Wednesday, October 28, 2015

REFRAIN - WINA EFENDI - PART 1


PROLOG

Tidak  ada persahabatan yang sempurna di dunia ini. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankannya.
Ini bisa jadi sebuah kisah cinta biasa.  Tentang sahabat sejak  kecil,  yang kemudian jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Sayangnya, di setiap cerita harus ada yang terluka.
Ini barangkali hanya sebuah kisah cinta sederhana. Tentang tiga sahabat yang merasa saling memiliki meskipun diam-diam saling melukai.
Ini kisah tentang harapan yang hampir hilang. Sebuah kisah tentang cinta yang nyaris sempurna, kecuali rasa sakit karena persahabatan itu sendiri.

***

W i sh # 1 : aku  ingin cepat - cepat menjadi dewasa. . . . (Niki )
Niki dan Nata berbaring di atas trampolin, benda using itu bergoncang-goncang mengikuti gerakan mereka. Mereka berdua sedang menatap bintang-bintang yang mulai terlihat jelas setelah matahari tenggelam. Deru mobil dari  kejauhan sesekali terdengar, lalu hening, digantikan oleh bunyi jangkrik yang menghinggapi malam.
Itu adalah kebiasaan mereka, duduk menunggu matahari terbenam sambil mengobrol tentang segalanya -PR yang belum selesai, ujian esok pagi,  hari-hari di sekolah, atau rencana untuk akhir pekan. Mereka melakukannya setiap malam hingga kegiatan itu menjadi rutinitas harian yang tidak pernah terlewatkan.
Tiba-tiba, Niki mendesah penuh harapan, lalu bertanya, lebih kepada dirinya sendiri. "Jatuh cinta itu..., gimana rasanya, ya?"
Nata sedikit kelimpungan menanggapi pertanyaan Niki yang tidak biasa. "Memangnya kenapa?" Dia bertanya dengan hati-hati.
Niki tersenyum lebar dan memutar tubuh untuk menghadap Nata. "Kayaknya, menyenangkan banget, bisa pergi berdua ke mana-mana, tukeran hadiah, ngerayain hari-hari penting sama-sama, seperti Kak Dhanny dan Kak Sivia." Niki menyebut nama abang Nata, yang akhir-akhir ini sedang dilamun cinta dengan pacarnya.
 "Huh." Nata mendengus dan menekan kepalanya di bawah lengan. "Itu kan, kelihatan dari  luarnya aja. Kalau lagi berantam, Kak Dhanny kerjaannya marah-marah terus. Cemberut sepanjang hari, atau mohon-mohon sama  Kak Sivia supaya dimaafin. Kak Dhanny bilang, selalu pihak cowok yang harus ngalah, belum lagi  harus inget tanggal-tanggal penting, misalnya tanggal jadian, terus mesti pusing mikirin harus beli kado apa.  Bikin kesalahan sedikit, ceweknya bisa ngambek berhari-hari. Jatuh cinta itu ngerepotin, tau."
Niki tertawa, sudah terbiasa dengan gerutu khas Nata yang sangat sinis. "Itu kan, karena Nata belum pernah jatuh cinta."
Nata meleletkan lidah tak peduli. "Kamu sendiri juga belum, kan?" "Udah." Niki mengerling jenaka. "Sama Kak Dhanny!"
"Yeee...." Dengan gemas, Nata menepuk kening sahabatnya, ringan. "Itu sih cinta monyet!"
Niki cengengesan, lalu kembali serius. "Makanya, aku kepingin tahu, cinta yang sesungguhnya itu gimana rasanya...."
Mereka berdua terdiam, larut dengan pikiran masing-masing.
"Di antara kita berdua, siapa ya kira-kira yang bakal jatuh cinta duluan? Kamu atau aku?"
Nata secara otomatis menjawab pertanyaan itu. "Kamu."
Niki tergelak. "Mungkin. Tapi, kamu atau aku,  kita harus saling cerita, ya? Janji?" Nata hanya tersenyum dan mengangkat bahu, tidak ingin berjanji apa-apa. Niki yang tidak puas dengan jawaban tersebut mengulurkan tangan untuk menggelitik pinggang Nata. Dua remaja SMP itu bergulat di atas trampolin, tertawa keras-keras sambil berusaha saling mendahului, hingga akhirnya Nata setuju untuk mengaitkan kelingkingnya dengan jari Niki. Janji dua orang sahabat untuk selamanya bersama.

***

NIKI

Jarum jam menunjukkan waktu lima belas menit sebelum pukul tujuh ketika terdengar bunyi gedubrak yang cukup kencang. Suara pintu dibanting, diikuti dengan langkah kaki yang cepat-cepat menuruni tangga. Tidak  lama kemudian, sesosok remaja perempuan yang baru beranjak usia tujuh belas tahun melongokkan kepala ke arah dapur dan tersenyum usil pada ibunya.
Sang ibu cuma bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Hidup dengan dua putri yang sedang beranjak puber sama  saja seperti hidup di medan perang, sewaktu-waktu bisa dengan tak sengaja menginjak ranjau yang meledak hebat. Niki, anak pertamanya yang sudah duduk di bangku SMU sedang heboh-hebohnya melewati masa  rebelling yang mengikutsertakan mood swing akut, keinginan untuk jadi seperti teman-temannya yang lain, juga mulai jatuh cinta. Setiap pagi,  dia berkutat di kamar mandi setengah jam, meluruskan rambut dengan alat catok, mengaplikasikan lipgloss penuh glitter, sampai mencoba bermacam-macam jenis diet. Belum lagi nilainya yang jeblok lantaran kebanyakan main ke mall, dan gampang melawan kalau dinasihati. Sementara, adik  Niki, Acha, yang dua tahun lebih muda, memang cenderung lebih kalem dan dewasa daripada kakaknya. Tetap saja, sesekali kedua putrinya itu bisa bikin kepalanya mau pecah.
"Ma, Niki berangkat dulu!"
Niki tampak sudah rapi.  Rambutnya yang lurus sebahu dihiasi jepit kuning. Seragam putih abu-abunya sengaja dibuat model ketat zaman remaja sekarang, juga sepatu Converse bergaris kuning dengan pin kecil  warna-warni di kaus kakinya. Sebelum sang ibu bisa berkata apa-apa mengenai aksesoris itu, Niki sudah mengecup pipinya dan melesat keluar, tidak lupa menyambar sarapan berupa setangkup roti gandung di atas meja  makan.
Mama Niki menghela napas lagi, lalu tersenyum.

***

Waktu masih berumur lima tahun, Niki sering mengintip mamanya berdandan. Diperhatikannya gerakan Mama ketika memulas bedak tabur di permukaan kulit, merata ke seluruh wajah sampai tidak ada noda yang tersisa. Lalu, sebatang pensil menebalkan garis  mata Mama, membuatnya kelihatan lebih besar. Sedikit jepitan selama beberapa detik menggunakan sebuah alat berbentuk aneh, diikuti dengan sikat berujung hitam yang melentikkan bulu mata. Terakhir, tepukan di pipi  untuk menyisakan rona kemerahan, juga warna di kelopak mata dan bibir. Niki begitu sering mengamati Mama merias diri sampai hafal rutinitas itu, dan suatu saat ketika Mama sedang pergi, dia memberikan diri menarik laci meja  rias yang mengandung banyak alat-alat ajaib itu.
Ketika pulang, Mama menemukan Niki sedang asyik berdiri di depan kaca. Wajahnya penuh dengan coretan warna-warni. Lipstik warna merah darah mencoreng bibirnya, belum lagi pipinya yang didempul merah muda sampai terlihat seperti topeng monyet. Di tubuhnya yang mungil, ada atasan kebaya pesta milik Mama, jatuh sampai di bawah lutut dan menggantung di sana. Mama tidak tahu harus marah atau tertawa.
Dengan lembut, didudukkannya Niki di atas pangkuannya, lalu menyeka wajahnya dengan sebentuk kapas yang dibasahi minyak bayi.
"Anak perempuan seumur Niki masih belum cocok dandan seperti ini." Begitu nasihat Mama waktu itu, sebelum menghapus merah yang sangat tebal di muka cemong anak tertuanya.
"Terus, kapan bolehnya, Ma?"
Mama berpikir sejenak. "Setelah Niki beranjak dewasa, kalau sudah benar-benar membutuhkan alat rias seperti punya Mama. Mungkin kalau sudah umur enam belas tahun nanti, Niki akan belajar memakainya."
"Bisa jadi cantik ya, Ma?" Niki bertanya lagi, memejamkan mata supaya Mama bisa membersihkan seluruh wajahnya. "Kalau Niki dewasa, Niki mau pakai alat-alat ini, supaya cantik seperti Mama."
Mama membelai kepalanya, lalu mengikat rambutnya menjadi satu konde mungil di belakang kepala. "Tujuan alat-alat ini bukan hanya untuk mempercantik diri. Kecantikan yang sesungguhnya harus datang dari  sini." Ditunjuknya posisi hati, sehingga Niki ikut memegang dadanya.
Di ulang tahun Niki yang keenam belas, Mama benar-benar menghadiahinya satu set kosmetik dengan palet warna pastel yang sesuai untuk remaja. Tapi, Mama tidak ingin Niki lupa, bahwa kecantikan tidak datang dari  penampilan saja, tapi juga dari  hati.

***

Niki melempar ranselnya hingga tersampit di punggung dan berdiri di bagian belakang sepeda. Kedua tangannya erat di pundak Nata, dan dia mengkomando dengan suara lantang, "Jalan, Bos!"
Nata, yang sudah menunggu dua puluh menit di garasi terbuka rumahnya, menggerutu dengan kesal.  "Udah telat masih nganggep gue  sopir, pula."
Niki menepuk ubun-ubunnya dengan gemas. "Cuma telat sebentar aja, kok. Tadi ada emergency, tau."
Nata memalingkan wajah sekilas sambil terus mengayuh. "emergency apaan? Bad hair day?"
Niki tertawa lepas. "Tau aja ih, Nata."
Lagi-lagi,  Nata menggumam tak jelas, tak dihiraukan oleh Niki. Tentu saja cowok gak akan ngerti, begitu pikir  Niki. Memangnya, enak tiba-tiba bangun pagi dengan rambut kriwil  yang supermegar, atau kram perut karena datang bulan?
Begitu tiba di sekolah, Niki segera ngeloyor masuk kelasnya, dengan ceria mengucapkan selamat pagi.  Helena, sang ketua cheerleader, meneliti penampilannya dari  atas sampai bawah, lalu mengangguk puas. Niki tersenyum bangga, mengambil tempat duduknya satu baris di depan Nata.
Diam-diam, Niki sebenarnya ingin seperti Helena dan teman-temannya. Mereka selalu kelihatan keren. Cantik. Lengkap dengan tas, jam tangan dan sepatu model terbaru, cewek-cewek seperti Helena selalu up-to-date dengan gaya fashion terbaru. Mereka juga jadi bagian elite grup pemandu sorak yang tidak bisa sembarangan merekrut anggotanya.
Sejak dulu, impian terbesar Niki adalah menjadi cheerleader. Dia merengek pada Mama sampai akhirnya diperbolehkan les balet. Dia menonton setiap film tentang cheerleader dan dance dengan seksama, menghafalkan gerakan dan koreografinya. Kadang-kadang, dia latihan sendiri di kamarnya, menciptakan gaya tarian baru dan belajar dengan mengamati gerakan orang lain.
Salah satu alasan Niki menyukai sekolah ini adalah karena tim cheers-nya yang jadi kebanggaan. Setiap tahun, tim cheers SMU Harapan selalu masuk kategori final kejuaraan cheerleading seluruh Jakarta, malah tidak jarang menyabet juara satu. Ada sesuatu yang magical dengan pompom--persatuan, kreativitas, disiplin ketat, latihan keras, dan kecintaan pada musik dan seni tari. Niki menghargai itu. Ia ingin jadi salah satu dari  mereka.
Dia masih ingat hari ketika dia mengikuti audisi untuk anggota baru. Kakinya bergerak begitu saja mengikuti hentakan musik, lalu tubuhnya mengikuti gerakan demi gerakan yang sudah dilatihnya selama berbulan-bulan. Lompatan maupun gerakan cartwheel yang biasanya merupakan tantangan besar bagi gadis-gadis lain tidak jadi masalah buat Niki, dia bisa melakukannya dengan mata terpejam sekali  pun. Ketika selesai, Niki tahu dia pasti berhasil. Dia bisa melihatnya dari  tatapan kagum para senior, tepukan tangan para anggota lain, dan anggukan samar para guru. Dan sejak  saat itu, akhirnya Niki berhasil menjadi bagian dari  tim pemandu sorak yang begitu diidolakannya.
"Eh, tau gak, hari ini ada anak baru yang masuk, lho!" Vanya, salah satu anggota geng Helena, memutar kursi untuk menghadap Niki.
"Katanya pindahan dari  New York. Blasteran bule!"
"Oh ya?" Niki mengangkat muka sekilas, walau dia sedang sibuk mengerjakan PR Matematika yang lupa diselesaikannya semalam, gara-gara begadang nonton Gossip Girl bersama Acha, adiknya.
Helena mengangkat jari-jari lentik yang kukunya habis dipoles cat warna nude. Suaranya rendah dengan nada misterius. "Denger-denger sih... anaknya Vidia Rossa."
Kali ini, Niki langsung melupakan PR-nya. Vidia Rossa?  Model terkenal itu?! Niki cinta Vidia Rossa.  Bahkan, dia punya posternya di kamar, tepat di atas meja belajarnya. Kalau lagi suntuk belajar, Niki akan bengong menatap poster itu sambil berkhayal. Vidia Rossa  melenggak-lenggok di atas CATWALK untuk memamerkan koleksi musim gugur Prada, launching koleksi hasil desainnya sendiri di New York tempo hari, yang masuk masalah fashion lokal  maupun luar negeri. Vidia Rossa,  yang garis  wajahnya mirip Claudia Schiffer, tapi dengan keanggunan ala Gisele  Bundchen.
"Tuh, anaknya baru aja dateng!"
Secepat kilat, separuh isi kelas  berhamburan keluar untuk melihat rupa anak tunggal Vidia Rossa  yang hari ini resmi jadi murid SMU Harapan. Hanya Nata yang bermalas-malasan di mejanya, lebih senang mendengarkan musik dengan iPodnya daripada ikut bergosip.
"Nat, anaknya Vidia Rossa!" Niki masih dengan bersemangat mengguncang lengannya.
"Terus kenapa...?"
Huh. Niki cemberut, lalu menyusul Helena keluar. Nata tidak akan peduli sekalipun itu anak presiden. Dia melihat seorang gadis dalam balutan seragam merah kotak-kotak, yang menenteng tas Juicy Couture terbaru seperti yang pernah dilihatnya di katalog fashion bulan ini. Gadis  itu memang jelas-jelas Indo, dengan rambut kecokelatan sepunggung yang ditarik dengan baret hitam. Tubuhnya sangat tinggi dan sangat kurus, terlihat sedikit canggung ketika berjalan.
"Ceking banget, pasti anorexic." Bisik-bisik terdengar di antara kaum perempuan, raut iri dan kagum terlukis jadi satu di wajah mereka. Niki tidak mengindahkannya, dia sudah terbiasa mendengar komentar sinis teman-temannya.
Murid-murid laki-laki mulai bersiul dengan kurang sopan, membuat gadis itu mendongak ke atas, ke arah mereka yang sedang bergelantungan di depan kelas di lantai dua. Matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Niki.
Niki tersenyum kikuk. Gadis  itu memiringkan kepalanya sekilas, lalu kembali bergegas ke arah ruang TU.

***

ANNAL ISE
W i sh # 2: I want t o fi t i n (Annal i se )

Jadi anak baru memang menyabalkan; salah satu hal paling menyebalkan di dunia ini selain kepergian Mama berbulan-bulan lamanya dan mendapat label anak aneh hanya karena dia lebih suka membaca daripada hangout seperti remaja lain seumurnya.
Annalise sudah sering pindah sekolah. Saking seringnya, dia sampai tidak ingat sudah berapa kali dia hengkang dari  satu sekolah dan masuk ke sekolah lainnya. Beberapa kali keluarganya pindah mengikuti jadwal tour Mama keluar negeri, mulai dari  Tokyo, London, New York, sampai balik  lagi ke Jakarta, tempatnya dilahirkan. Annalise tidak terlalu ingat tahun-tahun pertamanya tinggal di sini, waktu itu dia masih sangat kecil.  Baginya, kota ini besar tapi semrawut. Sarat polusi, macet, dan panas setiap saat. Namun, entah mengapa dia suka tinggal di sini. Begitu banyak hal menarik yang bisa dipotretnya dengan kamera Nikon yang mengganduli lehernya ke mana-mana.
Annalise mendengus mengingat momen pertama kalinya dia menyeberangi lapangan basket sekolah baru ini--tadi pagi.  Dia berjalan lengkap dengan seragam sekolah lamanya yang berbasis kotak-kotak merah, tas suede krem hadiah dari  Mama waktu ke Milan, dan sepatu kets baru yang masih bersih. Terdengar siulan-siulan kurang senonoh dari  lantai atas, dan begitu dia mendongak, belasan remaja laki-laki sedang menunduk ke bawah, memperhatikannya dengan seksama. Malah ada beberapa yang dengan cuek memotretnya dengan kamera HP. Dengan ngeri, Annalise mempercepat langkah ke arah ruang tata usaha untuk mengambil buku-buku pelajarannya semester ini.
Bunyi suit-suit makin keras mengikuti bayangannya, lalu jadi senyap setelah guru BP yang berdiri di depan ruang TU menghardik mereka dengan galak. Annalise menghela napas lega, untuk sementara dia bebas, tapi predikat anak baru sudah keburu melekat. Dia merasa seperti objek, hanya karena dia bule. Blasteran. Indo. Beda dari  yang lain.

***

Belum lama dia duduk di kantin sendirian, sudah banyak yang bergosip tanpa berusaha mengurangi volume suara.
"Itu anaknya Vidia Rossa,  kan? Model terkenal tahun sembilan puluhan!" "Katanya sih begitu. Tadi liat gak dia diantar pakai Jaguar hitam? Pasti tajir banget."
"Ya anaknya model dan perancang terkenal, gitu lho."
Kuping Annalise panas mendengarnya. Dia memang berat di nama--mamanya adalah Vidia Rossa  Roberts, model senior yang masih sering muncul di vogue walau usianya sudah hampir empat puluh. Model berdarah Russia-Amerika-Indonesia yang namanya sudah malang-melintang di dunia fashion, yang akhir-akhir ini banting setir untuk berkiprah di dunia fashion design. Walaupun itu berarti beliau akan jarang di rumah, lebih sering menghabiskan waktu di atas kursi empuk bussiness class  pesawat terbang, menenggak beberapa butir aspirin untuk menghilangkan jet lag di kamar hotel, lalu sibuk mengurus ini-itu dengan partner bisnisnya. Walaupun itu berarti Annalise akan sangat merindukan Mama sampai akhirnya terbiasa dengan ketidakhadirannya.
Annalise menarik sejilid  buku usang dari  tas dan mulai membaca sambil menikmati makan siangnya. Wuthering heights, sebuah judul yang tak pernah bosan dibacanya. Diam-diam dia hilang dalam bacaan itu, barisan kalimat yang bagaikan menghipnotis, untuk sementara membuatnya lupa bahwa dia adalah orang asing di sekolah ini.

***

NATA

Nata tidak ingat kapan tepatnya Niki mulai berubah.
Niki yang dikenalnya dulu adalah anak perempuan bandel yang tidak gentar memanjat pohon jambu di halaman rumahnya. Anak kecil  yang cekikikan sambil mengebut dengan sepeda gunungnya, juga tak ragu bermandi hujan dan air banjir yang becek. Mereka sudah bertetangga sejak  usia lima tahun, jadi Nata bisa bilang kalau dia mengenal sahabatnya ini luar  dalam.
"Nataooo!"
Nata bahkan menghafal suara cempreng itu dengan baik. Niki berdiri di hadapannya sambil mengunyah batangan snack kismisnya, lengkap dengan seragam cheers yang serbapink. Rambut sebahunya dikucir satu tinggi-tinggi di atas kepala, bibirnya terulas lipstik merah muda senada, dan matanya dibingkai sedikit pemulas.
"Mau latihan cheers atau mau ke pesta, sih?" Nata tidak tahan untuk tidak menyindir pedas. Akhir-akhir ini, Niki jadi gemar dandan. Dia jadi salah satu anggota cheers, jadi tergila-gila dengan warna pink, selalu diet dengan hanya mengonsumsi makanan rendah kalori, dan jadi... centil. Nata masih kurang terbiasa dengan kebiasaan baru macam ini.
Niki melengos sambil cemberut. "Hari ini mau nungguin aku selesai latihan, kan?"
Nata melirik jam tangannya. Masih ada satu jam. "Ya udah, deh."
"Sip!" Dengan senyum lebar, Niki menepuk pundak Nata dua kali sebagai  ungkapan terima kasih, lalu menghilang di balik  pintu ruang olahraga. Tidak lama kemudian, lagu  Avril Lavigne yang sering dipakai tim cheers untuk latihan menggema sampai ke luar.
Nata menggaruk kepala dan menyeret langkah ke arah UKS. Tidur siang lagi di ranjang UKS, deh. Kalau tidak, kasihan Niki, nanti pulangnya jalan kaki sendirian.

***

Nata bisa bersahabat dengan Niki karena ibu mereka dekat. Sejak keluarga Niki pindah ke seberang rumah Nata, ibu mereka saling mengunjungi sambil membawa anak masing-masing. Kadang kursus masak bareng, kadang ikut kelas aerobik sama-sama, perawatan di salon, arisan atau sekedar mengobrol dengan dua cangkir teh hangat. Anak-anak ditinggal di pekarangan begitu saja, mungkin semacam latihan sosialisasi supaya mereka mudah berinteraksi sejak  usia dini.
Awalnya, Nata dan Niki tidak acuh terhadap satu sama  lain. Nata duduk sendiri dengan robot-robotannya di pangkuan, sedangkan Niki main Barbie lengkap dengan rumah-rumahannya. Acha selalu tertidur di atas sofa, mengisap jempol. Namun, setelah berjam-jam, para Mama mengobrol tanpa ada tanda-tanda akan selesai, Niki sepertinya mulai gerah.
"Kamu punya sepeda?"
Nata mendongak ketika ditodong seperti itu. Dari tadi dia sengaja tidak menyapa gadis kecil  itu, takut koleksi robotnya dirusak atau terpaksa main Barbie juga.  Ih, Nata tidak akan mau ke-gap sedang main boneka perempuan!
"Punya sepeda nggak?" Anak itu mengulangi dengan tidak sabar. Nata menunjuk ke arah garasi tanpa berkata-kata lebih lanjut. "Yuk!"
Dengan tenaga yang cukup besar untuk seorang anak perempuan, Niki menarik tangan Nata, setengah menyeretnya ke garasi.
Niki yang pertama kali mengajarinya bahwa mengayuh pedal kencang-kencang lalu membiarkan sepeda menuruni lintasan curam adalah salah satu hal paling mengasyikkan di dunia. Niki memberitahunya bahwa kenikmatan main ayunan adalah udara segar yang menerpa wajah saat mereka berdiri di atas papan kayu sambil menentang angin. Niki juga yang sibuk bercerita bahwa langit yang paling indah ada tepat sebelum malam beranjak masuk--ketika langit berubah ungu dan merah jambu dengan loreng-loreng merah oranye, dengan mataharinya kembali ke peraduan. Sebagai gantinya, Nata mengajari Niki menangkap kunang-kunang dengan tangan kosong, juga berbagai tempat kesukaannya di kebun belakang dengan gadis kecil  itu.
Mereka bergantian membonceng sepeda sampai Mama Niki mengajak anak perempuannya pulang. Waktu itu, Nata hanya bisa memandang Niki yang berjalan menjauh, sambil sesekali berbalik dan melambai ke arahnya dengan gigi ompong yang terlihat di balik  senyum lebarnya.

***

"Anna, seragamnya sudah selesai."
Tiga potong seragam putih abu-abu yang sama  persis bentuk dan ukurannya diserahkan dalam bungkusan plastik. Annalise lega besok dia bisa mulai berseragam sama  dengan murid-murid di sini. Gara-gara tidak ada seragam yang pas dengan tubuhnya yang tinggi kurus, pihak sekolah terpaksa membuat tiga setel khusus costum-made untuknya.
Besok,  hari-hari sekolahnya sebagai pelajar SMU di Jakarta akan dimulai. Hari ini, dia setengah membolos, untuk mengurus administrasi.
"Bu, bisa minta obat?" Annalise bertanya sopan pada perempuan di balik  meja Tata Usaha. "Kepala saya pusing."
"Oh, minta saja di UKS. Tuh, di lorong kedua belok kiri."
"Terima kasih." Annalise bergegas ke arah yang ditunjuk dengan kepala berdenyut. Tiba-tiba saja kepalanya pusing. Semalaman berkutat mencetak hasil fotonya di ruang gelap membuatnya kurang tidur, dan kalau sedang asyik sendiri, Annalise jadi sering lupa dia punya problem anemia yang cukup parah.
Ruang UKS kosong. Ada tempat tidur berkelambu putih di pojok, lengkap dengan kabinet obat-obatan di sampingnya dan sebuah meja  kecil.  Tidak  yakin apa yang harus dilakukan, ia memutuskan untuk menunggu sambil bersandar pada sebuah kursi.
Tak lama kemudian, seorang murid laki-laki masuk tanpa mengetuk pintu, membawa iPod  hitam special edition U2 dengan volume diputar keras-keras. Dia menyapukan pandangan sekeliling, dan tanpa berkata apa-apa langsung
melompat ke atas ranjang UKS. Annalise diam saja, berharap penjaga UKS segera datang.
Tidak  lama kemudian, terdengar suara murid laki-laki itu yang bertanya, "Sakit apa?"
Annalise tadinya tidak yakin dia sedang mengajaknya bicara, tapi berhubung hanya mereka berdua yang sedang ada di sana, dia memberanikan diri menjawab lirih. "Pusing."
"Pusing?"
Pipinya memerah seketika. "Ya. Anemia."
Tirai yang menutupi tempat tidur disibakkan dengan bunyi berisik. Murid laki-laki itu melongokkan kepalanya untuk melihat Annalise. "Kalau begitu lo pasti lebih butuh tempat tidur ini daripada gue."
Dia setengah memaksa Annalise untuk berbaring di sana, tidak menghiraukan tolakan bernada sungkan. Annalise memperhatikannya diam-diam; rambut yang terjuntai berantakan di kerah dan melewati telinga, sepasang mata gelap dengan pandangan tajam, dan ekspresi wajah cuek yang tidak tersenyum. Lalu, pemuda itu mengambil tempat duduk tidak jauh dari  sana, memejamkan mata sambil mendengarkan lagu.  Bekas tempatnya berbaring hangat, dan Annalise pun turut memejamkan mata.
"Kamu sendiri sakit apa?"
Pemuda itu menarik sebelah earphone-nya supaya bisa mendengar lebih jelas. "Penyakit malas. Lagi pula, cuma tempat ini yang bisa dijadiin sarana tidur siang yang aman dan nyaman."
Annalise tertawa kecil  mendengar jawaban yang dilontarkan seenaknya itu. "Lagi denger lagu  apa?"
Lawan bicaranya menyeringai ketika ditanya begitu. "Mau denger juga?"
Annalise menyambut sebelah earphone dengan ragu dan melekatkannya di telinga. Bukan jenis lagu  yang biasa didengarkannya, tapi... cukup menarik. Interesting, Annalise menyimpulkan this guy has an interesting sense of music.
Mereka berdua menghabiskan setengah jam di sana, berdiam diri sambil mendengarkan lagu  dari  album U2--joshua tree.

***

"Nataoo!!"
Pintu UKS dibuka dengan sembrono, membuat Nata terlonjak sedikit. Niki masuk dengan napas tersengal, ikat rambutnya longgar sehingga helai-helai rambut yang membingkai pipi  bulatnya basah oleh keringat. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis berdiri tidak jauh dari  tempat tidur UKS yang sempit. Niki mengenalinya sebagai murid baru (anaknya Vidia Rossa!) yang pagi  tadi datang dengan seragam sekolah lamanya. Kalau tidak salah namanya Annalise Putri. Nama  yang anggun sekali,  seperti nama seorang putri. Dalam jarak dekat seperti ini, Niki bisa melihatnya lebih jelas; sepasang alis yang melengkung sempurna, mata hijau tua yang dibingkai oleh bulu mata panjang yang super lentik, dan wajah polos yang pucat tanpa make-up. Fitur-fitur wajahnya begitu menonjol dan tidak proporsional--kedua matanya sipit, sedangkan hidungnya sedikit crooked, persis seperti ibunya, namun entah mengapa dia terlihat menarik. Seperti model, Niki membatin. Di matanya, Annalise terlihat begitu keren dalam balutan seragam sekolah swasta luar negeri.
Sebelum Niki sempat berkata apa-apa pada anak baru itu, Nata bangkit berdiri, lalu menghampiri Niki. Seperti biasa,  ditariknya tas yang disandang Niki sehingga kini ia membawa dua tas, termasuk miliknya sendiri yang tersampir di punggung. Mereka berdua berjalan menuju lapangan parkir sekolah. Sesekali Niki menengok ke belakang, melihat Annalise yang masih duduk di atas tempat tidur UKS.
"Kamu kenal sama  anak baru itu?"
Nata mengangkat bahu. "Tadi baru kenal waktu di UKS doang kok." Anna. Panggilannya akrab banget, Niki berpikir diam-diam. "Dia sakit?"
"Katanya sih pusing."
"Ooo. Dia mirip sama  Vidia Rossa,  ya? Cantik, ya, Nat! Mudah-mudahan dia sekelas sama  kita." Tidak  lama kemudian, akhirnya Niki berhenti menyebut nama Vidia Rossa  dan mulai sibuk bercerita tentang gaya dance baru yang diciptakannya tadi waktu latihan. Sepanjang perjalanan dengan Niki membonceng bagian belakang sepedanya, bercerita dengan penuh semangat. Nata mendengarkan tanpa antusiasme total, pikirannya merembet ke mana-mana.

***

NATA

Nata memang tidak ingat kapan tepatnya Niki berubah, tapi dia ingat jelas kapan pertama kalinya dia menyadarinya. Hari  itu hari pertama orientasi SMU. Para kakak kelas  dengan kejamnya memaksa seluruh murid tahun pertama untuk memakai seragam SMP lama mereka lengkap dengan rangkaian petai terkalung di leher. Yang perempuan harus mengepang rambut jadi tiga puluh bagian--tidak peduli seberapa berantakan yang penting ada tiga puluh set per kepala. Yang laki-laki harus pakai bando perempuan, plus jepitan rambut warna-warni.
Pagi itu, Niki muncul sambil merengut. Ia tampil heboh dengan tatanan rambut dikepang rapi  kecil-kecil, juga untaian petai yang semerbak. Rok SMP-nya sudah Saracilan dan kependekan, sehingga dia terus-menerus menarik ujungnya dengan tak nyaman.
Nata tidak sadar betapa cepat Niki berkembang selama dua bulan libur musim panas kemarin. Padahal, dari  dulu Niki kan pendek, kecil,  dan pakai kawat gigi. Pokoknya boyish abis. Rambutnya juga biasa dibiarkan pendek dan menjuntai hingga leher, lebih banyak terkena matahari sehingga ujungnya pecah-pecah.
"Aneh, ya?" Niki bertanya dengan gemas, menarik-narik rambutnya. "Mana petainya bau banget lagi."
Nata ingin tertawa, tapi dia malah tercengang. Niki masih Niki, tapi Niki bukan lagi Niki. Masuk akal gak sih? Maksud Nata, sekarang Niki kelihatan berbeda. Entah sejak  kapan kedua tungkai kakinya mulai memanjang, diikuti dengan lekuk pinggang yang sempurna. Kulitnya terasa lembut ketika menyentuh Nata. Rambutnya mulai dipanjangkan hingga menyentuh bahu, bersih dan berkilau di bawah terik matahari. Nata jadi ingin menyentuhnya, ingin tahu karena kelihatannya halus sekali.  Matanya bulat, bibirnya kemerahan, lehernya jenjang. Niki... cantik. Adjektif terakhir itu terdengar aneh di mulut Nata. Karena dia tidak pernah menganggap sahabatnya itu sebagai perempuan sungguhan.
Lalu, ada lagi kejadian ketika cowok-cowok kelasnya berkumpul, topiknya tentu saja tidak jauh-jauh dari  perempuan.
"Cewek-cewek SMU Harapan cantik-cantik, ya." Rizky, salah satu anak baru, buka suara. "Gak nyesel masuk sini."
Waktu itu, Nata diam saja, tanpa komentar menonton anak-anak kelas  dua main basket di lapangan dari  tempatnya bergelayut di pagar lantai dua. Dia paling malas ikut nimbrung masalah perempuan dan penaklukan--kesannya macho tapi norak.
"Iya," timpal Debo, salah satu teman sekelas Nata sejak  SMP. "Cakep-cakep. Liat sih Helena, mulus banget. Atau si Vanya."
Lalu, murid-murid pun ikut berdiskusi dengan seru.
"Kalau gue  sih lebih suka sama  Linny. Seksi." Yang lain sibuk menggoda dan bersiul nakal.
"Kalo gue  milih Sara. Gue  demen cewek yang mungil kayak  dia." "Sara biasa aja. Kalo Niki gimana?"
Kuping Nata jadi supersensitif mendengar nama itu disebut.
"Niki? Nikola  ciputra ya...?" Salah seorang dari  mereka mulai memperhatikan gerak-gerik Niki yang sedang mengobrol seru dengan teman-temannya di tepi lapangan. "Manis. Ceria,  kayaknya orangnya asyik."
"Tipe gue  banget tuh!"
"Niki, kan, teman dekat Nata sejak  kecil." Kiki, yang memang sudah mengenal Nata dan Niki sejak  SD berkomentar. "Gimana menurut lo Nat?"
Nata mengangkat bahu dengan cuek, tapi hatinya sedikit berdebar. "Biasa aja. Gue  udah terlalu lama sahabatan sama  dia."
"Jadi boleh kita kejar,  ya?"
Nata tidak terlalu mendengarkan lagi. Dia tidak ingin mengakui bahwa dia juga merasa Niki menarik. Kenapa, ya? Padahal, dari  dulu Nata biasa aja di dekat Niki. Cewek itu yang berubah... atau Nata yang berubah?

***

Pikiran Nata buyar seketika begitu Niki melompat dari  sepeda dan meraih tasnya. Pelukan di pinggangnya melonggar begitu saja.
"Thanks, Nat! See you  tomorrow."
Sebelum masuk ke rumah, Niki sempat melambai dan tersenyum lebar. Bau cologne bayi yang dipakainya masih menusuk hidung Nata, membuatnya sedikit kepayang.
Pintu rumah Niki sudah tertutup rapat, tapi Nata masih bengong sambil menuntun sepedanya. Iya, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Nata masih tidak tahu perasaan apa itu. Tapi, kenapa hatinya jadi berdebar tidak keruan?

***
W i sh # 3 : aku  i ngi n me l i hat ny a t e r se ny um  (Annal i se )
Namanya MaNata Stevano Aditya Haling. Annalise mendengar  orang-orang memanggilnya Nata, jadi dia pun mencoba menyebutkan nama itu diam-diam, untuk mengetes bunyinya. Nata. Nata.
Dengar-dengar, dia sangat pintar. Nilainya tidak pernah kurang dari  angka delapan, walaupun dia jarang belajar dan lebih sering ketiduran saat pelajaran. Gayanya cuek dan sepertinya sifatnya agak  pendiam.
Annalise mengambil tempat duduknya di sebuah bangku kosong di baris kedua paling belakang. Hari  ini, resmi jadi hari pertamanya belajar di sekolah baru. Tasnya sudah terisi beberapa buku tulis kosong dan daftar pelajaran per minggu, juga sekotak pen warna biru yang khusus dibelinya. Murid-murid lain masih berkeliaran di luar  sebelum bel berdering, beberapa duduk di atas meja sambil mengobrol. Annalise tahu dia masih jadi pusat perhatian. Diam-diam, dia menyalahkan bentuk tubuhnya yang kurang normal dan penampilannya yang sangat jauh dari  raut Asia.
Juga nama Mama yang sangat, sangat tenar.
Dengan gugup, Annalise mengeluarkan buku-bukunya. Merapikan mereka di atas meja,  menyusunnya berdasarkan urutan pelajaran. Memasukan beberapa ke dalam laci, lalu berubah pikiran. Duh, kapan sih bel akan berbunyi?
Di depan kelas,  Annalise melihat Nata. Dia sedang bercanda-canda dengan murid sekelasnya, seorang gadis berambut poni yang lengan kemeja putihnya digulung dan dijepit bros pink--gadis yang kemarin membuka pintu UKS, lalu pulang bersama Nata. Dia menyambut uluran tangan Nata, menerima earphone dan memasangnya di telinga.
Tiba-tiba, Nata mendongak. Pandangannya dan Annalise bertemu tanpa sengaja. Annalise jadi salah tingkah, lalu menunduk malu. Ketika ia mengangkat muka, Nata sudah mengambil kembali earphone-nya dari  gadis itu. Tiga detik kemudian, bel pertama berbunyi. Nata mengambil tempat duduk tepat di belakangnya. Annalise menyembunyikan wajahnya yang memerah walau dia yakin Nata tidak akan bisa melihatnya.
Cewek yang tadi berdiri di samping Nata justru duduk di samping Annalise. Dia memperhatikan Annalise sejenak, lalu pertanyaan itu tersembur begitu saja dari mulutnya, "Kamu beneran anaknya Vidia Rossa,  kan?"
Pertanyaan itu terdengar sungguh polos sehingga insting pertama Annalise adalah ingin tertawa daripada tersinggung, tapi jika dia tertawa pasti akan tidak sopan sekali.  Jadi sambil menahan tawa, Annalise mengangguk serius.
Nata berkomentar singkat dari  belakang. "Niki fans beratnya Vidia Rossa." Gadis itu--Niki, mengangguk antusias. "Bisa minta tanda tangannya gak yah?" Annalise tersenyum dikulum, lagi. "Sekarang, Mama lagi tour ke Paris. Nanti ya kalau udah balik,  aku mintain tanda tangannya untuk kamu." Mata Niki membulat kagum. Annalise sadar sesuatu, lalu menjulurkan tangannya. "Oh ya, aku Annalise. Pleasure to meet you."
Niki menyambut jabatan tangannya dengan senyum lebar. "Aku Alyssa. Panggil aja Niki."
Nata menggeleng-geleng ringan. "Hati-hati sama  Niki, nanti diterkam. Dia mengoleksi segala hal yang berbau Vidia Rossa."
Yang diledek memukul lengan Nata dengan lembut, lalu mencubitnya. Annalise merasakan kedekatan mereka, mungkin mereka teman baik, atau bahkan... pacar?
"Niki sahabat gue,  sejak  kecil." Nata berkata lagi dengan tiba-tiba seakan bisa membaca pikirannya. Annalise bersemu merah sekali  lagi, lalu mengangguk mengerti.
"Kemarin, belum sempat tur keliling sekolah, kan?" Niki berkata sambil tersenyum. "Nanti, pas istirahat siang, aku tunjukin tempat-tempat rahasia sekolah ini, dari  tempat makan bakso paling enak sampai tempat bolos paling oke."
Annalise menyanggupi tanpa banyak bicara. Sejujurnya, dia tidak berharap banyak untuk persahabatan ini, toh Annalise tidak terbiasa memiliki sahabat. Setiap pindah sekolah, selalu ada teman-teman lama yang ditinggalkannya, juga orang-orang baru yang harus dikenalnya. Awalnya dia terus berkoresponden dengan beberapa teman lamanya, tetapi lama-kelamaan rutinitas menulis e-mail untuk satu sama  lain semakin berat dan mereka hilang kontak begitu saja. Sejak saat itu, Annalise tidak ingin terlalu dekat dengan remaja-remaja
seumurnya--dia benci rasa kehilangan ketika akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal.
"Kamu mau ikut ekstrakulikuler apa?" Gadis  di sampingnya mulai berbicara lagi. Sepretinya, dia tidak pernah kehilangan energi. "Di sini ada kelas  melukis, memasak, olahraga, band, sampai cheerleading." Sambil membusungkan dada, Niki melanjutkan dengan nada bangga, "Aku anggota cheers. Kamu  mau ikutan? Dengan postur tubuh seperti kamu, pasti gampang banget jadi anggota."
Annalise tidak ingin menjawab bahwa jadi pemandu sorak adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Mereka semua tidak tahu seberapa buruknya dia dalam olahraga, apa pun jenisnya. Dia tidak bisa memegang raket dengan benar, selalu gagal  memasukkan bola  ke dalam gol maupun keranjang, selalu lari paling lambat, dan dengan ceroboh jatuh karena tersandung kaki sendiri. Jadi cheerleader? Bisa-bisa semua orang mati ketawa melihatnya berlaga di atas panggung dengan pompom rafia warna-warni dan gerakan patah-patah.
"Ada kelas  fotografi?"
"Ada." Nata yang menjawab. "Tahun ini anggota klub fotografi mau bikin galeri kecil  untuk pentas seni."
Hati Annalise melambung, dan segera dia teringat pada kameranya yang sudah lama tidak menjepret foto. "Kalau begitu aku akan bergabung dengan klub fotografi."
Niki kelihatan sedikit kecewa. "Padahal, kamu pasti cocok banget jadi cheerleader."
"Nanti aku foto kalian para cheerleader aja deh." Annalise menawarkan, dan dengan cepat semangat Niki pulih. "Kamu bisa jadi modelnya."
Tangannya sudah gatal ingin memotret. When you  take a photograph of someone, you  take a potrait of their soul,  begitu ayahnya sering berkata. Annalise ingin mengunci ekspresi di wajah Niki, semangatnya yang berkobar-kobar dan wajah polosnya yang manis. Wajah orang-orang asing di sekitarnya, yang merupakan objek fotografi paling menarik. Lalu, wajah Nata, sorot matanya yang tajam, garis  wajahnya yang tegas, dan senyumnya yang belum pernah benar-benar tampak sebelumnya.
Jika dia tersenyum, Annalise ingin menyimpan kenangan ekspresi itu melalui lensa.

***

W i sh # 4 : menggaet putri model i nternasional dalam  tim cheers
(H e l e n a)

Helena membuka halaman demi halaman majalah Vogue-nya yang terbaru, diam-diam matanya mengikuti gerak-gerik gadis yang sedang asyik tenggelam dalam bacaannya di sudut perpustakaan yang sepi.  Annalise Putri, sang murid baru itu, tampak tidak memedulikan keadaan sekelilingnya. Beberapa hari ini, dia memang lebih sering terlihat sendirian, atau sesekali bersama Niki dan teman cowoknya, Nata.
Helena mengulang kata-kata yang ingin diucapkannya kepada Annalise sekali lagi dalam kepala, lalu berjalan menghampiri meja  Annalise. Bunyi keras hak sepatunya yang mengetuk lantai sama  sekali  tidak menyebabkan Annalise mengangkat kepala, sepertinya bakan tidak sadar Helena telah berdiri di hadapannya.
Helena berdehem. Baru setelahnya Annalise mendongak dengan ekspresi terganggu yang samar. Delicate, Helena memutuskan kata itulah yang tepat untuk menjelaskan rupa Annalise, walau dia sendiri enggan mengakuinya. Annalise terlihat seperti porselen, mudah pecah jika disentuh.
"Hai." Helena menyapa dengan senyum terbaiknya. Biasanya, murid-murid lain akan segera meleleh ketika melihat senyum itu, mungkin bangga karena gadis sepopuler dirinya mau menyapa mereka. Namun, Annalise hanya menatapnya dengan ekspresi yang sama,  sama  datarnya dengan ekspresi yang pernah diberikan Nata saat Helena menyapanya pada hari pertama mereka bertemu. Pipi Helena memanas, dan dia memutuskan untuk langsung ke inti pembicaraan.
"Gue dateng khusus untuk mengundang lo masuk ke tim cheerleader. Biasanya, orang-orang harus ngelewatin audisi ketat untuk bisa gabung ke tim kita, tapi gue  bersedia untuk ngasih lo sebuah kesempatan langka."
Mata Annalise mengerjap seakan tidak percaya. Untuk sesaat, Helena merasa yakin dia telah berhasil menggaet anak Vidia Rossa  ke dalam grup elitenya, yang terdiri dari  anak-anak paling populer di sekolah mereka. Awalnya, dia memang antipati terhadap Annalise karena perhatian murid-murid SMU Harapan berpindah dari  dirinya. Tapi, Helena tahu, dengan titel Annalise sebagai anak supermodel internasional yang terkenal, grupnya akan semakin solid.  Dia sendiri, sebagai tombak, sudah lama berkiprah sebagai model print media maupun iklan televisi sejak  usianya lima tahun, mengikuti jejak karier sang ibu yang pernah menjadi model terkenal juga pada masa  jayanya. Tapi, Annalise tidak berkata apa-apa, seakan sedang memikirkan jawaban yang tepat untuknya.
"Gimana?" desak Helena. "Kalo ikut tim gue,  lo gak akan lagi sendirian di perpustakaan yang sumpek seperti sekarang. Lo akan dapet akses ke semua a-list parties yang ada,  dan hangout dengan orang-orang terkenal. You won't regret this."
Yang tidak disangkanya adalah senyum sopan Annalise yang disusul dengan gelengan kepala. "thanks for the invite, but no."
Tidak?  Helena berkedip dan membuka matanya perlahan, ingin memastikan penolakan itu. Mayoritas populasi sekolah ini memilih popularitas dibanding nilai bagus. Kesempatan semacam ini hampir tidak pernah diberikannya secara cuma-cuma kepada siapa pun, bahkan setelah mereka memohon. Masih banyak gadis di sekolahnya yang berusaha sebisa mungkin untuk menjadi bagian dari gengnya, tapi Annalise masih berkutat dengan ekspresi yang sama,  menandakan pembicaraan mereka sudah selesai. Tidak  tahu apa yang harus dilakukannya, Helena memaksakan senyum dan berkata, "Too bad." sebelum meninggalkan perpustakaan dengan langkah panjang.
Sialan, dengusnya berulang-ulang dalam hati. Sial. Memangnya dia kira, dia siapa?  Mentang-mentang anak orang terkenal.
Tidak  banyak orang yang berkata tidak pada Helena. Dan, ketika dia bertemu dengan orang-orang yang melakukannya, Helena tidak akan pernah melupakannya.


***

Annalise menatap Helena berjalan menjauh dengan bingung. What's with everybody? Kenapa mereka niat sekali  mengajaknya bergabung dengan tim cheerleading? Setidaknya, dia yakin motif Niki lebih bersahabat daripada Helena karena di mata Niki dia hanya melihat excitement dan ketulusan, sedangkan dalam ekspresi Helena dia melihat sesuatu yang lain. Annalise sering melihatnya dalam pandangan mata orang-orang yang ditemuinya sejak  kecil  saat ia mengikuti Mama untuk sesi pemotretan--baik itu para wartawan yang menguntit, sesama model, atau manager Mama yang sering berganti-ganti.
Kemungkinan besar perkataan Niki benar, mereka semua menginginkan Annalise dalam tim cheerleading karena postur tubuhnya yang jangkung--hampir melebihi seratus delapan puluh sentimeter di usia enam belas, dan dia tahu perkembangannya tidak berhenti sampai di situ saja. Sejujurnya, Annalise tidak pernah nyaman terperangkap dalam tubuhnya sendiri--terlalu jangkung sehingga dia cenderung membungkuk ketika berbicara dan berjalan di samping orang-orang yang lebih pendek daripada dirinya. Belum lagi berat badannya yang tidak pernah meningkat drastis apa pun yang dimakannya, a blessing for most people, a curse for her. Kadang, Annalise merasa dirinya hanya dibalut kulit dan tulang.mengapa dia tidak bisa lebih seperti mamanya?
"Anna!"
Seruan itu membuatnya tersentak lagi. Niki sedang berdiri di pintu perpustakaan melambai-lambai riang sambil berusaha meminta maaf kepada penjaga perpustakaan yang menegurnya karena terlalu ribut. Nata berdiri di belakangnya, memunggungi pintu dengan sebuah bola  basket di tangannya.
"Main yuk!"
Annalise tersenyum lagi, kali ini tanpa paksaan. Entah mengapa dia merasa gembira berada di antara Nata dan Niki, padahal mereka belum saling mengenal dengan baik. Niki selalu mengikutsertakannya dalam segala sesuatu, sedangkan Nata mendukung dari  belakang. Mereka berdua tidak pernah menganggapnya selebritas, bersikap apa adanya, tanpa pretensi.
Annalise menutup buku Anna Karenina yang sedang dibacanya, lalu beranjak keluar dengan perasaan ringan.


***

DHANNY
Dhanny terbangun oleh bunyi berisik yang muncul dari  lantai bawah. Ia mengucek mata untuk mengusir sisa tidur, lalu beranjak bangun sambil mengusap rambutnya yang mencuat ke mana-mana.
"Nat!" Dipanggilnya adik  bungsunya melalui tangga yang meliuk ke arah ruang keluarga di lantai dasar. Tidak  ada jawaban. Tanpa mengenakan kaus untuk menutupi dadanya yang telanjang, dia menelusuri tangga dengan langkah lebar-lebar. Siapa  sih yang mengganggu tidurnya pagi-pagi begini? Sudah pukul sepuluh lewat sih, tapi hari Sabtu kan jatahnya tidur sampai siang.
Nata tidak ada di bawah, tapi seorang gadis sedang membuat minuman di dapur. Dia berdiri membelakangi Dhanny, mengenakan sepasang faded denim dan kemeja putih yang agak  gombrong. Rambutnya panjang mencapai punggung. Dhanny mengerenyit. Siapa  nih orang asing yang tiba-tiba ada di dalam rumah?
Tiba-tiba, cewek itu berbalik dengan gelas  minumannya, dan hampir menjatuhkannya karena kaget. Tidak  lama kemudian tampaknya dia baru menyadari bahwa Dhanny masih mengenakan piyama tidur kotak-kotak tanpa kaus,  dan pipinya memerah.
"Kamu siapa?" Dhanny bertanya dengan suara berat oleh kantuk. "Nata mana?" Gadis  itu menunjuk tanpa suara ke arah perpustakaan keluarga, yang juga dijadikan ruang kerja  dan belajar. Dia lalu berlari keluar, melupakan gelasnya.
Dhanny mengambilnya dari  atas dipan. Teh herbal dengan banyak es batu. Sambil mengingat-ingat wajah gadis tadi, Dhanny menyeruput tehnya tanpa banyak bicara, lalu menjulurkan lidah. Pahit.

***

Annalise baru menyadari bahwa dia meninggalkan gelas  minuman yang tadi dibuatnya di atas dipan. Tapi, kembali ke dapur untuk mengambilnya akan terlihat konyol sekali,  jadi dengan serba-salah dia kembali menarik kursi dan mencoba berkonsentrasi dengan buku pelajarannya.
"Kenapa, kok buru-buru?" Niki yang kebingungan melihat gelagat Annalise bertanya penasaran, bertopang dagu sambil mengerjakan bagiannya dalam tugas kelompok sejarah yang jadi PR mereka minggu ini. Mereka bertiga sedang berkumpul di rumah Nata untuk menyelesaikannya.
Annalise menggeleng cepat. Dia masih ingat muka cowok yang masih ngantuk tadi, menyapanya santai dengan keadaan setengah telanjang. Ini pertama kalinya dia melihat seorang laki-laki selain Papa  bertelanjang dada, dan tiba-tiba saja dia jadi malu setengah mati. Rambut laki-laki tadi dipotong cepak dengan gaya tentara, ujungnya yang memanjang berdiri lancip. Usianya kurang lebih dua puluh, terlihat seperti Nata dalam versi  dewasa. Tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya, dia bertanya pada Nata, "Kamu punya kakak laki-laki, ya?"
Nata mengangkat muka sebentar untuk menjawab, "Iya."
"Tadi kamu ketemu Kak Dhanny?" Niki mulai menginterogasi dengan senyum nakal, sejenak melupakan tugas yang masih belum diselesaikannya. "Kaget ya? Kak Dhanny memang ganteng, sih."
Dhanny Jonathan--alias Kak Dhanny, adalah cinta monyet Niki. Bagi Niki, tetangga sebelah yang lebih tua beberapa tahun darinya itu selalu jadi sebuah misteri. Dhanny akan pergi dengan teman-temannya yang keren sampai malam, bisa mengendara mobil ke mana-mana sendirian, dan sering latihan basket di garasi luar,  sambil memamerkan lemparannya yang jitu. Sementara, dia dan Nata hanya bisa bersepeda keliling kompleks, mengerjakan PR bareng, atau nonton di mal dan pulang sebelum pukul sembilan. Membosankan.
"Nat, Kak Dhanny udah punya pacar belum sih?" Tiba-tiba, Niki ingin tahu.
Nata mengangkat bahu dengan tak acuh. "Kayaknya, gak ada.  Banyak, sih, yang suka nelepon, tapi belum ada yang dikenalkan secara resmi.
Waktu Nata dan Niki masih SMP, Dhanny pernah punya pacar yang cantik, namanya Sivia. Niki yang mengidolakan Dhanny sempat kecewa bukan main, tapi dengan cepat berbalik mendukung pasangan itu dan menjadikan mereka sebagai ikon cinta yang sempurna. Ia memata-matai mereka berdua, menyaksikan Dhanny menggandeng Sivia, sampai ciuman pendek mereka di depan pintu, ketika mereka kira tidak ada yang melihat.
"Ngomong-ngomong, Kak Sivia ke mana ya sekarang?"
Nata berhenti menulis sesuatu di bukunya. "Gak tau, gak pernah denger kabarnya lagi."
Tepat satu setengah tahun setelah Dhanny dan Sivia jadian, Niki tiba-tiba menyadari bahwa gadis itu sudah tidak pernah muncul lagi. Biasanya setiap Sabtu, mereka akan keluar bersama, kadang bahkan memberikan tumpangan pada Nata dan Niki supaya bisa ke mall. Tapi Sivia sama  sekali  tak pernah datang lagi, dan baik Niki maupun Nata tidak pernah benar-benar menyanyakannya pada Dhanny. Cowok itu pun sepertinya tidak ingin membahasnya.
"Menurut kamu, kenapa ya dia gak pernah datang lagi ke sini?" "Mungkin putus."
Annalise merasa kurang nyaman mendengarkan kisah pribadi seseorang yang tidak dikenalnya, tapi dia diam saja. Niki menarik napas panjang. Nata menatapnya dengan pandangan aneh.
"Kenapa, sih, lo penasaran banget sama  urusannya Kakak? Gue  aja sebagai adiknya nggak pernah nyanya-nanya begitu."
Niki cemberut mendengar sindiran Nata. "Heran deh Nata, selalu pedes omongannya. Kak Dhanny kan udah seperti abang betulan buat aku,  jadi wajar dong kalau aku peduli?"
Nata menggeleng. "Menurut gue,  itu bukan urusan kita."
"Terserah." Niki berhenti menulis dan berpura-pura sibuk membaca komiknya,
 sebuah aksi ngambek setiap kali Nata membuatnya kesal.  Nata menghela napas, lalu beranjak untuk mengambil segelas teh dingin, minuman kesukaan Niki. Hitung-hitung sesajen, supaya Niki tidak marah terlalu lama.
Annalise terdiam, kali ini tidak berusaha melerai. Tanpa disadarinya, ia kembali memikirkan spekulasi Niki mengenai kisah cinta Dhanny. Cowok tadi... pasti menyimpan sebuah luka yang kelam.

***
W i sh # 5 : ke mb al i ke  masa l al u (D hanny )

Dhanny membuka sedikit tirai di kamarnya, menjulurkan kepala untuk mengintip Nata dan Niki yang sedang mengantar kepergian teman mereka, gadis yang tadi ditemuinya di dapur. Gadis  itu melambaikan tangan melalui jendela belakang mobil hitamnya sebelum pergi. Niki lalu mengikuti Nata ke kebun belakang untuk santai-santai di trampolin usang kesukaan mereka.
Waktu masih kecil  dulu, Niki paling senang merepotkan dia dan Nata. Mereka kakak beradik sibuk menemani Niki main, walau Nata paling ogah main boneka-bonekaan. Nata dan Dhanny juga yang mengajari Niki main sepatu roda dan skateboard walau Nata kesal  kalau Niki jatuh lalu menangis. Lalu ketika mereka beranjak dewasa, Dhanny mulai menemukan teman-temannya sendiri, meninggalkan Nata dan Niki yang baginya seperti anak kecil  disbanding teman-teman barunya.
Namun, sekarang Nata dan Niki sudah besar. Nata saja kini sudah hampir setinggi dirinya, dengan pendapatnya sendiri, tindakan memberontaknya, dan kesukaannya pada musik. Sementara Niki, dia sudah tumbuh menjadi perempuan muda yang bersemangat. Dhanny selalu menganggapnya sebagai adik  yang disayanginya, apalagi dia tidak punya saudara perempuan.
Wajah gadis indo tadi kembali muncul di benaknya. Sosok dan posturnya sedikit mengingatkan Dhanny akan seseorang di masa  lalu yang menguak luka lama.  Dhanny menutup tirai, lalu mendesah. Kalau sedang sendu begini, kadang-kadang dia akan teringat pada Sivia. Waktu SMU dulu, mereka juga pernah seceria Nata dan Niki, mengira bahwa mereka bisa mengatasi apa saja.
Butuh sebuah pengorbanan bagi  Dhanny untuk menyadari bahwa cinta tidak seperti dongeng yang selalu berakhir bahagia.

***

Nata berhenti memetik gitar ketika pintu kamarnya diketuk dua kali. Pasti Dhanny. Hanya abangnya yang punya kebiasaan itu; orangtuanya selalu menerobos masuk kamar Nata tanpa merasa perlu mengetuk dulu.
"Mau makan, nggak? Mami  sama  Papi  belum pulang. Macaroni and cheese, yuk?" "Boleh." Nata meletakkan gitarnya dan mengikuti Dhanny ke dapur. Makaroni
keju  adalah makanan favorit mereka berdua. Setiap kali orangtua mereka pergi,
Dhanny dan Nata pasti camping di depan televisi sambil makan sebanyak-banyaknya.
Nata tidak banyak komentar saat Dhanny menyetel saluran ESPN sambil menunggu makanannya matang. Dia memang tidak terlalu suka nonton acara olahraga.
"Tadi, cewek bule yang datang ke sini itu siapa?"
"Annalise." Nata menjawab tanpa menoleh. "Murid baru di kelas  kita, pindahan dari  Amerika. Anna itu anaknya Vidia Rossa,  model terkenal yang digandrungi Niki."
"Oh, pantesan anaknya juga kayak  model," komentar Dhanny. "Niki pasti seneng banget. Kalian masih sekelas, kan?"
"Iya," kata Nata, sambil meraih mangkuk makaroni yang masih hangat. "Sekarang Niki cantik, ya. Pasti banyak yang naksir."
Nata spontan menoleh. Jadi bukan hanya dia yang menyadari perubahan pada gadis yang satu itu. "Kami cuma sahabatan kok," jawabnya defensif tanpa berpikir dua kali.
Sekilas ekspresi bingung melintasi wajah Dhanny, tapi lalu dia tersenyum. "Aku, kan, nggak bilang apa-apa." Melihat Nata mulai memerah dan tidak nyaman, Dhanny menggoda lagi, "Memangnya kalian pacaran? Atau jangan-jangan kamu lagi yang naksir sama  dia."
Kali ini, Nata benar-benar terpojok. Dia pura-pura sibuk dengan acara televisi, padahal dari  tadi dia sama  sekali  tidak memperhatikan tim sepak bola  mana yang sedang memimpin skor.
"Kalau memang suka,  harus dikejar." Dhanny berkomentar iseng, geli sendiri melihat perubahan sikap adiknya yang biasa datar menjadi salah tingkah dengan muka semerah kepiting rebus. "Nanti keduluan cowok lain, lho."
"Sudah kubilang kami  cuma sahabatan," bantah Nata.
Dhanny terSarah menertawakan polah Nata. "Oke, oke." Mereka berdua mencoba duduk diam sambil mengunyah makaroni, tapi tawa kecil  Dhanny masih belum surut juga.
Ekspresi Nata berubah keruh, lalu dia melemparkan sebuah bantal ke arah abangnya dengan kesal.  "Udah ah, Kak! Jangan ketawa lagi!"
Dhanny malah jadi tidak mampu menahan tawa, dia tergelak bebas sambil menikmati ledakan emosi yang jarang muncul pada wajah adiknya. Gemas, malu, dan gengsi sekaligus. Nata benar-benar kena batunya.

**

FRIENDSHIP
Niki menunduk dan menyentuh ujung sepatunya dengan jari-jari terentang. Latihan cheers hari ini lebih berat dari  biasanya, sebagian besar karena pertandingan basket antar-SMU yang diselenggarakan setiap tahun sudah dekat. Mereka semua harus berlatih ekstra keras untuk formasi piramida baru yang akan dilakukan pada pertandingan tersebut. Niki mengusap keringat dan merasakan otot-ototnya meregang, lalu bangkit untuk membereskan barang-barangnya.
Tidak  jauh dari  tempatnya berdiri, Vanya, Linny, dan Sara sedang duduk bersila, membolak-balik halaman majalah Elle terbaru yang dipesan khusus dari  luar negeri.
"Liat deh, flats Chanel keluaran terbaru. Ini model sepatu yang dipake anak baru itu, kan?"
"He eh. Sayang anaknya sombong banget. Belagu, nggak pernah mau gabung sama  kita-kita. Mentang-mentang nyokapnya model terkenal."
Niki mengangkat muka, sedikit terganggu dengan topik obrolan itu. "Maksud kalian Annalise?"
Linny mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah permen karet. "Iya, temen sebangku lo itu."
"Anna memang pendiam, tapi nggak sombong seperti yang kalian bilang. Mungkin karena dia belum terbiasa di lingkungan baru, namanya juga baru pindah ke Jakarta setelah bertahun-tahun tinggal di luar  negeri."
Vanya mengerenyitkan alis tanda tidak setuju. "Lo tau nggak sih, Helena pernah ngajak dia buat gabung tim cheers dan responnya nyebelin banget. Padahal kan, maksud kita-kita baik. Ya nggak, Priss?
Helena yang baru saja menyelesaikan stretching-nya hanya tersenyum. "No big Vanyal-lah, kalau masalah ini. Yang penting gue  udah mencoba ramah sama  dia."
"Gue gerah aja ngeliat orang kayak  begitu. Sok tajir, borju, trus pilih-pilih temen. Gue  jadi skeptis, bener nggak sih dia anaknya Vidia Rossa?" Sebelum Niki sempat protes, Linny sudah menyambung, "Kita semua nggak pernah denger dia nyebut nama Vidia Rossa  sekali  pun. Pas pertemuan guru murid tempo hari, nggak ada pihak orangtuanya yang dateng. Setiap hari pulang-pergi dengan sopir. Nggak  ada yang tau di mana dia tinggal, dan sama  siapa. Lo kan temennya, Ki, masa,  sih, dia nggak pernah cerita apa-apa?"
Niki menelan kembali pembelaan diri yang sudah berada di ujung lidah. Selama ini, setiap kali dia bertanya mengenai Vidia Rossa,  Annalise cenderung menghindari pertanyaannya dan hanya menjawab seperlunya. Jika tidak ditanya, Annalise hampir tidak pernah bercerita mengenai keluarga maupun
dirinya sendiri. Kalau dipikir-pikir, selama beberapa saat mereka berteman, Niki tidak tahu banyak hal mengenai Annalise.
"Kita, kan, nggak punya bukti kalau semua itu bohong," protesnya lemah. Helena menyentuh lengan Niki, lalu berkata lembut, "Kita bukannya nuduh Annalise bohong, Ki. Justru karena nggak ada bukti itulah, kita jadi curiga. Kita cuma mau nolong, kok, mau jadi temannya. Tapi, kita nggak bisa bantu seseorang yang nggak mau jadi temen kita."
Niki tidak lagi mendengarkan ketika teman-temannya melanjutkan gosip mengenai anak kelas  sebelah yang katanya menderita bulimia dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Pikirannya penuh dengan tanda tanya besar. Dia tidak percaya Annalise berbohong, tapi juga sepenuhnya mengerti alasan Helena berkata begitu. Tanpa sepatah kata lagi, Niki menyandang tasnya dan beranjak ke luar.

***

Nata sedang berbaring di atas bangku panjang di samping kebun sekolah dengan kedua mata terpejam ketika Niki menghampirinya dengan sebutir apel hijau, snack hariannya setiap selesai latihan. Gerak-geriknya gelisah dan tidak bisa diam, mengganggu Nata yang separuh terlelap. Akhirnya, Nata mengambil posisi duduk dan merengut ke arah Niki.
"Kenapa, sih?"
Niki tidak segera menjawab. Tidak  lama kemudian, ia membalikkan pertanyaan lain. "Nat, menurut kamu, Anna bohong nggak, sih, sama  kita?"
Pembicaraanya tadi dengan Helena dan teman-temannya mengalir keluar begitu saja dari  mulutnya. Nata berdecak tidak setuju, geram karena sejak  dulu dia tidak suka Niki bergaul dengan geng tersebut. Menurutnya, cewek-cewek seperti Helena selalu menganggap diri mereka lebih baik dari  orang lain. Tapi, Niki tidak terlalu menghiraukannya, karena tanpa Helena, Niki tidak akan bisa bergabung dengan tim cheers yang begitu diidolakannya.
"Menurut lo, Anna itu pembohong, bukan?" tanya Nata akhirnya.
Setelah terdiam beberapa saat, Niki menggeleng. "Aku cuma ngerasa dia nyembunyiin banyak hal dari  kita."
"Menurut gue,  semua orang pasti punya masalah yang nggak ingin diceritakan sama  orang lain, begitu juga dengan Anna. Kita nggak perlu mikir macem-macem."
Niki mencerna kata-kata Nata, lalu menggumam, "Aku ngerti. Yang penting, kita akan selalu ada buat dia saat dia membutuhkan teman, iya kan, Nat?"
Nata mengangguk, kemudian kembali berbaring untuk melanjutkan tidur siangnya. Jika seseorang memiliki sesuatu yang ingin dirahasiakan, dia tidak akan memaksa untuk mengetahui apa itu. Lagi pula, dia mengerti, karena dirinya sendiri mempunyai sebuah rahasia yang tidak ingin diungkapkannya kepada siapa pun.

***
Wish # 6 : b e r t e mu  mama (Annal i se )

Annalise melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya dengan resah. Sebentar lagi bel pelajaran kelima akan berdering. Sejujurnya, dia sudah tidak sabar lagi untuk segera pergi dari  sana.
Hari  ini adalah hari ulang tahunnya yang ketujuh belas. Angka yang menunjukkan kedewasaan, dan merupakan hari yang biasanya dirayakan secara besar-besaran oleh kebanyakan remaja seumurnya. Namun, yang Annalise inginkan bukan pesta mewah dan gaun lansiran rumah mode ternama, hanya seseorang yang menghabiskan hari istimewa itu bersamanya.
Waktu Annalise masih kecil,  Mama selalu menemaninya merayakan hari ulang tahunnya. Untuk memperingati hari spesial itu, biasanya Mama akan memasak, sesuatu yang jarang beliau lakukan. Mereka berdia akan membuat kue  cokelat dan meniup lilin bersama-sama, lalu menonton film-film lama sampai malam. Tapi, pada hari yang sama  empat tahun yang lalu, Mama harus menghadiri sebuah fashion show penting di Paris. Sejak saat itu, Annalise tidak pernah lagi merayakan hari ulang tahunnya bersama Mama.
Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi nyaring dan murid-murid mulai berhamburan masuk ke kelas,  diikuti dengan Nata dan Niki yang sedari tadi sedang mengobrolkan sesuatu mengenai acara pentas seni. Annalise tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang mereka katakan hingga Niki menyentuh pundaknya ringan, membuatnya terlonjak kaget.
Nata dan Niki bertukar pandang sekilas.
"Ada apa,  Ann? Kok, kayaknya cemas banget?" Suara Niki yang terdengar khawatir membuatnya kian gelisah.
Annalise tidak tahu apakah dia harus memberi tahu kedua teman barunya perihal rencananya untuk membolos pelajaran. Dia ingin sekali  menjemput Mama, yang semalam menelepon untuk memberikan kabar baik mengenai kepulangannya ke Jakarta. Semangat Annalise melambung jika mengingat Mama sepertinya sengaja memilih hari ulang tahunnya sebagai hari kepulangan, apalagi sudah hampir dua bulan dia tidak bertemu Mama.
"Ada hal penting yang harus kamu lakukan?"
Pertanyaan Nata yang tepat sasaran membuatnya terhenyak. Cowok itu berdiri dengan sebelah tangan dalam saku,  memandangnya dengan serius. Entah mengapa Annalise merasa tenang, mengetahui dengan jelas apa yang ingin dan akan dilakukannya. Sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari  bibirnya, mengejutkan dirinya sendiri.
"Ya. Kalian mau ikut?"

***

Mereka bertiga duduk di sebaris bangku kayu  di tengah bandara yang dingin, masing-masing menggenggam gelas  minuman plastik yang sudah separuh kosong. Sudah tiga jam mereka duduk di sana, tapi yang ditunggu belum juga keluar.
"Pesawatnya terlambat, kali." Niki berusaha beralasan ketika melihat muram di wajah Annalise. "Atau mungkin dibatalkan."
"Nggak mungkin, Ki." Annalise menunjuk layar  besar yang menunjukkan jadwal penerbangan hari itu. "Pesawat dari  Paris udah mendarat dari  tadi."
"Mungkin bukan pesawat yang itu." Nata, yang mulai merasa iba ikut nimbrung. "Gimana kalau kita tanya petugasnya?"
Mereka mengelilingi seorang petugas yang tampak kebingungan menjawab pertanyaan mereka. Akhirnya, mereka kembali duduk dengan kecewa.
"Kita tunggu sebentar lagi, ya." Niki mencoba menghibur Annalise, lalu cekikikan sendiri. "Kira-kira, bakal gimana ya di kelas?  Untung kita bolos pas pelajaran Kimia. Aku paling nggak bisa menghitung rumus-rumusnya yang ngejelimet."
Annalise mau tidak mau tersenyum, merasa terhibur oleh kehadiran Nata dan Niki. "Maaf ya, kalian jadi ikut membolos...."
Ekspresi Niki berubah serius. Perlahan, digenggamnya tangan Annalise. "Ann, apa pun yang terjadi, cerita, dong, sama  kita. Baik susah maupun senang, kabur dari  sekolah atau belajar bareng, libatkan kita, ya. Kita kan sahabat."
Dari sudut matanya, Annalise melihat anggukan samar Nata. Sahabat. Kata itu begitu asing baginya, sesuatu yang lebih intim dari  kata teman yang biasa digunakan, tapi dia merasa sahabat adalah kata yang tepat untuk menjelaskan hubungan mereka bertiga.
"Selama ini Niki khawatir," timpal Nata, "Dikiranya kamu nggak mau temenan sama  kami."
"Sebenernya kamu juga khawatir, kan, Nat?" sahut Niki tak mau kalah.
Mereka tertawa. Annalise menggigit bibir dengan rasa bersalah. "Maaf ya, aku nggak pernah sadar kalian ngerasa begitu. Sejak dulu, aku nggak punya banyak teman. Bisa dibilang, kalian adalah sahabat pertamaku."
Tiba-tiba, telepon genggamnya berdering. Suara Tante Nadja,  adik  Mama yang tinggal bersamanya sejak  kepulangan mereka ke Jakarta, terdengar lebih khawatir daripada marah. "Anna, kamu di mana? Pak Saryo  bilang kamu nggak ada di sekolah."
Annalise menepuk dahi, menyadari kelalaiannya tidak mengabari sopir yang selalu menjemputnya sepulang sekolah. "Maaf Tante, aku lupa telepon. Aku lagi di air port, mau jemput Mama. Tapi, sampai sekarang masih belum keluar."
Tante Nadja  seperti terhenyak di ujung sambungan telepon. Suaranya melembut ketika kembali bicara. "Anna, barusan mamamu mengabari, katanya nggak jadi pulang hari ini karena mau ke Milan dulu sampai bulan depan."
Annalise merasa kebas seketika. "Mama... ada nitip pesan?" Keraguan tantenya untuk menjawab pertanyaan itu membuatnya yakin bahwa Mama sama  sekali  tidak ingat pada dirinya. Dengan lemas, ia menutup telepon.
"Kenapa?" Niki, yang duduk di sebelahnya segera menoleh untuk melihat reaksinya.
"Mama nggak jadi pulang," jawab Annalise.
Seperti orang bodoh saja, menunggu berjam-jam lamanya untuk seseorang yang tidak akan datang. Seharusnya, dia tidak terlalu terkejut, karena sudah beberapa kali Mama membatalkan janji sebelumnya.
Annalise mencoba meyakinkan Niki dan Nata bahwa dia baik-baik saja, tapi dia tidak mampu memaksakan senyum. Tanpa terasa, pandangannya memburam, dan ia menutupi wajah dengan kedua telapak tangan sambil terisak pelan. Secara otomatis, Niki mengusap-usap punggungnya yang bergetar oleh tangis. Nata juga terdiam, Annalise merasakan tangannya yang besar ikut menepuk pundaknya.
"Maaf...." Annalise berkata tersendat sambil berusaha menghapus air mata, tidak mampu mengungkapkan Saracewaannya dengan kata-kata.
Tatapan Nata dan Niki tidak menyiratkan rasa kasihan, tetapi rasa sedih... seakan mereka juga merasakannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Niki mendekat untuk memeluk Annalise, menopang sebagian rasa sakit yang dirasakannya. Mereka bertiga duduk berpelukan di tengah bandara, berusaha mengisi kekosongan hati satu sama  lain.

***

Pak Marwan, sang guru Kimia, berdiri di depan papan tulis dengan raut tidak senang. Tongkat yang sering digunakannya untuk menunjuk rumus diayun ke kiri dan kanan, kacamatanya yang jadul melorot ke hidung. Matanya menyipit penuh konsentrasi, memandang tiga murid nakal yang kemarin membolos mata pelajarannya.
Nata, Niki, dan Annalise berdiri dengan muka ditekuk, tidak berani memandang langsung ke arah Pak Marwan. Namun, begitu beliau berbalik, mereka saling menyikut sambil menyembunyikan tawa.
"Apa alasan kalian membolos?" Pernyataan itu diucapkan sebagai pertanyaan. Mereka bertiga kembali memasang ekspresi bersalah, tetapi tidak ada yang menjawab. Baik Nata maupun Niki bungkam.
"Kenapa tidak ada yang menjawab? Apa pelajaran saya begitu membosankan hingga kalian semua memilih untuk bolos?" Pak Marwan menepukkan tongkatnya ke telapak tangan, lalu kembali bertanya, "Atau kalian merasa sudah pintar dan tidak perlu ikut kelas  ini lagi?"
Niki menunduk dan menyilangkan tangan di balik  tubuh, berharap mereka tidak dihukum berat. Semalam, dia dan Nata sudah diomeli orang rumah karena pulang malam tanpa mengabari, belum lagi masalah membolos yang ketahuan karena pihak sekolah menelepon orangtua mereka.
Ia memberanikan diri mengangkat muka, memasang ekspresi polos. "Maaf, Pak, kami  nggak akan membolos lagi."
"Iya, Pak." Nata dan Annalise membeo.
"Kalian masih tidak mau mengatakan alasan membolos kemarin?"
Niki, Nata, dan Annalise bertukar pandang. "Kami nggak merokok, main-main ke game centre, atau melakukan hal-hal yang nggak seharusnya, kok, Pak," Nata berusaha bernegosiasi.
"Iya, Pak, kami  nggak bohong," tambah Niki. "Swear."
Mata Pak Marwan membulat mendengarnya. Sebelum sang guru tambah mengamuk, Annalise buru-buru menyambung, "Kemarin mereka membolos gara-gara saya, Pak. Saya yang mengajak."
Ketika mendengar pembelaan itu, Nata dan Niki segera menyambar, "Bukan, Pak. Kami suka rela kok. Kami yang salah."
Pak Marwan menghela napas berat, lalu menggeleng kesal.  Tampaknya, tidak ada yang mau mengungkapkan alasan yang sesungguhnya. Walaupun begitu, ia percaya pada ketiga muridnya—Nata dan Annalise selalu mempertahankan nilai baik, sedangkan Niki belajar keras untuk tidak mendapat nilai di bawah angka enam.
"Ya sudah. Supaya kalian kapok, saya akan memberikan hukuman berat." Niki memejamkan mata, berharap dia tidak usah disuruh melakukan hal-hal konyol seperti membersihkan WC, membawa papan bertuliskan 'saya tidak akan bolos lagi', atau lari keliling lapangan seperti hukuman yang biasa diberikan guru-guru kepada murid yang nakal.
"Kalian harus mencuci bus  sekolah yang ada di parkiran. Sampai bersih," ujar Pak Marwan akhirnya.
 Niki membelalakan mata. "Hanya itu, Pak?" tanyanya lugu.
"Ya. Asal kalian janji tidak akan membolos lagi, apalagi saat jam pelajaran saya." Pak Marwan tersenyum tipis sebelum mengeluarkan mereka dari  ruang kerjanya. Gini-gini, saya kan juga pernah muda, beliau lantas menambahkan dalam hati.

***

Dengan lengan kemejanya, Niki mengusap keringat yang mengucur. Nata dan Annalise juga bersimbah peluh sambil terus mencuci bus  sekolah yang setiap hari digunakan untuk mengantar-jemput murid-murid SMU Harapan. Bus bercat kuning, kotor dengan ban berlumpur dan bagian dalam yang penuh bekas makanan.
"Gila ya, jorok banget nih, bus.  Nggak  tau anak-anak buang apa aja di dalamnya." Niki mengerutkan kening dengan jijik saat menemukan sebentuk permen karet bekas di tepi jendela.
"Jangan leha-leha, udah mau gelap, nih," gerutu Nata sambil terus menyorokkan kain untuk membersihkan kaca  depan. Lahan parkiran sudah kosong dan hampir semua murid sudah pulang, sedangkan mereka masih belum menyelesaikan hukuman.
Niki menghela napas, tidak berhenti mengeluh sembari melakukan tugasnya. Sekarang, dia tahu mengapa Pak Marwan memilih tugas ini sebagai hukuman. Tadinya, dia mengira hukuman ini akan lebih ringan dari  mencuci kloset atau lari keliling lapangan, tapi ternyata mencuci bus  adalah pekerjaan yang memakan waktu dan tenaga. Tahu begini, tadi dia akan mencoba bernegosiasi dulu dengan Pak Marwan.
"Udah untung nggak dimarahi lebih lama," celetuk Nata, seakan bisa membaca pikirannya.
Niki menjulurkan lidah. "Mendingan diomelin berjam-jam, deh, daripada harus banting tulang kayak  gini. Yang menikmati juga bukan kita, tapi anak-anak yang pulang pergi naik bus  ini."
Annalise bergerak ke sampingnya untuk membantu. Tiba-tiba, ia berhenti, lalu memandang Niki sejenak dan tertawa kecil.  Nata pun ikut menatapnya dan entah mengapa tersenyum lebar.
"Ada apa,  sih?" Niki mengusap wajahnya dengan bingung. Hal itu hanya membuat kedua temannya tertawa lebih keras. Penasaran, ia berjalan menuju kaca  spion dan memperhatikan refleksi wajahnya sendiri yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat letih dan kusam, berdebu, dan penuh keringat. Tanpa disadarinya, riasan mata tipis yang tadi dikenakannya bagaikan lumer dan mengaliri sisi-sisi  wajahnya seperti dua riak sungai. Tatanan yang tadi pagi terlihat cantik kini berantakan.
Biasanya, Niki akan langsung panik dan buru-buru membersihkan wajahnya, tapi ketika menyadari keadaannya sekarang—basah kuyup dengan peluh, lelah dan kotor, ia justru mengejutkan dirinya sendiri dengan tertawa.
Nata menyemprotkan percikan air dari  selang untuk menggodanya, dan Niki berteriak kecil.  Dia segera melupakan riasannya yang hancur untuk membalas Nata, dan menarik Annalise bersamanya. Mereka bertiga masing-masing memegang lap, saling mengejar, saling membantu, saling bercanda hingga yang terdengar di parkiran itu hanya tawa.

***

Nata menetap ban sepedanya yang kempes dengan kecewa. Sepeda itu tadi pagi masih terparkir rapi  di bagian belakang sekolah, tapi sekarang roda di depannya telah rusak tak berbentuk.
"Ini, sih, kena paku," komentar Niki. Sebuah paku yang lumayan besar memang mencuat keluar dari  salah satu bagian roda yang tak begitu kelihatan. "Kita pulang jalan kaki aja, deh."
"Aku antar,yuk." Tiba-tiba, Annalise menawarkan dengan sedikit malu-malu, menunjuk Pak Saryo  yang telah menunggu di depan gerbang.
"Beneran?" Niki langsung ceria mendengar prospek akan diantar pulang dengan mobil Jaguar hitam yang beberapa minggu ini jadi objek kekaguman seluruh sekolah.
"Iya. Kalau kalian mau, kita bisa mampir di rumahku juga."
Niki bersorak gembira, dan Nata menyikutnya sambil tersenyum. "Niki, sih, kayak  kejatuhan durian runtuh."
"Hehehe." Yang disindir tersenyum lebar, lalu menggamit tangan Nata dengan lengan kiri dan tangan Annalise dengan tangan kanan. "Yuk, jalan."
Seperti prediksi Nata, Niki girang bukan main saat menginjakkan kaki di karpet rumah selebritas. Dia tidak henti-hentinya berkomentar mengenai ini-itu, mulai dari  pajangan antik koleksi keluarga Annalise, sampai foto-foto Vidia Rossa  yang memenuhi dinding. Annalise tersenyum sendiri melihat Niki yang ekspresif, sedangkan Nata hanya mendengus, tapi terlihat sama  kagumnya.
Selama tinggal di sini, rumah Annalise belum pernah kedatangan tamu. Rumah ini lebih sering kosong daripada berpenghuni, dan seandainya ada pun, dia pasti hanya sendirian bersama tantenya dan beberapa orang pembantu.
"Boleh lihat kamar kamu, nggak?"
Annalise terperanjat, sedikit ragu untuk menjawab. Dia tidak terbiasa mengundang orang masuk ke kamarnya, tapi tidak tega melihat raut Niki yang begitu antusias.
Ketika menginjakkan kaki di atas karpet biru yang melapisi kamar Annalise, Nata tampak yakin bahwa seumur hidupnya, dia belum pernah melihat kamar semewah itu. Dinding kamar tersebut dicat biru muda, dihiasi beberapa lukisan dan foto dalam bingkai kaca  yang terlihat eksklusif. Sebuah ranjang double bed megah dengan seprai satin terletak di satu sisi. Meja belajar lengkap dengan rak buku yang memuat karya-karya sastra favorit Annalise terletak tidak jauh dari built-in dressing room dengan pakaian cantik yang tergantung rapi.  Lantainya terbuat dari  marmer dan jendelanya besar dengan tirai bermodel Victorian, menutupi sebuah balkon luas yang menghadap ke arah kolam renang. Sudah bisa ditebak, desain kamar Annalise, seperti ruangan lain di rumah ini, adalah rancangan desainer inteNatar yang sudah berpengalaman dan punya taste yang tidak biasa.
Di sudut kamarnya, ada sebuah papan khusus tempat Annalise menempelkan foto-foto hasil jepretannya. Nata sedang membungkuk di hadapannya, mengamati lembaran polaroid hitam putih yang ditempel dengan paku payung.
"Ini bagus," katanya, menunjuk selembar foto. Objek foto itu adalah Vidia Rossa. Foto itu diambil Annalise diam-diam ketika mamanya sedang melukis di patio. Jika sedang senggang, Mama hobi sekali  melukis. Ekspresi Mama saat menggambar selalu istimewa—kombinasi antara emosi damai dan dreamy sehingga Annalise tergoda ingin menangkapnya dengan lensa. Saat itu, Mama tidak sadar sedang dijadikan objek foto, sehingga hasilnya sangat berbeda dari foto-foto modelling Mama.
"Ini Mama kamu, kan?" Niki menarik lembaran itu dari  tangan Nata.
Annalise tidak pernah menunjukkan hasil fotonya kepada siapa pun, kecuali orang tuanya dan Tante Nadja.  Sudah bertahun-tahun sejak  Mama dan Papa bertanya mengenai karyanya yang terbaru sehingga Annalise lebih senang menyimpannya dalam sebuah album di bawah tempat tidurnya. Dia jadi canggung saat mendengar Nata dan Niki mengomentari fotonya seperti itu.
"Sudahlah, jangan asal sentuh barang orang." Nata mengambil kembali foto itu dan menempelkannya di tempat semula. "Maaf, ya."
"Nggak apa-apa, kok."
"Serius, Ann, kamar kamu keren banget," puji  Niki, matanya berbinar saat melangkah ke arah balkon dan merasakan sepoi angin. "Coba aku punya rumah sebagus ini. Rumah kamu jauh lebih keren dari  rumah-rumah selebritas yang biasa kutonton di MTV."
Annalise ikut tersenyum. Niki pasti tidak tahu betapa sepinya berada di rumah sebesar ini sendirian, membuat rumah ini terasa lebih besar dari  sebenarnya.
"Kamarku sempit, nggak ada setengahnya dari  kamar kamu," sambung Niki, masih dengan nada riang. "Waktu kecil,  aku dan adikku Acha berbagi, tapi untungnya sekarang kami  punya kamar sendiri-sendiri. Di sini, pasti menyenangkan, ya, luas sekali! Ada kolam renang, gym pribadi... itu tempat apa?"
Annalise ikut melongok untuk melihat pojokan teduh yang ditunjuk Niki. "Itu patio tempat Mama melukis." Tanpa kehadiran Mama, tempat itu terlihat sepi, tidak terpakai.
"Mama kamu masih belum pulang, ya?" Niki bertanya dengan suara pelan, seolah takut menyakiti perasaannya.
Annalise menggeleng. "Mama memang jarang pulang. Sibuk dengan jadwal fashion show yang padat,belum lagi ngurusin butiknya yang baru. Aku sih, udah terbiasa kalau Mama pergi berbulan-bulan lamanya, kadang hanya kembali beberapa hari, terus langsung pergi lagi."
Sebenarnya, Annalise sedikit berbohong. Dia tidak pernah benar-benar terbiasa dengan kepergian Mama. Setiap kali Mama pergi untuk jangka waktu lama dan tidak menghubunginya, Annalise merasa sedih. Setiap kali melihat sepasang anak dan ibu yang sedang bercengkerama, dia membenci Mama karena dia tidak bisa memiliki hal yang sama.  Tapi, rasa benci itu pupus tergantikan oleh rasa rindu, dan Annalise hanya ingin Mama pulang.
"Jadi, kamu hanya sendirian di sini? Gimana dengan..." Kalimat itu tidak terselesaikan oleh Niki, yang kini terlihat serbasalah.
Annalise mengulas senyum, mengerti siapa yang dimaksud oleh Niki. Dia tidak pernah sekali  pun berbicara mengenai keluarganya kepada orang lain, tapi kini rasanya Nata dan Niki bisa menjadi pengecualian. "Orangtuaku bercerai waktu aku masih kecil.  Sekarang, Papa  udah menikah lagi dan tinggal di Bali."
Perceraian lima tahun yang lalu itu ditutupi sedemikian rupa hingga tidak terendus media. Mama tidak ingin privasinya terganggu sehingga lebih memilih membohongi publik walau pada akhirnya dilanda gosip yang lebih besar karenanya. Annalise tahu betapa besar perceraian itu melukai Mama, sampai kadang melupakan bahwa Annalise juga terluka oleh perpisahan orangtuanya.
Lalu, dia baru menyadari kalau Niki dan Nata tidak lagi berbicara sehingga Annalise tertawa. "Kok, kalian jadi diam begitu, sih?"
Tanpa diduga, Niki maju untuk memeluknya erat-erat. Dengan sungguh-sungguh, Niki berkata kepadanya, "Kalau kamu kesepian, masih ada aku dan Nata. Kamu  nggak sendirian."
"Iya, nggak perlu sungkan-sungkan," tambah Nata.
Annalise mengangguk dengan haru, tidak menyangka mereka akan bereaksi begitu. "Thanks, ya."
Mereka beranjak ke dapur untuk membuat snack, dengan Niki yang bercerita ringan tentang apa saja dan Nata sesekali menimpali. Langkah-langkah kaki mereka bertiga memenuhi seluruh ruangan, dan untuk pertama kalinya Annalise merasakan suasanya yang hangat di rumah ini.
Kali ini, yang menggema juga bukan sepi,  tapi tawa.

***


SEKOLAH KECIL NIKI D AN NAT A

Hari  ini, sepulang sekolah, Annalise mendapat undangan dari  Niki untuk mampir di rumahnya.
"Hari Selasa itu hari mengajar," ujar  Niki dengan lagak  penting. "Mau liat Nata ngajarin anak-anak kecil  yang bandel, kan? Pengalaman langka, lho."
Nata dengan cuek terus mendorong sepedanya keluar gerbang sekolah, melengos mendengar kalimat Niki. Tapi, dia sempat berbalik dan berkata pada Annalise, "Datang aja. Jarang-jarang bisa liat Niki dikerjain sama  anak kacil."
Niki cengengesan, lalu menarik lengan Annalise sebelum dia mampu berkelit. Mereka bertiga berjalan pulang ke arah rumah Niki yang tidak terlalu jauh dari sekolah.
Kawasan perumahan tempat mereka tinggal terlihat asri dan terawat. Rumah Niki hanya berjarak beberapa meter dari  rumah Nata, mungil dan sederhana, bercat kuning gading dengan pekarangan yang tidak terlalu lebar, tetapi dipenuhi oleh tanaman berbagai rupa dan bunga warna-warni. Garasinya dibiarkan terbuka dengan barisan kursi-kursi plastik yang disusun rapi.  Sekitar dua puluh anak antara usia lima sampai dua belas tahun memenuhi ruangan tersebut, memandang seksama ke arah papan tulis putih yang digantung di dinding. Pakaian mereka tidak bisa disebut layak, sedangkan kulit mereka gelap dan kotor. Wajah mereka terdapat ekspresi keras layaknya orang-orang yang sudah terbiasa menghuni jalanan, tetapi dalam pandangan mereka terpancar kepolosan dan tawa.
Ketika Niki masuk, anak-anak kecil  itu langsung beranjak untuk mengerubunginya. Annalise berdiri dengan tidak nyaman di depan garasi,tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
"Mama Niki membuka sekolah khusus untuk anak-anak yang kurang mampu," Nata, yang berdiri di sebelahnya, menjelaskan dengan suara pelan. "Keluargaa anak-anak ini nggak mampu membayar biaya  sekolah, jadi mereka bisa belajar gratis di sini setiap minggu."
"Kamu juga membantu di sini?" Annalise memandang dengan takjub ketika anak-anak kecil  itu dengan riang berbalik menghampiri mereka dan menarik-narik celana panjang Nata.
"Kak Nata, hari ini kita nyanyi lagu  apa?" Mereka ribut berteriak-teriak, membuat Annalise terdorong ke belakang.
"Hari ini, kita ada guru baru," Nata berkata dengan sabar pada mereka. Annalise belum pernah melihat ekspresi lembut yang kini ada di wajah Nata.
"Kakak siapa?" Salah satu dari  mereka, seorang gadis kecil  berambut pendek yang kasar karena terbakar matahari, mendongak untuk memandang Annalise. Annalise tersenyum kaku, lalu berjongkok sehingga pandangan mereka setara.
"Namaku Annalise," dia berkata.
"Kakak bule, ya?" Anak laki-laki yang tampak bengal dengan kepala botak, ikut nimbrung.
Annalise tidak tahu bagaimana harus menjawab dengan diplomatis. "Emmm, bisa dibilang begitu."
Tanpa memedulikan jawaban Annalise, anak-anak itu malahan berteriak ramai. "Horeee! Kita punya guru bule!"
"Kamu bisa jadi guru bahasa Inggris," kata Niki padanya, lalu kembali sibuk meladeni murid-muridnya yang ribut sendiri. Ia memegang sebuah buku matematika, bersiap-siap untuk mengajarkan perkalian pada sekelompok anak. Mama Niki tampak sedang menjelaskan kalimat dalam bahasa Indonesia melalui tulisan di papan. Adik perempuan Niki, Acha, sedang mengajari beberapa anak untuk membaca dari  sebuah buku dongeng yang sudah usang. Hati Annalise menghangat melihat mereka semua, lalu ikut duduk di salah satu bangku pendek untuk membantu.
Awalnya, senyum-senyum ceria anak-anak ini membuatnya ingin menangis. Tapi, sekarang, dia justru tersenyum bersama mereka. Dia mengamati Nata yang sedang duduk di pojokan dengan gitarnya, anak-anak yang mengelilinginya bernyanyi mengikuti nada. Seakan merasakan Annalise sedang memperhatikannya, Nata mengangkat wajah dan membalas senyumnya.

***

P O MP O M UNT UK NAT A

W i sh # 7: Ni ki hadi r di  si ni (Nat a)

Nata memandang sekeliling dengan ragu. Tangannya yang erat menggenggam gitar mulai berkeringat karena gugup melihat orang-orang sudah berkumpul di arena podium.
Acara  17 Agustus sekolah tahun ini mengusung tema 'persatuan', yang berarti berbagai grup ekskul akan menampilkan acara. Tim basket unggulan sekolah mereka sedang berlaga di lapangan melawan tim dari  SMU lain, grup ekskul seni bergabung dengan murid-murid kelas  fotografi untuk membuat sebuah galeri mini di ruang-ruang kelas  yang kosong, grup drama mengadakan pentas teater, dan masih banyak lagi. Tahun ini, kebetulan Nata yang didaulat untuk memeriahkan acara dengan pertunjukan musik solo  di atas panggung walaupun dia menolak mentah-mentah lantaran benci harus tampil di depan khalayak umum.
"Ayolah, Nat," waktu itu Niki yang merengek memaksanya setuju, "terima aja tawaran itu, kesempatan bagus lho."
"Gue gak siap." Nata menggeleng dengan alasan stadarnya. Sebenarnya, Nata sudah punya ancang-ancang beberapa lagu  ciptaannya, dan dia bukannya kurang latihan. Hanya saja ada satu hal yang ditakutkannya.
"Kamu demam panggung, ya?" Niki menebak jitu dengan raut jenaka. Sejak kecil, Nata tergagap-gagap jika harus tampil di depan umum. Dia paling benci pidato dan public speaking saat dia harus menatap kerumunan orang yang sedang memperhatikannya.
Ditembak begitu, Nata agak  gelagapan. Niki tersenyum maklum dan mendorong gitar kembali ke pangkuan Nata. "Kamu pernah bilang mau jadi pemusik profesional, kan? Lagu-lagu kamu bagus tau. Kamu  nggak bisa selamanya sembunyi begitu. Siapa  tahu di sana kebetulan ada pencarian bakat yang lagi nyari idola baru. Kamu  harus bisa ngatasin ketakutan itu."
Nata termenung, sedikit kaget melihat betapa dewasanya gadis di hadapannya sekarang. Niki tertawa lebar, merasa sudah meyakinkan sahabatnya. "Kenapa, kamu kaget ya denger aku ngomong kayak  gitu?"
Mendengar omongan Niki, Nata malah ingin merangkulnya, tapi tentu saja (dan untung saja) tidak dilakukannya. "Kamu bakal datang kan? Nonton solo  gue."
"Ya, pastilah. Pukul berapa?"
"Jadwalnya, sih, sekitar pukul sepuluh."
Raut Niki berubah, penuh rasa bersalah. "Yaah. Kayaknya nggak bisa Nat, aku harus cheer untuk tim basket. Pertandingannya mulai pukul sembilan."
Nata ikut merengut. "Kalo gitu, gue  nggak mau tampil." Walaupun terdengar kekanakan, Nata tetap bersikukuh.
"Cuma gara-gara gak ada dukungan moral? Nat, kamu harus naik panggung itu! Nyanyiin lagu  kamu! Tunjukin sama  semua orang kalo  kamu mampu." Niki mengguncang sedikit bahunya, mulai memaksa lagi.
"Buat apa?" Toh, Nata tidak pernah peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya.
"Selain untuk ngeramein acara sekolah, tentunya kamu juga nggak mau ketahuan demam panggung kalau harus nyanyi di depan umum, kan?" Niki dengan kesal  berusaha memberi alasan. "Ayolah, demi aku.  Ya, Nata, ya?"
"Kenapa, sih, malah kamu yang ribet?"
Niki meletakkan kedua tangan di bahu Nata, dengan serius berkata sambil menatapnya dalam-dalam. "Karena kamu bisa, Nat. Aku tau kamu bisa."
Jadilah Nata menyanggupinya begitu saja. Sekarang, dia jadi menyesal, tapi sudah terlambat karena acara sudah mau di mulai.
"Nat, giliran lo lima menit lagi." Septian menepuk bahunya sesaat sebelum menghilang di balik  tirai panggung. Lima orang anggota band sekolah yang sedang memainkan lagu  The Click Five hampir menyelesaikan encore mereka yang kedua. Kerumunan murid-murid sudah ramai memenuhi kursi penonton. Nata melayangkan pandangan sekali  lagi, mencari-cari sebuah sosok yang diharapkan ada.  Tapi, yang dilihatnya hanya Annalise, yang melambai sekilas dengan Nikon tergantung di lehernya dan beberapa teman sekelas lain yang ikut menyanyikan lirik lagu.
Duh, kenapa, sih, lo harus maksa gue  ikut sedangkan lo sendiri gak ada di sini? Nata mengumpat, merasakan adrenalin dan keringat mengucur di belakang lehernya. Penontonnya banyak banget lagi dan sudah ada tanda-tanda penutupan lagu.
"Sekarang, mari  kita sambut MaNata Stevano, salah satu gitaris solo  kita!"
Tiba-tiba saja namanya disebut, diikuti dengan sorakan riuh-rendah para penonton yang sebagian besar adalah perempuan. Nata ingin muntah. Dia ingin kabur. Tapi, Septian sudah menepuk punggungnya dan menggiringnya ke panggung.
Nata duduk di sebuah kursi yang dipasang di belakang mikrofon, kepalanya tertunduk. "Duh, mati deh gue," bisiknya sebelum mulai. Jari-jarinya lemas dan basah dengan keringat dingin.
Ki, lo di mana?

***

W i sh # 7: ke b e r ani an unt uk  Nat a (Ni ki )

Niki mengacungkan pompomnya sambil meneriakkan Liv-Liv terakhir, dan merasakan adrenalin mengaliri darahnya, memompa jantungnya dan membuatnya tersenyum lebar. Tim basket putra sekolah mereka baru saja menyelesaikan permainan, dengan skor  enam poin di atas skor  lawan. Tim lawan tadinya membantai habis-habisan tim SMU Harapan, tapi permainan mereka agak  menurun di sesi kedua sehingga tim sekolah Niki dengan mudah mengejar skor.  Permainan diakhiri dengan satu lemparan mulus dari  tim lawan, yang sayangnya memantul di ring dan tidak jadi masuk.
Inilah yang disukai Niki dari  cheerleading. Dia bisa menjadi pendukung, penggembira dan pemanis sekaligus. Tanpa kehadiran mereka, tim-tim basket pastinya akan ngoyo dan tidak bersemangat, begitu juga dengan penonton yang senang melihat gaya para gadis cantik di sisi lapangan. Seandainya permainan anggota tim buruk, para cheerleaders-lah yang menyoraki dan memberi dukungan moril, sedangkan jika mereka menang cheerleaders juga yang meningkatkan atmosfir kemenangan. Niki suka menjadi bagian dari  sesuatu sepenting ini.
Jam karet di lengannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Nata sudah mau naik panggung. Padahal, tadi dikiranya pertandingan basket akan selesai sebelum pukul sepuluh,tapi dengan salah satu anggota tim lawan yang sempat cedera, break yang diambil jadi lebih lama.
Dengan panik, Niki minggat dari  tepi lapangan dn berlari menuju aula,  tempat sebuah panggung besar telah disiapkan dengan speaker dan dekorasi megah. Panggilan Helena yang memintanya tinggal tidak dihiraukannya.
"Nata, Nata...." Niki menggumam sambil terus berlari, menyeruak di antara kerumunan murid-murid berbaju bebas yang memadati sekolah. Tenaganya rasanya terkuras habis, badannya bersimbah keringat dan rambutnya bau matahari hasil kelamaan terpanggang di lapangan. Duh. Nata pasti kecewa kalau aku nggak datang, hanya itu yang terpikir oleh Niki sepanjang permainan basket berlangsung.
Padahal, Niki yang sibuk menceramahinya supaya mau naik panggung. Padahal, Nata sudah berusaha sebisa mungkin mengatasi fobianya tampil di depan umum.
Padahal, Nata sudah berlatih berminggu-minggu lamanya untuk lagu-lagunya. Padahal, Nata melakukannya demi Niki.
Samar-samar, Niki melihat Nata berjalan memasuki panggung, dan ia menyelinap masuk, berjingkat ke kursi penonton paling depan. Sekilas, dilihatnya wajah Nata, kebingungan, gugup, dan kelihatan kelabu seperti sedang sakit, tidak juga menyadari bahwa Niki ada di antara kerumunan. Aduh, Niki cemas setengah mati, takut Nata akan lari keluar sewaktu-waktu atau menyanyi sumbang saking gugupnya.
Tiba-tiba, Niki mendapat ide brilian. Jika tim basketnya membutuhkan dukungan dan semangat, kenapa Nata tidak? Nata kan juga atlet--di bidang musik. Dia pantas mendapat penghargaan atas usahanya dan Liv-Liv yang sama kencangnya dengan mereka yang menggiring bola  di lapangan. Sambil menarik napas dan meneguhkan tekadnya, Niki mengacungkan pompom merahnya sekali lagi, tinggi-tinggi di udara. Sebagian penonton mengalihkan perhatian ke arahnya, membuat Nata ikut menengok juga.
Sekarang saatnya. Dengan suara lantang, Niki meneriakkan kata-katanya satu per  satu.
"R! I! O! Nata!"
Mukanya merah karena jengah, apalagi dia satu-satunya gadis pemandu sorak di sana yang masih lengkap berseragam merah putih. Rambutnya diikat tinggi-tinggi di atas kepala, ditutupi headband merah, tangannya menggerakan pompom dengan semangat. Belum lagi gerakan melompatnya yang heboh, menyerukan nama Nata seperti yang biasa dilakukannya untuk anggota tim basket di lapangan. Dia pasti terlihat aneh. Bodo amat, karena yang paling penting adalah menyemangati Natam
"Gitaris paling oke! Nata, maju terus!"
Pada  awalnya, penonton hanya tergelak melihat aksinya, tapi lama-kelamaan mereka ikut menyebutkan namanya. "Nata! Nata! Nata!" Nama  itu bergema di seluruh ruangan, seperti sebuah mantra yang harus diucapkan.
Nata melongo di tengah panggung, untuk sesaat begitu kaget sampai tidak bisa bicara. Ditatapnya Niki yang masih sibuk melagakan gerakannya yang radikal dan berlebihan. Wajahnya yang tadi pucat karena nervous berubah merah karena malu. Malu  setengah mati jadi objek di tengah panggung dengan seluruh isinya meneriakkan namanya.
"Nata! Nata! Nata!"
Dan, ketika seruan itu mulai surut, Niki menatap Nata dengan pandangan paling menggemaskan yang pernah Nata lihat. Kedua mata gadis itu berbinar, pipinya bersemu karena lelah, dan senyumnya lebar, seakan ingin mengatakan, "Aku percaya, Nata. Kamu  pasti bisa."
Mau tak mau, Nata tersenyum. Ada rasa tenang yang menyelimutinya ketika dia mulai memetik senar gitar dan melantunkan liriknya untuk melengkapi nada.
Kalau tadi gak ada lo, Ki...
Bahkan, Nata tidak berani membayangkan bagaimana penampilannya nanti seandainya sahabatnya itu tidak ada di sini. Jadi, kali ini, dia akan melakukannya untuk Niki, seperti yang sudah dijanjikannya.

***

O L IVER

W i sh # 9 : me nge nal gadi s mungi l b e r p o mp o m me r ah (O l i v e r )

Oliver  berjinjit sebisanya, mencoba mencari sekelibat dodok gadis berkuncir satu yang barusan mengundang tepuk tangan spektakuler karena aksi
cheers-nya di samping panggung. Ia pertama kali melihatnya tadi pagi  di barisan para cheerleaders tim SMU Harapan yang menjadi lawannya di pertandingan basket kali ini. Entah mengapa, ada sesuatu mengenai gadis itu yang mengusik perhatiannya.
Oliver  ingin mengajaknya kenalan setelah pertandingan selesai, walau harus menelan rasa malu karena timnya kalah. Namun, gadis itu sudah keburu pergi. Hampir saja ia kehilangan jejak, tapi Oliver  berhasil diam-diam mengikuti gadis itu sampai aula.
“Hai.”
Gadis  itu melongok bingung.
“Yang tadi di lapangan basket.” Oliver  mencoba mengingatkan, mengangkay sedikit jersey basketnya. Angka 7—Oliver Stevent.
Untungnya gadis itu ingat. “Oh, iya. Kamu  kapten tim basket SMU Pelita, kan?” “iya. Aku Oliver.” Dijulurkannya sebelah tangan, yang disambut dengan satu jabatan ringan.
“Niki.” Sang gadis menyebutkan nama. Jadi namanya Niki—dilihat daari dekat ternyata lebih manis lagi. Niki tersenyum dan bertanya basa-basi, “Kamu mau nonton pensi juga?”
Oliver  menggeleng cepat. “Ah, bukan. Aku sengaja ngikutin kamu ke sini.” “Oh ya?” Niki tampak bingung lagi. “Ada apa?”
“Mau ngajak kenalan.”
Dengan satu kalimat itu, wajah Niki bersemu merah. Melihat lawan bicaranya salah tingkah dan tidak berkomentar apa-apa, Oliver  jadi tersenyum sendiri. Langsung ke titik pembicaraan adalah salah satu taktik kenalan yang selalu berhasil.
“Sekolah kamu bagus,” pujinya, berusaha menetralkan suasana.
Niki mengangguk canggung, berusaha menguasai diri. “Iya, tim basketnya oke banget,” selorohnya asal.
Oliver  tertawa, menyadari bahwa dia sedang disindir tentang kekalahannya hari ini. “Lain kali, pasti tim basket sekolah kami  yang menang,” sahutnya.
“Coba aja kalau bisa.” Niki ikut tersenyum, bahasa tubuhnya kini lebih rileks. “Kita lihat tahun depan,” balas Oliver.
Mereka berdua terdiam, saling berhadapan dengan senyum bodoh di wajah masing-masing. Sebelum terlambat, Oliver  segera mengungkapkan maksudnya, “Aku bisa ketemu kamu lagi? Boleh minta nomor telepon?”
Niki tidak menjawab, semburat merah di wajahnya kembali lagi. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya, ternyata pemuda yang tadi membawakan permainan solo  gitar di atas panggung. “Yuk, cabut,” kata cowok itu. Niki mengangguk sekilas. Sebelum pergi, dia tersenyum pada Oliver.
“Oke, kalau kita ketemu lagi.”
Diberikannya lambaian selamat tinggal, lalu berbalik dan menghilang di antara kerumunan. Oliver  terpaku, kata-kata itu terngiang di kepalanya.

***

“Siapa, tuh?” Nata menggamit lengan Niki, menariknya ke kantin untuk membeli sebotol minuman dingin. Lagu-lagu itu berhasil dibawakannya, dengan baik—thanks to Niki—dan anehnya, dia tidak merasa gugup lagi. Setelah beberapa detik pertama, Nata seperti tersedot masuk ke dunianya sendiri, melupakan orang-orang yang ada di ruangan itu dan hanya bisa mendengar suaranya sendiri bergabung dengan tangga nada. Ketika mendengar tepuk tengan yang bergemuruh, rasanya seperti baru menaklukan dunia, padahal yang ditaklukannya hanya panggung dan dirinya sendiri.
“Kapten tim basket SMU Pelita,” jawab Niki sambil meneguk air putih dinginnya cepat-cepat, lalu mengipasi diri dengan selembar kertas. “Tadi tim mereka kalah dibantai sama  tim sekolah kita.”
“Terus,  ngapain dia ada di sana?” “Katanya, sih, mau ngajak kenalan.” Hah? Nata hampir memuncratkan minuman di mulutnya. “ Terus gimana?”
“Gimana apanya?” Niki bertanya balik  dengan cuek. “Namanya Oliver.  Dia minta nomor teleponku.”
“Terus  lo kasih?” “Enggak.”
“Bagus, deh.”
Mendengar respon pasif itu Niki memonyongkan bibir. “Gimana sih, Nata? Masa begitu bagus? Ini, kan, pertama kalinya ada cowok ngajak aku kenalan!”
“Lo bangga karena ini pertama kalinya, begitu? Nata menghabiskan isi botolnya dalam sekali  teguk, lalu melanjutkan, Gak semua cowok di dunia ini baik, Ki. Lo harus hati-hati, apalagi sama  model cowok yang sembarangan ngajak cewek kenalan.
“Negatif banget, sih, pikirannya,” Niki merengut, “Kamu, sih, nggak percaya sama cinta pada pandangan pertama>”
Sudah ratusan kali Niki mengangkat topik itu, yang bagi  Nata lebih terdengar seperti dongeng yang tidak akan pernah terjadi. Dongon yang membodohi orang!
“Gue kasih tau ya, Ki,” dia memulai nasihatnya, “di dunia ini nggak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama. Yang ada juga nafsu atau suka pada pandangan pertama, yang lalu disalahartikan sebagai cinta.”
“Kamu ngomong begitu karena belum pernah ngalamin,” tuduh Niki.
“Memang lo pernah?” tantang balik  Nata. “Belum. Tapi, nggak ada salahnya percaya, kan?”
Nata menghela napas. “Terserah lo deh. Yang jelas, gue  gak percaya ada cinta yang seperti itu.”
“Gak romantis, iya gak, Ann?” Niki berbalik memandang Annalise yang baru saja duduk di sampingnya dengan semangkuk bakso kuah.
“Apanya?” Annalise yang baru bergabung bertanya tak mengerti.
“Nata nggak percaya sama  cinta pada pandangan pertama,” Niki mengadu, “Kalau kamu gimana?”
Annalise tiba-tiba tersedak kuahnya, terbatuk cukup lama sebelum bisa menjawab. Wajahnya merah—entah karena matahari terik, bakso yang kepedesan, atau fakta bahwa dia tidak ingin menjawab pertanyaan polos yang dilontarkan Niki itu. Akhirnya, dia menepuk dada sambil menengahi bijak, “Pendapat orang kan beda-beda, Ki. Mungkin Nata orang yang realis,  sedangkan perempuan kan, lebih romantis.”
“Maksudnya, pemimpi,” Nata mengoreksi, “tanpa nlogika.”
Niki mendengus lagi. Annalise tersenyum, sudah terbiasa melihat dua sahabat itu bertengkar tak keruan. “Ini tentang cowok yang tadi ngobrol sama  Niki di aula,  ya?”
“Iya,” jawab Niki ogah-ogahan. “Namanya Oliver.” “Cakep,” komentar Annalise.”
“Iya, kan? Jadi nyesel nggak ngasih nomor telepon ke dia tadi,” ujar  Niki antusias.
Nata melengos mendengar pembicaraan dua gadis yang mulai seru membicarakan cowok ganteng. Dihabiskannya beberapa potong gorengan di piringnya, gusar masih mencongkel hatinya. Kadang-kadang, bukan maksudnya untuk ketus seperti itu, hanya saja Nata tidak tahan untuk menasihati Niki yang sering kekanak-kanakan. Akhirnya, malah membuatnya kesal  sendiri, dan Niki jadi ngambek. Padahal, maksudnya tadi mau berterima kasih karena telah membantunya mengatasi demam panggung, tapi malahan bertengkar dengan gadis itu.
Dia memandang Niki sekilas. Kata ‘terima kasih’ itu berhenti di bibirnya, belum sempat terucapkan.

***

Annalise memperhatikan deretan foto-foto berbingkai yang dipajang di dinding kelas,  juga judul dan namanya yang tercetak kecil-kecil di bawahnya.

Famili—by Annalise Putri.

Tajuk  itu digunakannya untuk foto mamanya yang dilihat Nata dan Niki waktu sedang berkunjung ke rumahnya. Tadinya, dia tidak cukup percaya diri untuk memamerkan hasil jepretannya di lorong sekolah, untuk dipertunjukan kepada semua orang. Tapi, Nata dan Niki terus membujuknya, meneguhkan hatinya.
“Foto-foto kamu bagus sekali,  pasti banyak orang yang suka.” Niki selalu bilang begitu walaupun Annalise merasa hasil karyanya masih amatiran. Nata hanya meneliti detail-detail di fotonya dalam diam, lalu mengembuskan napas kagum dan berkata, “Foto-foto ini punya nyawa.”
Karena itulah Annalise memberanikan diri menyumbang beberapa foto kolseksinya untuk galeri mini sekolah mereka. Foto-foto hitam putihnya kini dimuat di antara lautan foto-foto lain dengan beragam tema dan warna.
“Ini karya  kamu?”
Suara seseorang mengejutkannya. Dhanny, abang Nata, tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya, menatap foto yang sama  dengan yang sedang dipandangi Annalise. Selembar foto bertajuk Friends yang dilapisi dengan bingkai kaca.
“Iya,” jawabnya, canggung.
Objek foto itu adalah sebuah kincir angin plastik yang sering dimainkannya sejak  kecil.  Kemarin, ia menemukannya di kolong ranjang, sudah berdebu, tapi masih bisa berputar dengan baik. Annalise membersihkannya dan meletakannya di tepi jendela, supaya benda itu bisa kembali berputar karena angin. Ketika
Nata dan Niki datang waktu itu, Annalise memotret mereka dari  balik sayap-sayap kincir angin. Di foto itu, Niki sedang tertawa, sedangkan Nata tersenyum.
Dhanny menyentuh foto itu, ujung jarinya membelai wajah Nata dan Niki yang hanya samar-samar terlihat di balik  gerakan kincir angin.
“Foto yang bagus.” “Terima kasih.”
Annalise dan Dhanny tidak berkata apa-apa lagi, sama-sama mengetahui sesuatu tentang Niki dan Nata yang belum mereka sadari.

***

W i sh # 1 0 : b e r b ai kan de ngan Ni ki (Nat a)

Nata berhenti di depan trampolin, lalu menjatuhkan diri ke permukaanya, membuat Niki yang sedang duduk bersila di atasnya ikut terguncang-guncang. Niki, yang sore ini mengenakan celana pendek warna pink terang dan jaket hoodie putih dengan topinya menutupi kepala, sedikit merengut melihat Nata ada di sana. Dia masih sedikit kesal  akibat obrolan tadi siang di kantin.
Nata membetulkan posisi duduknya di atas trampolin, memainkan nada pada gitarnya dan bersenandung ringan. Trampolin yang dipasang di kebun belakang rumahnya ini adalah tempat favoritnya dengan Niki. Waktu kecil,  dia merengek supaya dibelikan sebuah trampolin besar. Setiap hari mereka berdua
melompat-lompat diatasnya sampai capek, kemudian berbaring terlentang di sana sambil menengadah memandang langit yang membentang luas.  Kini mereka berdua sudah terlalu besar untuk berbagi ruang di trampolin itu, tapi tetap saja mereka suka melakukannya.
“Berisik.” Niki menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinganya, aksi memboikot yang membuat Nata tersenyum.
“Udah dong, ngambeknya.” Disenggolnya Niki sedikit, tapi yang disikut bergeming. “Ki, gue  serius nih. Gue  punya sesuatu buat lo.”
“Apa?” Dengan cepat, Niki mengulurkan tangannya, bersiap-siap menerima sesuatu.
Nata tersenyum lagi. Ulah gadis ini selalu membuatnya kewalahan, tapi Niki tidak pernah berhenti membuatnya tertawa. :Ini bukan hadiah semacam itu.”
“Bisa dimakan, gak?”
“Gak bisa!” Dengan gemas, Nata menjitak kepala Niki ringan. “Cuma  lagu,  kok.” “Lagu?”
“Iya.”
Niki memeluk lutut, memandang Nata yang sudah siap dengan gitarnya. “Tadi, kan, kamu udah nyanyiin lagu  untuk pentas seni. Ada lagi?”
Nata menggeleng. “Lagu-lagu yang tadi gue  nyanyiin buat kepentingan sekolah. Tapi, yang ini gue  mau nyanyiin buat lo.”
“Buat aku?” Niki mengerjapkan mata, berubah bersemangat.
“Iya, karena lo udah ngedukung gue  untuk tampil di panggung. Mau dengerin, gak?” Nata bersehem sedikit, lalu mulai memetik gitarnya, memainkan versi akustik dari  salah satu lagu  favorit Niki.

And friends come and go,
But people like you  are  hard to find, And times just goes to show,
I wouldn’t change a thing
I owe  it all to yo I always know,

How  lucky I am to have you  here beside me, So before I go,
I wanna say
Thank you,  thank you,  thank you

(T hank Yo u - Kat ana)

Nata terus bermain sambil bersenandung, dengan Niki yang mendengarkan tanpa berkedip. Seulas senyum hadir di wajah keduanya, sebentuk tenang yang sangat nyaman.
Akhirnya, Nata memang tidak berhasil mengucapkan terima kasihnya pada Niki, tapi dia tidak perlu melakukannya, karena Niki sudah tahu. Niki sudah memiliki lagu  itu.

***

ES KRIM MATCHA DAN NOMOR TELEPON

Oliver  menunggu di dalam mobilnya, satu tangan memeluk setir dan satunya lagi sibuk merapikan rambut menggunakan refleksi kaca  spion yang ada di hadapannya. Sudah hampir pukul tiga, sebentar lagi murid-murid SMU Harapan pasti akan bubar. Dia berharap Niki ada di antara kerumunan murid yang akan keluar melewati pagar depan itu.
Ucapan Niki yang ambigu dan penolakan halus untuk memberikan nomor teleponnya membuatnya makin penasaran. Biasanya, jika gadis-gadis remaja berhadapan dengannya, mereka akan berubah malu-malu dan lebih sering tertawa centil sambil memutar rambut dengan jari. Kebanyakan dari  mereka akan segera menuliskan nomor telepon mereka di secarik kertas, menyelipkannya di saku jaket Oliver  atau bahkan ada yang pernah menuliskannya di jendela mobilnya dengan sebentuk lipstik merah. Tapi, gadis yang satu ini tidak begitu, dia dengan mudahnya mengucapkan selamat tinggal dan langsung pergi seakan tidak peduli jika tidak pernah melihatnya lagi.
Oliver  belum pernah merasa ditolak seperti ini, dan seperti kata orang, penolakan berarti pengejaran yang lebih kukuh. Egonya telah tersentil oleh seorang cheerleader SMU seberang.
“Kamu Oliver  Stevent, kjan?” Bau parfum yang menyengat—Britney Spears Fantasy yang teramat manis aromanya—menyumbat hidung Oliver.  Dia menengadah dan menurunkan kaca  mobil lebih rendah lagi. Seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu dengan roklipit superpendek sedang membungkuk menatapnya, tiga orang gadis lain di belakangnya berbaris seperti pengawal.
“Aku Helena, kapten tim cheers yang kemarin Sabtu hadir di pertandingan,” Gadis  itu mengulurkan sebelah tangan. Oliver  menjabatnya ringan, tapi tangan sang gadis yang dingin dan rikuh tidak segera melepaskan tangannya.
Helena tersenyum menggoda, mengelus-elus helaian rambutnya yang dicat kemerahan. “Ada apa datang ke sini? Mencari seseorang?”
Right on cue,  pikir  Oliver,  karena saat itu dilihatnya Niki sedang berjalan keluar dengan ranselnya, seorang gadis bule yang sangat tinggi di sampingnya dan cowok yang kemarin solo  dengan gitarnya sedang membopong alat musik itu di belakangnya. Cepat-cepat, Oliver  keluar dari  mobil, lalu berlari menghampiri mereka.
“Hai!” sapanya ceria. Langkah Niki terhenti, menatapnya aneh walau di bibirnya tersungging senyum senang.
“Halo, Oliver.” Oliver  senang Niki mengingat namanya. “Kok, ada di sini?” “Aku nyari kamu.”
Didengaranya Helena terkesiap sedikit, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan yang termanikur rapi.  Tiga gadis di belakangnya meniru gerakannya hampir serentak.
Niki juga tampak kaget, tapi lalu dengan sigap memperkenalkan dua orang temannya. “Kenalin dulu, ini Annalise, dan ini Nata, teman-teman sekelasku.” Oliver  menyambut jabatan tangan Annalise, lalu Nata—entah kenapa yang ini malah tampak kurang senang. “Ada apa ya nyari aku?”
Oliver  mengantongi kacamata hitam Oakley-nya di saku,  lalu menunjuk mobilnya. “Kuantar pulang, yuk.”
“Tapi, aku pulang dengan teman-temanku.”
Penolakan lagi. Oliver  tersenyum, tidak menyerah. “Kalau begitu aku datang lagi besok.”
“Eh, tunggu!”
Seperti yang diduga, Niki berlari mengejarnya, meninggalkan sekelompok temannya yang terlihat agak  kaget juga.  “Nggak usah,” katanya, “aku bisa pulang sendiri kok.”
Oliver  menatap gadis mungil yang menggenggam tali ranselnya erat-erat, dengan tegas mengatakan tidak. “Kamu tahu nggak kenapa aku datang ke sini?” Niki menggeleng. “Minggu lalu, kamu bilang kamu akan ngasih nomor telepon kalau kita ketemu lagi.”
Rona merah jambu mewarnai pipi  Niki sekarang ketika dia teringat janji itu. “Jadi kamu datang untuk minta nomor teleponku?”
Oliver  angkat bahu. “Kalau boleh, aku juga mau nganter kamu pulang. Boleh, kan? Pasti sampai di rumah dengan selamat, kok. Gratis es krim,  lagi.”
Niki tertawa. “Kalau aku bilang enggak, besok kamu bakal datang lagi?” “Seterusnya sampai kamu bilang iya.”
Niki menggelengkan kepala, mendesah dengan canda. “Bukan main. Masa’ aku harus pindah sekolah supaya gak dikuntit?”
Oliver  membalasnya dengan tawa juga.  “Gak usah seekstrem itu, cukup satu jam saja hari ini dan aku nggak akan ganggu kamu lagi.”
Niki tampak memikirkannya sejenak, lalu akhirnya mengalah. “Ya udah, deh. Satu jam. Tumpangan pulang, plus es krim.”
“Sip!” Oliver  menyeringai menang.
Niki berbailk untuk memberi tahu Nata dan Annalise, juga menyadari bahwa
Helena masih menyaksikan interaksi itu dengan mata terbelalak. Dari dulu, teman-teman cheerleader Niki memang selalu bilang bahwa kapten tim basket SMU Pelita sangant populer. Ganteng, kaya, dan charming. Sekarang, mereka melihatnya dalam jarak  dekat, sedang flirting dengan Niki.
“Nat, Anna, aku pulang sama  Oliver  ya hari ini.” Niki melihat raut wajah Nata berubah, sedangkan Annalise hanya tersenyum maklum.
“Pulang sama  dia?” Nata jadi berang. “Lo gak takut diapa-apain?” Niki memasang tampang penuh permohonan. “Nata... Jangan kayak nenek-nenek, deh. Cuma satu jam, kok. Terus aku langsung pulang.”
“Tapi, lo kan gak kenal dia!”
“Ya itu tujuannya dia dateng, mau ngajak kenalan.”
Annalise segera menyentuh lengan Nata. “Kayaknya, dia bukan orang jahat, kok, Nat. Niki juga pasti bisa jaga diri.”
Tanpa membaca situasi dan usaha Annalise membujuk Nata, Niki malahan semakin menambah minyak pada api. “Iya! Aku bukan anak kecil  lagi.”
Ekspresi Nata sulit dibaca, tapi akhirnya dia mengangguk enggan. Niki tersenyum lebar dan berlari ke mobil Oliver,  membiarkan pemuda itu membukakan pintu mobil untuknya dan mempersilakannya masuk. Tidak  lama kemudian, mobil itu meluncur pergi, Nata dan Annalise memandangnya sampil menghilang di tikungan.
“Gue Cuma nggak percaya sama  cowok itu,” kata Nata ketika dia melangkah lagi untuk mengambil sepedanya. Annalise berjalan di sampingnya, mendekap beberapa buku pelajaran sambil larut dalam pikiran.
“Aku ngerti kamu khawatir,”katanya lembut. “Tapi, Nat, mungkin saja ini cinta pertamanya Niki.”
Nata terhenyak.

***

W i sh # 1 1 : nomor telepon Niki (O l i v e r )

Seumur hidupnya, Niki belum pernah naik mobil senyaman ini; sedan BMW biru tua dengan inteNatar yang sudah dimodifikasi sehingga kursinya lebih lebar dan nyaman. Ada satu set perlengkapan televisi dan GPS dengan voice command, juga CD player yang sekarang memutarkan lagu  In A Rush milik Backstreet.
Niki mengalihkan pandangannya dari  sebuah miniatur oemain basket di atas dashboard ke arah Oliver  yang sedang menyetir dengan tangan kanan. Sang kapten basket SMU Pelita memang tampan, yang satu ini tidak perlu diragukan lagi. Tubuhnya tinggi dan ramping model atlet, berisi tapi tidak terlalu kekar seperti ahli angkat besi.  Rambutnya dipotong rapi  dan tidak menyentuh telinga, ditata dengan gel seadanya sehingga memberikan kesan berantakan. Kulitnya kecoklatan hasil latihan rutin di bawah sinar matahari, sedangkan senyumnya ramah, mencerminkan kesan easygoing. Pemuda ini mengingatkan Niki pada Kak Dhanny yang selalu wangi, rapi,  dan bersih.
Kalau boleh jujur, Niki senang bertemu dengannya lagi. Ia sempat, menganggap ajakan kenalan waktu itu tidak lebih dari  candaan belaka walau sempat menyimpan secercah harapan bahwa cinta yang manis suatu hari akan datang kepadanya. Ketika ia mulai melupakan kejadian tersebut, tiba-tiba saja Oliver kembali muncul di hadapannya, menawarkan kesempatan kedua. Niki menganggapnya sebagai sebuah pertanda.
Mereka berhenti di depan sebuah kafe  gelato. Lagi-lagi,  Oliver  membukakan pintu mobil untuknya, sebuah aksi yang memberi nilai plus di mata Niki.
“Mau es krim apa? Kutebak ya, rasa cokelat.”
Niki menggeleng. “Aku suka es krim matcha. Green tea gelato.” Kening Oliver  sedikit berkerut. “Oh ya? Nggak  nyangka.”
“Bukan berati aku nggak suka cokelat, lho.” Candaan ini dibalas oleh senyum Oliver.  Mereka berdua menempati sebuah meja  kosong di pojok, masing-masing asyik dengan pilihannya. Diam-diam, Niki agak  deg-degan; dia belum pernah pergi berdua dengan cowok selain Nata. Kalau sedang berduaan dengan cowok yang baru saja dikenal, enaknya harus ngobrolin apa,  ya? Gimana harus bersikap?
“Cowok yang tadi pacar kamu, ya?”
Niki mengangkat muka, melupakan sejenak monolog senyapnya. “Yang mana? Nata?”
“Iya, cowok yang bawa gitar itu. Kayaknya, dia kurang senang ngeliat aku.” Niki tergelak kecil.  “Ah, perasaan kamu aja kali. Nata emang orangnya begitu, agak  galak,  tapi sebenarnya perhatian. Dia sahabatku dari  kecil.”
“Mungkin dikiranya aku playboy yang nggak bisa dipercaya,” canda Oliver. Niki berhenti menyuap es krimnya, lalu bertanya dengan lugu, “Memangnya kamu begitu?” Wajahnya begitu polos sehingga Oliver  tertawa. “Ya nggaklah. Aku nggak punya pacar, kok.”
Dalam hati, Niki meras sedikit lega. Tapi, ia tak bisa menahan diri untuk meledek dengan nada skeptis,”Masa orang seperti kamu nggak punya pacar?”
“Orang seperti apa?” Oliver  balas bertanya, seakan ingin memancing reaksinya. Wajah Niki memerah lagi dan ia menunduk maul, merasa salah bicara.
“Yah... orang yang populer seperti kamu. Banyak lho teman-temanku yang bilang kalau kamu cowok iVanyal yang diinginkan cewek-cewek.”
“Menurut kamu, aku begitu...?”
“Nggak tahu. Aku kan, belum kenal kamu.”
Oliver  tersenyum lebar, dan kali ini Niki melihat lesung pipit samar di pipi kanannya. Senyum tampak sangat natural di wajah itu. Perlahan, Oliver menjulurkan sebelah tangan dan menyentuh sudut bibir Niki, mengusap lembut dan bertahan di sana selama beberapa saat sebelum menariknya kembali. Niki agak  terkejut dan sedikit menarik tubuhnya ke belakang dengan salah tingkah.
“Sori, aku nggak bermaksud apa-apa. Tadi ada bekas es krim di wajah kamu....” Niki mengangguk samar, mengutuk diri sendiri karena bersikap begitu kaku. Sepanjang perjalanan pulang, Oliver  memutarkan lagu-lagu top forty yang juga menjadi favorit Niki. Perlahan, tetapi pasti, rasa canggung di antara mereka melumer, terganti oleh pembicaraan seru. Niki bercerita mengenai sekolahnya, perlombaan cheerleading yang akan diadakan bulan Desember, dan segudang aktivitas lain yang biasa diikutinya. Oliver  tertawa mendenghar jokes-nya, juga berbagi cerita mengenai dirinya sendiri. Melalui ceritanya, Niki mengetahui kalau Oliver  adalah anak tunggal, dan ulang tahunnya hanya berbeda lima hari dengan Nata, sama-sama berzodiak Capricorn walau sifat mereka berbeda jauh.
Niki hampir saja merasa kecewa ketika perjalanan mereka berakhir, seperti Cinderella yang sudah harus berlari pulang pada pukul dua belas malam. “Thanks yah udah nganterin aku pulang.” “tunggu. Kamu  lupa sesuatu.” Niki merogoh saku bajunya, memeriksa apa yang kelupaan. “Apa?” “Nomor telepon.”
Niki tertawa sumringah, bersiap-siap mengeluarkan pulpen untuk mencatat nomor teleponnya pada secarik kertas. Namun, sebuah ide iseng muncul, dan dengan raut nakal, dicoretkannya deretan angka itu dengan lipstik pink yang selalu dibawanya ke mana-mana. Mengikuti gaya flirty perempuan-perempuan yang pernah dilihatnya dalam film, diselipkannya kertas tersebut dalam saku kemeja Oliver.  “Supaya aku nggak berutang lagi sama  kamu,” ujarnya sebelum masuk ke dalam rumah, meninggalkan Oliver  yang memandangnya dengan ekspresi melongo bercampur kagum.

***

W i sh # 1 2: ce r i t a kakak (Acha)

Acha yang sedang mengerjakan tugas Fisika di atas meja  makan melirik kakak perempuannya dengan bingung. Ada sesuatu yang aneh dengan kakak hari ini, dia menyimpulkan. Sepulang sekolah tadi, Niki langsung berlari ke kamarnya sambil menyenandungkan lagu  favoritnya. Tidak  lama kemudian, dia mondar-mandir di depan meja  telepon, sampai akhirnya duduk termenung dengan raut dreamy di wajahnya. Mama yang melihatnya Cuma geleng-geleng sambil tersenyum kecil,  sedangkan Acha masih tidak mengerti juga apa yang telah terjadi pada kakaknya.
Setiap kali telepon berdering, Niki akan terlonjak dari  kursinya dan mengangkatnya dengan waswas. Wajahnya berubah kecewa jika telepon itu ternyata bukan untuknya. Ketika telepon itu masih juga tidak berdering untuk jangka waktu yang lama,  akhirnya Niki menyerah dan duduk di samping adiknya.
“Acha” “Hmmm?”
“Mau denger cerita, nggak?”
Acha meletakkan pulpennya, berhenti menuliskan rumus-rumus yang membuat otaknya ngejelimet. Sejak kecil,  Niki selalu bercerita mengenai apa saja.
Kadang-kadang, Niki suka membangunkannya di tengah malam, lalu membisikkan sebuah rahasia di telinganya. Acha menyukainya, hal itu membuatnya merasa penting dan dipercaya.
“Cerita apa?”
Dulu  cerita Niki penuh dengan dongeng fantasi tentang seorang pangeran rupawan yang menyelamatkan seorang putri dari  negri yang sangat jauh. Hari ini, Niki bercerita tentang seorang murid laki-laki sekolah sebrang yang tampan, yang mengantarnya pulang dan meminta nomor teleponnya.
“Jadi yang dari  tadi kakak tunggu itu telepon dari  dia?”
Ekspresi Niki sarat dengan kebahagiaan dan rahasia. “Iya. Namanya Oliver.” “Orangnya seperti apa?”
Niki menjelaskan rupa pangeran tampannya—tidak berkuda putih, tapi lengkap dengan sedan biru yang mewah. Kapten tim basket, walau sempat kalah di pertandingan kemarin. Senyum yang menarik, suara tang menggetarkan, sosok yang sempurnya.
“Memangnya ada,  ya, orang yang sempurna di dunia ini?” Acha ingin tahu. “Sempurnya itu relatif,” jawab Niki, senyum itu masih enggan meninggalkan wajahnya.
Telepon berbunyi. Segera setelah satu dering, Niki menyambar gagangnya. Tiba-tiba, ekspresinya berubah cerah, dan dia mengedipkan sebelah mata pada Acha sambil terus mengobrol di telepon. Ini dia, bisiknya sambilk menunjuk-nunjuk telepon.
Oh. Acha ikut tersenyum, akhirnya mengerti. Kakaknya ternyata sedang jatuh cinta.

***

KISS

W i sh # 1 3 : segalase suatunya untuk  tidak  berubah (Nata)

Nata gondok setengah mati. Pasalnya, dari  satu jam yang lalu, yang dibicarakan Niki Cuma satu hal—Oliver. Setelah diantar pulang waktu itu, mereka ternyata membuat janji untuk bertemu lagi. Kesalnya lagi, akhir-akhir ini Niki selalu pulang bareng cowok itu. Wajahnya selalu berbinar-binar ketika bel terakhir berdentang tepat pukul tiga sore, lalu dia langsung melesat keluar ke arah parkiran.
“Jadi, hari Sabtu nanti aku nggak bisa pergi bareng kalian.” Niki menyelesaikan kalimatnya. Mereka bertiga baru saja menyelesaikan kelas  lab Biologi,  dan kini merapikan alat-alat yang tersebar di atas meja  sebelum pulang.
“Masa aku dan Nata jadi Cuma pergi berdua...?” Annalise mengeluh kecewa. Hari Sabtu nanti mereka bertiga sudah janjian untuk nonton film action terbaru di mal, sekaligus mencoba tempat makan sushi yang baru buka di sana.
“Maaf...” Niki melekatkan kedua telapak tangannya di depan dada untuk memohon maaf.  “Sekali iniii... aja. Kali ini penting.”
Nata membuang muka. “Kalau begitu, hari ini aja kita nontonnya, sehabis pulang sekolah bisa langsung ke mal.”
“Iya, ide bagus tuh,” dukung Annalise.
Lagi-lagi,  Niki membungkuk minta maaf.  “Aduh... hari ini aku juga nggak bisa. Mau pulang bareng Oliver,  sambil coba yogurt smoothie di counter Boost Senayan City yang baru buka.”
Kali ini Nata menggeram tak sabar. “Jadi, kapan dong, kita bisa ngumpul bareng?” Sudah seminggu Niki tidak bertandang ke rumahnya. Padahal biasanya cewek itu selalu datang setiap sore setelah makan malam, entah hanya untuk mengobrol atau minta diajari Matematika. Sekarang, boro-boro menelepon atau menumpang sepedanya Nata, setiap pagi  dan sore selalu diantar jemput oleh ‘sopir’ barunya.
“Hari Minggu, deh!” Niki berjanji. “Minggu pagi.  Nanti kubuatin apple struddle untuk kalian berdua.”
Belum sempat Nata berkata apa-apa, sedan biru itu meluncur memasuki parkiran sekolah. Dengan semangat, Niki langsung menarik tasnya dan berlari kecil  untuk menyambutnya. Nata menghela napas. Bagian belakang sepedanya kosong. Walaupun dulu setiap hari punggungnya habis ditepuk-tepuki dan dia harus mendengarkan celoteh ringan tentang hal-hal yang gak penting, rasanya Nata lebih senang begitu daripada hanya bersepeda pulang sendirian.

***

W i sh # 1 4 : . . . . . (Nat a)

Sore  hampir berganti malam. Warna biru langit sudah pecah, berganti dengan kombinasi ungu oranye yang menyerupai palet warna dari olesan kuas.  Nata menemukan Niki sedang tertidur di atas trampolin mereka, sebelah tangannya menggenggam plastik berisi satu gelas  stereofoam dengan label  Boost tercetak di tengah-tengah. Niki tadi berlari ke sini untuk menunggu Nata selesai makan malam, rencananya ingin membawa oleh-oleh satu gelas smoothie buah untuk Nata. Niki merasa bersalah, sudah lama dia tidak menghabiskan waktu berdua saja dengan sahabatnya itu. Padahal, dulu, mereka tidak terpisahkan. Akhir-akhir ini, dia juga kangen mendengar nyanyian Nata yang srak-serak basah diiringi petikan gitar yang lembut.
Setelah setengah jam menunggu, Niki jadi bosan. Angin sepoi-sepoi membuatnya mengantuk, dan dia terbuai dalam lelap di bawah langit sore.
Nata ingin membangunkannya, tapi tidak jadi. Ingin juga mengisenginya dengan menggambar kumis di atas bibirnya dengan spidol, tapi tidka tega. Jadi dia hanya duduk menatap Niki yang tertidur, menjulurkan sebelah tangan untuk membelai helai-helai halus yang membingkai wajahnya. Wajah Niki yang sedang tertidur seperti anak-anak. Seperti seorang anak perempuan yang baru saja mendapatkan lolipop kesukaanya, lalu mengisapnya habis sampai tertidur. Seperti seorang gadis kecil  yang menyimpan senyum dalam tidurnya, dan akan bangun bersamanya juga.
Entah apa yang membuat Nata tergugah. Seulas senyum lembut menyelinap di wajahnya yang biasa berekspresi keras. Dia menunduk, ragu-ragu sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Niki dan mengecup bibir gadis itu pelan.
Dengan wajah memerah, dia kembali ke posisi duduknya, menyentuh bibirnya sendiri sambil tersenyum.




2 comments:

  1. Agen Casino Terpercaya
    https://bit.ly/30ZegxT

    HOBI BOLA,KASINO, POKER !!!

    Dengan Berbagai Promo Menarik lain, Penasaran?? AYO JOIN SEKARANG!!!!
    https://bit.ly/30ZegxT

    Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dengan Berbagai Macam Bonus Menarik Seperti:
    -Bonus new member 180%
    -Bonus Happy Hour 25%
    -Bonus 5% setiap hari
    -Bonus New Member POker 20%

    Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
    WA : 081358840484
    BBM : 88CSNMANTAP
    Facebook : 88CSN

    ReplyDelete
  2. Agen Situs Terpercaya
    Agen Casino Terpercaya
    Agen terbaik dan terpopuler hanya ada di sini bos ku!! https://bit.ly/30ZegxT

    Ayo gabung bersama kami di 88CSN dan banyak bonusnya juga bos ku..
    Info lebih lanjut langsung hubungi CS kami pelayanan 24 jam

    ReplyDelete