghadapi begitu banyak  orang  dengan  percaya  diri  sekarang  merasa  gugup hanya  karena  seorang  perempuan  biasa  yang  bahkan  tidak akan mengenalinya.
Rafael berdehem menenangkan diri.
Tetapi perempuan ini bukan perempuan biasa, perempuan inilah yang entah sadar atau tidak, telah mengubah seluruh  kehidupannya,  telah  mengubah  seluruh  cara pandangnya terhadap kehidupan. Perempuan inilah yang sekarang telah menjadi tujuan hidup Rafael. Kebahagiaannya adalah tujuan hidup Rafael.
Setelah   menarik   napas   panjang,   Rafael   melangkah masuk ke ruangan kantor staff direksi. Ibu Grace sedang berdiri di dekat pintu dan langsung mengangguk kepadanya.
"Selamat pagi, Mr. Alex."  sapanya hormat.
Rafael mengangguk tak kentara, matanya berputar ke sekeliling   ruangan,   di   mana   Elena?   Seharusnya   dia   mulai bekerja hari ini kan?
Ibu Grace sepertinya menyadari apa yang dicari oleh Rafael, dia termasuk orang kepercayaan Rafael yang tahu rencana bosnya itu ketika memasukkan Elena keperusahaan ini.
"Dia sedang di kamar mandi, Mr. Alex."
Rafael mengangguk,  merasa sedikit malu  karena wakil direksinya ini menyadari apa yang dicarinya.
"Suruh dia menghadap ke ruanganku nanti," gumamnya setelah berdehem dan melangkah masuk ke dalam ruangannya.
Di dalam ruangannya, Rafael merasa begitu susah berkonsentrasi, berkali-kali dia melemparkan pandangan ke pintu dengan gelisah. Kenapa Elena lama sekali?
Rafael merasa bahwa detik pertemuan inilah nanti yang akan menentukan langkah ke depannya. Dia harus memastikan bahwa  Elena  tidak  akan  mengenalinya.  Tentu  saja  dia  tetap harus  menghadapi  resiko  bahwa  Elena  tetap  akan mengenalinya. Siapa yang bisa mengukur kekuatan ingatan seseorang? Apalagi ingatan tentang kejadian buruk biasanya akan  lebih kuat melekat.  Dan  jika Elena mengenalinya,  maka selesailah sudah semuanya.
Rafael merasakan jantungnya berdenyut, dia tidak akan siap. Dia tidak akan siap jika Elena mengenalinya dan kemudian membencinya dengan kebencian yang sama seperti yang ditunjukkan di pertemuan pertama mereka di masa lalu.
Semoga Elena tidak mengenalinya. Rafael masih merapalkan doa singkat itu berulang-ulang bagai mantra, ketika sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya.
"Masuk," gumamnya penuh antisipasi

9 comments:

  1. Yeiiiiiiiiiii akhirnya aku bisa baca ini story^^ akkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk seneng abis ... gomawo authornim ^^😘

    ReplyDelete
  2. Finally bisa baca dari awal 😊

    ReplyDelete
  3. Bisa baca juga akhirnya ... Makasih kak Shanty

    ReplyDelete
  4. Akhirnya aku bisa bubu nyenyak 😊

    ReplyDelete
  5. Seperti melepas dahaga....puas☺️

    ReplyDelete
  6. Tengkyuu kk shanty

    ReplyDelete