Wednesday, October 28, 2015

REFRAIN - WINNA EFENDI - PART 2


W i sh # 1 6 : me l i hat Ni ki t i dak  jadi  p e r gi (Nat a)

Nata menyingkap tirai jendela kamarnya sambil setengah mengintip. Tidak menemukan apa yang dicari, kembali ditutupnya tirai tersebut sambil mengembuskan napas yang memburu. Lima menit kemudian, ia kembali mengintip. Begitu seterusnya sampai deru mobil terdengar samar-samar di kejahuan.
Mobil  BMW biru tua milik Oliver  berhenti tepat di depan rumah Niki. Nata melihat gadis itu setengah berlari keluar, mengenakan terusan merah jambu dipadu dengan sepatu berwarna senada, rambutnya diurai hingga menyentuh bahu.
Wajahnya dihiasi senyum lebar penuh antisipasi, seakan dia sudah menunggu kedatangan Oliver  sejak  tadi.
Oliver  membukakan pintu mobil untuk Niki, lalu berjalan memutar ke arah pintunya sendiri. Nata melihat sebuket mawar merah dalam genggamannya.
Cih. Hanya playboy yang membawa bunga untuk cewek, hatinya tidak tahan untuk tidak berdesis sinis.
Mobil  itu berjalan menjauh, meninggalkan Nata yang masih terpaku di depan jendela dengan tatapan kurang senang. Akhirnya, disambarnya telepon dan segera menekan nomor Annalise.
"Kita cabut, yuk."

***

W i sh # 1 7: p e r cakap an b e r sama Nat a (Annal i se )

Annalise agak  terkejut ketika Nata meneleponnya barusan. Tadinya, ia mengira janji mereka untuk nonton bareng dibatalkan, berhubung Niki tidak bisa hadir. Sejam  kemudian, mereka berdua sudah berdiri bersebelahan di hadapan poster-poster film di sebuah teater bioskop. Nata tidak bicara, dengan kedua tangan dalam saku bajunya—hari ini ia mengenakan kaus band warna hitam dan jeans belel serta sepasang sandal.
Annalise menunduk menatap pakaiannya—skinny jeans dan atasan lengan panjang putih berkerah sabrina, dengan rambut dibiarkan tergerai. Dia hanya mengambil pakaian yang paling praktis dari  lemarinya, dan kini sedikit menyesali pilihannya yang sederhana. Apalagi, ini kali pertama dia pergi berdua dengan cowok, tepatnya... dengan Nata.
"Mau nonton apa?" Nata menunjuk pada barisan poster film di balik  lemari kaca, tampaknya tidak terlalu bersemangat untuk memilih.
Annalise mengulum senyum, tiba-tiba saja menyadari mengapa Nata begitu uring-uringan hari ini. "Sebenarnya, Nat, you  look  like you'd rather be anywhere but here."
Ketika mendengarnya, Nata langsung mengangkat wajah dengan raut bersalah. "Sori, Ann. Mood gue  lagi jelek  banget."
Annalise menggeleng. "Nggak apa-apa, kok. Kita ngopi aja, yuk?"
Mereka masuk ke sebuah kedai kopi  mungil di sudut lantai tiga, tempat yang lengang tanpa pengunjung, hanya seorang barista yang menunggu di balik counter dengan wajah bosan. Annalise meletakkan bawaannya di atas meja  dan Nata melihat sudut kamera Lomo merah yang menonjol dari  tas itu.
"Gue jadi penasaran... sejak  kapan, sih, lo hobi motret?"
Annalise tersenyum sendu, mengingat kali pertama ia memegang sebuah kamera dan merasakan berat benda itu di tangannya yang mungil. Membiarkan tangan yang kokoh membimbing jemarinya untuk menekan tombol, dan suara yang berisik di telinganya, tahan napas... dan, klik.
"Umur delapan tahun. Papa  memberikan aku hadiah kamera pertamaku." Dulu,  Papa  sering menyebutnya 'asisten cilik'. Mereka memotret Mama,
pura-pura mendandaninya dalam kostum, lalu menjepret aksi konyol itu.
Mereka memotret langit sebelum berubah gelap, bayangan pohon yang memanjang, sepeda pertama Annalise, boneka beruang kesayangannya, mobil baru Papa.  Annalise senang memperhatikan Papa  bekerja dengan kameranya, di bawah lampu suram kamar gelap tempatnya mencuci foto, mengamati buram berubah bentuk.
"Aku suka konsep fotografi—seakan-akan momen yang ditangkap lensa akan tetap di sana untuk selamanya."
Dan, mereka memang tetap ada,  bahkan saat dunia berputar dan berubah, kenangan yang tercetak pada lembaran foto itu tidak pernah berubah. Photographs last for a lifetime.
"Papa selalu bilang, manusia akan menua, tempat bisa berubah, kita bisa melupakan. Karena itulah kamera digunakan, untuk merekam hal-hal yang tidak dapat diingat manusia dengan sempurna."
Ia mengangkat kamera, menahannya tepat di depan wajah Nata. Nata bergeming, tidak tersenyum dan tidak memintanya untuk berhenti, hingga Annalise menekan tombol shutter.

Klik.

"Kamu sendiri, sejak  kapan suka musik?" tanyanya.
Nata mengangkat bahu. "Nggak inget tepatnya kapan. Keluarga gue  fanatik musik—selalu ada musik yang diputar di rumah. Mulai  dari  oldies, jazz, rock sampai pop. Dulu,  bokap gue  pernah jadi drummer, lho."
Annalise tidak bisa membayangkan ayah Nata yang sekarang bekerja di sebuah kantor pengacara terkenal, ternyata pernah jadi anggota band kawakan.
"Tapi, buat gue,  musik itu sebuah bentuk obsesi. Gue  merasa tenang kalau ada musik, mungkin dengan cara  yang sama,  seorang atlet bisa nyaman berada di lapangan, atau seorang pelukis saat megang kuas."
Jawaban gamblang itu sama-sekali tidak mengejutkan Annalise. Sebaliknya, dia mengerti. Fotografi dan musik sama-sama merupakan bagian dari  seni; keinginan untuk menyampaikan sesuatu. Obsesi untuk mencari nada yang tepat, atau menciptakan bait lagu  yang sempurna. Sama seperti keinginan memotret objek yang istimewa atau mengabadikan satu fragmen kenangan.
"Niki selalu bilang gue  kelihatan kayak  orang yang berbeda kalau lagi pegang gitar," kata Nata.
"Kurasa, buat sebagian orang, seni menjadi bagian penting yang sulit dipisahkan dari  diri mereka. Seni juga merupakan bentuk pelarian, cara  untuk melampiaskan emosi. Mungkin karena itulah, seni terkadang bisa mengubah orang."
Nata mengangguk-angguk setuju terhadap observasi itu, lalu berkomentar, "Lo lebih dewasa dari  kebanyakan orang yang gue  kenal, Ann."
"Dan, kamu nggak sesinis yang orang lain kira." Annalise membalas kalem sambil tersenyum.
Nata tertawa. "Gue bukannya sinis, tapi prinsipil. Gue  nggak suka orang yang suka pura-pura, dan gue  terbiasa ngomong apa adanya ke semua orang. Kadang, itu disalahartikan sebagai sarkastis."
"Kamu punya sisi lembut kalau berhadapan dengan Niki," kata Annalise pelan. Nata terdiam di balik  kepulan kopi  tubruknya, tidak membantah pernyataan tersebut. Raut wajah itu membuat Annalise turut larut dalam hening.
Diam-diam, dia sadar, hening semacam ini, hanya Niki yang mampu mengisinya.

***

Pada  waktu yang sama,  Oliver  dan Niki sedang menikmati makan malam, setelah satu jam puas bermain bowling di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Niki mengetuk-ngetuk jari di atas meja  sambil menikmati sepiring salad buah, hentakan itu seirama dengan detak jantungnya yang tidak keruan. Oliver  tidak pernah berhenti mengejutkannya; mulai dari  serangkai mawar segar hingga perlakuannya yang gentleman membuatnya merasa bagaikan seorang putri.
Akhir-akhir ini, mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Dalam waktu singkat perkenalan mereka, ternyata ia dan Oliver  sering sependapat mengenai banyak hal. Mereka sama-sama tidak menyukai pelajaran Matematika dan lebih memilih pelajaran olahraga daripada harus menyelesaikan soal  rumit yang berkaitan dengan angka. Mereka memiliki selera musik yang sama,  juga menyukai genre film serupa. Niki merasa dapat mengobrol dan berdiskusi mengenai banyak hal bersama Oliver.  Percakapan mereka selalu menyenangkan, diselingi dengan tawa dan canda.
Oliver  mengangkat beberapa potong kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. "Minggu depan, tim basketku tanding dengan tim basket sekolah putra di Tangerang. Mau datang nonton?"
Niki tersenyum mendengar ajakan itu. "Kalau aku datang, memangnya kamu bisa menang?"
"Kalau kamu datang, seenggaknya aku akan lebih terpacu untuk menang." Dia menjawab dengan mudah, membuat Niki memukul lengannya dengan canda.
"Gombal!" ucapnya di tengah tawa. Tanpa disangka, Oliver  meraih kedua tangannya yang sibuk memukul, lalu meremas jari-jarinya lembut. Niki terdiam, pipinya memerah karena malu. Tapi, kali ini, dia tidak melepaskan pegangan itu.

***

W i sh # 1 8: sup ay a. . . hujan i ni t i dak  p e r nah b e r he nt i (Ni ki )

Gerimis.

Niki menatap rinai hujan mengalir turun seperti butiran salju.  Ia menempelkan telapak tangannya ke kaca  mobil, merasakan permukaannya yang dingin dari rintik-rintik kecil  yang mulai mengaburkannya.
"Kamu suka hujan?" Oliver  bertanya dari  tempat duduknya di balik  kemudi. Air keruh kecokelatan mulai menggenang di sisi-sisi  jalanan, campuran dari  air got yang meluap karena hujan. Mereka sudah terjebak dalam kemacetan selama hampir dua jam, dan langit semakin gelap tak berawan tanpa tanda-tanda hujan akan berhenti.
Niki tersenyum tipis dan menggeleng. "Enggak. Aku nggak suka hujan sama sekali.  Mendung, kelabu, membosankan karena gak bisa main di luar."
Oliver  ikut mengangguk mendengar jawabannya. "Sama, aku juga.  Gak bisa basket outdoor, jalanan becek dan macet di mana-mana, kayak  sekarang."
"Iya, pokoknya nggak ngenakin."
Oliver  tersenyum melihat gelagat Niki."Terus, kenapa sekarang kamu memperhatikan hujan sampai segitunya?"
Niki memejamkan mata, mendengarkan riuh bunyi hujan yang mulai deras di sekitarnya. Merasa aman karena dia terlindung di balik  kap  mobil.
"Nata yang suka hujan," jawabnya. "Setiap kali hujan, Nata pasti akan menengadahkan kepala memperhatikan langit dan menjulurkan tangan untuk menyentuh hujan."
"Nata, teman kamu itu?"
Niki mengangguk. "Kebiasaan yang aneh, kan? Sejak kecil  dia begitu." "Kalian pasti udah lama sekali  saling mengenal."
Lagi-lagi,  Niki mengiyakan. "Kami tumbuh besar bersama. Sering main dan belajar bareng karena rumah kami  berseberangan."
Dengan nada hati-hati, Oliver  mencetuskan rasa penasarannya. "Cuma teman?" Niki membelalak dan tertawa spontan. "Maksudnya...?"
Oliver  mengangkat bahu. "Siapa tahu..."
"Serius, kami  hanya sahabat." Senyum Niki semakin lebar, diam-diam senang ditanya seperti itu. Dia dapat dengan mudah menangkap nada cemburu dan ingin tahu dari  lawan bicaranya.
Tiba-tiba saja, mesin mobil berhenti. Hujan mulai turun dengan deras, dentum airnya menghantam kaca  jendela danatap mobil dengan kerasnya. Oliver memucat, mencoba menstater kendarannya berulang-ulang, tetapi tidak berhasil.
"Kenapa?" Niki bertanya dengan panik, mulai khawatir seiring dengan bunyi klakson mobil-mobil di belakang mereka yang dengan tak sabar meminta mereka untuk meminggirkan mobil.
"Mobilnya mati," desis Oliver  bingung. "Mungkin karena mesinnya kemasukan air."
"Jadi gimana?"
Oliver  memandang sekeliling, sulit melihat melalui kaca  yang buram oleh air hujan. Air sudah naik hingga hampir melewati ban, hasil dari  hujan yang tidak berhenti sejak  beberapa jam yang lalu. Bentuk mobilnya yang dimodifikasi sehingga lebih rendah dari  kebanyakan sedan lain juga memperparah keadaan.
"Kamu tunggu di sini." Sebelum sempat Niki memprotes, Oliver  sudah berlari ke luar  dan menerobos hujan. Tidak  lama kemudian, mobil didorong manual oleh beberapa orang yang sedang nongkrong di warung sekitar. Oliver  kembali masuk ke mobil dalam keadaan basah kuyup dari  ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kita harus nunggu mobil derek."
"Basah-basah begitu, nanti kamu masuk angin."
Oliver  mencoba tersenyum, tapi tubuhnya mengigil. "Nggak apa-apa."
Mobil  derek baru datang tiga jam kemudian. Mereka berdua berdiri di emperan, melihat mobil tersebut di angkut dan dibawa pergi. Beberapa kendaraan bermotor lainnya juga mogok di tengah jalan, menambah kemacetan di sore
yang kelabu ini. Niki memasukkan kedua tangan ke dalam saku terusannya, kini ikut basah karena hujan kiand eras.  Oliver  melepaskan jaketnya yang basah dan melingkarinya di pundak Niki, mereka berdua gemetar kedinginan.

"Kamu nggak apa-apa kan?"
Suara Oliver  terdengar aneh karena gigi yang gemeletuk, membuat Niki ingin tertawa. Pipinya sendiri sudah seputih kertas, dengan rambut lembap dan bibir pucat.
"Dingin, ya?" Oliver  bertanya lagi. Niki hanya bisa mengangguk singkat. Oliver menariknya mendekat, lalu merapatkan tubuh untuk menghangatkannya. Hati Niki berdesir, dengan malu-malu, ia mendongak. Oliver  tersenyum, lalu meraih tangan Niki dan memasukkannya ke dalam kantong jaketnya, masih dengan tangannya yang membungkus jemari gadis itu.
Mereka berdua seperti itu untuk sementara waktu, menyaksikan hujan berderai-derai, tetapi Niki merasa hangat luar  dalam.

***

FEVER

W i sh # 1 9 : me nge t ahui r ahasi a Ni ki (Nat a)

Nata meletakkan beberapa buku pelajaran di atas meja  belajar Niki, menyingkirkan bungkusan obat yang sudah tak terpakai dan segelas air yang sudah setengah kosong. Niki terbaring lemas dengan wajah pucat di atas tempat tidur, mengenakan piyamanya yang kebesaran dan bersembunyi di balik
selimut tebal. Sudah dua hari dia sakit, akibat kehujanan akhir pekan lalu. Waktu itu, Niki pulang tengah malam dengan tubuh basah kuyup, tapi di wajahnya tersungging senyum lebar yang terlihat sangat bahagia. Entah apa yang telah terjadi; Nata gengsi menanyakannya walaupun ingin tahu, padahal dia sudah khawatir setengah mati.
"Gue bawain catatan pelajaran yang ketinggalan hari ini," Nata berkata sambil menjatuhkan tasnya di atas karpet dan berjalan menghampiri sisi tempat tidur. Niki mengerang tanpa suara.
"Kenapa sih orang lagi sakit harus disuguhi PR dan catatan pelajaran?" tolaknya kesal.
Nata tidak menjawab. Diulurkannya sebelah tangan untuk meraba kening Niki, merasakan panasnya. "Masih demam, nih," dia menganalisis, "udah makan obat? Buburnya udah dihabisin?"
Niki memasang raut cemberut. "Nata cerewet, ih."
Nata balas memasang muka berang. "Mau cepat sembuh, nggak?"
Niki memang ingin cepat sembuh, karena kangen pada latihan cheers dan acara senam pagi  sebelum kelas  pertama setiap hari. Dia kangen makan bakso kuah superpedas Mbok Nah di kantin,dan mencicipi lemper ayam  serta jajanan lainnya setiap jam makan siang. Ia bersin sekali,  lalu sibuk menyeka hidung dengan selembar tisu.
"Lagian kenapa sih, bisa sampai flu berat begini? Memangnya lo mandi hujan semalaman?" Nata melanjutkan, memberikan pertanyaan sebagai umpan untuk memancing cerita mengenai kejadian Sabtu lalu. Tapi, Niki malah tersenyum lagi, seakan-akan sedang mengingat kembali momen-momen manis yang hanya menjadi miliknya dan Oliver.
"Kan, udah kubilang, mobil Oliver  mogok jadi kita harus nunggu mobilnya diderek di tengah hujan. Udah, cuma itu." Dia menjawab dengan kurang meyakinkan, membuat Nata makin curiga.
"Cowok itu nggak macem-macem sama  lo, kan?"
Dipandang begitu, Niki jadi salah tingkah. Pipinya sedikit bersemu, tapi ia menggeleng mantap. "Enggak sama  sekali.  Oliver  baik banget, kok. Pas kami  lagi nunggu, dia ngasih jaketnya supaya aku nggak kedinginan. Ini pertama kalinya lho, Nat, ada cowok yang care banget sama  aku."
Enggan mendengar pujian mengena Oliver  yang selalu mahabaik dan mahasempurna, Nata akhirnya mengalihkan pembicaraan, menyerahkan sebutir obat flu pada Niki yang meminumnya dengan ogah-ogahan. "Anna titip salam. Dia ada klub fotografi hari ini, jadi baru bisa menjenguk besok."
Niki menyambut selembar foto yang dititipkan Annalise untuknya sambil tersenyum. Foto itu adalah foto yang diambilnya dengan kamera Lomo minggu lalu—saat Niki sedang kepedesan dengan sepiring pempek, dan Nata duduk di sebelahnya, ikut kerepotan memesankan segelas teh dingin. Di baliknya, tertulis get well soon dalam tulisan tangan Annalise yang rapi.
"Aku bosan, Nat. Di rumah sepi,  apalagi Acha juga pergi ke sekolah. Coba  kamu dan Anna bisa bolos buat nemenin aku."
"Huuu." Nata geleng-geleng mendengar usulan itu dan menyentil kening Nikidengan ujung jari. Tapi, tiba-tiba saja, dia teringat sesuatu. "Eh... tunggu sebentar, ya."
Niki menyibakkan selimut dengan penasaran. Nata cepat-cepat menuruni tangga dan berlari ke rumahnya sendiri sebelum ke kamar Niki, terengah-engah dan mengepit satu set permainan Monopoli di bawah lengan.
"Karena lo nggak bisa keluar, gue  temenin main, deh."
"Monopoli!" Niki berseru riang, ikut duduk di atas karpet sambil memasang papan karton dan menyusun uang-uang kertas di atasnya. Dia jadi ingat, dulu setiap salah satu di antara mereka sakit, mereka akan mengeluarkan permainan Monopoli dan bermain berdua di dalam rumah. Kadang, Nata juga akan menyelinapkan es krim untuk Niki yang sedang sakit walau mereka tahu makanan tersebut dilarang.
Nata dapat membaca senyum Niki itu, lalu berkata, "Setiap kali kita main Monopoli, lo selalu kalah." Sejak kecil  begitu.
Niki merebut dadu, lalu melemparnya asal di atas karpet. Angka tiga. "Itu kan karena aku lagi sakit, atau lagi kurang beruntung."
Nata mengambil gilirannya. Angka enam. "Monopoli nggak ada hubungannya dengan keberuntungan.
"Yang penting senang." Niki berargumen, lalu sibuk memajukan patung manusia plastik yang menandakan posisinya. "Itu, kan, intinya semua permainan?"
Nata mengangkat bahu dan melangkah. Niki berseru heboh ketika masuk penjara, dengan boros membeli semua perhotelan tanpa banyak pikir,  dan merengut jika kena denda, seolah lupa akan sakitnya. Diam-diam, Nata tersenyum sendiri melihat polah gadis itu. Saat-saat seperti ini adalah yang paling menyenangkan, ketika dia bisa memiliki Niki untuk dirinya sendiri. Pikiran yang agak  egois, memang, tapi, itulah yang dia rasakan kini.

***

W i sh # 20 : b e r t e mu  Ni ki (O l i v e r )

Oliver  berhenti di depan rumah bercat gading itu, memandang ke arah jendela kamar lantai dua yang bertirai merah muda. Sambil mengusap hidung dengan sapu tangan, dia menekan bel.
Otaknya penuh dengan wajah gadis itu. Senyumnya, tawanya, suaranya, juga sentuhan tangannya. Dia tidak sabar ingin bertemu lagi walau dalam keadaan seperti ini.
Pintu terbuka. Seraut wajah yang tidak asing menyambutnya, dari  datar menjadi tidak ramah ketika melihat Oliver.
"Niki ada?"
Nata yang membuka pintu dengan terpaksa menjawab, "Ada di atas, lagi istirahat." Ada penekanan pada kata terakhir yang diucapkan dengan nada kurang senang.
"Bisa ketemu sebentar?"
Walaupun enggan, Nata mempersilakan Oliver  masuk untuk menunggu dan ia menaiki tangga untuk memberi tahu Niki. Masing-masing memikirkan hal yang sama—kenapa dia bisa ada di sini? Tidak  lama kemudian, Niki turun sendirian, mengenakan sehelai sweatshirt hijau muda dengan leggings hitam. Rambutnya tergerai dan wajahnya agak  pucat walau dengan sedikit sapuan lipgloss pink di bibir.
"Kamu sakit?" Oliver  tidak tahan untuk tidak menyentuh pipinya, lalu merasakan hangat dari  temperatur tubuh Niki yang meningkat.
"Demam dan flu. Kamu?" Niki memperhatikan Oliver  yang juga kelihatan lemas, dengan mata kuyu dan kantung hitam di bawah mata.
"Sama."
Mereka berdua tertawa geli, menertawakan nasib yang sama  akibat berbagi beberapa jam di bawah hujan.
"Kok, gak istirahat?"
"Mau ngecek nasib kamu."
Niki merasa hatinya melambung. "Aku nggak apa-apa. Mendingan kamu pulang dan istirahat."
"Kamu juga,  tidur yang panjang."
Tangan mereka bertaut, masing-masing enggak melepaskan genggaman. "Bye, Oliver."
Oliver  berdiri di depan pintu, lalu mengeluarkan setangkai mawar kuning dari sakunya, sedikit layu karena terlalu lama disimpan di dalam saku.  "Buat kamu. Mawar kuning untuk menjenguk orang sakit."
Niki menganggukkan terima kasihnya. Dia memandang Oliver  masuk ke kursi belakang mobil yang dipandu oleh seorang sopir, lalu melambaikan tangan hingga mobil itu menghilang di tikungan.
Dia menghirup aroma mawar kuning itu dalam-dalam, lalu tersenyum penuh makna. Nata bersembunyi di balik  tangga, berusaha menguping dengan raut wajah masam.

***

L O VE

W i sh # 21 : me nghi ndar i har i v al e nt i ne (Nat a)

“Lo tahu gimana rasanya jatuh cinta?”
Hari  Valentine sudah tinggal dua hari lagi, dan seisi sekolah heboh mempersiapkannya. Majalah dinding memuat artikel cinta lebih banyak dari biasanya, horoskop di radio isinya tentang asmara semua, dan yang paling parah lagi, seluruh ruangan di sekolah dihiasi dengan ornamen hati dan pita warna pink.
Nata bosan melihaat warna itu di mana-mana. Kesal juga melihat oknum-oknum penyebar iklan yang menawarkan jasa mengantar bunga dan cokelat dari  kelas ke kelas.
“Kayak nggak ada kerjaan lain yang lebih bermutu aja,” begitu katanya setiap kali iklan-iklan sampah itu mengotori mejanya.
Niki memutar mata, bosan mendengar gerutuan Nata yang nonstop menjelek-jelekkan hari Valentine. “Itu karena kamu nggak punya gebetan. Makanya, lebih ramah dikit dong, biar  cewek-cewek nggak kabur.”
Annalise tersenyum geli mendengar ejekan Niki, sedangkan Nata melengos. Dia tahu sejak  dulu Niki suka bunga, berharap ada cowok yang memberikannya sekotak cokelat dengan pesan manis. Dia tahu Niki suka segala sesuatu yang romantis. Tapi, segala aksi romantisme itu tidak sesuai dengan dirinya.
Tanpa sengaja, pandangan matanya menangkap tulisan di ujung pamflet merah yang terselip di halaman buku pelajaran.
Secret Admirer katakan cinta pada cinta rahasiamu!
Mukanya memerah dengan sendirinya. Tagline iklan itu membuatnya penasaran. Sialan, Nata memaki dalam hati. Kenapa jadi kepikiran terus?


***
W i sh # 22: me nge t ahui r ahasi a Nat a (Annal i se )

Annalise sedang melewati rak-rak perpustakaan dengan setumpuk buku sastra Inggris di tangan ketika dia melihat Nata celingukan di sudut yang kosong. Ia ingin memanggil, tapi kelihatannya Nata sedang gelisah. Dengan hati-hati, Annalise berhenti dan mengamati Nata dari  tempatnya berdiri, bersembunyi di balik  rak kayu  tinggi.
Nata berhenti di hadapan sebuah kotak, lalu mengeluarkan selembar amplop biru dari  kantong celananya. Sambil melongok ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada yang memperhatikannya di sana, ia memasukkan amplop itu ke dalam kotak dan segera berlalu dengan langkah terburu-buru.
Annalise tidak sadar dia telah menahan napas. Ketika menyadari apa yang sedang Nata lakukan, entah mengapa hatinya berdegup tidak keruan.

***
W i sh # 23 : me ni kmat i har i Val e nt i ne ! x o x o (Ni ki )


Niki merentangkan tangan lebar-lebar sambil menghirup udara segar. Langit pagi  sangat cerah—biru dengan awan seputih kapas yang merentang di
mana-mana. Hari  ini hari yang sudah ditunggu-tunggunya, hari yang identik dengan warna pink, pernyataan cinta dan eksibisi kasih sayang. Beberapa kotak cokelat buatan tangan yang dikerjakannya semalam bersama Acha, Annalise, dan Mama sudah rapi  terbungkus plastik bermotif hati. Penampilannya juga spesial untuk hari ini—serba pink dari  ujung rambut hingga kaki.
Dilihatnya Nata berjalan ke luar  untuk mendorong sepedanya sambil menguap lebar-lebar.
“Nataoo, kok sepedanya nggak dicat pink aja?” godanya sambil tertawa, disambut oleh pelototan Nata. Sahabatnya ini tidak suka pada ungkapan cinta yang ekstravagan, tidak suka pada public displays of affection, tidak suka pada yang namanya hari spesial untuk memperingati romantisme secara
internasional. Lagu-lagu cinta yang sendu saja sudah membuatnya muak, apalagi ini? Niki tersenyum geli ketika memanjat boncengan sepeda Nata, lalu berbisik ringan di telinganya, “Happy Valentine’s Day, Nata.”
Hari  ini akan menjadi hari yang istimewa, Niki yakin itu.

***

Pelajaran pertama dimulai dengan gaduh karena murid-murid lebih bersemangat mengenai perayaan hari Valentine ketimbang pelajaran Kimia. Pak Marwan mulai kewalahan mencoba menenangkan isi kelasnya. Hari  ini seluruh dunia blingsatan untuk sebuah hari yang menurutnya tidak lebih penting dari hitungan mol  dan elektron partikel.
Nata duduk di kursinya dengan gelisah. Tadi pagi,  Niki sempat memeluknya erat dan mengucapkan selamat hari Valentine, bisikannya menggelitik kuping dan membuatnya merinding. Dia hanya bisa berpura-pura cuek dan mengangguk pasif begitu mendengarnya—walaupun ucapan itu membuatnya deg-degan setengah mati.
Ada satu hal lagi yang membuatnya tak tenang—program secret admirer konyol yang akhirnya diikutinya. Hatinya mulai berdetak kencang ketika seorang wakil  OSIS berseragam pink mengetuk pintu kelas  mereka, disambut oleh sorak sorai murid-murid yang sudah tak sabar lagi.
“Seperti kebiasaan kita dari  tahun ke tahun, hari ini kita akan mengantarkan hadiah dari  sang penggemar rahasia,” ujar  kakak senior tersebut memulai dengan senyum. Di tangannya sudah ada beberapa kantong plastik yang penuh dengan hadiah dan surat, kebanyakan berbungkus kertas kado merah jambu.
Ajang popularitas ini memang terkenal di SMU mereka. Setiap murid yang ingin menyampaikan rasa cinta tanpa mengungkapkan identitas dapat memasukkan surat bertuliskan nama pujaan mereka ke dalam sebuah kotak yang diletakkan tersembunyi di sekolah. Surat tersebut akan diberikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya pada hari Valentine. Nata selalu menganggapnya bodoh dan pengecut, sesuatu yang tidak ada gunanya—tapi toh dia melakukannya juga.  Setelah memasukkan suratnya ke dalam kotak, rasanya ingin sekali  mengambilnya kembali, tetapi tidak bisa. Untung saja tidak ada yang tahu dia turut berpartisipasi.
“Helena!”
Ketika nama itu dibacakan, seisi kelas  riuh rendah menyorakinya. Helena, yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, hanya tersenyum bangga dan maju untuk mengambil tumpukan surat dari  penggemar-penggemarnya yang sebagian besar adalah murid-murid populer dari  kelas  sebelah.
“Vanya!”
Beberapa nama kembali dibacakan—Annalise bahkan mendapatkan lima surat, dan tanpa diduga Nata juga mendapatkan tiga. Niki tersenyum begitu mendengar namanya dipanggil, kemudian beranjak untuk menerima empat amplop yang dilem rapi.  Nata melihat miliknya ada di dalam tumpukan itu, dan berusaha menahan diri untuk tidak menaariknya dari  tangan Niki, lalu merobek-robeknya supaya perasaannya tidak ketahuan.
Namun, dia hanya terpaku di mejanya, meremas erat-erat surat-surat miliknya yang sama  sekali  tidak menarik perhatiannya.

***
Annalise melihat Nata mengaduk-aduk kuah baksonya tanpa selera, lalu meletakkan sendok di tepi mangkuk. Sedari tadi, dia berusaha memulai percakapan, tapi Nata sepertinya tidak terlalu memperhatikan.
“Nat, kok baksonya nggak dimakan?” Ketika melihat Nata masih diam saja, Annalise sedikit kehilangan kesabaran. “Nata!”
Kali ini, untungnya Nata merespons. “Huh?” “Kamu kenapa sih?”  Nata tidak ingin mengakui bahwa kegilaan di hari Valentine ini sudah hampir mengganggu mentalnya juga.  “Nggak apa-apa.”
Annalise tersenyum maklum. “Kalau memang nggak ada apa-apa, kamu nggak bakalan bengong begini.”
Nata menegakkan tubuh dan segera menyuap makanannya, baru sadar bahwa bahasa tubuhnya begitu mudah terbaca oleh Annalise. “Niki mana?” “Pulang duluan, ada janji dama Oliver.”
Kuping Nata memanas mendengar  nama itu disebut. “Lagi?” Ia tak tahan untuk tidak berkomentar sinis.
“Hari ini, kan, hari Valentine.” Annalise beralasan seadanya. Dia tidak ingin bilang bahwa Niki sudah mempersiapkan segalanya hingga detail terakhir untuk kencan kali ini, termasuk sekootak cokelat buatannya sendiri yang sudah didekorasi secantik mungkin. Cokelat yang berbeda dari  yang diberikannya pada Nata dan murid-murid lain di kelas,  karena khusus untuk yang ini, Niki begadang untuk membuatnya.
Nata mengangguk tanpa makna, menyeruput kuah baksonya tanpa kata-kata dan menatap lurus ke depan.
Annalise menghela napas, lesu.  Sejak melihat Nata memasukkan surat yang kini ada dalam ransel Niki, hatinya tidak tenang. Sering kali dia ingin mengaku saja bahwa dia menyaksikan aksi Nata itu, tapi setiap kali ingin buka mulut, dia kembali bungkam. Annalise kerap kali mengingatkan dirinya sendiri bahwa masalah ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Namun, harus diakuinya—ia kecewa ketika melihat surat itu diserahkan kepada Niki. Lalu dia ingin menertawakan dirinya sendiri keras-keras. Dasar  bodoh, kamu kira surat itu akan ditujukan kepada siapa?  Untuk kamu? Sejak awal, Annalise sudah menduga siapa penerimanya, tetapi hal itu tidak menghentikan secercah harapan untuk menyeruak masuk ke dalam hatinya. Dan kini, ketika dia sudah yakin akan perasaan Nata pada Niki, dia cukup senang hanya dengan mendampingi pemuda itu memperjuangkan perasaannya. Ah, mungkin itu yang seharusnya dilakukannya. Memberikan dukungan, dan sedikit dorongan.
“Nat.” Annalise menyentuh lengan Nata lembut, lalu menarik tangannya. “Menurutku, kamu harus jujur sama  Niki.”
Nata mengangkat muka, namun tidak segera menjawab. “Maksudnya?” Sebagai teman dekat mereka, Annalise merasa tidak bisa diam saja melihat keduanya tidak sepaham. Entah sudah berapa kali dia harus menengahi pertengkaran mereka ketika Nata uring-uringan karena Niki terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Oliver.  Niki pun tampak adem-ayem saja, terlalu terhanyut dalam kisah cintanya sendiri untuk menyadari bahwa kecemburuan Nata punya alasan yang kuat.
Annalise memutuskan bahwa basa-basi hanya akan membuat Nata kesal,  jadi dia langsung ke topik pembicaraan sesungguhnya. “Aku liat kamu masukin surat ke dalam kotak secret admirer yang ada di perpustakaan.”
Wajah Nata menegang.
“Surat itu untuk Niki, kan?” Annalise mempertegas. Nata diam saja, raut wajahnya sulit dibaca—sebuah kombinasi antara rasa kesal,  malu dan entah apa lagi. “Aku tau kamu sayang sama  Niki—sesuatu yang lebih dari  sekedaar persahabatan.”
Nata tidak tahu bagaimana harus menjawab, sedikit terkejut karena Annalise yang biasanya memilih untuk diam dapat secara gamblang membeberkan rahasianya. “Jadi, gue  harus gimana?” Ia bertanya setenang mungkin walau perasaannya sudah campur aduk.
“Bilang sama  Niki yang sesungguhnya, kalau kamu sayang dia.”
Nata mendorong mangkuknya jauh-jauh, benar-benar kehilangan selera untuk makan. Secara otomatis ia menampik, menggunakan alasan yang selama ini dipakainya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada yang berubah di antara mereka. “Gue dan Niki hanya sahabat, nggak lebih.”
“Is that how you  reallu feel?”
Nata terdiam lagi, tidak tahu bagaimana harus menjawab. “Gue sendiri nggak tahu.” Akhirnya, dia berkaata lirih.
Itu jawaban yang jujur. Nata tidak mampu mengartikan perubahan rasa yang dimilikinya untuk Niki. Dia tidak tahu sejak  kapan dia mulai berdebar-debar setiap kali berdekatan dengan sahabat perempuannya itu. Dia tidak mengerti mengapa dia merasa kesal  ketika Niki bercerita tentang cowok-cowok yang mendekatinya, marah pada teman-teman laki-lakinya yang menggosipkan Niki. Dia tidak tahu mengapa perasaannya terombang-ambing seperti ini. Sukakah? Cintakah? Bukankah Nata kebal terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan cinta? Dia selalu menganggap jatuh cinta sebagai sesuatu yang bodoh dan menyebalkan, yang membuat orang kehilangan akal sehat dan jungkir balik karenanya.
 Ia merasakan Annalise memperhatikan perubahan raut wajahnya, lalu tersenyum simpul. “Perasaan semacam ini wajar  kok. You just have to fight for it.”


Untuk pertama kalinya hari ini, Nata mendongak dan berhenti menghindari tatapan Annalise. “Gue nggak bisa,” desisnya.
Semuanya tidak semudah itu. Nata dan Niki—mereka sudah terlalu lama bersahabat, dan Nata tahu Niki tidak ingin ada apa pun yang berubah di antara mereka. Dia pun tidak ingin persahabatan mereka goyah hanya karena ada cinta yang menyeruak secara sepihak.
Annalise membalas tatapannya. “Cinta itu nggak memiliki, Nat. Semua orang bebas merasakannya, menyimpannya. Tapi, kalau kamu terlalu takut untuk mengakuinya, selamanya kamu bisa terperangkap di dalamnya.”

W i sh # 24 : se b uah p e r t any aan (Ni ki ) & se b uah jawab an (O l i v e r )

Niki memeluk karangan mawar merah segar di hadapannya, sesekali menunduk untuk menghirup aroma harumnya. Dia tersenyum lebar kepada Oliver  yang sedang menyetir, sebelah tangannya menggenggam jemarinya sepanjang perjalanan pulang. Niki ingat beberapa tahun yang lalu, dia pernah dengan polos bertanya pada Nata, bagaimana rasanya jatuh cinta yang sesungguhnya? Kini dia sudah tahu jawabannya—persis seperti apa yang diimpikannya selama ini. Bahagia. Begitu senangnya hingga tidak bisa berhenti tersenyum.
Berdebar-debar hingga mau pingsan rasanya.
Oliver  sering memujinya. Tidak  pernah ada cowok yang begitu blak-blakan memberi tahu Niki bahwa ia cantik, sekalipun belum sempat berganti pakaian, masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut tergerai seadanya, juga wajah yang hampir polos tanpa make-up. Saking terburu-burunya, sore ini Niki hanya sempat mengulaskan pelembap bibir berwarna pink, juga mengoleskan sedikit cologne bayi beraroma lembut kesukaannya.
Niki menunduk, wajahnya berser-seri. Di hadapan Oliver,  dia terus-menerus tersenyum bodoh dengan wajah hangat yang memerah. Dia ingin berhenti memasang ekspresi konyol seperti itu, tapi dia tidak mampu. Rasanya dia sudah tidak bisa menahan kebahagiaan ini sendirian. Mungkin ini terdengar aneh, tapi Niki ingin cepat-cepat pulang dan memberi tahu segalanya pada Nata.
Mobil  berhenti di depan rumahnya. Oliver  berdiri di depan pintu mobil yang terbuka, seakan menghalanginya keluar.
“Niki, aku mau ngomong sesuatu yang penting.”
Niki menatap Oliver,  menunggu apa yang ingin dikatakannya dengan hati berdebar.
“Sejak pertama kali melihat kamu, aku selalu merasa ada sesuatu mengenai kamu yang sangat istimewa..., seakan-akan kamu bersinar di antara orang-orang lain. Aku senang bisa kenal sama  kamu, ngobrol dan jalan bareng kamu.”
Oliver  menelan ludah, terdiam sejenak seakan sedang mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
“Kamu... mau jadi pacarku?”
Lidah Niki kelu.  Dia ingin menjawab, ingin meneriakkan satu kata itu keras-keras, tapi otaknya kosong. Dengan lemas, Niki mengangguk, genggamannya pada ikatan mawar-mawarnya melonggar. Ketika Oliver merunduk untuk mengecup bibirnya, Niki memejamkan mata dan membisikkan jawaban itu untuk mereka berdua.

***

W i sh # 25 : se b uah p e r ny at aan (Nat a)

Nata menunggu di atas trampolin hingga lewat jam makan malam. Matahari sudah terbenam dua jam yang lalu, dan perutnya sudah keroncongan, tapi Niki belum pulang juga.  Sesekali deru mesin mobil atau langkah kaki membuatnya terjaga, namun Niki tidak kunjung datang.
Kata-kata Annalise tadi siang terus mengganggu pikirannya, membuatnya bingung dan serba salah. Dia sudah memikirkannya matang-matang, memainkan berbagai jenis skenaNata yang mungkin terjadi, juga mempertimbangkan masak-masak segala kemungkinan yang ada jika dia mengakui perasannya pada Niki. Dia rela mengambil resiko itu. Dan yang paling penting, Nata ingin berhenti berpura-pura.
Ki, gue  sayang lo.
Nata mengakuinya. Entah sejak  kapan, entah mengapa dan entah bagaimana, dia tidak tahu. Yang diketahuinya adalah, dia mencintai Niki, dan apa pun yang terjadi, dia akan terus menyayanginya seperti itu. Apa pun jawabannya nanti, Nata hanya ingin melepaskan pernyataan itu dari  hati kecilnya. Tidak  ingin membohongi Niki lagi dengan kedok persahabatan, sedangkan yang diinginkannya adalah merengkuh pundak mungil itu dalam satu dekapan hangat.
Deru mobil terdengar di kejauhan. Nata memasang telinga dan menunggu. Tidak  lama kemudian didengarnya langkah kaki Niki mendekat. Sebelum kehilangan keberanian, Nata buru-buru berkata.
“Ki, gue  pengen bilang sesuatu sama  lo. Penting.”
Niki mengambil tempat di sebelahnya, memeluk lutut dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tampaknya dia tidak memperhatikan raut wajah Nata yang cemas, juga tidak mendengar urgensi dalam suaranya.
“Aku juga,  Nat. Tahu nggak? Barusan Oliver  minta aku jadi pacarnya, dan aku bilang iya.” Senyumnya melebar, lalu Niki menoleh dan menatap Nata dengan raut tidak percaya. “Can you  believe it? Aku dan Oliver.  Rasanya nggak nyangka, sesuatu yang dari  dulu kuimpikan sekarang jadi kenyataan. Ternyata Prince Charming memang bener-bener ada.  Love at the first sight betul-betul ada.”
Nata hanya bisa menelan kembali kata-kata yang belum sempat diucapkan. Momen yang dipersiapkannya sejak  tadi lenyap begitu saja, tergantikan oleh euforia sepihak yang membuatnya kebas. “Oh ya?”
Niki tertawa kecil.  “Kok, ekspresinya datar, sih? Mestinya, kamu seneng, Nat, sahabatmu ini udah dewasa. Udah bisa nemuin kebahagiaannya sendiri. Sekarang nggak akan manja dan ngerepotin kamu lagi untuk urusan-urusan kecil,  dan kamu nggak usah ngomel lagi karena aku lelet atau berat-beratin boncengan sepeda kamu setiap hari.”
Nata tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya, Nata ingin sekali mengatakan bahwa Oliver  bukanlah orang yang tepat untuk Niki, juga ingin menyampaikan perasaannya sendiri. Tapi, ekspresi gembira di wajah Niki membuatnya bungkam. Kata-kata yang akan diucapkannya hanya akan melukai gadis itu, dan Nata tidak ingin melakukannya.
Dipaksakannya seulas senyum. “Jadi, gue  harus bilang apa,  nih? Selamat...?”
Niki mengangguk bahagia. “Kamu orang pertama yang kukasih tahu.” Ditariknya Nata mendekat dan dipeluknya eraat-erat. “Thanks ya, Nata. Kamu  memang teman yang baik walau suka nyolot, galak  dan sensi. Selamanya kamu akan jadi sahabat Niki yang terbaik, ya kan?”
Nata tersenyum pahit, untuk segala sesuatu yang sudah terlambat.
Niki menggumam pelan, masih dengan Nata dalam rangkulannya. “Inget janji kita waktu itu?”
Nata ingat. “Waktu itu gue  bilang kalau lo pasti lebih dulu jatuh cinta dibanding gue.”
Niki terSarah. “Kamu bener, Nat. Dan ternyata jatuh cinta itu bener-bener menyenangkan. Kamu  akan ngerti maksudku kalau kamu mengalaminya nanti.”
Nata memandang Niki yang melonjak-lonjak ringan di atas trampolin, wajahnya tidak pernah tampak sebahagia sekarang.
Lo salah, Ki. Yang duluan jatuh cinta di antara kita ternyata bukan lo, tapi gue.

**
W i sh # 26 : a cur e fo r b r o ke n he ar t s (Annal i se )

Annalise berdiri di depan pagar rumah Nata, menggenggam erat sekotak cokelat terakhir. Entah apa yang membawanya di sini, dia sendiri masih belum bisa memutuskan apa yang akan dikatakannya pada pemuda itu jika mereka bertemu nanti. Dengan ragu, ia menekan bel, lalu merasa serbasalah ketika Dhanny yang membukanya.
“Cari Nata?” tanyanya, sambil mengusap rambut yang masih setengah basah dengan sebelah tangan.
Annalise mengangguk. “Dia ada?”
“Lagi semedi di kamar, sepertinya mood-nya kurang bagus. Kamu...  tau kenapa?” “Mungkin.” Annalise mengulas senyum melihat ekspresi Dhanny yang khawatir.
Ia meniti tangga ke kamar Nata, lalu mengetuk pintunya dua kali. Ketika tidak ada yang menjawab, dia memutar gagang dan beranjak masuk. Nata sedang duduk di atas karpet, memetik senar gitar dengan asal-asalan.
“Boleh masuk?:”
Nata mengangguk samar. Annalise duduk di sebelahnya dan meletakkan kotak cokelat berpita putih itu di atas meja.  “Buat kamu. Aku menyisakannya semalam.”
“Jadi ini cokelat sisa?” Nata separuh bercanda, tapi nadanya tanpa humor. Ia lalu mengubah topik pembicaraan; sepertinya hal itu sudah mengganggu pikirannya sejak  tadi. “Tadi... gue  ketemu Niki.”
Nata tidak perlu melanjutkan kalimatnya karena Annalise sudah tahu. Barusan Niki meneleponnya untuk bercerita panjang lebar mengenai Oliver.  Karena itulah dia buru-buru datang ke sini.
“Sejak dulu Niki pengen punya cowok yang sempurna, yang nggak takut untuk bilang sayang dan ngasih berbagai macam kado. Dan, gue  bukan tipe cowok seperti itu.” Nata menjauhkan gitarnya dan tersenyum pada Annalise. “Thanks buat nasihat lo, Ann. Gue  tau lo care sama  gue  dan Niki. Tapi kita berdua Cuma sahabat, nggak bisa lebih dari  itu. Nggak  akan ada yang berubah.”
Annalise bersandar pada tepi tempat tidur Nata, pandangannya menerawang jauh. “Kamu nggak bakalan nyesel?”
“Kalo dia seneng, itu udah cukup buat gue.”
Ekspresi di wajah Nata membuatnya merasa sedih. Kata-kata penghiburan yang ingin dikatakannya terasa klise dan kaku di lidah sehingga Annalise tidak jadi mengatakannya.
Nat, apa Cuma Niki yang bisa bikin kamu tersenyum? Apakah nggak ada orang lain lagi yang mampu menggantikan posisinya di hati kamu?
Annalise ingin menanyakannya. Ingin mengatakan bahwa dia mengerti perasaan Nata, karena dia pun merasakan hal serupa. Tapi, dia malahan berusap, “Apa pun yang terjadi, kita bertiga masih sahabat. Itu yang penting.”
Nata tersenyum sendu sebagai balasannya. “Iya, kita bertiga selamanya temenan.” Tanpa sadar, sebutir air mata meluncur turun, dan Annalise mengusapnya sebelum Nata sempat melihat.

***


Ifu duduk di depan meja  belajarnya, dengan lampu tidur yang dinyalakan remang-remang supaya tidak mengganggu Acha yang sedang terlelap. Sudah hampir tengah malam, tapi dia masih belum bisa tertidur. Rasanya seluruh kebahagiaan hari ini terlalu menyesakkan sehingga dia terlalu bersemangat untuk istirahat. Besok  pasti seluruh tubuhnya pegal-pegakl dan jadi mengantuk di kelas.
Dia baru saja menghabiskan satu jam terakhir bercerita pada Acha mengenai Oliver,   sampai adiknya itu bosan dan tertidur. Bunga-bunga pemberian Oliver sudah ditata rapi  di dalam sebuah vas kaca,  beberapa tangkai yang sudah layu bahkan sudah dikeringkan untuk disimpan. Niki membelai kelopaknya yang sehalus beludru sembari tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Empat surat dari  penggemar rahasianya yang didapatnya di sekolah tadi siang masih belum sempat dibuka. Dikeluarkannya dari  ransel dan ditelitinya satu per  satu. Salah satu dari  keempat surat itu menarik perhatiannya karena amplopnya yang biru di antara warna merah jambu. Amplop itu sederhana, tanpa nama, dan di dalamnya hanya ada selembar kertas tipis.
Isinya adalah sepotong sajak yang diketik rapi.
Niki bertopang dagu di atas meja,  menggunakan remang cahaya kuning untuk membacanya.
Bulan emas tinggal separuh Bintang-bintang sangat pemalu Kau terduduk di sampingku
Aku lantas mencintai bayanganmu Kau menoleh untuk tersenyum Hatiku berserakan... lebur dan lepuh

***

AC C ID ENT


W i sh # 27: me me nangkan ko mp e t i si b aske t (O l i v e r )

Niki takjub bukan main saat ia pertama kali menginjakkan kaki di gerbang depan sekolah Oliver.  Pasalnya, sekolah elite yang selama ini hanya dikenalnya melalui kabar burung dan omongan orang-orang ternyata memang seperti yang digosipkan. Pagar utamanya tinggi dan kokoh, dipoles mengilap tanpa karat. Pekarangan sekitarnya asri, seperti kampus-kampus luar  negeri yang dipenuhi pohon rindang dan kursi taman yang terbuat dari  tembaga. Lapangannya dua kali lebih besar dari  milik sekolah Niki, dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang indoor yang dapat dilihat melalui kaca  transparan besar. Belum lagi gedung-gedungnya yang bercat kuning pucat, semuanya tinggi dan rancangan modern, pastinya karya  arsitektur ternama. Masing-masing ruang kelas  memiliki jendela tinggi yang transparan, terlihat seperti rumah kaca  dengan ruang belajar luas, lengkap dengan loker pribadi.
“Pasti mahal sekali  ya, sekolah di sini?” celetuknya polos. Oliver,  yang baru saja memarkir mobil di area yang tak kalah lapang, ikut tersenyum.
“Yang sekolah di sini kebanyakan anak-anak diplomat, selebritas atau warga negara asing,” jawabnya sambil menenteng duffle bag berisi perlengkapan olahraga./ “Yuk, masuk. Jangan bengong aja di sana.”
Niki berusaha keras terlihat biasa di dalam sekolah itu. Bahkan, siswa-siswinya tampak amat modis dalam seragam serbaputih. Banyak murid berambut pirang dan bermata biru di sana-sini, mengingatkannya akan Annalise. Oliver sepertinya sangat populer, karena mereka semua menyapanya dan tak sedikit yang menepuk pundaknya untuk mengucapkan selamat bertanding.
“Ayo.” Oliver  menggandeng tangannya dan menariknya menuju lapangan basket indoor sekolahnya. Gestur posesif ini membuat Niki senang.
Lapangan basket indoor yang luas sudah dipadati orang. Hari  ini, tim basket SMU Pelita akan bertanding dengan tim SMU Aksara yang tahun lalu memenangi kompetisi regional. Niki tahu Oliver  sudah berlatih keras, dan setiap hari yang diomongkannya hanya pertandingan ini. Sebagai bentuk dukungannya, Niki menawarkan diri untuk datang memberi semangat.
Bangku-bangku penonton sudah hampir penuh. Niki menyelinap ke baris ketiga, duduk di ujung sembari memperhatikan Oliver  mengenakan jersey putih emas di atas kausnya, lalu membungkuk untuk mengikat tali sepatunya. Tim lawan juga sudah siap, beberapa di antaranya bahkan sudah berlaga di sudut lapangan untuk melakukan latihan kecil. Niki merasa kikuk dalam seragam sekolahnya yang beda sendiri dengan orang-orang di sekelilingnya. Bandana biru muda yang melilit di kepala dan gelang-gelang oversized plastik berwarna pelangi di pergelangan tangannya membuatnya lebig  self-conscious lagi, kekanakan dibanding dengan aksesoris platina dan jam bermerek milik siswi-siswi yang duduk tidak jauh darinya.
Tapi, lalu Oliver  menangkap pandangannya dan mengedipkan sebelah mata, tidaklupa melambaikan tangan dengan senyum percaya diri. Niki merasa jauh lebih baik setelahnya, walau beberapa gadis berbalik memelototinya dengan sengit. Dia sudah tahu Oliver  adalah salah satu That It Guy di sekolah ini—dan dia merasa sangat, sangat beruntung.
Peluit dibunyikan dan anggota masing-masing tim berlari kecil  ke tengah lapangan. Bola basket dilempar tinggi-tinggi, dan permainan pun dimulai begitu Oliver  berhasil menyentuh bola  sedetik lebih cepat dari  ketua tim basket lawannya. Para pemain bergerak cepat, masing-masing mengambil posisi dan mengikuti arah bola  dengan lincah. Decit sepatu dan dentuman bola  berbaur dengan seruan dan bunyi peluit. Niki menonton dengan tegang, ikut berseru riuh rendah ketika skor  pertama jatuh ke tim Oliver.  Mata pemuda itu sama sekali tidak meninggalkan bola,  dengan seksama memperhatikan kinerja timnya dan tidak ragu meneriakkan instruksi. Sesekali,dia mengelap keringatnya dengan ujung kaus,  gayanya yang tenang dan penuh kalkulasi membuat tim lawan gerah.
Baru saja permainan berlangsung lima belas menit, handphone Niki bergetar di dalam tasnya. Terganggu dan tidak berkonsenterasi, Niki membaca pesan singkat yang barusan masuk. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika otaknya mencerna kalimat pendek itu.

Sender: Annalise

Ki, Nata kecelakaan. Sekarang masuk rumah sakit.

Tanpa banyak pikir,  Niki melesat dari  bangkunya dan berlari ke arah pintu keluar. Dengan panik, ia memanggil taksi dan meminta pengemudinya untuk ngebut menuju rumah sakit. Yang dibayangkannya hanya Nata yang terbaring di atas ranjang rumah sakit, darah memenuhi seprai putihnya. Dia berusaha mengenyahkan pikiran itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Pak, tolong lebih cepat, ya,” pintanya, berdoa dan berdoa untuk keselamatan Nata.

***

W i sh # 28: sup ay a Nat a b ai k- b ai k saja  (Ni ki )

Niki menghambur ke dalam ruangan tempat Nata sedang dirawat, menemukan sahabatnya sedang dalam posisi duduk, menggunakan dua bantal besar sebagai penyangga. Perban besar menutupi danhi dan beberapa bagian tubuh lainnya.
“Hai, Ki.” Teguran santai itu tidak membuat Niki lega, malahan semakin panik. “Kamu nggak apa-apa kan, Nat? Mananya yang sakit?” Niki membalikkan tangan
Nata yang dibalut dengan hati-hati, mencoba mencari bekas luka.  “Aduh... kok bisa begini, sih?”
“Segitu khawatirnya sama  gue?” Nata menggoda, senyumnya senang, bertukar pandangan dengan Annalise yang juga tersenyum geli di sampingnya.
“Serius, nih! Yang mana yang luka?”
Senyum Nata semakin mengembang. “Cuma  lecet-lecet kecil  aja, kok. Yang parah di sini.” Ia menunjuk keningnya, “kena enam jahitan.”
“Hah?” Niki merinding mendengarnya. “Kok bisa?”
Annalise ikut bicara untuk menenangkan Niki. “Nata terserempet mobil sampai jatuh dari  sepedanya, tapi hanya lebam dan luka ringan di sekujur tubuh. Luka di keningnya cukup besar, tadi sampai berdarah-darah banyak sekali,  tapi untungnya sekarang udah nggak apa-apa.”
Niki mengembuskan napas lega. “Bawa sepedanya nggak hati-hati, ya?” tuduhnya curiga. “Ngebut, kan?”
Nata mendelik, kesal  dituduh yang bukan-bukan. “Enak aja. Yang ngebut tuh mobil yang nyerempet gue,  nikung sembarangan lagi,” gerutunya. “Lo dari mana aja sih, kok datengnya lama?”
Mendengar pertanyaan itu, mendadak saja Niki teringat pada apa yang ditinggalnya. Oliver,  pertandingan basket, lapangan SMU Pelita. Gawat! Dia benar-benar lupa sama  sekali.
“Tadi aku lagi nonton pertandingan basket di sekolahnya Oliver.” Niki menggigit bibir dengan rasa bersalah. Mendengar nama Oliver  disebut, raut Nata berubah masam, tapi dia tidak berkata apa-apa.
Sudah ada lima missed call di handphone Niki yang tidak disadarinya. Niki beranjak keluar ruangan dan menekan nomor Oliver  dengan speed dial. Panggilannya terjawab dalam satu kali dering.
“Halo? Niki?” Suara Oliver  sulit terdengar dalam kehebohan riuh-rendah di ujung telepon. “Kamu di mana, kok tiba-tiba menghilang?”
“Sori... tadi aku dapat SMS kalau Nata kecelakaan, jadi aku langsung ke rumah sakit dan lupa ngabarin kamu.”
“Oh.” Oliver  terdengar kecewa. “Dia nggak apa-apa?” “Luka-luka ringan, dan ada luka yang dijahit.”
“Kamu bakal balik  ke sini, kan?” Nada  suaranya penuh harapan. “Kita menang lho, sayang kamu nggak lihat.”
“Sori,” Sekali  lagi Niki meminta maaf,  “kita rayainnya besok aja, ya? Aku yang traktir deh.” Ia kian merasa bersalah, apalagi ia sama  sekali  tidak melihat akhir dari  pertandingan itu. Kini dia malahan menolak ajakan perayaan kemenangan Oliver.
Hening. Agak lama sebelum Oliver  menjawab. “Kamu... mau nemenin Nata di sana, ya?”
“Iya,” jawab Niki jujur. “Kasihan Nata sendirian di rumah sakit, belum bisa pulang karena masih harus check-up.”
“Oh..., ya udah.” Telepon ditutup.

***

W i sh # 29 : Ni ki (Nat a)

Rumah sakit setelah lewat visiting hours sangat lengang. Lorong-lorongnya sepi,  hanya sesekali terdengar bunyi pintu kaca  didorong, dan langkah kaki serta bisikan kecil  para dokter dan suster yang sedang jaga malam itu. Dua tempat tidur lain yang berbagi ruang dengan Nata kosong tanpa pasien, membuatnya lega karena memiliki lebih banyak privasi.
Nata menatap Niki yang sedang tertidur sambil menelungkupkan tangan di tepi tempat tidurnya. Lembaran kartu Uno berserakan di sampingnya, belum sempat dibereskan. Tadi mereka bermain kartu untuk melewati waktu, tapi yang ada malah Niki kelelahan dan dengan mudah terlelap dalam hitungan menit tanpa pembicaaraan. Nata tidak punya masalah dengan itu, dia cukup senang memperhatikan Niki beristirahat dengan muka angelic seperti sekarang.
Dia gembira karena Niki segera datang ke rumah sakit, meninggalkan pertandingan basket Oliver  yang sepertinya cukup penting. Dia juga senang Niki tidak langsung pulang ke rumah atau kembali menemui Oliver,  malah mengajukan diri untuk menemaninya semalaman, menggantikan Annalise dan keluarganya yang sudah lama menungguinya di rumah sakit. Dalam hati, dia bersorak—ini artinya Niki memilihnya. Pikiran kekanakan itu membuatnya tak berhenti tersenyum, hampir sama  sekali  melupakan mobil yang tadi sore menyerempetnya hingga terjatuh ke tepi jalan, membuatnya terpaksa menghabiskan semalam di rumah sakit.
“Gue sayang lo, Ki. Sayang banget.”
Kata-kata itu belum pernah diucapkannya benar-benar, tetapi sama-sekali tidak terasa janggal.

***

W i sh # 3 0 : me ne mani Nat a di  r umah saki t (Annal i se )

Annalise mengendap masuk ke ruang tepat Nata dirawat, meraih gagang pintu dan memutarnya sepelan mungkin supaya tidak menimbulkan suaara. Barusan dia berbohong pada suster bahwa dia adalah adik  Nata, supaya bisa diizinkan masuk.
Sebuah kantong plastik bening berisi beberapa batang es krim kesukaan Nata sudah dibelinya dalam perjalanan ke sini. Nata pasti kebosanan bukan main di kamarnya, hanya ditemani satu unit televisi yang menyajikan siaran sinetron sepanjang malam. Niki bilang dia akan pulang pukul delapan, jadi Annalise bermaksud menggantikannya untuk menemani Nata.
Langkahnya terhenti. Dia melihat pemuda itu terbaring di atas tempat tidur dalam pakaian rumah sakit berwarna biru muda, di wajahnya sebuah ekspresi lembut yang sulit dijelaskan. Lalu, Annalise melihat Niki yang sedang terlelap, dan sayup-sayup mendengar kalimat yang dikatakan Nata. Dan, dia mengerti.
Ia mengambil beberapa langkah mundur yang agak  terburu-buru, lantas menabrak seseorang di depan pintu. Ketika menoleh, Annalise bertatapan langsung dengan Dhanny.

***

W i sh # 3 1 : me mb aca  p i ki r an se se o r ang (D hanny )

Dhanny menyandang tas berisi pakaian dan handuk kotornya setelah dua jam penuh bermain futsal. Dia melangkah masuk ke dalam rumah sakit untuk menjenguk adik  satu-satunya yang hari ini bermalam di sini.
Kasihan, pasti suram banget hidupnya di sini, begitu putusnya, jadi ia pun membawakan beberapa jilid komik baru kesukaan Nata untuk santapan malam ini. Lumayan untuk melewati bosan.
Di lantai tiga, dia bertemu dengan seorang suster yang menghalangi jalannya. “Maaf, Dik, jam besuk sudah habis.”
“Saya kakaknya,” Dhanny berkata, menunjuk bawaannya, “Saya Cuma sebentar kok, hanya mau membawakan barang.”
Suster itu tampak ragu, tetapi luluh melihat senyum Dhanny yang memohon. “Ya sudah, tapi jangan lama-lama ya. Barusan adik  perempuannya juga datang berkunjung, mungkin sekarang masih ada di dalam.”
Adiknya? Dhanny tidak habis pikir,  tapi dia diam saja dan segera berjalan ke kamar rawat Nata. Baru saja ia ingin masuk, tapi pintu terbuka dan muncul salah satu teman Nata—gadis bule itu—dengan ekspresi tidak keruan.
Dhanny mengingat namanya. “Annalise?”
“Anna.” Dia mengangguk singkat, masih tampak terkejut.
“Ada apa? Nata ada di dalam, kan?” Sebelum Annalise mampu merangkai kata untuk menjawab, Dhanny menjulurkan kepala dan melihat adiknya, yang sedang menarik selimut miliknya sendiri untuk menghangatkan Niki yang sepertinya sedang pulas. “Nggak mau masuk?”
Annalise menggeleng. “Aku mau pulang saja.”
Alvim mengamati perubahan raut wajah Annalise, tiba-tiba saja mengerti apa yang membuat gadis ini berubah pikiran begitu saja. Digosok-gosokkannya kedua telapak tangan yang mulai dingin karena sejuknya malam.
“Kuantar pulang, ya?” Melihat Annalise mempertimbangkan ajakannya dengan ragu, senyum Dhanny mengembang. “Aman kok, pasti selamat tiba di rumah. Tapi sebelummnya, temenin aku makan dulu sebentar.”
Annalise terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan senyum kaku dan mengikutinya menuju 24-hour cafĆ©   di lantai bawah.
“Percaya atau tidak, rumah sakit ini punya cafĆ©  dengan makanan yang enak banget, walaupun banyak orang bilang makanan rumah sakit nggak bisa dimakan sama  sekali.” Dhanny memilih runa casserole hangat dan secangkir espresso, lalu memilih sebuah meja  di sudut yang agak  jauh dari  pintu keluar. Dilihatnya Annalise hanya memesan semangkuk sup  krim asparagus dan segelas teh tawar hangat sehingga ia memotong sedikit makananannya dan meletakkannya di piring gadis itu. “Kamu belum benar-benar mengenal yang namanya makanan enak kalo  belum nyobain ini.”
Sekali  lagi, Annalise mengulas senyum tipis, lalu menyesap minumannya. “Di New York ada sebuah kedai yang menjual kudapan seperti ini. They have the best burritos and casserols in town.”
Dhanny mengunyah makanannya tanpa suara. “Kamu kangen New York?” Ekspresi Annalise melembut ketika menjawab. “Kadang-kadang. City view di sana sangat indah, terutama Natal di daerah Rockefeller.”
“Kamu pernah memotretnya?”
Annalise mendongak, seakan terkejut ditanya demikian. “Pernah, beberapa kali.” Senyum Dhanny melebar. “Kapan-kapan boleh kulihat?”
Annalise memiringkan kepala, mengamati pemuda yang begitu ramah walaupun belum pernah benar-benar berkenalan. “Kamu juga suka fotografi?”
“Ah, ya. Sebenarnya hanya belajar secara otodidak. Lebih tepatnya bisa dibilang hanya pengagum.”
“Pengagum pun harus ngerti fotografi untuk bisa benar-benar mengapresiasinya.”
“Betul, makanya aku kagum melihat hasil fotomu waktu pameran tempo hari. Foto-foto itu punya nyawa, terutama foto seorang anak kecil  yang sedang tertawa di balik  air matanya.”
Annalise menunduk, tidak menyangka Dhanny masih mengingat foto-fotonya yang dipajang untuk pensi bulan lalu. “Nata juga bilang begitu... tentang foto-fotoku.”
“Kamu dan Niki adalah dua orang yang oenting buat adikku.” Ketika Annalise memandangnya dengan bingung, Dhanny menjelaskan. “Sejak kecil,  Nata benci sama  yang namanya perempuan. Dia paling ogah deket-deket dengan perempuan, bahkan cenderung menyendiri dibanding bergaul dengan teman-teman seumutnya. Nata orangnya susah bergaul, nggak terbuka dan nggak gampang percaya sama  orang. Karena sifatnya ini, orang-orang jadi males ngedeketin, karena mereka sulit ngerti dia. Waktu kecil,  temen-temen sekelasnya nggak ada yang mau main sama  Nata. Nata juga nggak pernah mau berbagi mainannya sama  orang lain. Cuma Niki yang keukeuh ngajak dia main bareng, naik sepedalah, main bonekalah, sampai nangkep jangkrik di pinggir kali. Walau dicuekin Nata berkali-kali, Niki nggak nyerah atau pun marah.”
Dhanny tersenyum mengingat kejadian itu. Niki dengan senyum lebar dan gigi ompong terus-menerus berjongkok di samping Nata, tidak peduli bahwa anak cowok itu tidak memedulikannya dan menyembunyikan seluruh mainannya dari  jangkauan Niki. Setiap sore, Niki tetap datang ke rumahnya dan berteriak dengan lantang. “Nata, main yukkk!”, sampai akhirnya adiknya itu memberikan satu mobil mainannya kepada Niki.
“Mungkin yang dibutuhkan Nata adalah orang-orang percaya sama  dia. Sahabat seperti kamu dan Niki.”
Melihat Annalise termenung memikirkan perkataannya, Dhanny bangkit dan tersenyum pada Annalise. “Yuk, kita pulang.”

***
MAMA

Annalise terjaga dari  tidur lelapnya ketika mendengar ribut-ribut di luar  kamar. Terang dari  lampu ruang keluarga menyisip masuk melalui celah-celah pintu, membuatnya membuka mata untuk melirik ke arah jam weker yang ada di tepi tempat tidurnya. Hampir tengah malam. Ia bangkit dan mengucek mata yang masih sarat akan kantuk, lalu menyeret langkah untuk melihat siapa yang malam-malam begini masih terjaga. Ternyata Tante Nadja  sudah mendahuluinya, kacamatanya yang bersiluet tegas terlihat kurang cocok dengan rambut yang berantakan dan muka mengantuk.
Annalise berusaha membiasakan pandangannya pada terang yang tiba-tiba menyala, dan melihat sebuah sosok di balik  pintu. Perempuan itu mengenakan mantel dengan gaun selutut dalam siluet warna krem, serta sepasang boots suede berwarna senada. Rambutnya diikat dalam sebentuk chignon longgar, dengan kacamata diangkat ke atas seperti bando. Tingginya tidak kurang dari seratus delapan puluh sentimeter, terlihat semakin jenjang dengan hak sepatu yang runcing. Bunyi yang ditimbulkannya cukup membuat Annalise tersadar dari  keterkejutannya.
“Mama?!”
Tantenya tampak sama  kagetnya dengan dirinya. Mereka berdua sama-sama masih mengenakan piyama tidur, dengan keadaan yang disoriented, terlihat seperti dua orang kebingungan yang terkejut luar  biasa.  Mereka melongo melihat Mama dengan ribut membuka pintu dan menarik masuk kedua kopor besarnya.
”Surprise!!”
Mama merentangkan tangan lebar-lebar, tersenyum senang melihat kekagetan yang telah disebabkannya. Beliau  berhenti dan memandang Annalise lekat-lekat. Annalise tidak bergerak saat jemari Mama mengusap helai-helai rambut yang berantakan di keningnya, lalu mendekapnya erat. Harum parfum Mama masih tidak berubah—Miracle dari  Lancome. Rasanya sudah lama sekali, tetapi anehnya bau itu masih tidak asing di hidung Annalise.
Ia memejamkan mata dalam dekapan Mama, terlalu terkejut untuk membalas pelukannya.

***
W i sh # 3 2: mama unt uk  t e t ap  t i nggal (Annal i se )

Sudah beberapa hari ini Annalise tidak henti-hentinya tersenyum, tidak kalah dengan Niki yang masih berseri-seri sejak  peresmian hubungannya dengan Oliver.
“Kalau ada di samping kalian, gue  keliatan kayak  manusia paling murung di dunia,” begitu komentar Nata ketika melihat kedua sahabatnya memasang ekspresi gembira yang identik. Annalise bertukar pandang dengan Niki dan mereka berdua menyeringai.
Nata dan Niki adalah orang pertama yang diberitahukannya mengenai kepulangan Mama beberapa hari yang lalu. Rumahnya tidak lagi penuh dengan kesunyian yang sering kali mengisi percakapan, kini sarat dengan obrolan yang bermakna untuk melepas rindu. Pada  pagi  hari setelah Mama kembali, Annalise bahkan mengecek kamar Mama untuk memastikan bahwa kejadian semalam bukan hanya imajinasinya. Bertapa leganya saat menemukan Mama di balik selimut, raut damai dalam nyenyak tidurnya. Annalise tidak pernah berharap lebih dari  ini.
“Mamamu sekarang akan tinggal di Jakarta?”
Ketika Nata menyeletukkan pertanyaan sederhana itu, Annalise terhenyak. Dia tidak berani menanyakan apakan Mama akan tinggal lebih lama di Jakarta kali ini. Dia tidak tahu apakah Mama akan segera terbang ke luar  negeri lagi untuk pekerjaan, lantas tidak kembali beberapa bulan lamanya. Dia juga belum sempat bertanya mengapa Mama melupakan hari ulang tahunnya waktu itu, mengapa Mama tidak menepati janji kepulangannya.
“Nggak tahu,” Annalise dengan jujur menjawab, “mudah-mudahan kepulangan Mama kali ini for god.”
Harapannya ini dikukuhkan juga oleh kegiatan Mama yang tidak sepadat biasanya. Setiap sore, Annalise menemukan Mama sedang melukis di patio rumah mereka, bergulat dengan kuas,  palet warna, dan secangkir kopi.  Dia akan duduk saja di samping Mama, memperhatikan garis  wajahnya dan kadang-kadang memotretnya. Sesekali, mereka mengobrol, bertukar cerita mengenai banyak hal yang tidak bisa diceritakan panjang-lebar melalui telepon.


Sore  ini, Annalise pun duduk di kursi beranda, melihat Mama menyapukan wanra merah jambu untuk pemandangana matahari terbenam di atas kanvas.
“Udah lama nggak ke Jakarta, ternyata Mama kangen juga sama  kota ini.” Mama tersenyum sekilas sambil tersu melukis, rambutnya yang panjang tergerai dan melambai ringan ketika ditiup angin. Wajahnya bersih tanpa make-up, sesuatu yang jarang Annalise lihat, tetapi sangan disukainya. Inilah Mama apa adanya, Mama yang dikenalnya.
“Kamu sudah terbiasa di sekolah baru? Punya banyak teman?”
“Ada dua sahabat baruku, namanya Nata dan Niki. Mereka penggemar berat Mama.”
“Oh ya?” Mama tampak senang mendengarnya.
“Mama.” Annalise terdiam sejenak, ragu untuk menanyakan pertanyaan Nata yang membebani pikirannya belakangan ini. Dia takut mendengar jawabannya, tapi lebih takut lagi menemukan Mama mendadak pergi seperti yang sering dilakukannya. ”You’re going to stay, aren’t you?”
Kali ini, Mama meletakkan kuas dan mengelap kedua tangan dengan celemek yang melilit di pinggang. Dipandangnya Annalise dengan seksama, tatapan matanya lembut. Mama tidak menjawab, hanya memeluknya seakan tidak ingin melepaskannya lagi.

***

P H O T O GR AP H S

Tanggal batas terakhir pengiriman materi untuk lomba fotografi sudah dekat. Nata dan Niki sibuk membantu Annalise memilih foto untuk kompetisi tahun ini, yang diusung dengan tema lokalitas. Tadinya, Annalise enggan untuk ikut, merasa bahwa foto-fotonya masih belum pantas untuk dijagokan dalam lomba bertaraf nasional, bersaing dengan ribuan bahkan jutaan remaja lain yang sama-sama punya bakat di dunia fotografi.
Namun, tentu saja, Niki mendesaknya untuk ikut mendaftar. Belum lama ini, dia melihat selembar flyer yang mengiklankan lomba ini di mading sekolah, dan dengan persuasif diajaknya Annalise ikut. Hampir separuh siswa  dari  grup ekstrakulikuler fotografi di sekolah mereka akan berpartisipasi, katanya, dan tidak ada alasan bagi  Annalise untuk menolak ikut. Annalise sengaja mengulur-ulur waktu hingga waktunya dekat, berharap mereka akan melupakannya. Namun, Nata, dengan netral sempat berkata padanya, “Kalau lo merasa terbebani untuk ikutan, lebih baik gak usah, daripada terpaksa. Tapi, menurut gue,  foto-foto lo nggak kalah dengan milik fotografer andal, dan lo harus percaya pada kemampuan lo sendiri.”
Akhirnya, Annalise pun memutuskan untuk ikut. Hanya saja, hingga sekarang dia masih belum bisa memilih foto mana yang akan diikutsertakannya dalam lomba. Tema  lokalitas adalah subjek yang tricky baginya, karena fotonya harus mencerminkan kepribadian bangsa dan kultur negara, tetapi juga harus memiliki sisi emosional yang mampu menangkap perhatian para juri. Karena itulah mereka bertiga kini mengobok-obok seluruh isi lemari foto Annalise, mencoba menemukan sebuah shot yuang sempurna, sekaligus memikirkan objek yang menarik untu dijadikan fokus utama.
“Kalau candi-candi atau kerajinan tangan gimana?” Niki mengusulkan, keningnya berkerut selagi  ia membuka album demi almbum foto lama milik Annalise. “Misalnya batik, tanah liat, kendi atau anyaman.”
“Terlalu biasa,” Nata berkomentar singkat dari  sudut ruangan, berkutat dengan rol flm lama yang disimpan dalam kotak. “Pasti banyak banget karya  serupa, nanti jadi kurang menonjol.”
“Kalau pemandangan alam?” Niki melempar ide lagi, kali ini mengangkat beberapa tumpuk foto sekaligus dan mengaduk-aduknya di lantai.
“Biasa juga,  kecuali ada fenomena yang fantastis.” Sahut Nata.
Annalise tidak terlalu memperhatikan, sedang sibuk menyortir foto-foto hitam putih yang dulu sempat menjadi obsesi eksperimennya bertahun-tahun lalu.
“Sawah dan pedesaan?” Niki memutar otak lagi,  berusaha keras untuk memikirkan sebuah tema yang unik. “Perkampungan kan sekarang sudah lebih maju, tapi kita bisa menampilkan sisi modern sekaligus tradisional yang gak ditemukan di kota.”
“Lumayan sih. Tapi takutnya banyak peserta lain yang memikirkan ide yang sama.”
Niki mengerut. “Semua ideku nggak ada yang kamu anggap bagus.”
Nata terSarah. “Habisnya kita butuh sesuatu yang bener-bener ‘beda’, yang bisa bikin orang tertegun dalam sekali  lihat.”
“Iya juga,  sih.” Niki setuju, lalu memasukkan hasil sortirannya ke dalam sebuah folder plastik. Ia beralih ke sebuah kotak sepatu tua yang cukup ringan dan tersembunyi di balik  lemari, lalu membuka tutupnya perlahan. Isinya adalah puluhan lembar foto dengan fokus sebuah siluet wajah, dan beberapa benda lainnya. Penasaran, Niki menumpahkan seluruh isinya ke dalam pangkuan dan mulai menelitinya.
Wajah Nata memenuhi setiap lembaran foto. Ada foto mereka semasa pentas seni catur wulan lalu, foto Nata ketika sedang memegang gitar dan menulis tangga lagu  di buku tulisnya, figurnya dari  kejauhan saat lomba basket sedang berlangsung, Nata yang sedang tertidur di kelas,  juga Nata yang sedang duduk di atas trampolin, beberapa menit sebelum matahari terbenam. Niki menahan napas, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian saat foto-foto itu diambil tanpa sepengetahuan mereka karena hampir di setiap foto, Nata sepertinya tidak sadar sedang dipotret dan tidak melihat langsung ke arah lensa.
Niki melarikan ujung jarinya memutari garis  wajah Nata di atas foto, memperhatikan dalam-dalam tegas raut matanya, tulang pipinya yang tinggi, dan hidungnya yang sedikit mancung. Kedua ujung bibirnya yang tipis, sedikit melengkung ke bawah ketika tidak sedang tersenyum. Ikal rambutnya yang halus melingkari wajah, lalu bentuk telinganya yang lebar dan berdaun keras. Apakah Annalise mengambil foto-foto ini untuk mengambil detail yang sama? Apakah...
“Gimana kalo  Pecinan? Foto pasar malam dan wihara di daerah kota pasti mernarik, ya kan?” Tiba-tiba Nata berseru, mengganggu konsentrasi Niki sehingga gadis itu menjatuhkan foto-foto di tangannya. Secara otomatis Annalise mendongak, dan begitu melihat apa yang ada di pangkuan Niki, wajahnya memucat.
“Ah, iya, ide kamu bagus juga...,” Niki menjawab, mencoba mengumpulkan kembali barang-barang pribadi milik Annalise yang tidak seharusnya dilihatnya.
“Lagi lihat apa,  sih?” Nata yang kebosanan bangkit dan menjulurkan kepala untuk melihat foto-foto yang masih berserakan di sekitar Niki. Gerakan ini membuat Niki gugup, dan Nata semakin curiga. Ia tertegun ketika melihat apa yang ada di sana.
Annalise pun tampak salah tingkah. “Itu....”
Nata segera mengerti. Ia mencari-cari kebenaran di wajah Annalise, ingin mengetahui apa tebakannya tidak salah, tetapi Annalise menghindari tatapannya dan malah berlari keluar dari  ruangan.
“Anna...?” Niki yang kebingungan segera berdiri, lalu memandang Nata dengan raut bersalah. “Maaf, aku nggak sengaja....”
Nata menghela napas. Dia membungkuk untuk membereskan foto-foto yang berantakan di atas lantai. Apakah Annalise menyukainya? Ia tidak pernah menyangka, karena selama ini Annalise selalu bersikap netral di hadapannya, bahkan lebih sering menjadi tempat curhatnya mengenai Niki.
Dia memandang lekat-lekat wajahnya dalam foto—wajah yang sama  sekali  tidak menyadari apa-apa.

***

W i sh # 3 3 : t i dak  me l ukai  p e r asaan Anna (Nat a)

Niki berdiri dengan serbasalah di antara hamparan foto-fotoyang seharusnya tidak pernah dilihatnya, sedangkan Nata menuruni tangga untuk mencari Annalise. Gadis  itu sedang terpaku di balik  pantry dapur, dengan posisi membelakanginya. Kedua bahu itu tampak rapuh. Bahasa tubuh Annalise membuatnya tidak berjalan kian dekat.
“Ann,” Nata memanggil lembut, “foto-foto itu...” Dia tidak bisa menyelesaikan pertanyaan itu, takut salah bicara.
Annalise memejamkan mata, merasa malu pada dirinya sendiri. Jika selamanya dia bisa bersahabat dengan Nata, dia tidak akan pernah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada pemuda itu. Sebisa mungkin dia berusaha menghindari kejadian seperti ini, saat mereka berdua akan berubah canggung dan melupakan kedekatan mereka ketika sedang berteman. mungkin dia memang munafik—ketika Nata tidak ingin berkata jujur pada Niki mengenai cintanya karena alasan yang sama  dia justru menasihatinya untuk tidak berbuat demikian. Sedangkan dia sendiri dengan pengecut menyembunyikan perasaannya baik-baik. Tapi salahkah, bodohkah, jika dia hanya berharap Nata ada di sampingnya dan cukup puas dengan diam-diam menyayanginya?


Masih dengan membelakangi Nata, Annalise menarik napas pajang. Kini mungkin yang terbaik adalah mengatakan yang sebenarnya. “Gue....,”
Asilla berbalik dan tersenyum, kali ini lebih pasti dari  sebelumnya. “Aku sayang kamu, Nat.”
Nata tidak jadi menyelesaikan kalimatnya, terdiam dan menganga setelah pernyataan simpel itu keluar dari  mulut Annalise.
“Maaf kalau aku membuat kamu merasa nggak nyaman. ” Annalise meregangkan pegangannya pada gelas  di tangannya, yang tanpa terasa sudah menyisakan bekas di kulit. “Kamu nggak usah bilang apa-apa. Aku nggak butuh jawaban, karena aku lebih suka kita berteman seperti biasa.  Bisa, kan?”
Nata mengangguk, senyumnya perlahan mengembang. Annalise lega melihatnya. “Ini pertama kalinya ada cewek yang nembak gue  langsung seperti ini. I appreciat that, Anna, karena lo jujur sama  gue.”
Annalise membalas senyuman, walau matanya berkaca-kaca untuk sebuah penolakan yang tidak terucapkan, namun sudah diketahuinya dengan jelas. “Kamu berhak tahu yang sebenarnya.”
“Friends?”
Annalise mengulurkan tangannya untuk menyetujui janji itu, tapi Nata mendekat dan membuat gestur seakan sedang memeluknya. Annalise menegang ketika kulit mereka bersentuhan ringan, lalu ia menyandarkan kepalanya pada bahu Nata dan membiarkan pundaknya ditepuk lembut, canggung, tetapi bersahabat. Nata memang tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaannya barusan, tapi pelukannya yang kikuk sudah cukup untuk mengenyahkan ketidaknyamanan di antara mereka.
Tidak  perlu ada penjelasan. Tidak  perlu ada kata maaf.  Baik Nata maupun Annalise sama-sama mengerti.

***

W i sh # 3 4 : t e l l i ng t he t r ut h (Annal i se )

Niki sudah membereskan sebagian foto-foto milik Annalise dan mengembalikannya ke tempat semula . ia menunggu dengan gelisah, merasa bersalah karena telah menguak sebuah rahasia yang mungkin tidak ingin Annalise ungkapkan kepada siapa pun—terutama pada Nata.
Apakah Annalise pernah diam-diam mengikuti gerak-gerik Nata dengan ekor matanya ketika mereka berbicara? Sudah sejak  kapan ia memendam perasaan itu, dan bagaimana mungkin Niki tidak pernah menyadarinya?
Ketika Annalise kembali, Niki menyerahkan kotak foto itu dengan ragu-ragu. Ia menunggu reaksi marah, tapi dia hanya melihat senyum di wajah Annalise.
“Kamu nggak marah?” Niki bertanya takut-takut.
Annalise tertawa geli melihatnya. “Kenapa harus marah?” “Karena gara-gara aku,  rahasia kamu jadi ketahuan.”
“Karena kalau bukan karena kamu, mungkin aku nggak akan pernah jujur sama kalian berdua.”
Niki tersenyum, nadanya berubah menggoda. “Ternyata, kamu beneran suka sama  Nata. Sejak kapan?”
Pipi Annalise memerah malu. “Sejak pertama kali masuk sekolah, mungkin,” ia mengakui.
“Apa sih yang kamu suka dari  Nata?” Niki berjongkok di samping Annalise, raut wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Dia kan jutek, nyolot, dan sok dewasa. Sikapnya aja yang keliatan cool,  tapi sebenernya dia kayak  anak kecil.”
Annalise tersenyum. “Justru hal itu yang bikin Nata menarik. Hal-hal kecil  kayak kebiasaannya ngomel panjang-pendek kalau ngerasa direpotin walau akhirnya dia lakukan juga.  Sering kali Nata terkesan cuek, padahal dia sebenernya peduli.”
Niki ikut tersenyum dan menyandarakan kepala di bahu Annalise ketika mereka berdua duduk sambil memandang foto-foto yang berhamburan di atas karpet. “Nata memang sejak  kecil  begitu.”
Selamanya aku nggak akan bisa mengenal Nata seperti kamu mengenal dia, Ki.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita-cerita kalau kamu suka sama  Nata? Seenggaknya kan aku bisa jadi mak comblang yang baik untuk kedua sahabatku.”
Karena aku udah tahu perasaan Nata yang sesungguhnya.
“Oh ya, terus tadi Nata bilang apa?”
Dia nggak bilang apa-apa. Aku tahu dia hanya sayang kamu, dan hanya kamu.
Annalise tidak bisa dengan jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan Niki tersebut, karena dia mengerti ada beberapa hal yang harus Nata ucapkan sendiri pada Niki, dan dia tidak berhak menyampaikannya untuk Nata. Jadi, ia pun berujar bijak, “Aku cukup senang kita bisa berteman. Begitu juga dengan Nata.”
Tapi, aku iri, Ki. Iri sekali  sama  kamu. Pikiranitu lepas tanpa bisa ditekan. Niki mengangguk seakan bisa membaca pikirannya, lalu meremas pundak
sahabatnya pelan sebagai bentuk simpati. Annalise merasakan kulit Niki yang
hangat, merasa begitu dekat dengan kedua sahabatnya sekaligus. Dia tahu, jika harus memilih antara Nata dan persahabatan mereka bertiga, Annalise tidak akan pernah ragu, menentukan pilihannya.


***

Sebelum memulai latihan hari ini, Niki menemukan sebuah pesan singkat Oliver dalam handphone-nnya. Ia tersenyum saat membacanya.
Ntar selesai latihan, kita pergi ke FX, ya. Ada surprise untuk kamu. Miss you.
“Pasti Oliver.” Linny menyikutnya sambil menggoda. “Cie... yang lagi dimabuk cinta....”
“Ah, kamu  sama  Dayat juga kayak  gitu, malah sampai ninggalin voice mail yang isinya bunyi-bunyi ciuman semua....” Mereka tergelak.
“Ngomong-ngomong tentang Oliver,  kemarin gue  ketemu dia lho,” Helena tiba-tiba berkata. “Ternyata bokap gue  kenal deket sama  bokapnya dia. Jadi daripada gue  nggak kenal siapa-siapa di acara yang isinya orang tua semua, kita ngobrol semalaman.”
Mereka berbaris sembari melakukan pemanasan ringan di tepi lapangan. Niki ingat semalam Oliver  memang sempat mengatakan bahwa dia harus menghadiri acara keluarga.
“Dia cerita tentang bisnis perhotelan keluarganya. Sejak kecil  dia sering ikut papanya travelling keluar negeri, belajar tentang perhotelan dan seluk-beluknya. Gue  nggak nyangka, ternyata dia udah pernah ke Afrika, Mesir, Ukrania, sampe Bhutan segala. Bokap gue  bilang, keluarga Damanik bener-bener tajir, termasuk salah satu keluarga terkaya di Asia versi  majalah Forbes.”
Niki mengangguk, tidak tahu bagaimana harus menanggapi karena dia tidak tahu—menahu tentang Oliver.
“Terus,  rumahnya luas banget, sampai ada satu ruangan khusus untuk memamerkan lukisan antik punya nyokapnya. Sekali  lihat juga tahu harganya ratusan juta rupiah. Selain itu, ternyata Oliver  juga bisa golf. Kemarin gue  nyoba main mini golf di sana.”
“Serius, denger cerita Helen bikin gue  tambah naksir sama  Oliver.  Lo beruntung banget, Ki, dapet calon suami kayak  dia,” Sara meledek lagi, “udah ganteng, kaya, romantis... Kalo udah nggak mau, dilempar buat gue  ya.”
“Huuu..!” Yang lain berseru dengan heboh, sedangkan Niki hanya tersenyum setengah hati untuk membalas candaan itu.
Jenis hal-hal lain yang dibicarakannya dengan Oliver  seperti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan percakapan Helena barusan. Begitu banyak yang tidak diketahuinya mengenai Oliver,  sedangkan dia ingin mengenal cowok itu luar-dalam. Bahkan, dia belum pernah dikenalkan kepada kedua orang tua Oliver,  juga menginjakkan kaki di rumahnya.
Niki menggigit bibir, tiba-tiba merasa kesal  saat menyadari perasaannya. Dia cemburu.

***

MIL AN

Sore  itu, ketika Annalise memasuki rumahnya sepulang sekolah, sayup-sayup didengarnya argumen dari  arah patio. Dia mengenali suara Tante Nadja  yang bernada kesal.
“Bukannya kamu baru beberapa minggu pulang? Kali ini, mau pergi untuk berapa lama lagi, tiga bulan? Lima bulan?”
“Jangan sarkastis begitu, Nad. Kamu,  kan, tahu aku bukannya pergi untuk senang-senang. “Suara  Mama yang membalasnya terdengar defensif. “Butikku akan buka cabang di sana, dan ada proyek baru yang harus kuselesaikan.”
“Aku tahu, tapi kamu, nggak bisa terlalu sering dinas ke luar  negeri. Bagaimana dengan Annalise? Waktu itu, kamu bahkan lupa hari ulang tahunnya.”
“When are  you  going to forgive me about that? Aku sudah bilang nggak sengaja. Lagi pula, bukankah waktu itu aku kirim hadiah untuk Anna?”
Hening. Tidak  lama kemudian, ia mendengar tantenya menghela napas. “Hadiah itu nggak sama  dengan kehadiran kamu, Vidia. Kamu  bukan hanya seorang fashion designer dan model, tapi juga seorang ibu. Annalise butuh kamu.”
Argumen itu berlanjut, tapi Annalise tidak ingin lagi mendengarkan. Dia meninggalkan tempatnya bersembunyi dan beralih ke kamar. Kado  ulang tahun dari  Mama masih tersimpan di dalam lemari.Annalise tidak pernah membukanya, sebagian besar karena ia tahu apa yang ada di dalamnya hanya akan membuatnya semakin sedih.
Dalam hitungan hari, Mama akan mengepak koper, lalu mengecup pipinya sebelum mengucapkan selamat tinggal.
Terkadang, Annalise takut Mama tidak akan kembali lagi.
Terkadang, ia takut ia akan berhenti membutuhkan Mama. Atau Mama yang berhenti membutuhkannya.

***


Annalise berjingkat ke arah kamar Mama, mendorong sedikit pintunya hingga terbuka. Perlahan, Annalise menyibakkan selimut dan berbaring di samping Mama. Sudah lama sekali  sejak  mereka tidur bersama, padahal waktu kecil  dulu dia sering memanjat ranjang orang tuanya di tengah malam.
Tanpa disangkanya, Mama belum tertidur. Beliau  berbalik sehingga mereka berdua saling berrhadapan, lalu mengusap sehelai rambut yang menutupi mata Annalise dan menyibakkannya di balik  telinga, sesuatu yang selalu dilakukannya sejak  Annalise kecil.
“Mama akan pergi lagi,, kan? Suara Annalise tidak lebih dari  sebuah bisikan. Ia ingin mendengar sendiri kalimat tersebut dari  mulut Mama, ingin mempersiapkan diri sebelum kepergian Mama kali ini.
Tapi, Mama tersenyum. Senyumnya terlihat misterius dalam kegelapan, seakan menyimpan sebuah rahasia. “Milan. And you’re coming with me, Honey.”


***

Annalise punya sebuah ritual sebelum tidur—minum segelas susu hangat dengan taburan bubuk sokelat dan marshmallows di atasnya. Kebiasannya ini bermula sejak  ia sulit tidur setiap kali Mama tidak ada di rumah.
Malam ini, ia kembali tidak bisa tidur. Annalise menemukan tantenya di dapur, sedang duduk sendirian dengan secangkir kopi,  berkas-berkas pekerjaan tersebar di atas meja.  Kacamatanya bergantung di ujung hidung, meninggalkan jejak tanda sudah lama bertengger di sana.
Tante Nadja  adalah adik  bungsu ibunya, satu-satuna kerabat keluarga mereka di jakarta. Beliau  adalah arsitek yang memiliki studio kerja  sendiri di rumah. Usianya hampir empat puluh tahun, dan memilih untuk tetap melajang. Berbeda dengan kakaknya, Tante Nadja  berpenampilan bersahaja, berambut pendek dan tak pernah merias diri. Sifatnya tegas, menyerupai seorang anak tertua yang mandiri walau sebenarnya beliau adalah anak bungsu. Ketika Annalise kembali ke Jakarta, Tante Nadja  menawarkan diri untuk tinggal bersama mereka dan membawa bisnis kecilnya yang cukup sukses ke rumah itu.
Beliau  mendongak ketika melihat Annalise, lalu menarik bangku—sebuah undangan untuk bergabung.
“Nggak bisa tidur?”
Annalise mengiyakan. “Mau cerita?”
Tantenya selalu bertanya demikian saat AAnn tampak muram. Beliau  adalah teman curhat yang setia, baik saat ia mendapat nilai ulangan yang jelek  di sekolah, atau saat hal-hal menyenangkan terjadi. Tante Nadja  adalah salah satu orang dewasa favoritnya, seseorang yang selalu mendengarkan dengan sabar dan memiliki nasihat bijak.
Annalise menggigit bibir. “Kami akan pindah lagi dari  sini. Tante juga udah tahu, kan.”
Tantenya mengangguk. “Gimana pendapat kamu tentang kepindahan ini?” Annalise mengangkat bahu. Kemungkinan besar, Mama akan tetap sibuk seperti dulu. Mereka akan teruus berpindah-pindah dari  kota ke kota mengikuti tuntutan pekerjaan Mama. Dia akan keluar masuk sekolah baru, berulang-ulang merangka kehidupan baru sedangkan ia bergerak lambat untuk menyesuaikan diri. Tapi, dia ingin memastikan satu hal tidak akan pernah berubah—Annalise dan Mama, satu kubu yang selalu saling mendampingi.
“Kukira kami  akan tinggal lebih lama di sini,” Annalise mengaku. Seharusnya, dia tahu kepindahan mereka ke Jakarta juga tidak permanen. Seharusnya, dia tidak usah bersusah-payah mengikuti banyak aktivitas sekolah, tidak perlu repot berpartisipasi dalam sayembara fotografi, toh dia tidak akan ada di sini untuk melihat pengumuman pemenangnya.
“Tapi, kepindahan kamu ke sini ada baiknya juga,  kan.” Tante Nadja mengingatkan, “kamu jadi ketemu Niki dan Nata.”
Annalise tercenung. Tantenya benar. Kedua sahabatnya adalah alasan terbesar dia ingin tetap tinggal. Dia dapat melihat kesedihan yang membayangi raut wajah mereka ketika dia mengabari perihal kepindahannya. Niki bilang, mereka harus menghabiskan hari-hari terakhir Annalise di Jakarta sebaik mungkin, menciptakan banyak kenangan. Kalimat itu membuatnya sedih.
“Jadi keputusan kamu udah bulat, untuk ikut ke Milan dengan Mama?” Pertanyaan itu mengejutkan Annalise, dan untuk sesaat ia terdiam. Kepindahan ini adalah sepenuhnya keputusan Mama, tapi mengatakan tidak tak pernah terlintas dalam pikirannya.
“Segala sesuatu tentang hidup adalah sebuah pilihan, Anna. Bukannya Tante meminta kamu untuk melawan mamamu atau bebas melakukan apa pun yang kamu mau, tapi kadang kita harus berani memilih dan mempertahankan apa yang kita inginkan. Mama banting tulang demi keluarga dan pekerjaan yang dicintainya, kamu pun harus berjuang untuk apa yang penting bagi  kamu.”
Annalise mengerti, tapi bagaimana jika keduanya adalah hal yang sama-sama berarti baginya?

***

W i sh # 3 5 : Annal i se  t e t ap  t i nggal (Ni ki dan Nat a)

Niki merapikan terusan yang dipilihnyauntuk acara farewell party kecil-kecilan milih Annalise, menatap Nata yang mengenakan kemeja kotak-kotak senada. Hitam.
“Kok, kita seperti mau menghadiri pemakaman ya?” Niki mengeluh, membiarkan Nata membawakan hadian yang nantinya akan diserahkan kepada Annalise. Minggu depan  sahabat mereka itu akan bertolak ke Milan. Barang-barang di rumahnya sudah dipak, surat transfer sekolah sudah diurus dan tiket sudah dibeli, difinalisasikan oleh sebuah acara untuk mengucapkan selamat tinggal yang dihadiri oleh teman-teman sekelas mereka dan beberapa teman Annalise dari  klub fotografi.
“Orang dewasa itu egois ya, Nat?” Niki berkata, memeluk pinggang Nata selagi pemuda itu memboncengnya dengan sepeda. “Mereka selalu bebas ngelakuin apa aja yang mereka suka,  tanpa mikirin perasaan orang lain.”
“Nggak semua orang dewasa kayak  begitu,” tegur Nata.
Niki terdiam. “Menurut kamu, Anna bener-bener mau pindah ke Milan atau Cuma karena terpaksa, ya?”
“Terpaksa? Bukannya Anna sendiri yang milih untuk ikut ke sana?”
Niki menggeleng, napasnya hangat di tengkuk Nata. “Aku selalu ngerasa Anna sebenernya enggak mau pergi dari  ini. Tapi, karena satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang Cuma mamanya, Anna berusaha mempertahankan hubungan itu sebisa mungkin. Masuk akal, nggak?” “Tumben omongan lo tepat sasaran.”
“Hehehe.” Niki terSarah ketika dipuji, tapi segera berubah serius lagi. “Kesimpulannya, Anna mungkin ‘terpaksa’ setuju untuk ikut ke Milan supaya dia nggak kehilangan mamanya.”
“Mungkin juga.” Nata berkomentar.
“Kalau ternyata emang begitu, kita harus gimana dong?” Niki dengan panik mencengkeram ujung kaus Nata.
“Apanya yang gimana? Anna udah akan berangkat minggu depan, dan tugas kita itu mengantar dan ngucapin selamat tinggal, supaya dia nggak merasa terbebani dan malah tambah sedih.”
“Nata gimana sih?! Kita harusnya ngebantuin dia supaya nggak nyesel!”
Nata memperlambat kayuhan sepedanya dan berusaha menjelaskan sesabar mungkin. Dia tahu sulit mengubah apa-apa jika Niki sedang keras kepala mempertahankan pendapatnya seperti ini. “Anna pasti punya alasan sendiri buat pergi dari  sini. Mendingan kita dukung aja apa yang dia pilih bukannya bikin kacau. Lagian....”
“Kamu pasti mau bilang lebih baik jangan ikut campur masalah orang lain, kan?” Niki menyela.”Kita mungkin nggak akan bisa ketemu Anna lagi, lho. Gimana kalau setelah tiba di sana, ternyata Anna nggak bahagia? Dia pasti akan terus pindah-indah tempat tinggal kayak  dulu, sendirian di rumah tanpa orang tua, dan kita nggak bisa ada di sana buat nemenin dia.”
Nata menggeleng dan berhenti untuk menjitak ringan pelipis gadis itu. “Dasar keras kepala.”
“Kamu mau Anna begitu?” desak Niki sekali  lagi.
“Enggak!” Nata akhirnya menjawab. “Iya, iya, gue  ngerti maksud lo.”
Raut Niki semakin muram. “Sekarang, kita Cuma butuh cara  supaya Anna nggak jadi pergi.”

***

Pesta kecil  itu berlangsung di patio samping kolam renang, sebuah pesta barbecue sederhana yang dihadiri oleh beberapa teman dekat Annalise dan mamanya di Jakarta. Aroma daging bakar menyulut selera Niki, tapi dia bergegas untuk menemukan Annalise sebelum perutnya memberontak dan menggodanya untuk mencicipi sepotong scampi.
Mereka menemukan Annalise di salah satu kursi panjang di tepi kolam, mengenakan pakaian hitam seperti Nata dan Niki. Niki tersenyum geli melihatnya, hal ini membuatnya merasa seakan-akan mereka punya kemampuan telepati.
“Ini buat kamu.” Disodorkannya sebuah korak yang sudah dibungkus kertas kado pink. “Hasilnya jelek,  tapi kuharap kamu suka.”
Isinya adalah sebuah album foto dengan hasil jepretan Niki selama belajar memotret. Dia sama  sekali  tidak punya bakat di bidang itu; hampir seluruh hasil fotonya terpotong, entah objeknya tanpa kepala atau anggota tubuh, dan beberapa buram karena dia tidak mampu menahan napas ketika memencet shutter. Annalise tertawa melihat foto-foto mereka bertiga diambil secara ngawur dengan kemampuan memotret yang pas-pasan.
“Kalau nggak bisa jadi kenangan yang mengharukan, lumayanlah bisa bikin kamu ketawa.” Niki melanjutkan, dan Annalise berhenti tertawa. “Ann, kita Cuma pengen tau satu hal. Kamu  bener-bener mau pergi?”
“Maksudnya?” Annalise terlihat bingung.
“Apa kamu bener-bener yakin mau pergi dari  sini, atau kamu memutuskannya karena hal yang lain?”
Annalise terlihat serbasalah. Tante Nadja  pernah menanyakannya, dan saat itu ia tidak mampu menjawab. Kini, ketika disudutkan oleh pertanyaan sederhana yang sama,  dia kembali tidak dapat menemukan jawabannya.
“Gue dan Niki ngedukung lo. Tapi, kita nggak bisa diem aja kalu  nantinya lo akan menyesal.”
Annalise mendongak untuk menatap Nata. Air mata memenuhi pelupuk matanya, dan ia mengangguk.
Niki menggenggam kedua tangannya yang bergetar, lalu berujar dalam suara pelan. “Kita ngerti, kok, kenapa kamu ngerasa harus pergi. Tapi Anna, kamu kan nggak bisa terus diam....  Kamu  harus ngomong apa yang sejujurnya kamu rasain, walaupun itu mungkin menyakitkan.”
Annalise merasa air matanya mulai mengaliri wajahnya, terharu mendengar Niki berkata begitu. Belum sempat dia berkata apa-apa, mereka berdua mendengar bunyi gelas  champagne diketuk dengan sendok perak, tanda tamu harus berkumpul.
Vidia Rossa  berdiri di hadapan para tamu, terlihat anggun dan mewah dengan gaun selutut bertali spageti, warna kuning gadingnya terlihat begitu serasi dengan kulitnya yang putih. Rambut kecokelatannya yang diberi sentuhan burgundy ditata dalam bentuk French braid yang membesona.
“I thank everyone for coming today. It will be a great loss leaDhang such good friends. But rest assured, good friends remain forever. We wiil always have you in our hearts.”
Seluruh tamu mengangkat gelas  mereka untuk toast, tetapi Nata, Niki, dan Annalise tetap berada dalam posisi yang sama,  duduk berdampingan dengan tangan mereka saling bertaut erat.

***
Nata dan Niki tetap tinggal hingga pesta selesai. Tamu-tamu sudah beranjak pulang, pelayang dari  perusahaan catering sedang mengangkat piring dan gelas kotor, dan musik sudah berhenti bermain.
Niki baru saja keluar dari  kamar kecil  ketika ia menemukan Vidia Rossa  sedang berdiri di salah satu balkon yang menghadap kolam renang, tampak sedang mengamati kekosongan di tempat pesta barusan. Dari belakang, entah mengapa Niki merasa perempuan itu terlihat kesepian, dengan bahu yang terlihat ringkih, ikal rambut yang terlepas dari  tatanannya terurai lembut di leher. Dan, Niki merasa sedih, mengetahui bahwa Annalise tetap memutuskan untuk pergi, untuk melindungi perempuan ini. Demi  keluarga kecilnya.
Ketika Vidia Rossa  berbalik, ia sedikit terkesiap melihat Niki sedang berdiri di belakangnya. Seketika, Niki kehilangan kemampuan berbicara. Setiap kali melihat idolanya live seperti ini, dia akan berubahspeechless dan otaknya kosong. Vidia Rossa  memang sangat cantik, bulu matanya lentik, kulitnya sempurna... tapi apakah dia juga merasa kesepian?
“You’re on of Anna’s friends, right? Oki?”
Niki tergagap ketika ditodong begitu. Ia hanya dapat mengangguk kaku. Setelah menelan ludah dengan susah payah, ia menemukan kembali suaranya. “Maaf, Tante..”
Seulas senyum kembali merekah di wajah Vidia Rossa.  “I told you  to just call me Vidia, didn’t I?”
Sangat janggal memanggil ibu temannya dengan nama depan saja. Sesaat, Niki merasa blank lagi, tapi sebelum Vidia Rossa  beranjak pergi, ia segera menyambung, “Ummm.... apakah Tante tahu Anna sangat suka memotret?”
Vidia Rossa  tampak bingung. Niki merasa seperti orang bodoh yang mengoceh tak jelas.
“Tante tahu karyanya dipajang di galeri sekolah waktu pentas seni? Salah satu fotonya adalah foto Tante saat melukis, itu foto favoritnya. Dan, apa Tante tahu, Anna paling suka memotret objek yang bergerak? Kata guru seni, karyanya pantas dimasukkan dalam sayembara.”
Niki mengumpulkan keberaniannya dan melanjutkan, “Waktu pertama kali kami ketemu, Anna sama-sekali nggak pernah bicara mengenai Tante. Teman-teman nganggep dia sombong karena kami  nggak pernah diajak ke rumahnya. Dia nggak punya teman dan nggak terbuka walau kami  coba berteman dengannya. Di ulang tahun Anna yang ketujuh belas, kami  nunggu Tante di bandara sampai malam. Anna memang nggak pernah bilang apa-apa, tapi kami  tahu... dia sebenarnya kesepian.”
Vidia Rossa  tercengang, dan seketika Niki berhenti, takut kata-katanya terlalu lancang. “Maaf.” Ia segera meminta maaf,  tapi tiba-tiba saja Nata muncul di sisinya, lalu menggenggam sebelah tangannya dan meremasnya lembut.
“Maaf, kami  memang nggak pantas bicara begini,” ia menggantikan Niki bicara, “tapi Anna sahabat kami,  dan kami  Cuma ingin yang terbaik buat dia. Anna selalu membanggakan Tante, dan berusaha bikin Tante senang, sampai kadang-kadang menyembunyikan perasaannya sendiri. Begitu juga mengenai kepindahannya ke Milan.”
Mereka terdiam, melihat Vidia Rossa  memandang mereka dengan asing, seakan kata-kata mereka barusan tidak terdengar. Lalu, beliau meletakkan gelas  wine kosong di atas meja,  meninggalkan balkon itu hingga hanhya suara hak sepatunya yang terdengar, suara paling sepi  yang pernah mereka dengar.

***

Vidia Rossa  mendorong pintu kamar anaknya hingga terbuka, lalu melepaskan kedua sepatu pestanya dan berjalan masuk, merasakan sejuk karpet di bawah telapak kakinya. Cahaya bulan sangat terang, merambah masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Dia tidak ingin menyalakan lampu.
Perlahan, ia memandang seisi kamar itu. Kepalanya terasa kosong, tetapi hatinya berat. Suara anak-anak yang barusan mendatanginya untuk berbicara mengenai Annalise mengganggu pikirannya.
Dia tidak mengenali isi kamar ini. Dia jarang berada di dalamnya, juga tidak mengenali barang-barang yang ada di sana dengan baik. Apakah itu berarti ia juga tidak mengenal pemiliknya—anaknya sendiri, dengan baik?
Foto-foto bertebaran di mana-mana. Dia tahu Annalise suka memotret, tapi dia tidak pernah benar-benar memperhatikan hasilnya. Dia tidak tahu Annalise mengikuti sayembara, mengikuti pameran sekolah, memasang potretnya di penjuru kamarnya—di dalam bingkai di atas meja  belajar, tergantung di dinding, ditempel di papan kecil  dekat tempat tidurnya, bersama dengan foto-foto masa  kecilnya bersama mantan suaminya, juga foto-foto sahabatnya.
Ia tersandung sebuah album foto besar di kaki tempat tidur. Vidia Rossa berjongkok untuk mengambilnya dan meletakkannya di atas meja  belajar Annalise, tetapi berhenti. Cover depan album tersebut bertuliskan namanya, juga tahun-tahun yang menandakan usia kariernya.
Halaman pertama berisi potongan kliping wawancaranya. Halaman-halaman selanjutnya berisi fotonya di media. Beberapa berupa print out dari  internet. Vidia Rossa  tidak mampu melihat dengan jelas dalam kegelapan, tapi dia tahu isi album tersebut adalah esensi dirinya—pekerjaan yang selama ini menjadi hidupnya.
Tagline majalah dicetak besar-besar di setiap halaman.
The next Cindy Crawford.
Life begins at forty: model Vidia Rossa  starts her new fashion line. Vidia Rossa  will stop at nothing.
Dan, di halaman terarkhir, Vidia Rossa  is moDhang to Milan! Majalah tersebut memberitakan kepindahannya ke Milan, serta butik dan pagelaran busana baru yang sedang dipersiapkan untuk launching di sana. Ia tersadar, ia sama  sekali tidak pernah menanyakan pendapat Annalise mengenai kepindahan mereka ke Milan, juga sebelum-sebelumnya ketika mereka harus pindah karena tuntutan pekerjaan.
“Mama?”
Lampu kamar dinyalakan dan segalanya bagaikan hitam putih—terang dan gelap bersatu dalam sepersekian detik, dan Vidia Rossa  mengerti sesuatu. Secara tidak sadar, dia sudah berhenti menjadi seorang ibu lagi bagi  Annalise, dan tidak pernah seharusnya membiarkannya terjadi.

***

Annalise keheranan menemukan Mama di kamarnya, dalam kegelapan. Pesta telah usai  dan ia lelah. Sebenarnya, ia membenci pesta semacam ini,ini membuat segalanya terasa lebih final. Tapi, ia ingin benar-benar mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal kepada teman-temannya sebelum ia pergi.
Wajah mamanya pias, Annalise melihat kliping yang selalu dibuatnya di tangan Mama, dan ia mengerti. Seperti katat Tante Nadja,  dia harus berani membuat pilihan. Seperti kata Niki, dia harus berani mengungkapkan perasaannya. Ia menggeleng, perlahan mengambil satu langkah ke belakang dan berbalik. Menghindar, bersembunyi, menurut, seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Tapi, ia melihat tantenya berdiri di ambang pintu, tersenyum untuk memberikan kekuatan sebelum beranjak pergi untuk meninggalkan mereka berdua.
“Do you  hate me?”
Pertanyaan Mama membuat Annalise sedih. Terkadang, ia ingin menanyakan hal yang sama  pada Mama—apakah Mama tidak lagi menyukainya, apakah Mama membencinya sehingga lebih sering meninggalkannya.
“No.” Jawabannya lembut, hampir tidak terdengar. “Kadang, aku cukup egois untuk berharap... Mama bisa seperti ibu-ibu lainnya, yang hadir untuk mengambil rapor, datang ke acara-acara sekolah... and just be here. Aku ngerti, punya orangtua yang terkenal berarti harus kompromi dengan jadwal yang ketat, dan aku bangga karena Mama adalah seorang ibu yang patut dibanggakan. It’s just that....” Annalise tahu kalimat selanjutnya akan menyakiti hati Mama, tapi dia harus mengatakannya. “sometimes I really  wish, I can see  more of my mother in person than in those magazines covers.”
Sudah. Annalise sudah mengatakan apa yang sebenarnya, perasaan yang selama ini ditutupinya karena tidak ingin melukai dan bertengkar dengan Mama. Dia tidak ingin menjadi seperti Papa  yang menceraikan Mama karena tidak bisa menerima kesibukannya. Dia tidak ingin mengulang kembali pertengkaran otangtuanya yang mempertahankan iVanyalisme dan keinginan masing-masing. Dia tidak ingin ditinggalkan Mama karena tidak bisa menerima Mama apa adanya. Dan, Annalise sangat ingin melindungi Mama, karena dia tahu hanya dirinya yang Mama miliki sekarang.
Pandangan mata Mama yang basah membuatnya tercekat. Apakah Mama marah? Kecewa padanya? Sedih?
Tapi, Mama justru bergerak untuk merengkuhnya lalu menangis di pelukannya.

***

Tiga hari kemudian, Annalise masuk sekolah seperti biasa.  Niki dan Nata mendongak kaget ketika melihatnya di ambang pintu kelas,  tertawa ceria sambil menenteng dua kotak Grodiva truffles sisa pesta kemarin sore. Ini hanya berarti satu hal...
“Aku nggak jadi pindah.”
Niki bersorak heboh, tetapi Nata lebih waspada. “Terus,  Mama kamu tetap akan pergi?”
“Ya, tapi hanya untuk serah-terima pengurusan butik ke asistennya di sana.” Pada  malam seusai pesta, dia dam Mama menghabiskan semalaman mengobrol dan menonton Breakfast on Tiffany’s, kebiasaan yang sudah lama sekali  tidak mereka lakukan. Padahal dulu, ketika Annalise masih SMP, mereka berbagi tempat tidur yang sama,  menonton film klasik  dan mengobrol hingga larut malam. Mama bercerita mengenai kisah-kisah masa  mudanya, sesuatu yang paling suka didengarkannya.
Cerita mengenai Mama dan Papa  adalah salah satu hal yang paling sering Annalise tanyakan pada orangtuanya. Mendengar kisah tentang pertemuan mereka dua puluh tahun yang lalu—di sebuah lokasi  pemotretan di Bali, sangatlah romantis bagi  Annalise. Dulu  papanya juga seorang fotografer paruh waktu, yang kebetulan mendapat kesempatan memotret mamanya untuk halaman depan sebuah majalah bertaraf internasional.
Mereka jatuh cinta dan menikah setahun kemudian, walaupun ditentang oleh keluarga kedua belah pihak. Annalise masih menyimpan foto pernikahan mereka—Papa dalam setelan adat jawa dan Mama dalam kebaya ketat berwarna kuning keemasan, sebuah kombinasi yang kontras melihat garis  wajahnya yang asing. Sewaktu Annalise masih belita, kedua orantuanya mulai sering bertengkar  seiring dengan karier Mama yang mulai menanjak. Ketika mereka bercerai, Mama memboyong Annalise ke London untuk tinggal di sana selama beberapa tahun. Selepas itu, dimulailah kehidupan mereka yang berpindah-pindah.
“Keluarga Mama menentang keputusan Mama untuk jadi model. Juga ketika menikah dengan Papa  dan melahirkan kamu. But you  know, life’s all about choices. Kita tidak akan tahu jika kita tidak berani menuruti kata hati.”
“Mama pernah menyesal?”
Mama menggeleng. “Mama akan lebih menyesal kalau menuruti mereka untuk studi hukum dan menjadi pengacara.”
“Maksudku, Mama pernah menyesal udah menikah dan melahirkan aku?”
Saat itu, Mama terdengar sangat shocked. “Tanpa kamu, Mama akan sendirian menghadapi semuanya, Anna. If there should be one decision I regret, it’s definitely not about you.” Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat saling mendengarkan ritme pernapasan masing-masing. “I’ve always thought I should work my hardest for both of us... I realize too late that it’s actually hurting you. Maaf ya, Sayang.”
Annalise mencaari-cari dalam gelap, meraba wajah Mama dan merasakan kerutan lembut di sudut lengkungan matanya yang terpejam. Perlahan diusapnya air mata tersebut, lalu berkata, “It’s not too late, Ma.”
Dirasakannya Mama tersenyum. “Kedua teman kamu, Nata dan Niki... They are remarkable friends.”
Annalise turut tersenyum. “Yes. They are  remarkable friends.”

**

FUT UR E

Apa artinya sebuah mimpi? Sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang harus dicapai, atau hanya satu fragmen harapan? Apakah semua orang harus memiliki mimpi? Bagaimana jika kita tidak memiliknya?
Menjelang kelulusan SMU, Niki semakin bingung. Setiap orang di sekelilingnya seakan memiliki mimpi yang solid;  Nata dengan musiknya, Annalise dengan fotografi, Helena dengan fashion designer, Oliver  dengan prestasi basketnya, belum lagi teman-temannya yang berusaha menggapai cita-cita setinggi langit—menjadi dokter, penulis, arsitek.... Sementara, dia sendiri bagaikan terperangkap di tengah-tengah.
Teman-teman sekelasnya sudah mulai mendaftar ke berbagai universitas ternama, beberapa bahkan sudah diterima dan bisa menjalani sisa semester dengan tenang. Mereka sepertinya sangat yakin dengan masa  depan mereka. Niki merasa menjadi satu-satunya orang yang tidak punya cita-cita.
“Cita-cita itu apa sih?” Dia sempat bertanya kepada Nata suatu sore, ketika cowok itu sedang asyik memetik gitar. Nata hanya menepuk ringan badan gitarnya, lalu berujar.
“Ini cita-cita gue.” “Mimpi?  Keinginan?”
Nata memikirkannya sejenak, lalu mengangguk. “Obsesi. Sesuatu yang menjadi penuntun hidup.”
“Sejak kapan kamu yakin kalau musik akan jadi cita-cita kamu?” Seulas senyum tipis menghiasi wajah Nata, sesuatu yang hanya terjadi jika Nata membicarakan hal-hal yang disukainya. “Sejak gue  pegang gitar.”
Niki tahu Nata pertama kali menyentuh gitar saat berumur sepuluh tahun. Gitar akustik miliknya adalah pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun. Sejak saat itu, Nata tidak pernah berhenti memainkannya, mulai dari  gerakan kaku bernada sumbang yang berkembang menjadi petikan mantap yang diselingi dengan senandung.
“Ada nggak ya, orang yang nggak tahu cita-citanya apa?” Nata berhenti bermain. “Kayak lo, maksudnya?”
Niki melayangkan cubitan ringan di pinggang sahabatnya. “Ngeliat kalian begitu bersemangat mengejar mimpi, ngedaftar sana-sini untuk mengamankan posisi di jurusan favorit... semuanya bikin aku semakin gamang, Nat. Aku nggak tahu mau jadi apa.”
“Itu tandanya lo udah beranjak dewasa, udah mulai mikirin masa  depan.” “Bukannya orang dewasa tahu jelas mereka mau jadi apa?”
Nata melengos. “Nggak banyak orang yang seratus persen yakin sama  diri mereka sendiri. Justru orang-orang yang serius mikirin itulah yang benar-benar dewasa.” Dipandangnya Niki yang masih tampak bingung, lalu dicubitnya pipi gadis itu dengan gemas. “Mimpi  itu bukan Vanyadline, Ki. Bukan sesuatu yang nggak bisa berubah. Bukan sesuatu yang datang dan pergi begitu aja. Nggak usah terlalu stres mikirinnya.”
“Tapi, kalau nggak ada cita-cita yang jelas, bukannya kita bakal ngerasa hampa ya?”
Nata berpikir sejenak lalu mengangguk. Diulurkannya sebelah tangan untuk mengacak rambut Niki, lalu kembali memainkan gitarnya.
Apa itu mimpi? Apakah semua orang harus memiliki mimpi?

***
C O NFESSIO N

W i sh # 3 6 : p e r sahab at an y ang t i dak  p e r nah b e r ub ah (Ni ki )

Niki meniti tangga dan mendorong pintu kamar Nata hingga terbuka. Ia menemukan kamar tersebut kosong, lalu duduk di tepi tempat tidur untuk menunggu cowok itu pulang.
Seperti biasa,  kamar Nata sangat rapi  untuk ukuran cowok, bahkan lebih bersih dari  kamarnya sendiri. Kamar  itu tidak terlalu besar, didominasi oleh warna tanah—mulai dari  lemari pakaiannya. Beberapa poster band indie yang disukai Nata ditempel di dinding, sedangkan koleksi CD dan kaset kesayangannya diletakkan di pojokkan khusus tempatnya menulis lagu.  Nata sering kali menggubah lagu.  Walaupun dia enggan mempertontonkannya kepada orang lain, dari  beberapa lagu  ciptaannya yang sering disenandungkannya, Niki tahu sahabatnya itu sangat berbakat.
Setelah beberapa saat menunggu dalam diam, Niki mulai tidak sabaran. Ia bangkit menuju meja  belajar Nata, melarikan jemarinya pada koleksi miniatur gitar dan buku-buku yang berjejer rapi  di sana. Sebuah buku bersampul kulit berwarna cokelat yang menyembul dari  deretan kamus menarik perhatiannya. Niki mengenalinya sebagai buku lirik Nata.
Dia membolak-balik halamannya, menemukan goresan lirik dalam tulisan tangan Nata di bawah partitur lagu.  Sepertinya lagu-lagu ini sudah dibuat sejak lama,  dilihat dari  begitu banyaknya coretan di sana-sini, serta guratan pensilk yang memburam dan mengotori halaman. Setiap lirik memiliki catatan pendek, seolah menguraikan apa pun inspirasi Nata saat menulis lagu-lagu tersebut.
Kelulusan SMP—sebelas tahun kami  sekelas dan duduk sebelahan.
Niki tersenyum mengingat masa  kecil  mereka. Dari tahun ke tahun, dia dan Nata memang selalu berbagi kelas  dan tempat duduk. Ternyata Nata sempat menuliskan sebuah lagu  berdasarkan persahabatan mereka.

Gitar listrik pertama—hadiah kelulusan.

Niki ingat saat duduk di kelas  tiga SMP, yang Nata inginkan hanya sebuah gitar listrik baru. Sebagai hadiah dari  orang tuanya atas nilai yang hampir sempurna, Nata akhirnya mendapatkannya pada hari kelulusan.
Rembulan, angin, hujan, dan kamu.
Niki terkikik geli saat membaca beberapa bait yang rasanya terlalu sendu untik diciptakan oleh seorang Nata. Padahal biasanya cowok itu hanya suka pada lagu-lagu yang berlirik tegas yang tidak terkesan cengeng.
Hari  pertama masuk SMU. Pertama kalinya gue  sadar ada yang berubah di antara kita.
Senyum Niki membeku pada wajahnya ketika dia membaca semakin jauh, tidak mengira namanya akan memenuhi sebagian besar halaman buku tersebut, juga tidak menyangka akan menemukan sesuatu mengenai Nata yang tidak seharusnya diketahuinya.
Anna bilang, Niki spesial untuk gue.  Dia benar.
Cowok itu mungkin nggak kenal Niki sebaik gue  kenal dia.
Niki merasa lututnya lemas. Apakah Nata menulis hal ini mengenai dirinya? Ia terus membaca, perasaannya campur aduk.
The day I kissed her. It was sunset
14 Februari—untuk segala sesuatu yang sudah terlambat. Lo nggak tahu... it’s always been you.
Tiba-tiba, Nata masuk ke kamar. Dia terhenyak ketika melihat apa yang ada di tangan Niki, wajahnya memerah saat menarik buku itu dengan satu gerakan kasar.
“Ngapain berantakin barang-barang gue?” Pertanyaan itu terdengar seperti bentakan.
Pandangan Niki tetap pada buku yang kini disorokkan dalam saku celana Nata. Dia tidak tahu harus berkata apa.  “Yang kamu tulis itu....”
Nata menunggu beberapa saat sebelum menjawab, “Yang sebenarnya.”
Keheningan di ruangan itu mulai menyesakkan. Niki menggeleng, mengambil beberapa langkah untuk meninggalkan kamar itu, tapi gerakannya ditahan oleh Nata yang meraih tangannya dan berkata dalam suara rendah yang menyerupai bisikan.
“Gue sayang lo, Ki.”

***

Waktu seakan berhenti. Satu detik, dua detik. Nata tidak sadar ia telah menahan napas. Detak jantungnya terasa lebih kencang dari  biasanya, satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.
Dalam hati, Nata tidak henti-hentinya merutuk diri atas kebodohannya meninggalkan barang-barangnya berserakan di tempat terbuka, melupakan kebiasaan Niki yang suka mengobrak-abrik kamarnya. Dan, kini, dia telah mengucapkannya begitu saja—gue sayang lo, Ki, seakan-akan kata-kata itu adalah penjelasan atas apa yang ditemukan Niki dalam bukunya. Tapi, apa yang harus dikatakannya? Kebohongan lain untuk menutupi perasaannya sendiri?
Niki tidak bergerak sejengkal pun. Nata tidak bisa melihat ekspresi pada wajahnya karena gadis itu memunggunginya. Cengkeramannya pada pergelangan tangan Niki mengerat hingga ia bisa merasakan detak jantung Niki, tidak beraturan seperti miliknya.
“Gue tau ini kedengerannya konyol dan nggak masuk akal, tapi gue  serius.” Masih tidak ada jawaban. Perlahan, pegangannya mengendur putus asa, dan dengan cepat Niki mengibaskan tangannya, lalu menghilang di balik  pintu, menuruni tangga dan meninggalkannya sendirian di sana.
Entah mengapa, saat itu Nata merasa dia sudah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya.

***

Nata menyayanginya? Nata menyayanginya—lebih dari  sekedar teman? Niki tidak bisa menghapus pikiran itu dari  benaknya. Dia berlari meninggalkan rumah Nata tanpa memedulikan pintu yang berdebam tertutup di belakangnya, menyeberangi jalan dan menyusuri pekarangannya rumahnya, lalu bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.
“Kak?” Pintu kamarnya diketuk beberapa kali, ketukan khas Acha. Niki terlonjak sedikit mendengarnya, tapi merasa lega adik  perempuannya ada di sana. Dibukakannya pintu untuk Acha.
“Kenapa, Kak? Kakak nggak apa-apa?”
Niki menggeleng, masih berusaha mengatur napasnya. “Kak Nata ada di bawah tuh, lagi nungguin Kakak.” Mata Niki membulat. “Suruh dia pulang!”
Kening Acha berkerut. “Kakak kenapa, sih? Lagi berantem ya sama  Kak Nata?” “Achaaaa... please jangan bayak tanya. Tolong suruh Nata pulang, ya?”
Sambil menghela napas, Acha menuruni tangga dan kembali lagi dalam hitungan detik. “Sekarang kakak harus cerita ada apa,” tagihnya sambil menghempaskan tubuh di atas tempat tidur Niki.
Niki menggigit bibir dengan rasa bersalah. Diceritakannya kejadian barusan secara singkat. “Terus...  aku pergi begitu aja tanpa bilang apa-apa.”
Giliran Acha yang melotot tidak setuju. “Kakak gimana, sih?”
“Jadi aku harus bilang apa? Terima kasih, tapi aku hanya anggap kamu sahabat? Maaf, tapi tolong jangan bercanda lagi?” Dengan frustasi Niki menarik ujung-ujung kepangannya. “Ugh! Aku jadi sarkastis kayak  Nata!” “Perasaan Kakak ke Kak Nata gimana?”
Niki terdiam dan memandang Acha, sungguh-sungguh mempertimbangkan jawabannya. Sejujurnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Niki sama-sekali belum pernah menolak cowok, apalagi cowok itu adalah sahabatnya sendiri. Barusan Nata terlihat... sungguh-sungguh. Niki tidak tahu jawaban macam apa yang diinginkan Nata darinya.
“Aku, kan, udah punya Oliver,  Cha,” akhirnya ia menjawab, “aku dan Nata murni hanya sahabat.”
“Mungkin saja selama ini Kakak yang nggak pernah sadar kalau Kak Nata punya perasaan khusus untuk Kakak.”
Niki terhenyak. “Jadi aku harus gimana?”
Acha tersenyum sambil memperbaiki tatanan rambut kakaknya yang
acak-acakan. “Kurasa  Kak Nata pasti mengharapkan Kakak untuk jujur, apa pun jawabannya.”

***

Niki tidak menjawab teleponnya, juga tidak mau menemuinya. Nata menunggu semalaman di trampolin mereka, tapi Niki tidak datang. SMS-nya tidak dibalas, dan ketika dia datang mencari Niki di rumahnya, Acha berkata (berbohong tepatnya), bahwa Niki sudah tidur. Nata tahu Niki tidak pernah tidur sebelum pukul sebelas malam.
Akhirnya, ia menelepon Annalise dan mencurahkan penyeselannya pada gadis itu. Dia menyesal telah kelepasan mengatakan kata-kata yang kini memperkeruh hubungannya dengan Niki. Dia benci telah mengacaukan suasana dengan membiarkan perasaannya meluap—padahal biasanya dia selalu bertindak dengan logika, bukan emosi. Annalise mendengarkannya selama satu jam di telepon, padahal Nata belum pernah mengobrol dengan siapa pun di telepon selama itu. Ketika menutup telepon, dia merasa lebih baik tapi tetap tidak bisa tidur sampai subuh menjelang.
Pagi ini, dia menyeret langkah dan menunggu Niki di depan pagar walaupun dia tahu Niki akan berangkat ke sekolah bersama Oliver,  seperti biasa.
Tidak  lama kemudian, gadis itu melangkah ke luar  dan melihatnya di sana. Nata merasa hatinya perih ketika Niki berhenti dan terlihat salah tingkah.
“Kita perlu bicara, Ki.”
“Tapi, sebentar lagi Oliver  ngejemput.” Niki mencengkeram tali ranselnya erat-erat, seolah ingin kabur kapan saja. Nata benci melihatnya seperti itu.
“Lima menit aja. Gue  bener-bener butuh ngomong sama  lo.”
Niki akhirnya mengalah. Dia bergerak-gerak dengan tak nyaman, ekspresinya kaku dan tidak tersenyum.
“Gue nggak akan bilang kalau kemarin gue  Cuma becanda, lalu narik kembali kata-kata gue.  Gue  sendiri nggak sadar kapan perasaan gue  ke lo berubah, dan gue  nggak bermaksud ngerusak persahabatan kita atau hubungan lo sama Oliver.  Gue  hanya capek berpura-pura, Ki. Gue  pengen jujur tanpa lo harus menjauh darai gue.  Bisa, kan?”
Niki akhirnya berhenti bergerak-gerak. Suaranya bergetar dan kalimanya kaku, seperti sudah dilatih berkali-kali. “Aku tetap menganggap kamu sebagai sahabatku. Maaf kalau aku nggak bisa terima perasaan kamu.”
Nata menggeleng melihat gerak-gerik Niki yang terlampau dibuat-buat seperti itu. “Lo jangan ketakutan gitu di depan gue  dong,” ujarnya lembut, dan dengan satu tangan disentuhnya dagu Niki yang bergetar. Secepat kilat, Niki merespons terhadap sentuhannya dan bergerak mundur seakan terkena arus listrik.
“Aku pergi dulu, ya. Bye.”
Nata tidak tahu apa yang sepatutnya dirasakannya, semua bercampur menjadi satu; sedih, marah, kesal,  sesal.  Ujung jarinya masih hangat setelah menyentuh Niki barusan. Dia baru sadar, sedari tadi Niki sama  sekali  tidak berani memandang langsung ke arah matanya.

**

W i sh # 3 7: kat a- kat a y ang t i dak  t e r ucap kan (Nat a)

Annalise melambaikan tangan ketika melihat Niki menyeberangi kantin dengan sepiring gado-gado di tangannya. Niki tersenyum kecut, lalu bergegas untuk bergabung dengan Helena dan kawan-kawannya.
Sejak tadi, Niki menghindari tempat di mana Nata berada. Nata sendiri menangkap pandangan mata Annalise dan menggeleng lesu,  tanda pembicaraannya bersama Niki tidak berhasil seperti yang direncanakan.
“Niki itu orangnya nggak bisa pura-pura.” Nata mengeluh, masih dengan intonasi lesu  yang sama.  “Apa yang dirasakannya pasti muncul dengan jelas di wajahnya.”
Annalise menepuk  pundak Nata untuk menyemangatinya. “Kasih dia sedikit waktu, Nat. Mungkin Niki hanya nggak tahu gimana harus bersikap di depan kamu.”
“Tapi gue  nggak mau dia nganggep gue  sebagai orang asing. Kita kan udah temenan terlalu lama untuk saling canggung seperti ini.” Nata menggelengkan kepala dengan kesal.  “Gue bener-bener nggak ngerti jalan pikiran cewek.”
Annalise hanya separuh mendengarkan gerutuan Nata. Tidak  jauh dari  mereka, Niki sedang bercanda dengan Helena, matanya merah karena kurang tidur, tawanya dipaksakan. Mereka bertiga seperti terpisahkan jadi dua kubu yang berlawanan—sahabat yang tidak lagi mengenal satu sama  lain. Ia tidak menyukai perasaan itu.

***

Sepulang sekolah, Oliver  mengantar Niki pulang seperti biasa.  Ia membuka percakapan mengenai permainan basket hari ini, tapi Niki tidak terlalu mendengarkan, bahkan tidak sadar ketika mobil sudah berhenti di depan rumahnya.
“Ki?” Oliver  memperhatikan raut wajah Niki yang pucat. “Kita udah sampai. Ngantuk ya, sampai bengong begitu?”
Niki menggeleng dengan seulas senyum yang sedikit dipaksakan. “Bye, Oliver.” Oliver  hanya tersenyum, lalu mengucapkan selamat tinggal. Niki baru saja menginjakkan kaki di beranda ketika sebuah bungkusan yang diletakkan di atas meja  menangkap perhatiannya. Namanya tercetak besar-besar di permukaan kertas dengan tinta hitam—dalam tulisan tangan Nata.
Niki menghela napas, lalu menyelipkan bungkusan itu dalam tasnya.

***

TTRAMPOLIN

Ujian akhir sudah dekat. Belakangan, Niki banyak menghabiskan waktu luang untuk mengejar ketinggalannya dalam pelajaran, terutama mata pelajaran eksak seperti Matematika, Kimia, dan Fisika. Kini, dia semakin sering belajar bersama dengan Helena dan gengnya, berkumpul setiap sore di rumah Helena untuk mengulang kembali pelajaran hari itu dengan bantuan guru les privat temannya itu.
Kadang, Niki merasa mereka semua lebih banyak mengobrol dari  pada belajar. Televisi besar berlayar flat di ruang tengah hampir selalu dinyalakan, biasanya berhenti di MTV atau Channel V. Makanan ringan tersebar di atas meja,  di samping majalah impor edisi  terbaru. Jika salah satu dari  mereka mengangkat topik obrolan atau mulai bergosip, buku-buku pelajaran akan terlupakan dan akhirnya mereka tidak jadi belajar sama  sekali.
Bukannya Niki tidak menyukainya; dia senang menjadi bagian dari  grup Helena. Dia juga suka hangout di rumah berlantai tiga dan tanning di kolam renang outdoor sambil menyesap jus segar, dikelilingi oleh teman-teman yang sama-sama menyukai fashion dan cheerleading. Tapi, kadang dia merindukan Nata dan Annalise, sesi studi mereka di perpustakaan sambil berkutat dengan bergelas-gelas teh herbal dingin dan omelan Nata ketika mengajarinya rumus Fisika sampai bisa. Atau bermain di rumah Annalise dan berlanjut dengan mengerjakan PR setelah makan malam, ditemani sekotak pizza vegetarian.
Pada  awalnya, Niki tetap bergabung dengan mereka, tetapi dia merasa tidak nyaman. Sesekali, dia akan mendongak dan menangkap basah Nata sedang diam-diam memperhatikannya, atau Annalise yang memandangnya dengan raut khawatir. Mereka bertiga tidak lagi bisa mengobrol seperti dulu, tertawa lepas dan bergerak bebas. Kini, Niki merasa tidak bebas menyentuh Nata, meras telah menyakiti perasaan Nata, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya. Dia tidak bisa merasa nyaman setelah mengetahui orang yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat ternyata mengharapkan lebih.
Karena itu, lama-lama Niki memilih untuk menjauh sementara. Dia tidak bisa terus-menerus berada dalam ruangan yang sama  dengan Nata tanpa merasa bersalah dan canggung. Nata pun sudah berhenti berusaha menjelaskan posisinya padanya.
 “Niki, prom nanti lo mau pake baju apa?”
Konsenterasi Niki dalam memecahkan rumus Kimia terganggu kala Vanya menyela dan mengencangkan voluma televisi.
Prom? Niki menyelipkan pensilnya di balik  telinga dan terdiam. Beberapa minggu lalu Oliver  sempat mengatakan bahwa sekolah mereka akan mengadakan pesta prom untuk senior yang akan lulus tahun ini, dan dia mengajak Niki untuk datang sebagai pasangannya. Saat itu Niki menyambutnya dengan antusias, tapi gagasan itu sedikit terlupakan seiring dengan peristiwa Nata dan persiapan untuk ujian akhir. Begitu melihat antusiasme teman-temannya yang menggebu-gebu, Niki teringat bahwa dia sama  sekali belum menyiapkan apa-apa.
“Masih belum tahu,” dia mengaku lirih.
“Masih belum?” Mata Vanya membelalak. “Prom  night SMU Pelita selalu jadi acara paling bergengsi setiap tahunnya, lho. Dayat aja udah booking limousine untuk malam itu, dan gue  juga udah reservasi make up di salon dari  jauh-jauh hari.”
 Limousine? Salon? Niki berusaha sebisa mungkin menutupi ekspresi clueless-nya. “Gue udah ada beberapa pilihan baju,  kok, hanya belum nentuin yang mana yang lebih bagus.” Akhirnya, ia terpaksa berbohong.
Niki semakin panik memikirkannya. Gadis-gadis SMU Pelita dan teman-temannya yang glamor pasti akan menyiapkan setelan gaun pesta bermerek yang mewah. Sedangkan isi lemarinya sama  sekali  tidak bisa dimanfaatkan untuk acara kali ini. Bagaimana jika pakaiannya ternyata tidak pantas untuk pesta itu? Bagaimana kalau dia mempermalukan Oliver  dan dirinya sendiri? Ini keteledorannya karena tidak memikirkan masalah ini dari  jauh-jauh hari. Pikiran-pikiran paranoid mulai bermunculan. Dasar  bodoh. Tenang dulu.
Suara Helena sayup-sayup didengarnya. “Oliver  bilang MC dan band-band terkenal khusus diundang untuk ngeramein prom tahun ini. Temanya red carpet, seperti acara penganugerahan Oscar.”
“Oliver?” Niki bertanya.
“Oh, kemarin gue  hangout bareng temen-temennya di SMU Pelita. Kebetulan Oliver  juga ikut.” Helena tersenyum. “Dia nggak cerita?”
Niki menggeleng lemas. Belakangan ini, Oliver  terlihat banyak pikiran dan agak pendiam, dan setiap kali Niki menanyakannya, Oliver  selalu bilang dia baik-baik saja. Hal ini sedikit membuatnya cemas.
“Gosipnya lagi, Zahra bakal hadir buat ngeramein pesta itu, sebagai alumni.”
“Zahra? Gila, acaranya pasti top punya dong.”
Niki hanya samar-samar mendengarkan. Zahra? “Zahra siapa?”
Dengan cepat Vanya menjawab pertanyaan itu. “Lo nggak kenal Zahra, ya? Zahra itu kakak kelasnya Oliver,  sekarang udah lulus dan kuliah di Melbourne.
Denger-denger, sejak  kelas  satu Oliver  kepincut sama  cewek itu.” “Ah, masa,  sih,” Niki merespons dengan tawa kecil.
“Gue juga pernah denger gosipnya, lho,” timpal Linny menimpali, “katanya Zahra ini adalah cinta pertamanya Oliver.  Sejak cewek itu lulus, Oliver  selalu gonta-ganti cewek supaya bisa ngelupain dia.
Sara turut mengiyakan. “Itu cerita sebelum dia pacaran sama  lo, Ki. Dia nggak pernah sebut nama Zahra sekali  pun?”
Niki menggeleng. “Gosip  itu juga belum tentu benar, kan?”
Vanya, Linny, dan Sara terdiam sedangkan Helena mengangkat bahu tanda dia tidak ingin menjawab. Niki tidak menyukai ekspresi di wajah mereka.

***

“Tadaaahhh!” Niki berteriak sambil merentangkan tangan lebar-lebar. Beberapa anak bersembunyi di balik  punggungnya, tersenyum lebar dengan gigi ompong. Oliver  berdiri dengan bingung, tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Niki padanya. Tadi gadis itu bilang, dia ingin memperkenalkan beberapa orang penting kepadanya. Kini, dia dihadapkan dengan anak-anak berpenampilan kucel dengan rambut dan muka kotor.
“Ini temen-temen kecilku. Hari  ini kita akan bermain basket bersama Kakak Oliver.  Kak Oliver  ini juara basket paling jago  se-Jakarta lho.” Niki memperkenalkannya pada anak-anak kecil  di sekelilingnya. Dengan enggan, Oliver  menyalami mereka satu-per-satu.
“Ini anak-anak dari  panti asuhan?”
Niki menggeleng, untuk sesaat terlihat muram. “Mereka nggak punya orangtua dan tempat tinggal. Kadang-kadang mereka makan dan belajar di rumahku.”
“Oh.” Setiap bulan keluarga Oliver  menyumbangkan sesuatu untuk panti asuhan, tapi dia tidak pernah berhubungan langsung dengan penghuni-penghuninya.
“Ayo!” Niki menarik tangannya ke arah lapangan di kompleks perumahannya, membawa sebuah bola  basket di tangan kirinya. “Anak-anak ini paling suka main bola.  Kami juga suka main sepak bola  di tanah kosong sana.”
“Kami?”
“Iya. Annalise, aku,  dan Nata.” Niki cepat-cepat berlari ke ujung lapangan, tidak berkata apa-apa lagi.
Oliver  mengikuti dengan setengah hati, kecewa karena kencan hari ini ternyata dibaginya dengan anak-anak jalanan yang kumuh. Terkadang, dia sungguh tidak bisa mengerti Niki. Gadis  itu melambaikan tangan, dalam posisi bebas untuk menerima bola.  Rambutnya tergerai bebas dengan helaian rambut membingkai wajahnya.
Oliver  terdiam lama.  Terik matahari menyengat kulitnya, dan bola  itu tidak pernah meninggalkan tangannya.

***

W i sh # 3 8: me ngo b r o l p anjang de ngan O l i v e r (Ni ki )

Niki mengambil beberapa botol air mineral dingin dan menempelkan satu di lengan Oliver.  Laki-laki  itu terlonjak sedikit, lalu menerimanya dengan tawa kecil.
“Maaf.” Niki berujar.
Oliver  menoleh ke arahnya. “Maaf? Kenapa?” “Sepertinya kamu nggak suka berda di sini.”
“Bukan begitu. Aku hanya kecapekan, akhir-akhir ini begadang buat ujian.” “Maaf.” Padahal, Niki sengaja merencanakan hari ini untuk menghibur Oliver. Oliver  mengusap rambutnya ringan. “Nggak apa-apa.”
Niki mengharapkannya berbicara mengenai ujiannya, keluarganya, juga apa yang selama ini mengganggu pikirannya. Niki juga ingin mendengar mengenai Zahra, juga cerita mengenai gadis-gadis lain yang pernah dekat dengannya. Tapi selama ini Oliver  selalu bungkam. Niki merasa mereka menjadi seperti dua orang asing yang tidak benar-benar saling mengenal.
“Oliver, kemarin...” Niki tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Pandangan Oliver  tampak kosong, melihat jauh ke depan seperti sedang memikirkan sesuatu yang penting.
Oliver  sepertinya tidak menangkap rautnya yang serbasalah. Ia bangkit dan mengecup pipi  Niki. “Aku pulang dulu ya. Sori, hari ini aku ada acara.”  Niki menatapnya berjalan menjauh dan masuk ke dalam mobil, lalu meninggalkannya di lapangan bersama anak-anak yang masih berteriak dan memperebutkan bola.
“Kita pulang yuk,” sahutnya dengan kurang bersemangat. Anak-anak itu menjatuhkan bola  dengan kecewa.
“Kak, hari ini kami  akan difoto sama  Kak Anna,” Ajeng, salah satu murid Niki, berkata lugas. Dia menoleh kepada teman-temannya. “Jadi.... apa namanya ya?”
“Model!” Raka, seorang anak laki-laki bertubuh besar menyahut lantang. “Iya! Model! Model!” Mereka mulai ribut sendiri. “Kakak ikut kan?” Model. Pasti untuk lomba foto yang akan diikuti Annalise, dengan topic lokalitas itu. Ah, dia ingin ikut. Tapi Nata pasti akan ada di sana.
Niki terduduk lesu  di tepi lapangan.

***

Ketika kembali ke rumah, langit sudah gelap. Niki belum makan apa-apa sejak siang, tapi perutnya tidak lapar. Dia merasa lemas dan tidak bersemangat. Sayup-sayup trdengar suara ribut di luar.  Niki bangkit dengan malas dan mengintip melalui jendela kamarnya.
Nata sedang berbaring di atas trampolin mereka, tubuhnya berguncang dengan tawa. Gitarnya terbaring di sisinya, tidak jauh dari  tempat Annalise duduk. Annalise pun sedang menutupi tawanya dengan sebelah tangan, sesekali memukul Nata dengan tangan kirinya. Mereka berdua tampak sangat nyaman bersama, seolah-olah sudah lama berteman. Mereka mengingatkannya akan... Nata dan dirinya, sebelum mereka berdua saling menjauh.
Niki menatap pemandangan itu dengan tidak senang. Tiba-tiba saja, dia merasa sedih sekaligus marah. Trampolin itu adalah tempat khususnya dengan Nata, tempat yang sejak  kecil  menjadi milik mereka. Baik dia maupun Nata tidak pernah mengajak orang lain untuk duduk di sana—hal itu menjadi seperti sebuah peraturan tak tertulis dalam hubungan pertemanan mereka. Dan kini Annalise ada di sana, menggantikan tempat yang selama ini menjadi milik Niki.
Saat itu, Niki tidak bisa membedakan apakah perasaan marahnya ini ditujukan pada siapa, Annalise, Nata, atau dirinya sendiri.

***

Annalise menakn perutnya yang sakit karena tawa, tetapi tidak mampu menghentikan tawa yang dari  tadi menggelitik tenggotokannya. Nata pun berguling di atas trampolin sambil tertawa keras-keras, membuat tubuh mereka berdua terguncang. Foto-foto yang tadi sore diambil dan dicetak untuk kompetisi dotografi tersebar di sekeliling mereka, alasan mereka tertawa begitu hebohnya. Beberapa foto memang cukup mengundang tawa akibat kekonyolan anak-anak yang diundangnya menjadi model. Pada  akhirnya, Annalise memilih tema Pramuka untuk kompetisi itu. Anak-anak itu didandaninya dalam seragam Pramuka, lalu dipotret saat sedang bermain dan memanjat sebuah tugu lama di daerah Jakarta Pusat. Tugu itu selalu dilewatinya setiap pulang sekolah, dan menarik perhatian dengan cat yang sudah mengelupas dan coretan grafiti di sana-sini. Tugu itu terlihat tua, namun gagah walaupun usia sudah menggerogoti pondasinya.
“Stop, stop.” Annalise menyusut air mata yang menggumpal di sudut matanya. “Perutku sakit nih.”
Belum pernah dilihatnya Nata tertawa selepas itu dalam beberapa minggu belakangan ini. Nata mengambil napas dan mengembuskannya pelan-pelan, lalu menelan kembali tawa yang masih tersisa.
“Pilihan gue  foto yang ini, dan ini.” Nata menunjuk dua foto dan menyingkirkan yang lain.
“Hmmm. Yang ini bagus.” Annalise menjentikkan jari di atas permukaan foto yang dipilih Nata. Foto itu adalah foto terakhir yang diambilnya sesaat sebelum mereka semua pulang, ketika anak-anak itu memanjat tugu dengan latar matahari terbenam. Warna langit belum berubah, hanya tercoreng beberpa sabetan oranye. Dia mengangkat kamera dan menjepret momen tersebut dengan klise terakhirnya pada saat yang tepat.
Mereka mendiskusikan foto tersebut sampai Annalise bangkit dan membereskan barang-barangnya. “Yuk, aku harus pulang. Mau belajar untuk ujian bahasa Inggris besok.”
Nata mencibir. “Lo masih perlu belajar bahasa Inggris? Kalau gue  dan Niki, sih, mungkin masih perlu ngafalin struktur grammar.”
Mereka berdua terdiam ketika nama Niki disebut. Annalise mendongakkan kepala untuk melihat ke arah kamar Niki. Gelap. “Niki apa kabarnya ya?”
Nata ikut melirik ke arah yang sama.  “Nggak tau.”
Berdua tidak sama  rasanya dengan bertiga. Annalise memang merasa lebih dekat dengan Nata, tapi hubungan mereka terasa terlalu... tenang. Tidak  ada spontanitas dan celetukan asal khas Niki, juga komentar polos yang menghibur.
Annalise pernah berbicara dua mata dengan Niki beberapa waktu lalu. Dia ingin menjelaskan bahwa Niki tidak perlu canggung di hadapan dia maupun Nata, dan tidak ada yang harus berubah dalam persahabatan mereka. Saat itu, Niki memandangnya lama dan berkata,
“Semuanya nggak bisa kembali seperti dulu begitu aja, Ann. Setiap kali ngeliat Nata, aku ngerasa bersalah karena Cuma bisa jadi seorang sahabat buat dia. Setiap kali ngeliat kamu, aku ngerasa udah ngecewain kamu karena aku udah ngambil orang yang kamu sayang. Aku nggak bisa cerita mengenai Oliver  di depan Nata, nggak bisa curhat mengenai Nata di depan kamu. Kita bertiga jadi penuh dengan kepura-puraan, dan aku nggak bisa terus begitu.”
Annalise tidak bisa menjawabnya, dan sekarang ia menyesal telah membiarkan Niki berjalan pergi begitu saja.
Sebelum menaiki mobil, Annalise berhenti dan memandangi garasi mungil tempat mereka berkumpul untuk mengajar setiap Selasa.  Dia menarik
lembaran-lembaran foto yang ada di dalam tasnya, mencoretkan sesuatu di balik salah satunya, lalu menyelipkannya di dalam kotak pos  keluarga Niki.

***

Acha berbaring dengan sepiring stroberi segar di atas tempat tidur Niki, mengolesinya dengan sendok berlumuran selai  cokelat dan menelannya dengan nikmat. Sesekali, Niki meraih beberapa butir dan mengikuti gerakannya. Acha akan memperhatikannya dengan heran. Pasti ada sesuatu yang salah jika kakaknya yang health freak itu sudah mulai makan begitu banyak cokelat.
“Aku ini bodoh banget.” Niki memasukkan sebutir stroberi ke dalam mulutnya tanpa nafsu. “Aku nggak tau apa yang sedang aku lakukan.”
Acha menunggu tanpa menginterupsi. Biasanya, cerita demi cerita akan keluar tanpa perlu ditanya. Dan benar, Niki memuntahkan segalanya tanpa disensor, kebiasaan sepasang kakak beradik yang sudah terbiasa berbagi rahasia sejak kecil.
Niki mendesah panjang untuk mengakhiri curhatannya. “Aku sendiri yang ngejauhin mereka, tapi aku juga yang kesal  melihat mereka bersenang-senang tanpa aku.”
Acha menatap Niki dengan prihatin. “Itu artinya... Kakak cemburu, kan?” “Cemburu?”
“Iya, cemburu, menyesal, gengsi. Perasaan-perasaan itu ngebuktiin kalau mereka masih punya makna yang penting untuk Kakak.”
Niki merengut. Acha selalu menawarkan logika di setiap analisisnya, sesuatu yang dibencinya karena biasanya tepat sasaran.
“Aku jahat, ya?”
“Bukan jahat, tapi nggak siap.” Melihat ekspresi Niki yang meminta penjelasan lebih lanjut, cha meneruskan, “Saatnya nggak tepat. Kak Nata memilih waktu yang nggak tepat untuk jujur, yaitu ketika Kakak masih belum siap mendengarkan. Dan, reaksi Kakak juga nggak membuat keadaan lebih baik, malah semakin kacau.”
Niki manggut-manggut, menyadari kebenaran dalam observasi itu dan terdiam cukup lama.  Sebelum adiknya meninggalkan ruangan dan mematikan lampu, Niki separuh mendengar ucapannya yang lirih,
“Gak ada persahabatan yang sempurna di dunia ini,Kak. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankannya.”

***

W i sh # 3 9 : b e r t e mu  de ngan Nat a dan Anna (Ni ki )

Niki tidak bisa tidur. Jam weker di meja  samping tempat tidurnya menunjukkan angka satu lewat lima belas menit. Dalam beberapa jam, dia harus menghadiri sesi ujian bahasa Inggris, ujian pertama dalam semester ini, yang belum siap dihadapinya sama  sekali.  Kemudian, minggu-minggu liburan yang menyenangkan akan dimulai, diikuti dengan hari pertama mereka menjadi mahasiswa.
Dengan langkah terseok, Niki meraih ranselnya dan meraba-raba isinya dalam kegelapan, mencoba menemukan sesuatu yang sudah lama tersimpan di sana. Nah, ini dia. Ia mengeluarkan kotak kertas yang sudah sedikit penyok itu, menyisihkan pembungkusnya yang koyak. Di dalamnya, ia menemukan sebentuk kaset, dan tanpa banyak pikir,  Niki memasukannya ke dalam tape miliknya.
Statis. Lalu terdengar suara deheman yang tidak asing, sekali,  dia kali. Tidak lama kemudian, bunyi petikan gitar yang lembut dimulai. Terdengar agak  samar, lama-kelamaan semakin jelas. Setelah beberapa kali mengulang nada yang sama, suara Nata mengisi hening ruangan.
Niki duduk di tepi tempat tidurnya sambi memeluk bantal, memejamkan mata dan mendengarkan lagu-lagu gubahan Nata yang perlahan-lahan membuatnya tenng. Entah sudah berapa lama dia tidak mendengarkan suara ini, suara berat yang familier, petikan gitar yang tangkas, tarikan napas di antara nyanyian. Dia bisa merasakan goncangan trampolin mereka pada tubuhnya, seperti saat Nata bergerak untuk menyesuaikan nada dan mulai bermain, seperti saat Niki bersorak dan bertepuk tangan setiap kali sebait lagu  selesai dimainkan, seperti saat Nata menjulurkan sebelah tangan untuk menyentil dahinya karena telah membuat komentar konyol. Dia sangat merindukan Nata.
Lagu demi lagu  yang dimainkan secara akustik dan direkam dalam sebuah kaset hitam, diletakkan di atas meja  beranda rumah dan tertindih barang-barang lain dalam ransel Niki, kini bermain bebas.
Inilah perasaan Nata selama ini, Niki tahu. Dia akhirnya mengerti. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Niki dapat tertidur pulas, dengan seulas senyum di wajahnya.

**

P R O M

W i sh # 4 0 : p r o m dr e ss (Ni ki )
Mencari prom dress yang tepat adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Niki sudah menghabiskan seluruh akhir pekan memutari hampir seluruh butik di mal dekat rumahnya bersama Acha dan Mama, mencari sehelai gaun yang sempurna untuk acaranya akhir pekan ini. Namun, mereka tidak menemukannya—jika gaun itu tidak jatuh pas di tubuh Niki, pasti karena harganya yang terlalu mahal.
Akhirnya, Mama menghela napas dan menawarkan sebuah solusi. Mama berjanji akan mengeluarkan koleksi gaun-gaun lamanya dari  lemari dan mencoba menemukan sesuatu yang cocok untuknya. Niki menyetujuinya tanpa banyak argumen, karena dia sudah putus asa. Helena dan Vanya sudah meneleponnya untuk menjelaskan detail gaun mereka, juga jenis sepatu yang akan dikenakan bersama gaun tersebut.
Tepat sebelum Niki memutuskan untuk menlepon Helena untuk meminjam baju,  Mama berseru memanggil namanya berulang-ulang, diikuti oleh Acha yang sama  hebohnya.
Gaun di tangan Mama bukanlah gaun paling indah yang pernah dilihat Niki—masih ada deretan gaun-gaun malam idamannya yang tidak mampu dibelinya—tetapi saat melihatnya, Niki tahu bahwa gaun itu akan sangat cantik jika dikenakan. Kainnya sangat halus ketika disentuh, dibentuk mengikuti model gaun-gaun zaman dulu yang menyempit di pinggang dan mengembang di bagian roknya, dengan warna broken white yang terlihat klasik.  Bagian atasnya dilapisi oleh brokat jahitan tangan dengan detail yang sangat teliti, menukik beberapa sentimeter di atas belahan dada. Beberapa bagian sedikit kotor oleh debu, tapi Mama berjanji akan membersihkannya dan memodifikasinya sedikit. Setelah semalaman bekerja dengan mesin jahitnya, Mama menggantung gaun itu di kamar Niki supaya ia bisa melihatnya ketika bangun pagi  nanti.
Ketika Niki mengenakannya, ia merasakan gaun itu mengambang lembut di atas tubuhnya, ringan seperti sutra. Mama telah memangkas bagian lengannya sehingga kini gaun itu tidak berlengan, memberikan kesan modern pada pakaian Dhantage tersebut. Mama juga telah memendekkannya, sehingga roknya yang berlapis renda kini jatuh di atas lutut. Elegan, tapi tidak berlebihan.
Niki berlari menuruni tangga masih berbalut dalam pakaian itu dan memeluk Mama dengan penuh rasa terima kasih. Mereka menghabiskan beberapa jam menata rambut dan dandanan Niki, dengan Acha yang sesekali menawarkan opini dari  tepi tempat tidur. Rambut Niki dibiarkan tergerai supaya tidak terlihat terlampau dewasa, dan dandanannya dibuat senatural mungkin.
Niki mengulaskan sentuhan terakhir berupa lipstik nude merah muda pada bibir bawahnya, lalu menatap refleksi dirinya sendiri pada cermin. Dia memiringkan kepala dan tersenyum, melihat gadis dalam cermin membalas senyumnya.

***

Niki baru saja menyemprotkan sedikit parfum beraroma jasmin di pergelangan tangannya ketika telepon berbunyi. Sambil memasang sebelah sepatu, ia menyambar telepon yang tergeletak di atas tempat tidurnya.
“Niki?”
Suara Oliver  terdengar lemas dan parau.
“Kamu kenapa?” Niki bertanya dengan agak  panik. “Sepertinya aku nggak enak badan. Kepalaku pusing banget.” “Kamu nggak apa-apa? Udah makan obat, belum?”
“Udah, tapi rasanya masih lemas. Tunggu sebentar lagi, ya? Kalau udah baikan, aku bakal segera jemput kamu.”
“Lebih baik kamu istirahat aja deh, daripada nanti tambah parah.”
“Tapi kamu pasti udah siap, kan? Nggak  apa-apa, kayaknya aku masih bisa tahan.” Suara Oliver  sudah sangat lemah. Niki menggeleng. “Nggak pergi juga nggak apa-apa, kok.”
Oliver  terdiam. “Tapi prom night kan Cuma sekali  seumur hidup.”
Niki tidak langsung menjawab, tapi dia tersenyum saat mengatakan, “Yang penting bukan prom, tapi kamu.”
“Maaf ya.”
Niki berusaha mengabaikan perasaan kecewa yang menggerogoti hatinya. Sesungguhnya, dia sangat menantikan malam ini; merayakan akhir dari  masa SMU, mengenakan pakaian cantik dan bersama dengan orang-orang yang disayanginya. Tapi dia lebih tidak ingin Oliver  datang dalam keadaan sakit. Dia tidak boleh egois. Lagi pula, bukankah Oliver  pasti lebih kecewa? Ini adalah pesta prom sekolahnya, sesuatu yang hanya terjadi sekali  seumur hidup.
Pandangan Niki jatuh pada papan Monopoli yang menyembul dari  tumpukan majalahnya. Tiba-tiba saja, dia mendapat ide brilian. Dengan semangat empat lima, dia segera bergegas untuk berangkat.

***

Sambil mengepit sebuah thermos berisi teh hangat dan beberapa jenis permainan yang biasa dimainkannya bersama Nata ketika sedang sakit, Niki berdiri di depan pagar rumah Oliver.  Ia merasa sedikit gugup. Rumah itu besar, dilengkapi dengan taman yang luas dan pos  satpam kecil  di bagian depan. Dari luar,  rumah berlantai tiga itu terlihat seperti kastil, dengan jendela besar dan tangga yang meliuk. Selama mereka berpacaran, Niki tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana sebelumnya. Helena yang menunjukkan posisi rumah itu kepadanya ketika mereka melewati jalan besar ini.
Ditekannya bel dengan waswas. Setelah menunggu sekian detik, seorang laki-laki paruh baya  dalam seragam, satpam muncul dengan tergopoh-gopoh. “Cari siapa, Non?”
“Saya datang menjenguk Oliver,  Pak.”
Satpam itu tampak bingung. “Tuan barusan saja pergi.”

“Pergi?” Niki menatapnya dengan tidak percaya. “Oliver  kan lagi sakit?” “Ndak, Non, Tuan Oliver  ndak sakit. Baru saja pergi, kok.”
Setelah menghabiskan beberapa menit sia-sia  berdebat dengan satpam tersebut, Niki menyerah dan berdiri di depan pagar dengan perasaan tidak enak. Jelas-jelas tadi dia tidak salah dengar. Seandainya mereka jadi pergi pun,
Oliver  pasti akan meneleponnya dulu. Niki berkali-kali menekan speed dial dan menghubungi nomor handphone Oliver,  tapi tidak ada jawaban.
Dia baru saja ingin memutar arah dan kembali ke rumah, namun entah apa yang membuat Niki berubah pikiran ketika ia memberitahukan destinasi selanjutnya kepada pengemudi taksi.
“SMU Pelita, Pak.”

***

Pekarangan SMU Pelita dihias apik  dengan dekorasi bunga segar. Mobil-mobil mewah bergantian berhenti untuk menurunkan para senior yang malam ini akan menghabiskan hari terakhir mereka di sekolah tersebut. Niki adalah satu-satunya yang keluar dari  sebuah taksi, berusaha untuk tidak merasa minder saat ia melintasi lapangan ke arah hall tempat pesta prom dilangsungkan.
Muda-mudi berpakaian indah berseliweran, tangan kanan para gadis tersemat corsage cantik dan tangan kiri mereka menggandeng pasangan masing-masing. Niki merasa self conscious berjalan sendirian di tempat asing tersebut, tiba-tiba saja merasan underdressed dalam balutan gaun turunan ibunya dua dekade lalu, di antara gadis-gadis bergaun malam model terbaru.
Ia tersenyum tipis saat berpapasan dengan teman-teman basket Oliver  yang sempat dikenalkan kepadanya beberapa saat yang lalu, namun mereka hanya melewatinya tanpa menyapa. Niki menunduk, mukanya hangat. Ia harus segera menemukan Oliver,  jika cowok itu memang ada di sini. “Niki!”
Ia menoleh, menarik napas lega saat melihat Vanya melambai dari  sisi meja penerima tamu, menggandeng Dayat, pacarnya yang juga senior SMU Pelita. Vanya mengenakan terusan panjang warna hitam dengan potongan kerah halter yang sangat chic. Niki merasa pernah melihat gaun serupa di Fashion TV beberapa waktu yang lalu.
Niki menghampiri mereka, masih celingukan mencari Oliver.  “Hai. Kalian liat Oliver  nggak?”
Mendadak wajah Vanya dan Dayat sedikit memucat. Mereka saling berpandangan.
“Lo... belum tahu?”
“Tahu apa?” Iy mengerutkan alis dengan bingung. “Oliver  ada di dalam. Dia datang sama....”
Vanya tidk perlu menyelesaikan kalimatnya. Niki sudah melihat Oliver  di antara kerumunan teman-teman tim basketnya, tampak gagah mengenakan setelan tuksedo yang sangat pas di tubuhnya. Di sampingnya, berdiri seorang gadis dalam balutan trapeze dress berwarna midnight blue yang serasi dengan pakaian Oliver.  Gadis  itu mengenakan tiara prom queen di kepalanya. Lalu, ia mendongak, menangkap pandangan mata Niki dan bibirnya perlahan menarik seulas senyum yang menandakan ia mengerti segalanya.
Gadis  itu adalah Helena.

***

Niki tidak dapat memercayai pengelihatannya. Ia tidak lagi memperhatikan ketika Vanya dan Dayat bergegas permisi dengan tak nyaman, juga keramaian yang mulai menyesakkan di sekelilingnya. Ia tidak bisa berhenti memperhatikan Oliver  dan Helena, dua orang yang paling tidak pernah disangkanya akan hadir bersama di pesta ini. Lalu akhirnya, ia menyadari satu hal.
Untuk sesaat, Oliver  mengangkat wajah dan menghindari pandangannya. Niki ingin menyerukan namanya dan meminta penjelasan, tapi lidahnya kelu.  Helena menggandeng laki-laki itu untuk menghampiri Niki yang masih terpaku di pintu masuk dengan tubuh gemetar. “Hai, Niki. Kok sendirian?”
Niki ingin melenyapkan senyum puas dari  wajah cantik itu, tapi kedua tangannya yang bergetar terdiam bagai lumpuh di kedua sisi tubuhnya.
“Kalian....”
Oliver  berjalan menjauh dari  sana untuk menerima telepon yang mendadak berdering, meninggalkan Niki dan Helena yang saling memandang.
“Gue nggak nyangka lo akan tetap punya nyali untuk datang,” Helena berkata dengan tenang, senyum itu tidak pernah meninggalkan wajahnya. “Tapi harus gue  akui,  lebih menyenangkan ngeliat lo di sini daripada membayangkan lo meratap di rumah karena Oliver  meninggalkan lo.”
“Ini semua rencana kamu?”  Suara Niki bergetar, dan ia benci mendengar nadanya yang melengking.
“Ini bukan apa-apa dibanding dengan apa yang lo ambil dari  gue.  Gue  mau lo tau rasanya kehilangan, ketika apa yang berarti bagi  lo dirampas begitu saja.”
“Aku nggak ngerti.”
Helena mendengus, untuk pertama kalinya memperlihatkan rasa benci dalam ekspresinya. “Jangan pura-pura bodoh. Sejak lo gabung sama  tim cheers kita, gue  bagaikan nggak punya gigi. Bahkan beberapa orang sempet mempertimbangkan lo untuk jadi kandidat pengganti ketua tim... dan memang itu tujuan lo, kan?”

Hal itu adalah hal terkonyol yang pernah didengar Niki. Dia, ketua cheers? hanya karena dia aktif menyumbangkan koreografi baru dan menawarkan diri untuk membuat mix tape lagu  untuk latihan mereka? Dia tidak pernah berpikir untuk menggusur posisi Helena yang sudah bertahun-tahun memimpin tim itu menuju juara satu.
“Semua orang suka lo; temen-temen gue,  guru-guru, Nata, Anna... Gue  nggak ngerti apa yang menarik dari  lo. Lo kan biasa aja, tapi lo malah ngambil semua yang harusnya jadi milik gue.  Sampai Oliver  juga,  padahal gue  yang duluan kenal dia.”
Helena ingin berteman dengan Nata dan Annalise? Helena menyukai Oliver? Niki mengerjapkan mata. Sudah berapa lama Helena menyimpan perasaan ini dan membencinya diam-diam, sedangkan dia tidak tahu apa-apa mengenainya?
“Tapi, kan kita teman....”
“Teman, lo bilang?” Helena tertawa kecil.  “Di dunia ini nggak ada yang namanya teman sejati, Ki. Lo yang terlalu naif. Teman-teman Cuma ada kalau mereka butuh pertolongan kita, kalau kita punya sesuatu yang bisa jadi alasan mereka untuk tetap tinggal.” Helena mengibaskan tangan dan melayangkan pandangan pada Oliver.  “Lo inget Zahra? Cewek yang nggak bisa dilupain Oliver?  Zahra itu sepupu gue.  Oliver  rela melakukan apa aja demi ketemu lagi sama  dia, termasuk mutusin lo dan muncul di pesta ini sebagai pasangan gue.”
Tatapan Helena saat itu sangat dingin. Niki tidak lagi merasa marah, tapi sedih. Ternyata, selama ini dia tidak cukup mengenal Helena maupun Oliver  dengan baik. Mereka pun tidak mengenal dirinya, tidak menerima dirinya apa adanya. Dia tidak diinginkan di sini.
Oliver  berbalik dan menghampiri mereka. Dia terlihat serbasalah. “Ki, gue....” Niki memberanikan diri menatap langsung ke arah mata cowok itu, mencoba mencari sisa-sisa perlakuan gentleman yang selama ini lekat pada diri Oliver, juga permintaan maaf yang tidak kunjung keluar. Entah mendapat keberanian dari mana, ia mengangkat sebelah tangan dan melayangkan tamparan keras pada pipi  kanan Oliver.
Niki tidak memperhatikan seruan kaget—entah siapa yang berteriak barusan, tidak juga menyadari betapa keras hak sepatunya berdentum di lantai marmer ketika ia berlari keluar, keluar sekarang juga.  Dan ketika ia berhenti dan terengah-engah di depan pagar sekolah yang kini sepi,  ia berjongkok, menyembunyikan wajah dengan kedua tangan, dan menangis sejadi-jadinya.


***

No comments:

Post a Comment