Tuesday, November 3, 2015

CRUSH IN RUSH - BAB 4


BAB 4

Kiara melirik ke arah Joshua dengan takut-takut, mendadak merasa tidak nyaman berada di dalam mobil itu, apalagi ekspresi Joshua tampak sangat marah, sedikit menakutkan.

Lelaki itu mencengkeram kemudi kuat-kuat dan kemudian sedikit mengebut, untunglah mereka ada di jalan tol yang lengang, sehingga mereka sedikit aman. Tetapi walaupun begitu, jantung Kiara serasa berpacu ketika Joshua semakin dalam menginjak gas mobilnya, membuatnya berpegangan pada sabuk pengamannya dan berdoa dalam hati karena ketakutan.

Kalau gaya Joshua menyetir seperti ini, dia tidak akan mau pergi semobil berdua dengan laki-laki itu lagi. Kiara berjanji dalam hati,  melirik ekspresi lelaki itu yang sangat gusar.

Kenapa Joshua tampak begitu marah? Telepon siapa itu tadi?

***

Mereka sampai di apartement Joshua dan lelaki itu masih membisu, membuat suasana tidak enak, lelaki itu lalu membuka pintu apartemennya dan mempersilahkan Kiara masuk,

“Silahkan, anggap seperti rumah sendiri.” Joshua bergumam memecah keheningan, dia lalu masuk di belakang Kiara dan membanting tubuhnya di sofa, menyalakan televisi.

Lama kemudian suasana tetap hening sehingga Joshua menoleh ke belakang dan mengangkat alisnya ketika melihat Kiara masih berdiri di sana dengan gugup di dekat pintu sambil meremas-remas jemarinya.

“Kenapa kau masih berdiri di situ?” Joshua tampak terkejut menatap Kiara.

Pipi Kiara merah padam, dia tampak malu, “Eh... aku... aku tidak tahu harus kemana...”

Joshua menghela napas panjang menghadapi kepolosan Kiara, perempuan ini luar biasa polosnya hingga Joshua merasa menjadi serigala yang sedang berusaha menerkam gadis kecil bertudung merah yang tidak tahu apa-apa.

Dengan sedikit gusar Joshua berdiri, merasa agak menyesal karena suasana hatinya yang buruk membuat Kiara terkena imbasnya. Ya. Telepon pengacaranya tadi benar-benar merusak moodnya. Joshua langsung menutup telepon setelah mengucapkan penolakan yang kasar, tidak memberi kesempatan pengacara ayahnya untuk berbicara.

Dasar lelaki tua yang kurang ajar. Meskipun tahu itu salah, Joshua terus menerus mengutuki ayahnya. Seenaknya saja dia berusaha kembali mengatur kehidupan Joshua setelah dulu dia meninggalkan Joshua dan ibunya, apakah dia pikir Joshua adalah manusia yang tertarik dengan gelar dan harta? Tidak! Lelaki tua itu seharusnya tahu betapa puasnya Joshua karena menolak permintaannya, Joshua bahkan akan sangat senang kalau lelaki itu memohon dan menyembah-nyembahnya dan dia akan tetap menolak permintaan lelaki tua itu dengan puas.

Setelah menghela napas panjang, Joshua menatap Kiara yang tampak kebingungan dengan ekspresinya yang berubah-ubah. Kasihan juga gadis ini. Harinya sudah buruk dan Joshua yakin demamnya masih belum begitu reda, sekarang harus menghadapi emosinya pula.

“Sini, kutunjukkan kamarmu. Sebenarnya ini kamar yang sama yang kau tempati ketika sakit tadi.” Walaupun begitu Joshua tidak bisa menahan suaranya yang terdengar ketus, “Lain kali jangan bersikap canggung di sini, kita hanya berdua dan sikap canggungmu membuat suasana tidak enak. Lakukan apa yang kau suka, anggap saja rumah sendiri, kalau kau ingin menonton televisi silahkan, kalau kau ingin membuat makanan silahkan, lakukan apa saja yang kau suka, nanti kita akan membahas beberapa aturan, apa yang boleh dan tidak boleh di rumah ini, tapi sekarang kau boleh beristirahat dulu. Aku juga lelah, mau tidur siang.” Sambil terus berbicara, Joshua mendahului Kiara yang terbirit-birit mengikutinya melangkah ke kamar kedua di apartemen yang cukup luas itu, Joshua membuka pintu kamar itu dan melirik ke arah Kiara, “Masuklah dan istirahatlah dulu, nanti sore kita bicara.”

Setelah itu, tanpa melirik sedikitpun pada Kiara, Joshua berlalu.

“Te...terimakasih...” Kiara berseru gugup, entah Joshua mendengarnya atau tidak karena lelaki itu sudah melenggang kembali ke ruang tengah.

***

Kiara memasuki kamar itu, kamar yang sama tempatnya di rawat ketika demam. Dia terperangah ketika melihat luasnya kamar itu. Semuanya lengkap, dari ranjang busa yang besar di tengah, lemari berwarna krem yang elegan dan meja rias yang dilengkapi dengan kaca minimalis yang begitu bening. Ada sebuah televisi besar di dinding, televisi layar datar yang hanya pernah Kiara lihat di televisi.... dan juga AC.....tentu saja kamar ini ada ACnya, Kiara tersenyum merasa malu karena sadar dia benar-benar kampungan.

Di kamar kontrakannya tidak ada AC, bahkan kipas anginpun tidak ada karena Kiara tidak mampu membelinya. Pernah dia membawa tabungannya yang berhasil disisihkan dari uang makannya, sejumlah tujuh puluh lima ribu rupiah ke sebuah supermarket yang di dalamnya juga menjual barang-barang elektronik. Pada akhirnya Kiara keluar dengan tangan kosong, menggenggam uang tabungannya itu di tangannya. Ketika sudah melihat-lihat berbagai merek kipas angin, dia mendapati bahwa yang termurah, dengan ukuran paling kecil dan merk menengah adalah seharga sembilan puluh ribu rupiah. Ada beberapa dengan merk tidak terkenal masih mematok harga tujuh puluh ribuan. Tetapi bukan hanya harga yang membuat Kiara batal membeli, benaknya tiba-tiba memutuskan bahwa dia bisa bertahan tanpa memakai kipas angin, bahwa uang itu sebaiknya disimpan untuk keperluan lain yang lebih penting, seperti membeli sabun mandi atau shampo dan berbagai keperluan rumahan lainnya. Alhasil Kiara harus melalui lagi malam-malam di panasnya Jakarta dengan udara lembab dan lengket, dengan nyamuk yang tak kalah galaknya. Tetapi setidaknya hatinya tenang karena dia masih memegang uang simpanannya sebagai pegangan di kala perlu.

Dan sekarang, melihat AC itu kiara tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya, dia mengucapkan selamat tinggal kepada malam-malamnya yang panas dan penuh keringat. Dengan ingin tahu, Kiara menyalakan AC itu, memejet tombol ON. Kiara tahu cara menyalakan AC karena dia sering menyalakan dan mengatur suhu AC di cafe tempatnya bekerja dulu. Dan kemudian, ketika AC itu menyala, udara sejuk langsung menghembusnya. Membuat senyumnya makin lebar.

Setelah yakin pintu kamarnya tertutup dan Joshua tidak bisa melihatnya, Kiara duduk di ranjang itu, menepuk-nepuknya dan sekali lagi tersenyum senang, ranjangnya empuk. Tidak seperti ranjang lembek dan keras entah dengan usia berapa lama di kamar kontrakannya yang penuh dengan serangga tak terlihat, kadang terasa menggigit kulitnya dan menimbulkan ruam-ruam di kulitnya. Ranjang yang ini pasti tak ada serangganya... pikir Kiara sambil menepuk-nepuknya lagi, dan ranjang ini empuknya luar biasa.

Puas menikmati empuknya ranjang itu, Kiara meraih tas-nya dan mulai berbenah. Di bukanya lemari empat tingkat berwarna krem itu dan mulai memindahkan pakaiannya ke dalam lemari, ketika selesai dia tersenyum masam dan merasa malu, keseluruhan pakaiannya bahkan tidak bisa memenuhi satu tingkat yang paling atas di lemari itu, lemari itu jadi tampak kosong dan menyedihkan. Tetapi tidak apa-apa, Kiara tidak malu dia hanya punya sedikit pakaian, setidaknya dia masih bisa berganti pakaian setiap hari dan bersih serta wangi, biarpun pakaiannya sedikit, Kiara tidak pernah memakai pakaian yang sama selama beberapa hari, setiap dia memakai baju, ketika mandi, dia selalu mencuci pakaiannya sehingga ketika keesokan harinya pakaiannya sudah kering dan wangi lagi. Untuk menyeterika dia bisa meminjam seterika ibu kontrakannya, dan membayar biaya listriknya dengan sekalian menyeterika cucian ibu kontrakannya yang setumpuk banyaknya, karena ibu kontrakan selain memiliki suami yang berbadan besar, juga memiliki empat anak yang masih kecil-kecil. Bisa dibayangkan Kiara membutuhkan waktu seharian penuh di hari liburnya untuk menyeterika semuanya.

Kiara lalu mengatur kosmetiknya dimeja rias yang besar dan lagi-lagi meja itu tampak kosong dan menyedihkan karena Kiara hanya punya satu bedak tabur, satu lipstick, deodoran dan satu splash cologne murahan yang dibelinya di minimarket, serta satu sisir kecil, Kiara menambahkan sambil tersenyum, kosongnya meja rias itu tidak mengganggunya, malahan membuatnya terkikik geli, menertawakan dirinya sendiri. Ya ampun. Kamar ini begitu bagusnya, terlalu bagus dan sempurna untuk dirinya!

Setelah puas memandang suasana kamarnya yang sejuk, Kiara melongok ke arah kamar mandi. Ada kamar mandi pribadi di dalam kamar ini! Lagi-lagi Kiara membayangkan ketika tinggal di kamar kontrakan dimana dia harus berbagi kamar mandi dengan ibu kontrakan dan keluarganya, serta empat orang penyewa kamar kontrakan lainnya.

Kiara melihat sabun, shampoo yang telah tersedia dalam wadah khusus di dinding, dia menambahkan sikat giginya dan tersenyum bahagia.

Sambil bersenandung, Kiara membanting tubuhnya di ranjang matanya tersenyum menatap langit-langit kamar itu.... bahkan langit-langit kamarnyapun indah.... hatinya dipenuhi rasa syukur. Alangkah baik hatinya Joshua memberkan tempat tinggal untuknya, tempat seindah ini yang sama sekali tidak dibayangkannya. Kiara berjanji dia akan menjadi pelayan yang terbaik untuk Joshua.

***

Ketika terbangun, mata Kiara langsung terarah ke arah jam besar di dinding, dia sedikit terperanjat dan langsung duduk. Rupanya dia ketiduran akibat suasana kamar yang begitu nyaman. Dan sekarang sudah jam lima sore. Astaga... betapa malunya Kiara, dia telah berjanji dalam hati akan menjadi pelayan yang baik, tapi yang dilakukannya malahan tidur begitu lama.

Setengah melompat, Kiara masuk ke kamar mandi, dan mandi. Merasa takjub bahwa air di kamar mandi itu bisa disetel panas ataupun dingin. Setelah selesai, Kiara memakai pakaiannya dan membuka pintu kamar dengan hati-hati.

Suasana tampak lengang, ruangan apartemen remang-remang, dan hanya terdengar suara TV yang sayup-sayup, Kiara melangkah ke ruang tengah dan mendapati Joshua sedang tidur tengkurap di sofa, lelaki itu telanjang dada, hanya mengenakan celana panjang santai dan tampak sangat lelap. Pipi Kiara memerah ketika mengamati punggung telanjang Joshua yang berotot, dia melangkah dengan sangat hati-hati melewati Joshua dan kemudian melangkah menyeberangi ruang tengah menuju dapur.
Kiara akan memasak makan malam dan membuat teh hangat, setidaknya ketika Joshua bangun, makanan sudah tersedia.
Di dapur, Kiara melihat sebuah kulkas besar berwarna hitam, dengan hati-hati Kiara membuka kulkas itu dan sedikit merenung melihat isinya. Joshua rupanya tidak suka memasak, yah dia kan lelaki bujangan yang tinggal sendirian, buat apa repot-repot memasak kalau bisa membeli atau pesan antar makanan? Kiara melihat bahan makanan yang seadanya di sana. Ada sosis di freezer, dan di kotak sayuran di bagian bawah ada wortel dan brokoli. Kiara memutuskan membuat sup sederhana.

Karena tidak ada kaldu, Kiara merebus sebagian sosis dengan potongan besar hingga airnya berminyak, lalu memasukkan bawang yang sudah ditumisnya dengan mentega ke sana – untunglah Joshua mempunyai beberapa siung bawang putih yang sudah setengah mengering di kulkasnya – Aroma harum langsung tercium ke seluruh penjuru dapur. Kiara lalu memasukkan wortel yang sudah di potong-potongnya, sementara brokolinya akan dimasukkan belakangan setelah air mendidih. Setelah itu, Kiara membumbui supnya dan mencicipinya. Rasanya lumayan, meskipun dengan bumbu dan bahan yang lebih lengkap, sup ini akan terasa lebih enak.

Tidak ada nasi, tetapi ada kentang di kulkas, Kiara memutuskan membuat kentang tumbuk. Beberapa kentang yang sudah dikupas, di kukus sampai empuk, lalu dihancurkan dengan dicampur sedikit garam, krim kental dan susu tawar kental. Selain itu Kiara membuat scramble eggs sebagai lauknya. Dan jadilah masakannya itu.

Ketika Air mendidih dan Kiara menyeduh teh, tiba-tiba sosok Joshua sudah berdiri bersandar di ambang pintu dapur.

“Baunya enak.”

Kiara memekik, hampir menjatuhkan teko teh-nya. Untunglah dia sigap menahannya, kalau tidak Kiara mungkin harus masuk rumah sakit karena tersiram air panas yang baru mendidih. Dengan gugup Kiara menatap Joshua dan tersenyum,

“Aku memasak dengan bahan seadanya di kulkas, kuharap kau tidak marah karena aku lancang.”

Joshua mengangkat bahunya, masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana santainya yang sedikit melorot di pinggang, dia tampaknya tidak terganggu dengan pipi Kiara yang memerah karena penampilannya, lelaki itu duduk di kursi tinggi di meja dapur, dan bertopang dagu,

“Sini ambilkan aku makanan, aku lapar.”

Kiara langsung mengambil mangkuk dan menyendokkan sup yang masih panas di sana, dia juga mengambil kentang tumbuk di piring bersebelahan dengan scramble eggs yang dia  buat.

Dengan was-was Kiara mengamati Joshua makan, takut kalau lelaki itu memuntahkan makanannya karena tidak menyukai rasanya. Tetapi yang ditakutkan Kiara tidak terjadi, lelaki itu makan dengan lahap dan cepat, dan ketika di tengah makan, Joshua mengangkat kepalanya dan mengernyit,

“Kenapa kau tidak ikut makan?” Tanyanya.

Kiara meremas-remas kedua tangannya, kebiasaannya jika merasa gugup dan bingung,

“Aku... eh... bukankah pelayan tidak makan bersama majikan? Biasanya seperti di sinetron-sinetron, pelayan makan di dapur setelah majikannya makan.”

Joshua terkekeh, tawa yang mencairkan wajah dinginnya yang tampan,

“Memangnya kau hidup di jaman feodal apa? Lain kali kurangilah nonton sinetron yang penuh intrik palsu itu Kiara, ayo makanlah!”

Karena perintah Joshua terdengar begitu tegas, Kiara akhirnya menyerah dan memutuskan makan bersama Joshua, dia lalu mengambil makanannya, tak henti-hentinya berucap syukur atas makanan yang tersedia begitu mudah untuknya tanpa perlu mencemaskan hari esok lagi. Dan kemudian melahap makanannya dengan senang, ternyata dia lapar.

Joshua hanya tersenyum menatap Kiara, mereka lalu menyelesaikan makannya dan Joshua melompat berdiri, melirik ke arah teko teh yang sudah disiapkan Kiara. Teh melati yang harum mengepul dengan aroma yang menggoda selera. Joshua sebenarnya lebih memilih kopi. Tetapi sepertinya Kiara harus diajari untuk menggunakan mesin kopi, menggiling bijinya dan menciptakan takaran kopi hitam sesuai seleranya, perempuan itu pasti hanya bisa membuat kopi instan.

“Bawa teh-nya ke ruang tengah, ayo kita bicara sambil minum teh.” Gumamnya sambil berlalu.

Dengan segera, Kiara mengambil nampan dan meletakkan teko teh beserta beberapa cangkir di sana, lalu mengikuti Joshua ke ruang tengah.

Joshua sudah duduk di sofa, matanya mengarah ke televisi besar yang sedang menayangkan pertandingan basket, dia lalu menatap Kiara yang meletakkan nampan itu di meja, dan berdiri ragu-ragu di sana,

“Duduklah, kau tidak akan duduk di lantai seperti pelayan-pelayan di jaman feodal bukan?” gumam Joshua ketika lama Kira tidak juga duduk, dalam hati dia menggeleng-gelengkan kepala. Pantas saja gadis ini ditindas oleh atasannya yang jahat itu, dia benar-benar lemah dan polos.

Kiara duduk di ujung sofa dengan ragu, menatap Joshua yang bersila dengan santai sambil sesekali mengarahkan pandangannya ke televisi,

“Kau mungkin perlu berbelanja, di lantai basement apartement ini ada supermarket yang menjual sayuran dan bahan makanan, kau bisa memenuhi kulkas dengan berbelanja di sana, belilah apapun yang kau perlukan untuk memasak, aku akan memberimu uang belanja.”

Kiara menganggukkan kepalanya, menyimpan rasa kagumnya pada apartemen ini yang bahkan mempunyai fasilitas supermarket di lantai bawahnya. Orang kaya memang selalu dimudahkan dalam segala hal... batinnya.

“Dan kita akan tinggal bersama di sini, aku sebenarnya tidak punya aturan ketat, hanya ada beberapa yang harus dihormati. Pertama, aku tidak begitu suka suara bising, jadi kalau kau mau menyalakan televisi atau apa, atur suaranya supaya tidak berisik. Kedua, aku tidak suka susu putih, kecuali di campur dengan kopi, jadi jangan memberikanku itu... Ketiga aku biasanya bekerja di malam hari, mulai jam sembilan malam, dan karena itu aku membutuhkan tidur yang lama di pagi harinya, biasanya aku bekerja jam sembilan malam sampai jam lima pagi lalu aku akan sarapan dan tidur jam sembilan pagi sampai sore dan aku tidak suka diganggu....”

Sampai di situ Kiara mengernyit, berusaha memahami gaya hidup Joshua tetapi tetap saja tidak paham. Lelaki ini seperti vampir, bekerja di malam hari dan tidur ketika ada matahari.

“Kau mendengarkan?” Joshua menegurnya, membuat Kiara tergeragap.

Ketika sudah mendapatkan perhatian Kiara, Joshua melanjutkan, “Sampai di mana tadi? Hmm Oh ya.. keempat....”

Tiba-tiba terdengar suara bel di pintu, membuat Joshua mengernyit karena merasa terganggu.

“Siapa yang bertamu tanpa pemberitahuan itu?” gerutunya, melangkah ke arah pintu dan mengintip. Ketika tahu siapa yang berdiri di depan pintunya, Joshua mendesah kesal, tetapi tetap membuka pintunya itu,

“Apa yang kau lakukan di sini, Jason?”

Seorang lelaki yang amat sangat tampan melangkah dengan senyum lebar, memasuki ruangan. Kiara terpesona, karena lelaki itu... sungguh terlalu tampan sampai bisa dikatakan cantik. Ada sesuatu di tangannya, lelaki itu memegang wadah biola dari bahan kulit kaku berwarna cokelat gelap. Lelaki itu pemain biola?

Dan kemudian, Jason masuk menatap Joshua masih dengan senyumannya, tidak mempedulikan tatapan kesal Joshua,

“Aku butuh bantuanmu teman. Ada seorang perempuan yang dijodohkan ibuku untukku dan dia terus memaksa meskipun aku menolaknya mentah-mentah. Ibuku mengatakan karena adikku Keyna sudah menikah dengan si brengsek Davin yang beruntung itu, aku tidak boleh terlalu lama menunda pernikahan. Parahnya... perempuan yang dijodohkan oleh ibuku itu mengejar-ngejarku sampai nyaris menakutkan.” Jason mengangkat bahunya, “Jadi aku melarikan diri dari rumah, mengatakan harus menjalani pelatihan intensif yang tidak bisa diganggu, dan sepertinya aku harus merepotkanmu, aku tahu kau punya apartemen tiga kamar dengan dua kamar yang masih kosong, jadi izinkanlah aku menumpang sementara di sini.”




1 comment:

  1. Hahahaha jd ingt sama davin keyna..jasonn yg sabar ya hahaha

    ReplyDelete