Tuesday, October 27, 2015

UNFORGIVEN HERO - BAB 3


3

“Selamat pagi.”
Suara itu menyapa ramah dan Elena menoleh, menatap seorang   laki-laki   yang   lumayan   tampan   sedang   berdiri   di sebelah mejanya. Lelaki itu tersenyum ramah.
“Selamat pagi juga,” Elena tersenyum juga, berusaha mengingat-ingat, sepagian ini Donita telah membawanya ke berbagai ruangan di perusahaan ini, memperkenalkannya sebagai anak baru, tetapi sepertinya dia tidak ingat pernah diperkenalkan dengan lelaki ini.
Lelaki di depannya, meskipun berpakaian rapi dan berdasi  tampak  urakan  dan  santai,  senyumnya  juga  seperti anak nakal di dalam tubuh dewasa.
Lelaki itu mengangkat alis, tampak sadar dengan pengamatan Elena, lalu tertawa dan mengulurkan tangannya.
“Hai, kenalkan, tadi aku sedang keluar kantor jadi tidak sempat berkenalan, aku Edo, IT Manager di sini, aku tadi mendengar ada anak baru yang cantik jadi buru-buru ke sini untuk mengajak berkenalan,” katanya dalam canda.
Pipi   Elena   memerah   mendengar   candaan   lelaki   itu, tetapi dia menyambut uluran tangan Edo dengan senyum juga.
“Aku Elena.”
Edo meremas tangan Elena sambil tersenyum lucu sebelum melepaskannya, lalu mengedipkan sebelah matanya.
“Aku tahu tempat makan siang yang enak, mungkin kita bisa…”
“Edo.”
Suara   dalam   yang   dingin   itu   menyela   percakapan mereka. Edo langsung menoleh ke arah suara dan tersenyum.
“Oh Mr. Alex, selamat pagi.”
Rafael sedang berdiri di pintu ruangannya, ekspresinya datar dan tidak terbaca.
“Kebetulan   kau   ada   di   sini,   tolong   ke   ruanganku sebentar, ada beberapa hal tentang usulan program baru untuk data intregrated kemarin yang harus kutanyakan kepadamu.”
Edo memutar bola matanya lucu ketika menatap Elena, lalu menganggukkan kepalanya dan mengikuti Rafael masuk ke ruangannya.
Sementara itu Elena tersenyum geli sambil menatap punggung Edo. Meskipun tampak urakan dan tidak serius, lelaki itu tampaknya lelaki yang baik dan menyenangkan.

Ҩ

Elena merapikan  berkas-berkasnya  sambil  melirik  jam dinding,  sudah  jam  delapan  malam.  Besok  hari  yang  sibuk untuk Mr. Alex dan syukurlah akhirnya Elena sudah selesai menyiapkan  semuanya,  meskipun  akhirnya  dia  harus ketinggalan bis karyawan.

Suara di pintu membuat Elena mendongakkan wajahnya dengan  waspada.  Mr.  Alex  berdiri  di  sana,  sepertinya  baru pulang dari pertemuan bisnisnya di luar.
Lelaki itu mengerutkan  mata melihatnya,  "Kenapa  kau masih ada di sini?"
Mata itu sungguh tajam, Elena membatin, "Eh, saya menyelesaikan berkas-berkas ini dulu, untuk besok."
Rafael menatap tidak suka, "Lain kali tinggalkan saja pekerjaan itu dan lanjutkan besok," dia melirik jam tangannya, "Ini sudah terlalu malam untuk bekerja, seharusnya kau sudah di rumah dan beristirahat. Aku akan menyuruh supir mengantarmu pulang."
Elena  menggelengkan  kepalanya  panik,  "Tidak  perlu, saya bisa naik angkot.."
"Ikuti perintah atasanmu,” Rafael menatap tajam membuat  Elena  menelan  ludahnya,  "Sebelum  itu,  aku  ingin bicara di ruanganku. Kau tidak keberatan membuatkan kopi untuk kita berdua?"

Ҩ

Kopi itu mengepul panas dan menguarkan aroma nikmat ke seluruh penjuru ruangan. Elena meletakkan di meja di depan sofa tempat Mr. Alex duduk dan menunggunya, lalu dengan gugup dia duduk di depan Rafael, menunggu.
Lelaki itu tercenung, seolah bingung mau bicara apa. Tetapi itu tidak mungkin bukan? Orang sekelas Mr. Alex  tidak mungkin bingung harus bicara apa.
"Kau    sudah   tiga   bulan    di   sini,”    Rafael    memulai, "Bagaimana perasaanmu?"
Elena  tersenyum,  "Saya  senang.  Banyak  hal  yang  bisa saya pelajari."
"Apakah  rekan-rekan  kerja menciptakan  suasana  yang kondusif untukmu?"
Elena  mengangguk,  "Mereka  sangat  baik  dan membantu."
Kali ini kening Rafael berkerut, "Kudengar kau dekat dengan IT Managerku?"
Pipi Elena memerah. Astaga. Darimana Mr. Alex bisa mendapat informasi macam itu? Dan kenapa pula bos sekaliber Mr. Alex harus peduli dengan gosip percintaan karyawannya?
Edo.  Nama  itu  menguar  di  benak  Elena.  Ya.  Mereka dekat. Itu karena Edo sangat gigih mendekatinya. Dia mengajak makan siang bersama, kadangkala dia menghampiri Elena dan mengajak  mengobrol  tentang  berbagai  hal. Ya. Elena nyaman bersama Edo, cukup nyaman sampai membiarkan Edo mengantarnya pulang ke asrama beberapa hari lalu. Lelaki itu berkenalan juga dengan ibu asrama. Tetapi, entah kenapa ibu asrama  tampak  tidak  suka  dengannya,  padahal  Edo  begitu baik...
"Elena?" Rafael bertanya lagi, mengembalikan  Elena ke dunia  nyata.
Elena mengerjapkan matanya, menatap Mr. Alex dan sadar bahwa dia belum menjawab pertanyaan lelaki itu.
"Ya.. Kami cukup dekat, hubungan kami cukup baik." "Begitu,"   Mr.   Alex   tercenung,   "Aku   cenderung   tidak menyetujui   hubungan  dekat  dengan  rekan  sekerja.   Karena berdasarkan   pengalaman,   ketika   hubungan   itu   memburuk, performa di tempat kerja ikut memburuk."
Elena menghela  napas,  "Hubungan  kami  belum sejauh itu untuk..."
"Ya.  Aku  mengerti.  Kalian  dekat,  tetapi  belum menyentuh  konteks  asmara.  Tetapi  tidak  menutup kemungkinan itu akan terjadi bukan?" Rafael menatap Elena tajam, seolah menembus hatinya.
Elena menganggukkan kepalanya, "Saya tidak bisa membantah kemungkinan itu, meskipun saya tidak bisa memastikan. Tetapi kalaupun itu terjadi, saya berjanji akan berusaha untuk tidak mencampurkannya dengan profesionalisme pekerjaan saya.”
Rafael terdiam dan Elena menanti. Hening lagi, kali ini lama, dan entah mengapa terasa menegangkan bagi Elena, lalu Rafael tersenyum samar.
"Oke. Kita lihat saja nanti," tatapan mata lelaki itu begitu misterius, "Pulanglah. Aku sudah menyuruh supirku menunggumu di depan. Dia akan mengantarmu pulang."

Ҩ

Ketika Elena pergi, Rafael masih tercenung di ruangan kerjanya. Edo dan Elena hampir menjadi sepasang kekasih, itu yang  dilaporkan  oleh  Ibu  Grace  kepadanya.  Rafael  memang memintanya mengawasi Elena di tempat kerjanya. Seminggu yang lalu ibu Rahma juga meneleponnya dari asrama, memberitahunya bahwa Elena membiarkan Edo mengantarkannya pulang ke asrama. Dan beberapa hari kemudian Edo mulai rutin datang, bahkan di hari minggu.
Rafael tidak pernah memikirkan kemungkinan ini sebelumnya.  Tidak pernah menyangka bahwa mungkin  Elena akan bertemu lelaki yang dia sukai di tempat kerjanya. Seharusnya dia tahu, Rafael mendesah, Elena terlalu cantik. Seharusnya  dia  memperkirakan   bahwa  akan  ada  beberapa orang yang tertarik untuk mendekatinya.
Dan itu mengganggu Rafael, dia harus menghentikan ini semua sebelum terlalu jauh.
Mata Rafael terpaku pada cangkir kopi Elena. Ada sisa lipstick di sana. Lipstick Elena, bekas bibir Elena. Lalu, karena didorong  oleh  luapan  gairah  dan  perasaannya,  Rafael mengambil cangkir itu, lalu mengecup lembut bekas bibir Elena di sana.
“Kau  akan  menjadi  milikku  Elena,  seperti  yang seharusnya terjadi, karena hanya aku-lah yang berhak menjagamu,” gumamnya penuh tekad

Ҩ

Seperti seorang pengintai yang mengawasi dari jauh..
Rafael membatin, setengah benci kepada dirinya sendiri yang berlaku seperti pengintai, mengawasi Elena dan Edo. Mereka berdua sedang berkencan, tentu saja. Dan Rafael di sini, mengawasi mereka. Jalanan ini memang dikondisikan bagi pejalan kaki yang ingin menikmati berjalan-jalan sambil berbelanja. Café-café yang cozy bertebaran dengan nuansa ala barat, berpayung eksotis di pinggir-pinggir jalan, menawarkan suasana makan yang berbeda. Ada juga penjual bunga di sana, dan beberapa penjual cinderamata lainnya. Rafael terus mengawasi   ketika  Edo  mengajak   Elena  berhenti  di  depan penjual  bunga,  lalu  memberikannya  setangkai  mawar  putih. Perbuatan  sederhana  yang  membuat  pipi  gadis  itu  merona merah.
Dada Rafael terasa panas. Kurang ajar Edo. Lelaki itu merusak semua rencananya dengan mendekati Elena. Rafael semakin   mantap   untuk   menyingkirkan   lelaki   itu,   dengan langkah yang cukup elegan tentu saja.
Suara  tawa  pelan  membuat  Rafael  mengalihkan perhatian  dari pasangan  yang berbahagia itu. Rafael menoleh ke arah Alice yang duduk di dalam mobil disebelahnya.
“Kenapa kau tertawa?”
Bibir  Alice  yang  berwarna  merah  mencebik,  “Karena tatapanmu itu, kau seolah-olah ingin membunuh laki-laki itu.”
“Memang.”
Alice   mengkerutkan    alisnya,   “Jadi   dia   yang   harus kuincar? Dia tampak jatuh cinta kepada gadismu itu, kau yakin dia bisa tergoda olehku?”
“Semua laki-laki normal akan tergoda olehmu kalau kau memutuskan merayu, Alice. Karena itu aku meminta tolong kepadamu,” gumam Rafael tenang.
Alice tertawa lagi, “Kau tidak tergoda olehku, apakah ada sebab khusus atau memang kau bukan lelaki normal?”
“Ada sebab khusus,” Rafael langsung menutup diri, “Kau sudah setuju untuk membantuku dan tidak bertanya-tanya.”
“Oke,  aku  tidak  akan  mengganggumu  dengan pertanyaan-pertanyaanku,”  Alice  tersenyum  menggoda, “Apakah sebab khususmu itu itu adalah gadis itu?”
“Alice,” nada suara Rafael  penuh peringatan.  Membuat Alice mengangkat bahunya dan menyerah, tidak bertanya lagi. Lelaki ini memang tidak bisa diajak bercanda, batinnya dalam hati.
“Jadi kapan aku harus melaksanakan rencanamu itu?”
“Akhir  pekan  ini,  aku  akan  mengadakan  pesta  akhir tahun, mengundang beberapa kenalan dan karyawanku di rumahku. Kau dekati Edo saat itu.”

“Oke, Rafael. As You Wish.”

Ҩ

“Pesta tahunan yang diadakan oleh Mr. Alex selalu meriah,” Donita tersenyum sambil duduk di depan meja Elena. Dia   sudah   tampak   kepayahan    membawa   perutnya   yang semakin  membesar,  cuti hamilnya  tinggal  beberapa  hari lagi, tetapi   dia  tampak   bersemangat,   “Makanannya   benar-benar kelas tinggi, Mr. Alex benar-benar tidak pelit kepada kami, para karyawannya. Kau tidak boleh melewatkannya.”
Elena   tertawa   dan   memainkan   pena   di   tangannya,
“Apakah semua karyawan diundang?”
“Tentu saja. Dan sebagian besar tidak akan melewatkannya.  Pesta  akhir  tahun  di  rumah  Mr.  Alex merupakan salah satu hal yang ditunggu-tunggu, kau akan datang kan Elena?”
Edo sudah  mengajaknya  untuk  datang  bersama.  Elena membatin  dalam  hati,  tiba-tiba  merasa  hatinya  hangat.  Dia belum  lama  kenal  dengan  Edo,  tetapi  entah  kenapa  semua terasa pas. Mereka bisa mengobrol  berjam-jam tanpa merasa bosan. Bahkan Elena sadar bahwa hubungan mereka bisa berjalan lebih jauh.
“Pipimu memerah,” Donita tertawa, “Kau akan datang dengan Pak Edo ya?”
Pipi  Elena  makin  memerah,  dia  menatap  Donita  hati-hati, “Apakah sejelas itu?”, tanyanya berbisik. “Apanya?”
“Tentang hubungan kami,” Elena mendekatkan bibirnya ke telinga Donita dan berbisik pelan, “Bahkan Mr.Alex sempat menanyakannya kepadaku.”
Donita mengernyitkan keningnya, “Mr.Alex menanyakan kepadamu? Wah itu tidak pernah terjadi sebelumnya, setahuku beliau tidak pernah mempedulikan gosip percintaan karyawannya,   kalau   sampai   Mr.   Alex   bertanya,   mungkin gosipnya sudah meledak sedemikian rupa,” Donita terkekeh, “Tapi tidak ada ruginya, kalian pasangan yang cocok, dan Pak Edo akhirnya berlabuh juga.”
Elena gantian mengernyitkan keningnya, “Akhirnya berlabuh juga? Apa maksudmu?”
“Ups,” Donita seolah merasa bersalah telah kelepasan bicara,  “Aku  tidak  bermaksud  membuka  keburukan  Pak Edo. Tetapi sepertinya sejak bertemu denganmu beliau sudah berubah. Dulu Pak Edo terkenal playboy, suka gonta ganti pacar dengan status yang tidak jelas. Tapi manusia kan bisa berubah dan kuharap kehadiranmu bisa merubah Pak Edo menjadi lebih baik.”

Elena merenung. Benarkah Edo dulunya playboy? Tetapi lelaki itu sangat sopan, sangat menghormatinya, sangat baik. Mungkin  benar  kata  Donita,  Edo  sudah  berubah  lebih  baik. Elena sangat berharap begitu.

Ҩ

Malam  pesta  itu, Edo  menjemputnya  meskipun  agak terlambat.  Lelaki  itu  tampak  rapi  dan  elegan  dengan  kemeja dan jas santai warna biru tuanya, “Maafkan aku terlambat,” Edo menatap Elena menyesal setelah dia menjalankan mobilnya, “Tadi ban mobilku kempes di jalan.”
Elena   menganggukkan    kepalanya   dan   tersenyum, “Tidak apa-apa, Edo.”
Edo  menatap  Elena  lama  dengan  pandangan  penuh arti, membuat Elena bingung. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Tidak kenapa-kenapa,” lelaki itu mengalihkan pandangannya dengan senyum dikulum, “Hanya saja kau sangat berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah dekat denganku.  Mereka  pasti akan merajuk dan  marah-marah  jika aku telat menjemput, meski dengan alasan apapun. Tetapi kau berbeda, kau menerima alasanku dengan penuh pengertian.”

Elena hanya tersenyum menanggapi pernyataan Edo, tetapi kemudian Edo menggenggam sebelah tangannya dengan lembut.  “Perasaanku  kepadamu  juga  berbeda  Elena.  Kuharap kau merasakan hal yang sama.”
Apakah itu pernyataan cinta? Elena bertanya-tanya dalam hati, menatap Edo, mencari jawaban.
“Maukah kau menjadi kekasihku Elena? Aku mencintaimu,  dan  aku  berjanji  akan  menjadi  kekasih  yang baik.”
Elena  menatap   Edo  dalam   senyum,   lalu   terkekeh,
“Jawabannya nanti saja yah setelah pesta.”
Edo   membalas   senyum   Elena,   lalu   terkekeh   geli, “Dasar,   kau  sengaja  ya,  mau  menyiksaku   sepanjang   pesta, harap-harap cemas akan jawabanmu?”
Mereka lalu tertawa bersama.

Ҩ

Benar kata Donita kemarin, Mr. Alex benar-benar tidak pelit kepada para karyawannya. Pesta yang diadakannya di rumahnya sangat elegan dengan menu makanan yang mewah dan luar biasa. Para pelayan berdiri hilir mudik menawarkan makanan kecil dan minuman di nampan. Sementara di meja prasmanan, makanan tampak tidak ada habis-habisnya.
“Ramai sekali di sini,” Edo menggenggam lengan Elena dengan lembut, “Mungkin kita harus minggir supaya tidak tertabrak.”
Mereka terlambat datang ke pesta itu. Karena Edo terlambat  menjemputnya  tadi,  jadi mereka  ketinggalan  acara pembuka, sambutan oleh Mr. Alex sebelum acara makan-makan dimulai.  Sekarang  semua  tamu  sudah  membaur  saling bercakap-cakap satu sama lain, menikmati hidangan. Pesta  ini  diadakan  di  kebun  di  halaman  belakang rumah Mr. Alex yang sangat indah. Rumah itu bergaya western dengan cat putih mendominasi keseluruhan bangunannya. Dan warna lain yang dominan  adalah hijau.  Warna itu  memenuhi hamparan rumput luas yang tertata rapi, dengan lampu-lampu kuning yang temaram, menambah keeksotisan suasana pesta. Sementara itu, meja prasmanan dihidangkan di gazebo luas, di tepi kolam renang.
Pemilik pesta itu, Mr. Alex tampaknya tidak ada. Elena membatin, matanya sudah mencari kemana-mana, tetapi dia tidak bisa menemukan sosok itu.
“Aku akan mengambilkanmu minum,” Edo bergumam lembut, “Tunggu di sini ya.”
Elena menganggukkan kepalanya dan tersenyum, lalu membiarkan Edo menembus kerumunan orang yang lalu lalang, mencari minuman. Dia berusaha mencari-cari orang yang dikenalnya, tetapi tidak menemukannya, Donita bilang dia tidak mungkin datang dengan kandungannya yang sudah sebesar itu, meskipun sebenarnya dia sangat ingin.
Elena berdiri di tempat itu beberapa saat, melayani beberapa teman yang menyapanya. Tetapi lama kemudian dia mengernyit karena Edo tak kunjung datang.
“Kau   datang   sendirian   di   sini?”   suara   itu   sangat familiar, membuat Elena menoleh dengan tegang. Dan benar juga. Mr. Alex yang berdiri di sana, dengan segelas minuman di tangannya, menatapnya dengan pandangan yang tidak terbaca.
“Eh tidak,” Elena menoleh ke belakang, mencari sosok Edo yang tak kunjung datang, “Saya datang bersama Edo.”
“Lalu    di    mana    dia?”    Mr.    Alex    mengernyitkan keningnya, tampak tidak suka.
“Dia…. Katanya dia sedang mengambilkan minuman.” “Oh,” Rafael menatap  ke arah pandangan  Elena, “Dia bodoh  membiarkan  pasangannya  sendirian  di  sini,  bisa-bisa pasangannya dicuri orang,” Matanya yang tajam melembut dan Elena  bisa  melihatnya,  ternyata  Mr.  Alex  menyimpan kelembutan di dalam dirinya, dibalik sikap dingin yang selalu ditampilkannya.
“Kau mau  kutemani  masuk  dan  mencari  kekasihmu? Mungkin dia tersesat di dalam sana,” Rafael mengedikkan bahunya ke arah bagian dalam rumah.
“Eh, tidak… mungkin saya akan menunggu di sini.”
“Kita akan mencarinya, lagipula aku butuh Edo, ada beberapa hal tentang pekerjaan yang ingin kubicarakan dengannya,” dengan lembut Rafael menghela Elena supaya melangkah bersamanya, memasuki pintu kaca besar yang menjadi pembatas antara taman kolam renang dengan bagian dalam rumah.
Beberapa orang tampak duduk di bagian dalam rumah, asyik bercakap-cakap di semua sudut. Elena memandang ke sekeliling, juga ke bar yang menyediakan minuman, tetapi Edo tidak ada di sana.
“Mungkin   dia   ada   di   atas,”   Rafael   mengedikkan bahunya ke arah tangga menuju lantai dua yang tampak temaram.
“Apakah  lantai atas  juga dibuka  untuk  pesta?” Elena menatap  Mr.  Alex  dengan  ingin  tahu.  Lelaki  itu  tersenyum miring menanggapi.
“Tidak. Tapi di sana ada kamar mandi. Mungkin Edo memutuskan memakai kamar mandi di lantai atas. Ayo,” Sekali lagi Rafael menghela Elena mengajaknya menaiki tangga.

Ҩ

Sepertinya tidak ada tamu yang naik ke lantai dua, mungkin sudah menjadi peraturan umum bahwa lantai dua adalah area pribadi pemilik rumah dan bukan area pesta. Mr. Alex mungkin salah, Elena melirik ragu kepada laki-laki yang sedang berjalan di sebelahnya, Edo tidak mungkin berani naik ke lantai dua rumah Mr. Alex tanpa izin.
Kamar  mandi  di  lantai  dua  addi  ujung  lorong,” Rafael menunjuk, Biasanya ada beberapa tamu yang ingin tahu yang  tersesat di sini,”  mereka  terus  berjalan menujke area kamar  manddujung  lorong,  sampai  sebuah  suara mengalihkan perhatian mereka.
Suara itu sudah pasti adalah desahan seorang perempuan, sebuah desahan yang menyiratkan arti yang tak terbantahkan. Pipi Elena memerah, itu suara perempuan yang sedang bercinta. Meskipun tidak berpengalaman setidaknya Elena bisa membedakan  suara desahan seperti itu. Diliriknya Mr. Alex yang berdiri di sebelahnya, apa yang akan dilakukan Mr.  Alex  mengetahui  adorang  yang  bercinta  dsalah  satu kamar di rumahnya? Apakah yang sedang bercinta itu tamu rumah ini?
Rafael  hanya  melirik  ke  araElena  dan  mengangkat bahu sambil tersenyum miris.
Rupanya  ada  yang  sedikit  lupa  diri  dpestaku  ini. Tunggu sebentar, aku akan mengingatkan mereka agar mencari kamar di motel terdekat dan tidak mencemari salah satu kamar tamuku.”
Masih sambil tersenyum, Rafael membuka pintu kamar itu lebar-lebar. Elena menatap dan langsung mundur selangkah dengan kaget. Pemandangan di depannya membuat jantungnya serasa mau lepas.

Ҩ

Yanada di depan mata Elena sunggutak terduga. Sama sekali tidak terduga. Tangannya gemetar, menutup mulutnya yang mengeluarkan suara terkesiap karena kaget.
Di depannya, tampak Edo, setengah duduk dengan kepala bersandar di kepala ranjang, rambut Edo acak-acakan, jasnya sudah terlepas entah dimana, kemejanya terbuka kancingnya menampakka kuli dadany yan kecoklatan.


Dan seorang perempuan cantik sedang duduk mengangkangi pinggangnya, perempuan itu setengah telanjang, dengan gaun yang sudah melorot sampai ke pinggang. Dua insan itu sedang berciuman dengan begitu panas, pinggul si wanita menggesek- gesek selangkangan Edo dengan begitu bergairah. Mereka tampak lupa diri.
Rafael melirik sekilas ke arah Elena yang pucat pasi, lalu dia bergumam sedikit keras.
“Aku  rasa  kalian  harus  mencari  hotel,  dan meninggalkan rumahku.
Suara Rafael tenang, namun tak terduga bagi pasangan yang sebelumnya terlalu larut dalam nafsu. Edo yang tersadar pertama  kali. Dia menoleke arah Rafael,  lalu berseru  kaget ketika melihat Elena. Dan dengan gerakan reflek langsung mendorong  perempuan  yang  mengangkanginya  itu  menjauh dari tubuhnya.
Ekspresi  keduanya  tampaberseberangan.  Edo tampak pucat pasi dan penuh rasa bersalah, sedangkan perempuan itu, meskipun tadi terdorong oleh Edo sampai hampir jatuh, tampak begitu tenang, berdiri dengan elegan sambil merapikan gaunnya, lalu tersenyum manis.
Well, tak kusangka kita tertangkap basah di sini sayang,” bisiknya sambil melirik mesra kepada Edo, Mungkin benar kata sang tuan rumah, kita harus pindah ke hotel.”
Diam Alice! Edo menyusul  berdiri  sambil  berusaha merapikan pakaiannya, dia lalu menatap Elena dengan cemas, “Elena, aku bisa menjelaskan, semua ini hanyalah salah paham.
Salah paham? Elena mengigit bibirnya untuk menahan perasaan. Bagaimana mungkin ini salah paham, di depan matanya sendiri dia melihat Edo sedang bercumbu dengan begitu panasnya. Padahal beberapa jam sebelumnya lelaki ini menyatakan cinta dan memintanya sebagai kekasihnya. Bagaimana mungkin ini bisa dikatakan salah paham? Pemandangan di depannya jelas-jelas merupakan bukti bahwa Edo  ternyata  masih  lelaki  yang  sama,  pemai perempuan seperti  yang  dikatakan  oleh  Donita.  Mungkin  dia  memang sedang mengincar Elena sebagai korbannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang pemain perempuan selain mendapatkan seorang gadis yang masih lugu dan mudah ditipu.
Dabodohnya..  Elena mempercayai  Edodia bahkan memiliki perasaan indah yang ditumbuhkannya dengan begitu bodoh kepada lelaki itu. Hatinya terasa sakit, sakit dan sesak yang membuatnya tak mampu berkata-kata. Dikepalkannya kedua tangannya, dia bahkan tak mampu menatap Edo, dipalingkannya kepalanya dengan mata yang terasa panas membasah.
Elena Edo mengerang melihat mata Elena yang mulai berkaca-kaca, Sungguh aku tidak melakukannya dengan sengaja, aku terlalu banyak minum dan Alice menggodaku dan aku….”
“Aku menggodamu?”  Alice melipat lengannya dengan senyum  simpul,  Kau  yang  menyeretku  kkamar  terdekat karena tidak bisa menahan gairah.”
Diam Alice! sekali lagi Edo membentak perempuan bernama Alice itu. Dia lalu berusaha mendekat ke arah Elena, “Elena, aku….”
“Menjauhladari Elena, Rafael melangkah ke depan Elena,  menghalangi  Edo,  “Aku  harap  kalian  segera meninggalkan tempat ini.”
Ed terpaku menata k arah   Elena menyadari bahwa perempuan itu bahkan tidak mau menatap ke arahnya. Dia  menghembuskan  nafas  dan  menatap  Elena penuh  harap, “Aku harap kita bisa berbicara nanti,” lelaki itu menyerah dan melangkah pergi meninggalkan kamar.
Well aku rasa aku harus pergi juga, Perempuan bernama Alice tampak ceria, sama sekali tidak terpengaruh dan merasa malu karena terpergok bercumbu dengan seseorang di kamar orang lain pula. Alice merapikan gaun dan rambutnya dengan genit, lalu melangkah melewati Rafael dan Elena. Dalam kilatan satu detik, yang tentu saja tidak dilihat oleh Elena, Alice mengedipkan matanya kepada Rafael.

Ҩ

Kau mau minum?
Pesta sudah usai. Para tamu sudah pulang. Hanya Elena yang masih duduk di dapur modern milik Rafael. Setelah kejadian tadi Rafael mengantarnya ke sana dan menyuruhnya duduk menenangkan diri, menyuruh pelayan menyediakan cokelat  hangauntuknya,  lalu  meninggalkannya  untuk menemui para tamunya, dan berjanji akan mengantarkannya pulang nanti.
Selama ditinggalkan sendirian Elena terus merenung, kejadian tadi berulang-ulang di matanya. Dan sangat tidak disangkanya. Begitu bebaskah kehidupan Edo sehingga dia bisa bercumbu begitu saja dengan sembarang wanita yang ditemuinya  dpesta?  Rasa  sakit  menusuk  dadanya, membuatnya menghela nafas berkali-kali.
Setidaknya dia belum jatuh cinta terlalu dalam kepada Edo, setidaknya dia belum menumbuhkan perasaannya terlalu jauh

Rupanya  lama  sekali  Elena  berkutat  dengan pikirannya, karena pesta pada akhirnya usai. Mr. Alex datang menemuinya, dan duduk bersamanya di dapur, melihat cangkir cokelat hangatnya yang hampir kosong dan menawarkan minuman lagi.
Elena menggeleng menjawab pertanyaan Rafael. Tidak. Dia tidak ingin minum apapun. Dia hanya ingin pulang dan mungkin menangis sendirian di kamarnya.
Saya  hanya  ingin  pulang…”  gumam  Elena  akhirnya, melirik jam di dinding dapur yang sudah semakin malam.
Rafael mengikuti arah lirikan Elena dan tersenyum lembut, Aku akan mengantarkanmu pulang, jangan cemas…. Apakah kau baik-baik saja Elena?
Pipi Elena memerah. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Dia patah hati dan merasa dikhianati, dan juga malu. Malu kepada Mr. Alex yang menatapnya dengan penuh perhatian kepadanya saat ini. Malu mengingat percakapan mereka beberapa malam yang lalu tentang hubungannya dengan Edo. Mr. Alex pasti menertawakan    kebodohan    da kepolosanny dala hati karena dia begitu mudah ditipu.

Tidak semua laki-laki seperti Edo,” Rafael membalikkan badan, melangkah menuju bar yang ada di samping dapur. Dan menuang  minuman,  lalu  meletakkan  salah  satu  gelasnydi depan Elena, Ini minumlah.
Ini apa?Elena mengernyit, menatap ke arah gelas minuman di depannya. Cairan itu berwarna bening dan keemasan.
Itu champagne. Rasanya manis dan tidak begitu keras. Mungkin bisa sedikit menenangkanmu.”
Elena menatap gelas itu dengan ragu. Menimbang- nimbang. Seumur hidupnya dia tidak pernah meminum minuman beralkohol dan tidak yakin akan reaksinya setelah meminum itu. Apakah dia akan mabuk dan menari-nari seperti orang gila nantinya?
Rafael mengamati Elena yang tercenung sambil menatap gelasnya dan tersenyum.
“Satu gelas tidak akan membuatmu mabuk. Kau bisa menyesapnya pelan-pelan. Kalau kau merasa tidak mampu, kau bisa berhenti tanpa menghabiskannya.”
Elena menghela  napas panjang. Oke. Dia merasa layak meminum  segelas  champagne  mahal  setelah  apa  yang dialaminya tadi. Dengan cepat dia meneguknya. Rasa manis langsung  menyebar  di  rongga  mulutnya  diikuti  rasa  hangat yang pekat. Dan kemudian terbatuk-batuk.
Rafael mengernyitkan alis melihat cara Elena minum champagne-nya lalu tertawa.
“Aku  bilang   disesap,   sayang,   jangan   diteguk  sampai habis, kau akan kehilangan aromanya kalau begitu,” lelaki itu mendekati Elena yang terbatuk-batuk lalu mengusap punggungnya dengan lembut, “Kau tidak apa-apa?”
Elena menganggukkan kepalanya, tiba-tiba menyadari kedekatan Rafael yang terasa panas di belakangnya.
“Saya rasa, saya harus pulang sekarang,” Elena meletakkan gelasnya dan mencoba berdiri, dia agak terhuyung, sehingga Rafael harus memegang lengannya.
“Baiklah,  aku akan mengantarkanmu  pulang. Ini sudah terlalu malam,” dengan lembut Rafael menggandeng lengan Elena dan membawanya keluar. Ketika melangkah, tiba-tiba Elena terjatuh, membuat Rafael harus menangkapnya lagi. Kali ini setengah memeluknya begitu dekat.
Rafael  menatap   wajah  yang  sangat  menggoda,   yang begitu dekat dengannya, bibir itu…. Astaga, bibir itu begitu ranum dan lembut, pasti terasa manis ketika disesap, mengalahkan rasa champagne yang paling mahal sekalipun. Rafael lupa diri, dan kemudian, tanpa peringatan, ditariknya Elena ke dalam pelukannya dan dikecupnya bibirnya lembut.
Elena terkejut, luar biasa terkejut ketika lelaki ini, atasannya tiba-tiba memeluknya dengan begitu erat dan mengecup bibirnya. Tetapi kecupan itu tidak dimaksudkan sebagai paksaan. Mr. Alex menciumnya dengan lembut, tetapi tidak   kasar,   lelaki   itu   seolah   memberi   kesempatan   Elena menolak kalau dia tidak mau. Dan Elena tidak punya tenaga untuk menolak. Aroma jantan itu, parfum bercampur harumnya anggur memenuhi seluruh inderanya, membuatnya tertarik tanpa daya. Dia tidak pernah sedekat ini dengan lelaki sebelumnya, sehingga rasa ingin tahu memenuhi dirinya. Mungkin ketika dia mendapatkan akal sehatnya nanti dia akan menyalahkan anggur yang diminumnya. Tetapi sekarang Elena hanya ingin merasakan ciuman itu, merasakan lebih jauh lagi.
Rafael memperdalam kecupannya menjadi lumatan- lumatan   bergairah,   bibirnya   membuka   dan   melumat   bibir manis Elena, menjilatnya lembut lalu menyesapnya dengan penuh gairah, darah Rafael menggelegak, gairahnya yang begitu lama tidak tersalurkan tiba-tiba semakin naik, membuatnya mempererat pelukannya, dan memperdalam lumatannya. Ciuman itu yang semula hanya dilakukan untuk mencicipi, berubah menjadi kebutuhan untuk memiliki, merasakan keseluruhannya.
“Elena,”   Rafael   mengerang   penuh   gairah,   suaranya dalam dan tersiksa, “Oh ya ampun, setiap saat aku selalu membayangkanmu. Membayangkan bisa menyentuhmu seperti ini, menyiksa diriku hingga seluruh tubuhku terasa sakit karena merindukanmu. Aku pikir aku pantas menerima itu, sebuah hukuman untukku… Tetapi sekarang, sekarang kau ada dalam pelukanku, dan aku tidak tahu harus bagaimana,” lelaki itu berucap   pendek-pendek   dengan   nafasnya   yang   tersengal, dengan bibir yang begitu dekat dengan bibir Elena sehingga membagi panas nafasnya.
Elena  mendengarkan  ucapan  Rafael  itu,  tetapi pikirannya terlalu berkabut untuk mencernanya. Dia hanya menangkap bahwa Rafael membayangkannya. Membayangkannya? Benarkah?
Tetapi   kemudian   seluruh   pertanyaan   di   benaknya lenyap ketika lelaki itu melumat bibirnya lagi. Kali ini tanpa batasan   apapun,   bibir   lelaki   itu   panas,   dan   terbuka   dan melumat keseluruhan bibirnya seolah ingin melahapnya.
Elena tidak pernah menduga sama sekali, Mr. Alex yang begitu dingin dan seolah tidak berperasaan bisa menjadi lelaki yang begitu penuh gairah dalam berciuman. Ciuman itu membuatnya lemas, sehingga harus bergantung pada tubuh Mr. Alex.  Kedua  lengannya  melingkari  tubuh Mr.  Alex dan atasannya  itu  seolah  tidak  keberatan.  Lelaki  itu membungkukkan tubuhnya lalu setengah mengangkat tubuh Elena, seolah ingin menghapus batasan tinggi badan di antara mereka, dan melumat Elena dengan menggila, sepenuh gairahnya.
“Kau sangat menikmati ciumanku rupanya, sayang,” bibirnya menggoda, menjilat lembut, lidahnya menelusup pelan sebelum kemudian menciumnya lagi dengan bergairah, “Aku juga.”
Rafael menatap Elena, perempuan itu sepertinya sudah takluk   ke   dalam   cumbuannya.   Apakah   karena   pengaruh anggur?   Rafael  tidak  mau  Elena  takluk  kepadanya   karena anggur, dengan lembut digodanya Elena lagi hingga perempuan itu mengerang, kebingungan dengan gairah aneh yang baru pertama dirasakannya.
“Elena yang begitu polos dan suci…kau tidak tahu betapa inginnya aku menjadi orang pertama yang merusakmu…”
Bibir mereka masih bertautan dalam kecupan dan pagutan-pagutan yang panas. Kemudian jemari Rafael mulai menelusuri lengan Elena, naik turun di sepanjang lengannya dengan panas dan penuh gairah.
Elena merasakan sekujur tubuhnya panas. Entah karena pengaruh anggur yang diteguknya tadi, entah karena elusan Mr. Alex. Mungkin satu gelas anggur yang diteguknya langsung di saat perdananya mencicipi champagne terlalu berlebihan baginya. Kepalanya mulai berkunang-kunang,  tetapi walaupun begitu seluruh inderanya masih hidup. Dipenuhi oleh jutaan sensasi aneh yang menyelimutinya.
Rafael  sendiri  masih  sibuk  melumat  bibir  Elena,  bibir yang dirindukannya sejak lama, bibir yang hanya bisa dibayangkannya di malam-malam kesepiannya. Lelaki itu mulai lupa diri, diangkatnya tubuh Elena yang setengah mabuk dan di bawanya ke kamarnya.



1 comment: