Thursday, November 5, 2015

CRUSH IN RUSH - BAB 7



BAB 7

“Sudah berapa lama kau di situ?” suara Jason bahkan sedingin tatapannya. Tiba-tiba saja Kiara merasa takut. Kenapa Jason yang berdiri di depannya ini sangat berbeda dengan Jason yang ramah, yang tadi pagi berbelanja kepadanya?

“Eh... saya memanggil karena makanan sudah siap.” Kiara bergumam gugup bingung menghadapi tatapan mata Jason yang dingin dan penuh kemarahan. Sebenarnya lelaki itu sedang marah kepada siapa? Kenapa dia memainkan musik seperti itu? musik yang bergolak yang membuat siapapun yang mendengarkannya pasti tahu bahwa sang pemain biola sedang marah.

Tetapi kemudian Jason tampaknya bisa menguasai diri. Kemarahan tampak surut dari matanya, dan dalam sekejap ada senyum di sana. Ekspresi lelaki itu kembali penuh canda dan ramah seperti yang selalu ditampilkannya di depan Kiara sebelumnya, 

“Aku perhatikan, kau tetap saja menggunakan ‘saya’ dan ‘anda’ kepadaku, ini sudah ketiga kalinya aku mengingatkanmu.” Bibir lelaki itu menipis, “Awas kalau sampai ke empat kalinya, coba ulang kata-katamu dengan menggunakan ‘aku dan kamu’.” Jason mengangkat alisnya dan tampak keras kepala.

Kiara menatap lelaki itu dan menyadari bahwa dia seharusnya memberikan apa yang Jason mau karena sepertinya lelaki itu tidak akan menyerah sebelum mendapatkan keinginannya,

“Aku  kemari hendak memberitahumu kalau makanan sudah siap.” Gumam Kiara akhirnya dengan canggung, menggunakan ‘aku’ dan ‘kamu’ seperti yang Jason mau, dan kemudian dia ternyata menciptakan senyum mempesona yang melebar di bibir Jason.

OH astaga, lelaki ini memang tampan, dan ketampanannya naik berkali-kali lipat kalau dia tersenyum seperti itu. Kalau saja Kiara tidak merasa canggung dan malu, dia pasti sudah memegang ambang pintu dan menarik napas panjang, karena udara seakan tertarik dari paru-parunya, terpesona oleh ketampanan Jason.

“Bagus.” Jason tersenyum, lalu melangkah ke pintu dan melewati Kiara, “Ayo kita makan aku lapar!”

***



Ketika Kiara mengikuti Jason hendak melangkah ke dapur, pintu kamar Joshua terbuka dan lelaki itu muncul. Acak-acakan karena bangun tidur dan tampak cemberut, matanya menatap marah ke arah Jason.

“Kalau kau memang ingin tinggal di apartemen ini Jason, seharusnya kau menghormati jam tidurku, aku tidak suka berisik, dan alunan biolamu itu sampai menembus alam mimpiku, memaksaku bangun.” Gumamnya tajam.

Jason tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan Joshua, dia malahan tertawa,

“Maafkan aku, aku lupa kalau kau sangat sensitif terhadap bunyi-bunyian, dan kau punya mood yang sangat jelek ketika bangun tidur. Aku janji tidak akan memainkan biola di saat kau tidur lagi.”

Joshua terdiam, menatap Jason dengan tajam, lalu mengangkat bahunya,

“Oke aku pegang kata-katamu.” Gumamnya tak kalah tajam, lalu mundur dan setengah membanting pintu kamarnya itu, membuat Jason menatap dengan geli.

Sementara itu Kiara masih terdiam di sana agak bingung. Dua lelaki ini memang bersahabat, tetapi sepertinya mereka bersikap seperti anjing dan kucing. Kiara mengangkat bahu, lalu melangkah ke dapur, yah...dia kan perempuan, yang pasti dia tidak akan bisa memahani bagaimana persahabatan laki-laki.

***  

Malamnya, Joshua ikut bergabung bersama mereka untuk makan malam, lelaki itu sudah segar sehabis mandi, dan berpakaian rapi. Syukurlah. Kiara semula ketakutan kalau Joshua akan datang ke ruang makan dengan celana dan bertelanjang dada seperti kemarin.

“Sepertinya moodmu sudah baik.” Jason mengambil sepiring nasi dan memakannya dengan sup daging dan wortel buatan Kiara, caranya makan seolah begitu menikmati, tampaknya dia suka dengan apa yang dimakannya karena tiba-tiba Jason mengangkat matanya dan menatap Kiara – yang dipaksa untuk makan bersama – dengan tatapan puas dan menggoda,

“Enak Kiara, masakan rumahan memang paling enak, bahkan kokiku di rumah tidak bisa membuat makanan seenak ini. Rasanya sederhana tetapi murni, kurasa kokiku tidak bisa membuatnya karena dia terbiasa membuat rumit segala resep demi menunjukkan tekniknya.” Sambil menyuap sendok ke mulutnya Jason mengedipkan matanya, “Mungkin aku akan mensabotasemu dari rumah Joshua dan menjadikanmu tukang masak pribadiku.”

Pipi Kiara memerah mendengar pujian Jason yang dilemparkan secara langsung itu, dia menatap Jason dengan malu-malu,

“Terimakasih.” Gumamnya pelan, tiba-tiba merasa berdebar. Mimpi apa dia sehingga bisa makan bersama dengan dua lelaki yang sama-sama tampan ini?”

Joshua menyuap supnya, tetapi matanya menatap ke arah Jason dan kemudian berganti ke arah pipi Kiara yang merah padam. Jason telah menyebarkan rayuannya tentu saja, Lelaki itu memang perayu alami dan Kiara yang polos sepertinya telah tersihir oleh rayuan Jason,

“Jangan termakan rayuan Jason, Kiara.” Joshua bergumam lugas, memberi Jason tatapan penuh peringatan, “Aku sarankan kau hati-hati kepadanya, Jason memang perayu ulung yang tidak pandang bulu dan kau harus waspada.”

Pipi Kiara makin merah padam mendengarkan saran Joshua itu. Tetapi rupanya Jason malahan tertawa mendengarkan peringatan tentang dirinya yang diucapkan tetap di depan mukanya,

“Aku tidak akan mengganggu Kiara tentu saja.” Gumam Jason, mengedipkan sebelah mukanya kepada Kiara, “Kiara dan aku bersahabat, iya kan Kiara?”

“Iya.” Mau tak mau Kiara menganggukkan kepalanya, meskipun dia tidak tahu bagaimana deskirpsi sahabat menurut Jason, mereka kan baru bertemu tadi pagi?

Joshua mencibir, menyuapkan sup itu ke mulutnya, dan dia kemudian menyadari kata-kata Jason. Sup buatan Kiara memang enak, rasanya ringan tapi penuh aroma. Tidak sia-sia Joshua menjadikan Kiara pelayannya, gumam Joshua dalam hati.

***

Ketika Kiara sedang mencuci piring di dapur dan Jason masuk ke kamarnya untuk berlatih biola lagi – mumpung Joshua sedang terbangun, katanya – Joshua berjalan ke arah ruang tengah dan duduk di sana, pekerjaannya hampir beres dan sepertinya akan tiba saat-saat dimana Joshua bisa sedikit bersantai.

Ponselnya berdering lagi, dan Joshua tidak bisa menahankan kemarahannya ketika melihat nomor di sana. Pengacara ayah kandungnya lagi! Kenapa mereka tidak pernah menyerah mengganggunya?

Karena tahu bahwa pengacara ayah kandungnya sangat gigih, Joshua akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu,

“Kenapa kau tidak berhenti menggangguku?” dia langsung menyapa dengan kasar, membuat pengacara tua di seberang itu tertegun,

“Aku tidak mengganggumu Joshua, aku hanya ingin menginformasikan kepadamu.”

“Menginformasikan apa?” rasa ingin tahu yang aneh menggelitik benak Joshua,

“Tentang ayahmu.” Pengacara ayah kandungnya berdehem, “Sebelumnya aku meminta maaf, selama ini aku berbohong kepadamu....” suara si pengacara tampak tersendat, “Aku selalu bilang bahwa ayahmu sakit dan sekarat serta menginginkanmu datang, sebenarnya itu hanya taktikku supaya aku bisa membujukmu datang kemari menengok ayahmu. Tetapi ternyata alasan itu tidak bisa meluluhkan hatimu, kau tetap keras dalam pendirianmu.” Suara si pengacara tampak menuduh, “Kenyataannya ayahmu sebenarnya sehat, meskipun jantungnya lemah karena usia, dia tidak dalam keadaan sekarat. Dan karena seluruh usahanya untuk membuatmu datang ke London tidak berhasil, beliau memutuskan untuk mengunjungimu ke Indonesia.”

Dasar tua bangka sialan. Joshua mengutuk, langsung mengeluarkan kata-kata kasar dalam benaknya, mengutuk ayah kandungnya dan pengacara liciknya yang sama-sama pembohong besar. Untung Joshua sama sekali tidak termakan oleh kebohongan itu dulu.

“Jadi si tua itu datang ke Indonesia?” Joshua bergumam sinis, “Apakah dia pikir aku mau menemuinya?”

“Ayah kandungmu sangat keras kepala, dia memutuskan akan datang mengunjungimu dan akan berangkat lusa segera setelah semua surat-suratnya beres, aku sudah mencegahnya mengingat penyakit jantungnya dan usianya, tetapi dia tidak mendengarkan aku.” Pengacara ayahnya menghela napas panjang, “Aku harap kau mau memberikan kesempatan untuk ayahmu, Joshua. Beliau sudah tua dan meskipun tidak sekarat, tetap saja penyakit jantungnya mengkhawatirkan.”

“Aku tidak peduli.” Joshua meradang lalu menutup ponselnya, memutus pembicaraan dengan kasar. Punya hak apa pengacara tua itu menyuruhnya mempedulikan kesehatan ayah kandungnya?  Kenapa pula dia harus peduli kepada seorang lelaki yang membuangnya begitu saja?

Sudah terlambat untuk menginginkannya sekarang. Joshua tidak akan membiarkan ayah kandungnya yang arogan itu mendapatkan apa yang dimauinya dengan mudah!

***

“Aku ingin kau besok siang ikut denganku.” Joshua muncul di ambang pintu dapur, menatap tajam ke arah Kiara yang sedang mengelap meja dapur sampai licin. Dia ingin semuanya bersih sebelum dia tidur nanti.

“Ikut kemana?” tatapan Kiara tampak bingung, bukankah Joshua biasanya tidur kalau siang?

Joshua tampaknya menyadari pertanyaan di benak Kiara,

“Aku tidak bekerja malam ini, jadi besok siang aku akan bangun. Kau ikut denganku aku akan membawamu.” Lelaki itu setengah membalikkan tubuhnya tak peduli.

“Ikut kemana?” Kiara mengulang pertanyaannya, buru-buru sebelum Joshua meninggalkan ruangan itu, kalau sampai tidak mendapatkan jawaban, mungkin Kiara akan tertidur malam ini dengan mata nyalang penasaran.

“Ke butik dan mall.” Joshua yang sudah membalikkan tubuhnya menatap Kiara setengah menoleh, “Kita akan berbelanja pakaian untukmu.” Dan kemudian Joshua pergi meninggalkan Kiara yang kebingungan.

Berbelanja pakaian? Apakah maksud Joshua seragam pelayan seperti yang dia lihat di buku-buku komik? Tapi apakah perlu memakai seragam?

Kiara tak henti-hentinya bertanya-tanya, bahkan sampai dia berbaring tidur di malam harinya



***

Rupanya Joshua serius dengan maksudnya, jam satu siang lelaki itu keluar dari kamarnya dan sudah berpakaian rapi, dia menatap tajam ke arah Kiara yang sedang membersihkan karpet dengan penyedot debu. Sementara itu Jason sedang menonton TV di ruang tengah, lelaki itu menoleh dan mengangkat alisnya melihat penampilan Joshua yang rapi.

“Mau pergi kencan?” godanya cepat.

Joshua menggelengkan kepalanya, “Bukan.” Matanya mengarah kepada Kiara, “Kenapa kau belum berganti pakaian?”

Karena Kiara mengira Joshua sudah lupa dengan ajakannya kemarin, atau lelaki itu sedang bercanda... tetapi ternyata lelaki itu serius.

“Sa... saya sedang membersihkan karpet...” jawab Kiara akhirnya.

“Tinggalkan itu, ganti bajumu, kita berangkat sekarang dan cepatlah!.” Gumamnya tegas tak terbantahkan, hingga Kiara terbirit-birit meletakkan pembersih debu di tangannya dan melangkah setengah berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Sementara itu, Jason yang masih duduk di sofa mengamati seluruh penampilan Joshua yang memilih berdiri, suaranya terdengar serius ketika berbicara, tidak penuh canda seperti yang ditampilkannya di depan Kiara,

“Apa yang sedang kau rencanakan, Joshua?” tanyanya datar dan menyelidik.

Joshua menatap ke arah kamar Kiara yang tertutup rapat dan kemudian menatap Jason tajam,

“Itu bukan urusanmu.”

Jason mengangkat bahunya, “Memang.” Gumamnya, “Apakah ini berhubungan dengan ayah kandungmu?”

Jason tentu saja tahu kisah tentang ayah kandung Joshua. Mereka memang bersahabat dekat karena memiliki kisah yang sama. Kiasah yang sama-sama tragis, mereka sama-sama dibuang oleh salah satu orang tua kandung mereka. Bedanya sekarang ibu kandung Jason yang jahat dan mata duitan telah mendekam di penjara, menerima ganjaran atas perbuatannya. Sedangkan ayah Joshua masih hidup dan seperti kata pengacara ayahnya tadi, masih lumayan sehat dan gigih mengejar apa yang dia mau, menjadi batu sandungan dan ganjalan bagi langkah Joshua.

“Ya.” Joshua mengangguk, percuma membohongi Jason, sahabatnya ini punya insting yang kuat, “Lelaki tua itu mau datang kemari.”

“Kemari?” Jason mengangkat alisnya, “Dia tidak mudah menyerah ya.”

“Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia mau, aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai ayah di depannya dan membuatnya puas. Bagiku ayahku bukan dia.”

“Hati-hati Joshua.” Jason bergumam, “Sepertinya ayah kandungmu itu sama keras kepalanya denganmu, kalian sepertinya sama-sama berpegang kuat kepada pendirian kalian masing-masing.” Jason lalu melemparkan pandangannya ke arah kamar Kiara, “Dan akan kau gunakan sebagai apa Kiara nanti?”

Joshua tersenyum, senyum yang dalam dan penuh rencana,

“Kiara adalah tamengku. Tameng terbaik yang pernah ada. Alat pembalasan dendam yang paling hebat.”

Suara Joshua terdengar mantap, bergaung di ruang tengah apartemen itu.


CRUSH IN RUSH - BAB 8

No comments:

Post a Comment