Tuesday, October 13, 2015

SLEEP WITH THE DEVIL - SANTHY AGATHA - BAB 9


BAB 9

Dokter Teddy mengendarai mobilnya dengan tenang menembus kemacetan jalan raya, mereka lalu tiba di belokan ke luar kota, menuju jalanan yang sepi. Lana yang selama ini diam karena menahan rasa tegang dalam perjalanan menoleh dan menatap Dokter Teddy penuh rasa ingin tahu,
“Kita akan kemana dokter?”
Dokter Teddy menoleh lalu tersenyum manis, “Ke rumah di pinggiran kota, tempatnya seperti villa di pegunungan, kau akan aman di sana dan Tuan Mikail tidak akan bisa menjangkaumu”
Lana menganggukkan kepalanya dan menatap lurus ke depan, pemandangan di luar adalah hutan dan jalanan yang berkelok-kelok, malam makin gelap dan Lana mulai merasa mengantuk. Akhirnya dia menyandarkan kepalanya dengan nyaman di kursi dan mulai tertidur.

***
Mikail menatap marah pada perawat yang dibius untuk menggantikan Lana di ranjang. Dua pengawalnya yang tadi berjaga di kamar Lana berdiri ketakutan dengan wajah lebam bekas pukulan Mikail,
“Kenapa kalian bisa sebodoh itu hah?,” suara Mikail terdengar tenang, tetapi intensitas kemarahannya membuat bulu kuduk dua anak buahnya berdiri.
Para pengawal itu saling bertatapan mencoba berkata-kata, tetapi tak bisa. Mereka memang bersalah. Norman sebagai atasan mereka telah menginstruksikan untuk memeriksa siapapun sebelum masuk dan keluar dari ruangan Lana. Tetapi karena Dokter Teddy tampaknya terbiasa keluar masuk ruangan ini dengan bebas, mereka jadi lengah dan membiarkannya. Siapa sangka kalau Dokter Teddy adalah Jackal yang ditakuti itu?
Mikail masih menatap marah kepada kedua pengawalnya, memikirkan hukuman apa yang cukup kejam untuk dilimpahkan atas kebodohan mereka. Lana melarikan diri, dan bukan hanya melarikan diri, Demi Tuhan! Perempuan itu sekarang ada di tangan Jackal.
Norman datang, menyerahkan setumpuk berkas lagi, mengalihkan perhatian Mikail,
“Sepertinya dugaan Anda benar Tuan Mikail, profil Dokter Teddy sangat mirip dengan profil Jackal. Dia lulusan jenius dari kedokteran, kehidupannya sangat misterius, dan menurut desas desus, ibunya meninggal karena bunuh diri. Dia baru masuk mendaftar ke rumah sakit ini dua bulan yang lalu, dan ketika kami melakukan pengecekan terhadap masa lalunya, semuanya kosong, tidak ada satupun data tentangnya, seolah semuanya dihapus”
“Cari sampai dapat,” Mikail menggertakkan giginya, “Apapun itu, alamat, nomor mobilnya, apapun untuk bisa mengarahkan kita kepadanya. Kita harus menemukan Lana, sebelum terlambat,” Mikail memejamkan mata, sejenak merasakan sesak di dadanya.
Lana harus selamat, meskipun sekarang hal itu diragukan, karena Lana berada di tangan Jackal yang sangat kejam. Mikail akan menempuh segala cara untuk mendapatkan Lana kembali, selamat, dan hidup-hidup.

***

“Lana, kita sudah sampai,” Dokter Teddy mengguncang bahu Lana lembut. Lana membuka matanya dan menemukan mobil mereka diparkir di sebuah villa tua berwarna putih yang sangat indah dihujani cahaya lampu yang remang-remang.
Dokter Teddy turun terlebih dahulu, lalu membuka pintu penumpang dan membantu Lana turun. Mereka berjalan bersisian memasuki teras rumah, ketika Dokter Teddy membuka kunci pintu rumah itu, Lana mengernyit dan bertanya,
“Ini rumah Dokter Teddy?”
Lelaki itu tersenyum lagi dan menggeleng,
“Bukan, ini properti milik sahabatku yang dititipkan kepadaku, sekarang dia sedang di luar negeri. Kupikir tempat ini adalah tempat yang paling aman untukmu sekarang-sekarang ini…. Kau bisa bersembunyi di sini sementara, karena aku tahu Tuan Mikail pasti sedang sangat marah sekarang dan pasti dia akan menggunakan segala cara untuk mencarimu”. Lana menggigil mendengar kemungkinan itu, dan membiarkan dirinya dihela masuk ke dalam vila itu. Bagian dalam villa itu sangat indah, secantik bagian luarnya, dengan ornamen Belanda yang kuno dan rapi, tampak begitu nyaman untuk ditinggali,
“Ayo, kuantar kau ke kamar sementaramu, kau bisa beristirahat di sana, aku yakin kau pasti capek setelah perjalanan panjang.” Dokter Teddy melangkah melalui anak tangga dan Lana mengikutinya.
Kamar untuk Lana adalah kamar sederhana yang tertata rapi, dan ranjang bulu angsa berseprai putih di tengah ranjang tampak sangat empuk dan menggoda untuk ditiduri. Tanpa sadar Lana menguap dan Dokter Teddy terkekeh,
‘Tidurlah Lana, semoga besok pagi kau bangun dengan lebih segar”.
Lana menganggukkan kepalanya,
“Terima kasih dokter, terima kasih atas segalanya, saya tidak tahu bagaimana harus berterimakasih kepada dokter karena sudah menyelamatkan saya dari Mikail”
Dokter Teddy melangkah ke pintu, senyumnya tampak misterius di balik cahaya remang-remang,
“Tidak apa-apa Lana, aku senang bisa membawamu ke sini,” Lalu lelaki itu melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.

***

Lana terbangun karena rasa haus yang amat sangat, dia terduduk di ranjang dan sedikit terbatuk-batuk. Dengan pelan dia memandang ke sekeliling, masih gelap. Mungkin ini masih dini hari.
Dengan langkah hati-hati Lana turun dari ranjang, dan keluar dari kamar. Dimanakah dapurnya? Dia ingin minum….
Lorong lantai dua tampak gelap, tetapi ada cahaya putih di ujung sana, mungkin itu dapurnya.. pikir Lana dalam diam. Dia lalu melangkah hati-hati menuju cahaya itu, dan terbawa ke sebuah pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong. Lana membukanya, dan tertegun. Ini bukan dapur. Dia sudah hendak membalikkan badan, ketika pandangan matanya terpaku pada sesuatu, dan wajahnya memucat.
Di sana, di salah satu sisi tembok itu penuh dengan foto-foto yang ditempel. Dan itu bukan foto-foto biasa, itu foto-foto Mikail sedang melakukan aktivitasnya, beberapa di antaranya ada Mikail yang sedang bersama Lana. Dan melihat ekspresi Mikail di sana, tampaknya foto-foto itu diambil dengan kamera tersembunyi, tanpa seizin objeknya.
“Ada pepatah, kalau rasa ingin tahu yang besar suatu saat akan menjadi penyebab kematianmu”
Lana terlonjak kaget, mendengarkan suara yang mendesis itu, dia membalikkan badannya dan berhadapan dengan Dokter Teddy yang berdiri diam di balik bayang-bayang. Lelaki itu tersenyum, seperti biasanya, tetapi senyumnya yang sekarang bukanlah senyum manis secerah Matahari, melainkan seringai jahat yang menakutkan.

***
“Kita sudah berhasil melacak mobilnya,” Norman datang dengan terengah, mendatangi Mikail yang menunggu sambil mondar-mandir tak tenang di ruangannya.
Mikail langsung berdiri dan bergegas, dia menyiapkan senjatanya, belati berat yang selama ini ada di kakinya dan sebuah magnum miliknya. Kalau dia harus membunuh demi
Lana, akan dia lakukan. Lelaki itu memejamkan matanya, semoga dia tidak terlambat datang.

***


Mata Lana hanya bisa menatap dalam ketakutan, lelaki di depannya ini sudah berubah total, dari lelaki ramah dan baik hati menjadi monster yang menakutkan, Tubuh Lana diikat di sebuah kursi dan Lana sepenuhnya tidak bisa bergerak, di bawah kuasa psikopat gila yang sekarang sedang berjalan mondar-mandir sambil memainkan pisau di tangannya.
“Membunuh dengan pisau adalah favoritku,” Dokter Teddy memainkan pisau itu di dekat Lana, membuat kilatannya menyilaukan dalam kegelapan. “Karena itulah aku dipanggil Jackal,” lelaki itu terkekeh mengerikan melihat sinar ketakutan yang terpancar dari mata Lana, “Yah kenalkan,  akulah Jackal yang kalian cari-cari itu”
Lana mencoba meronta, kengerian merayapi dirinya ketika menyadari bahwa lelaki di depannya ini bukan saja orang jahat, tetapi dia adalah psikopat menakutkan yang diceritakan oleh Mikail.
Dokter Teddy tertawa melihat usaha Lana yang sia-sia untuk melarikan diri, kemudian mendorong kursi Lana ke dinding dan menekankan pisaunya di pipi Lana,
“Pisau ini sangat tajam,” Dokter Teddy memain-mainkan pisau itu di pipi Lana, “Aku ragu apakah Mikail masih mau menjadikanmu pelacurnya kalau mukamu rusak,”
diletakkannya besi dingin itu di pipi Lana membuat mata Lana terpejam ketakutan.
Tetapi kemudian kata-kata Dokter Teddy menyulut amarahnya, dia bukan pelacur Mikail!
“Aku bukan pelacur Mikail!,” dengan Lantang Lana meneriakkan bantahannya. Dan rupanya bantahannya itu malahan memancing emosi Dokter Teddy,
“Bukan pelacurnya katamu? Kau tidur dengannya dan menikmatinya, kau menerima segala fasilitas darinya dengan suka rela, dan kau membayar dengan tubuhmu. Dari pengamatanku, kau adalah pelacur yang paling disukai dan istimewa di mata Mikail dibandingkan pelacur-pelacurnya yang lain, dan aku membayangkan kepuasan yang kudapatkan ketika dia menyaksikan tubuhmu yang sudah mati, penuh dengan sayatan pisau,”
Lalu Dokter Teddy tertawa dengan mengerikan, “Mari kita mulai ritual ini…. Aku akan menyayatmu pelan-pelan di bagian-bagian tubuhmu hingga kau akan mati pelan-pelan kehabisan darah….,” pisau itu berkelebatan dengan main- main di depan Lana, “Lalu aku akan membuang tubuhmu tepat di depan mata Mikail, pasti aku akan puas sekali….
 Sebelum kemudian akan kuhabisi Mikail dengan tanganku sendiri,” Dengan tawa mengerikannya yang terkekeh dan menakutkan, Dokter Teddy mengayunkan pisaunya, dan sekejap, Lana merasakan pedih karena sayatan besi tajam itu di lengannya.

***

Mikail memasuki rumah itu dengan marah, Norman dan yang lain-lain sudah mengepung villa putih itu. Villa itu tenang dan sepi seolah tidak ada siapapun di sana. Lalu mata Mikail mengarah ke pintu di ujung lorong yang setengah terbuka, dan melangkah kesana, lalu masuk dengan marah ketika melihat apa yang terjadi di sana.
Dokter Teddy sudah melukai Lana dengan dua sayatan berdarah di lengan Lana, membuat Lana meringis menahan sakit dan nyeri dalam kondisi terikat di kursi dan hampir kehilangan kesadarannya.
“Lepaskan dia, Jackal,” suara Mikail dingin, mencoba menahan kemarahannya dengan terkendali. Lelaki itu sedang memegang pisau di dekat Lana, dia tidak ingin Lana terluka lebih dari ini.
Dokter Teddy membalikkan tubuhnya dan tersenyum melihat Mikail berdiri di ruangan itu,
“Ah… sang pangeran penyelamat akhirnya datang,” dengan tenang Dokter Teddy mengacungkan pisaunya ke arah Mikail, “Kau lihat Mikail, pelacurmu ini sedang dalam proses meregang nyawa, tadinya aku ingin mempersembahkannya mati dan tersayat kepadamu. Tetapi rupanya kau terlalu cepat datang”.

“Aku akan membunuhmu, kau tahu itu,” geram Mikail marah. Tawa Dokter Teddy membahana ke seluruh ruangan. “Tentu saja, sekarangpun aku tahu bahwa seluruh pengawalmu sedang mengepung tempat ini, siap menembakku kapanpun aku lengah,” dengan cepat Dokter Teddy bergerak ke sebelah Lana dan menempelkan pisau tajam itu ke lehernya, “Tapi sebelum kau membunuhku, aku akan membunuh pelacur ini dulu”.
Lana terkesiap, menahan sakit dan ketakutan ketika besi dingin itu menempel di lehernya, lapisannya yang tajam telah menyayat lehernya, menimbulkan sedikit perih di sana.
“Kalau kau lakukan sesuatu kepadanya, aku bersumpah kau akan mati dengan mengerikan,” Kali ini Mikail sudah tidak bisa menahan kemarahannya, “Aku akan membunuhmu

dengan pelan dan mengerikan hingga kau akan merasakan setiap detik-detik menjelang kematianmu”
“Kau ketakutan Mikail, kau takut aku menyakiti pelacur ini, bisa kulihat di matamu,” Dokter Teddy menatap Mikail dengan senyuman gilanya, memain-mainkan pisaunya di
leher Lana, “Satu sayatan saja, aku akan memotong nadinya, tepat di leher… darahnya akan memancar keluar dan dia akan mati dengan cepat… tepat di depan kedua matamu…dan aku rela mati demi kepuasan menyaksikan adegan itu,” Lalu dengan gerakan secepat kilat, Dokter Teddy mengangkat pisaunya, lalu membuat gerakan menghujam untuk menikam leher Lana.
Lana memejamkan matanya, menanti detik-detik kematiannya. Tetapi kemudian dia tidak merasakan sakit, apakah memang kematian tidak terasa sakit? Dengan ragu di bukanya matanya, dan dia terkesiap dengan pemandangan di depannya.
MIkail sedang menahan pisau itu, dengan tangan telanjang. Bagian tajam pisau itu mengiris telapak tangannya, tetapi lelaki itu menggenggam pisau itu tanpa ekspresi, meskipun darah mulai bercucuran dari tangannya, mengenai Lana. Sekali lagi, Mikail menyelamatkan Lana dari kematian. Dokter Teddy tampak terperangah dengan gerakan Mikail yang tak disangkanya itu, dia berusaha menarik pisaunya dari genggaman Mikail, tetapi Mikail menarik pisau itu dan melemparnya jauh-jauh,
“Aku akan menghajarmu sebelum membunuhmu…,” Mikail menerjang dokter Teddy ke lantai, dan mereka bergulat saling memukul. Tetapi Dokter Teddy, Jackal itu tidak terbiasa berkelahi dengan tangan kosong sehingga dia kewalahan, Mikail terus dan terus menghajarnya tanpa ampun, ketika kemudian rintihan Lana menghentikannya.
Mikail melihat Lana kehilangan kesadarannya, mulai oleng dalam kondisi terikat di kursi, Perhatian Mikail teralih, dan dia berdiri untuk meraih Lana, pada saat itulah, Dokter Teddy yang sudah babak belur mencoba meraih pisau yang dilemparkan Mikail tadi, dia berhasil meraihnya dan mengarahkannya untuk menikam punggung Mikail dan…DOR!
Tubuh Dokter Teddy ambruk ke lantai karena tembakan itu. Mikail menoleh ke belakang, melihat Dokter Teddy ambruk dengan pisau masih di tangannya, dan dia lalu menoleh ke pintu, ke arah Norman yang memegang pistol di tangannya.
“Bereskan dia,” Mikail memerintah cepat, lalu perhatiannya sepenuhnya terarah kepada Lana, tidak dirasakannya telapak tangannya yang tersayat dalam, dia membuka ikatan Lana, dan perempuan itu langsung jatuh ambruk ke pelukannya

***

Ketika kesadarannya kembali, Lana berada di ruangan putih itu, dan dia memejamkan matanya lagi, tak pernah sebelumnya dia merasa begitu bersyukur berada di ruangan ini.
Kengerian masih merayapinya, membayangkan pisau yang berkelebatan di mukanya, di tubuhnya, di lengannya…. Aduh!
Lana merasa nyeri yang amat sangat dan menoleh ke arah lengannya, lengannya itu sudah dibalut perban yang amat tebal, nyerinya masih terasa tetapi lebih karena trauma mendalam Lana akibat pengalaman buruknya itu. Lana terduduk, MIkail telah menyelamatkannya, sekali lagi. Kenapa lelaki itu menyelamatkannya? Apakah benar karena dia dianggap sebagai pelacur istimewa Mikail? Karena dia melayani Mikail dengan tubuhnya? Dengan pucat Lana memalingkan mukanya, merasa dirinya begitu rendah.
Lelaki itu menyelamatkannya. Lana memejamkan matanya, membayangkan bagaimana Mikail, menghalangi pisau yang hendak menikamnya dengan tangannya. Lana masih ingat darah yang mengalir itu, dan mau tidak mau Lana menyadari kalau dihitung-hitung sudah beberapa kali dia diselamatkan oleh Mikail. Kenapa lelaki itu menyelamatkannya? Itu adalah pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Bertahun-tahun Lana menumbuhkan kebencian di hatinya, memupuk rasa dendam yang mendalam, dengan pengetahuan bahwa Mikail yang jahat telah menghancurkan keluarganya. Yah, Mikail memang jahat. Tetapi selain mengurung Lana, dia memperlakukan Lana dengan baik.... Apakah dia memang menganggap Lana sebagai kekasihnya?
Pipi Lana memerah membayangkan itu semua. Apakah semua kebaikan Mikail murni disebabkan karena dorongan gairah?
Seharusnya Lana merasa terhina, tetapi tidak, perasaannya terasa hangat tanpa dia mau. Dia tidak boleh merasa seperti ini. Kebenciannya adalah satu-satunya senjata menghadapi lelaki itu... Kalau sampai Lana merasakan perasaan lebih kepada Mikail... Lana menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan yang menggayutinya.
Dengan gemetar dia meraba lengannya yang di perban, dan menangis. Seluruh kehidupannya berubah hanya dalam waktu singkat, seluruh rencana yang dibuatnya matangmatang telah hancur, dan dia sekarang terpuruk di sini. Kembali dalam cengkeraman lelaki iblis itu, dan bahkan sekarang berutang nyawa kepadanya.
“Jangan menangis”.
Lana terlonjak ketika suara itu terdengar di dekatnya, dengan ketakutan dia menoleh dan mendapati Mikail di sana, duduk di sofa tak jauh dari ranjang dan mengamatinya.
Dengan kasar Lana menghapus air matanya dan menatap Mikail marah,
“Semua ini gara-gara kau!,” serunya menuduh, “Kalau kau tidak melibatkanku dalam kehidupanmu yang penuh musuh itu, aku tidak akan mengalami ini!”
“Dan kalau kau tidak gampang tertipu oleh bujuk rayu dokter yang selalu tersenyum itu, kau tidak akan diculik dengan mudah,” sela Mikail tajam.
“Aku hanya ingin lepas darimu, kenapa kau tidak melepaskan aku?,” kali ini Lana berteriak penuh frustrasi, “Aku mohon aku sudah muak berada di sini… aku…”
“Tidakkah engkau bahagia di sini Lana?,” Mikail mendekat ke ranjang dan menyentuh dagu Lana dengan jemarinya. Pada saat itulah Lana melihat, telapak tangan Mikail di balut perban, “Aku memenuhi kebutuhanmu, aku memberimu apa yang tidak bisa kau beli dengan uangmu sendiri, apakah menurutmu itu tidak cukup?”
“Aku bukan pelacur,” desis Lana tajam, “Kekayaan dan ketampananmu sama sekali tidak ada pengaruhnya untukku, yang aku inginkan hanya kematianmu, karena kau telah menghancurkan keluargaku. Tetapi jika itupun tidak kudapatkan, aku sudah cukup puas bisa lepas darimu!,” Lana menatap Mikail dengan tatapan menantang.
Lelaki itu menatap Lana tajam, lalu mengangkat bahunya dan menatap Lana lurus-lurus, "Sudahlah, Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu,” ditatapnya Lana dengan serius, “Bagaimana kondisimu?",
Mikail menunduk dan mengamati Lana. Lana terdiam, otomatis memalingkan wajah dari Mikail, "Lana", Mikail memanggil Lana dengan penuh penekanan, membuat Lana akhirnya mau menatap matanya,

"Aku baik-baik saja", jawab Lana ketus, "Biarpun aku tahu semua ini terjadi karena kau dan musuh-musuhmu".
Mikail terkekeh, "Hmm... Mengingat kau sudah kembali galak kepadaku, aku yakin kau sudah sembuh", Mikail menyentuhkan jemarinya di pipi Lana, "Maafkan aku".
Lana tertegun karena permintaan maaf Mikail, dia menatap Mikail dengan hati-hati. "Kenapa kau meminta maaf?"
"Karena membuatmu terlibat dalam situasi ini", lelaki itu mengangkat bahu, "Situasi seperti ini tidak akan bisa terhindarkan, mengingat kondisiku. Tetapi kau harus tahu, ketika kau bersamaku, aku akan menjagamu"
Lana mendengus,
"Aku lebih memilih tidak bersamamu. Kalau aku sendirian aku pasti akan lebih baik-baik saja"
Mikail menatap Lana tajam, "Tidak bisa, situasi kemarin membuat kau dikenal sebagai kesayanganku. Orang yang mengincarku pasti akan mengincarmu, karena kaulah yang paling lemah. Itu membuatmu harus selalu bersamaku, di bawah perlindunganku", Mikail menatap Lana lurus-lurus, "Kau adalah kelemahanku"
Pipi Lana memerah, bukan cuma karena arti mendalam dalam kata-kata Mikail. Tetapi karena cara Mikail mengucapkannya, begitu erotis dan penuh makna seolaholah Mikail mengucapkan sesuatu yang sensual dari perkataannya yang biasa itu. Dan Mikail tampaknya sengaja. Sialan lelaki itu. Dia sengaja mengucapkan kata-katanya dengan nada sensual untuk mempengaruhi Lana.
“Kau bebas keluar masuk seisi rumah ini, tapi aku mohon padamu, jangan mencoba melarikan diri dari rumah ini. Aku memang jahat, tapi aku akan menjagamu, tidak demikian halnya dengan musuh-musuhku,” Mikail mengangkat tangannya yang terluka untuk mengusap rambutnya, dan Lana langsung teringat peristiwa itu, ketika Mikail dengan cepat menggenggam pisau itu, menghalanginya untuk terluka, tanpa sadar dia bergidik ngeri.
“Ya,” gumam Mikail, memperhatikan reaksi Lana, “Kau
seharusnya takut Lana, karena mereka semua akan melakukan apa saja untuk melukaiku lewat dirimu. Kau aman disini, bersamaku. Dan aku yakin kau berpikiran sehat sehingga tahu bahwa kau lebih baik bertahan di sini”

***
Kebebasan keluar masuk kamar ini dinikmati oleh Lana sepenuhnya. Oh, dia memang masih bermaksud pergi, tapi tidak sekarang. Dia masih trauma akan kejadian itu. Setidaknya di rumah ini dia aman. Norman masih mengawasinya diam-diam ketika dia mondar-mandir keluar kamar, terutama ketika dia berjalan-jalan di taman. Tetapi Lana belajar untuk mengabaikannya.
Sore itu, suasana rumah sangat sepi, dan Lana berjalan menelusuri area lantai satu rumah itu. Rumah itu sangat luas dengan lorong-lorong yang tidak tahu akan menuju kemana, sepertinya tidak cukup satu hari untuk menjelajahi keseluruhan rumah itu. Lana berhenti di sebuah pintu yang terbuka dan sedikit mengintip. Dia terpesona menemukan rak-rak tinggi yang memenuhi dinding-dindingnya, penuh dengan buku!
Dengan bersemangat Lana memasuki ruangan itu, dan berdiri terkagum-kagum sambil mengamati buku-buku di dalam rak itu. Mikail rupanya penggemar buku-buku sastra klasik, berbagai bacaan tampak menggoda siap untuk dinikmati,
“Kau sepertinya suka membaca,” suara Mikail mengejutkan Lana, dia menoleh dan saat itu baru menyadari kalau Mikail duduk di sudut ruangan, di meja kerjanya yang besar dan mempelajari berkas-berkas perusahaannya, lelaki itu menatapnya dengan mata cokelatnya yang tajam.
Dengan angkuh Lana mendongakkan dagunya, “Ya aku suka membaca, tetapi buku-buku mahal di sini termasuk yang tidak bisa kubeli,” Lana tanpa sadar mengernyit.
“Kau boleh membaca di sini,” Mikail menawarkan tampak begitu berbaik hati. Tetapi Lana merasakan ada sesuatu di sana, sesuatu yang berbeda yang sedikit menakutkan baginya. Ketegangan seksual yang memenuhi ruangan ini terasa begitu tidak nyaman. Dan meskipun tawaran Mikail terasa begitu menggoda, Lana tidak berani.
“Aku tidak akan mengganggumu,” Mikail mengangkat alis melihat Lana nampak ragu-ragu. “Aku tidak akan mengganggumu, Lana,” lelaki itu mengulang lagi katakatanya, “Aku bahkan tidak akan berdiri dari kursi ini”
Lana menatap Mikail curiga, “Tidak bisakah aku meminjam buku-buku ini dan membawanya ke kamarku?”
Mikail menggelengkan kepalanya. Oh, tentu saja bisa, gumam Mikail dalam hati, tetapi dia akan kehilangan kenikmatan menggoda Lana, dia ingin Lana terpaksa berada di ruangan ini, bersamanya, “Tidak bisa buku-buku itu mahal, aku tidak yakin kau akan menjaganya dan tidak merusakkannya”
Kata-kata Mikail terasa menyinggung Lana, jangan-jangan Mikail bahkan menyangka Lana ingin mencuri buku-buku mahalnya. Kurang ajar lelaki itu. Tetapi ajakan Mikail untuk membaca buku di ruangan yang sama terasa begitu menggoda. Dan lelaki itu jelas-jelas menantangnya, menyadari betapa besarnya ketegangan seksual di antara mereka, dan memaksa Lana menunjukkan diri apakah akan menjadi pengecut ataukah berani menghadapi Mikail.
Lana sedikit mengentakkan kakinya dan melangkah mendekati sofa, diambilnya salah satu buku di rak itu dan dia duduk, berusaha tampil nyaman di sana.
Mikail tersenyum. Gadis itu jelas-jelas ingin menantangnya. Dan kehadiran Lana di ruangannya sangat menarik perhatiannya, dia bahkan tidak tertarik lagi akan pekerjaan di mejanya. Dilipatnya kedua tangannya di meja dan dia mengamati Lana yang sedang berakting membaca itu dengan intens.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?,” Lana akhirnya mencetuskan apa yang ada di dalam pikirannya, Mikail sudah sejak beberapa menit lalu hanya duduk dan menatapnya. Lelaki itu memang tidak mengganggu, bahkan lelaki itu sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Tetapi pandangan matanya yang intens dan penuh gairah itu terasa sangat mengganggu. Membuat seluruh saraf tubuh Lana mengejang ke dalam gelenyar panas yang membuat suhu ruangan ber-AC itu tiba-tiba terasa panas.
“Aku hanya ingin mengetahui seberapa jauh kau akan pura pura berakting membaca. Setelah itu mungkin kau bisa menyadari betapa besarnya ketegangan seksual di antara  kita,” gumam Mikail dengan tenang, tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya, tetapi tampak begitu mengancam. Pipi Lana memerah mendengar perkataan Mikail itu, dengan marah dibantingnya buku itu di sofa dan berdiri, “Kurasa sebaiknya aku pergi”
“Takut, Lana?,” Mikail bergumam dengan nada mencemooh, “Kau takut kalau kau akan menyerah dalam pelukanku ya? Aku tadi menawarimu di sini, ingin melihat seberapa jauh kau berani berdua saja bersamaku di dalam satu ruangan… ternyata kau lari ketakutan seperti kelinci yang akan dimangsa”
Oh Ya! Tatapan Mikail kepadanya memang seperti elang yang akan memangsa kelinci buruannya. Lana merasa sudah sewajarnya dia ingin menyelamatkan diri.
“Aku akan keluar dari sini”
‘Kau memang harus keluar dari sini, karena kalau tidak pilihanmu hanya satu, berbaring di ranjangku”
“Itu hanya ada dalam mimpimu!,” Lana setengah berteriak, berlari ke pintu dan membanting pintunya keras-keras, masih didengarnya tawa Mikail mengiringi kepergiannya.

***

“Lana,” suara Mikail mengagetkan Lana yang sedang termenung di balkon. Balkon yang sama tempat dia dilempar Mikail dengan cara mengerikan ke kolam di bawahnya beberapa waktu yang lalu.
Lana menoleh dan mendapati Mikail sedang berdiri diambang pintu balkon, menatapnya dengan tenang. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang dari tempat kerjanya, Lana tidak tahu, karena dari balkon ini pemandangannya hanyalah halaman belakang dan kolam renang yang luas.
“Kenapa kau berdiri di balkon malam-malam begini?,” Mikail mengernyit mengamati hujan rintik-rintik yang turun makin deras, bahkan airnya bercipratan mulai membasahi Lana yang memang berdiri sambil menatap halaman di bawah.
Sejak Lana dibebaskan, inilah pertama kalinya dia bisa menikmati hujan secara langsung. Dulu ketika dikurung di kamar putih Lana hanya bisa menikmati hujan dari jendela, tanpa menyentuhnya. Sekarang bisa merasakan percikan air membasahi tubuhnya terasa begitu luar biasa untuknya.
“Aku sedang menikmati hujan,” Lana membalikkan tubuhnya membelakangi Mikail, mencoba mengacuhkan lelaki itu.
“Kau akan membuat dirimu sendiri sakit,” Mikail mulai menggeram, tampaknya lelaki itu menahan marah.
Lana menoleh lagi dan menatap Mikail dengan menantang, “Entah apa yang kau katakan tentang memberikan kebebasan padaku itu bohong, atau kau memang suka mengatur-atur dan menggangguku. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan kuharap kau tidak menggangguku”
“Oke,” Tatapan Mikail kepada Lana terasa membakar di suasana hujan yang begitu dingin, “Terserah, silahkan buat dirimu sendiri sakit, aku harap kau tidak merepotkanku nantinya".
Lelaki itu membalikkan badan, tetapi setelah beberapa langkah dia memutar tubuhnya kembali dan menatap Lana,
“Setelah kau siap aku ingin bicara denganmu”
“Tentang apa?,” Lana mengernyitkan kening, mulai merasa terganggu dengan interupsi-interupsi dari Mikail. Dia sedang ingin menikmati hujan dan lelaki itu tampaknya selalu muncul di saat yang tidak tepat dan mengucapkan kata-kata yang tidak tepat pula.
“Nanti, ini mengenai ulang tahunmu yang ke dua puluh lima”

***

No comments:

Post a Comment