Monday, November 16, 2015

SUMMER BREEZE - ORIZUKA - BAB 7



Bab 7

Finest Moment

"KENAPA kamu?" tanya Ayah begitu melihat Orion yg babak belur.
Ares baru akan bicara ketika Orion bergumam ringan, "Abis kena pukul preman kampus."
Ares melongo sementara Ayah mengernyitkan dahinya. Saat ini, mereka semua sedang makan malam. Hanya Reina yg tidak ikut karna masih sedikit demam.
"Apa mereka cari gara2?" tanya Ayah tak suka.
"Biasalah," Orion melirik Ares yg menggigit ayam gorengnya dengan buas. "Alasan nggak jelas." "Apa kamu yakin preman2 itu nggak dikirim sama seseorang?" tanya Ayah lagi, ada nada curiga pada suaranya, membuat Ares emosi.
"Maksud Ayah?" tanya Orion sebelum Ares sempat membuka mulut.
"Sebentar lagi kan turnamen," Ayah mengedikkan bahu. "Siapa tau ada yg mau ngerjain tim- mu."
Orion tertawa geli selama beberapa saat. "Mana ada yg begituan, Yah! Itu kan cuma pertandingan."
"Jangan ngeremehin yg begituan Ri," kata Ayah tegas. "Ayah pernah liat tawuran cuma karna tim-nya kalah. Dan ada yg mati."
Hening sejenak di meja makan. Ares tahu, Ayah tadi meliriknya tepat setelah selesai berbicara. "Tenang Yah," Orion memecah kesunyian. "Aku bakal hati2. Dan menang juga."
"Semoga aja," kata Ayah kemudian diam lagi.
Ares melirik Orion yg tampak sudah kembali makan. Ares tahu, Orion tidak pandai berkelahi, dan kalah di setiap perkelahian dengan siapa pun. Tapi Ares tak akan menyangsikan kemampuannya bermain basket.
Ares juga menyadari selama makan malam, atau tepatnya, setelah dia memberitahu soal pekerjaannya kepada Ayah, Ayah tak pernah lagi mengajaknya berbicara. Ares tiba2 teringat perkataan Reina, bahwa Ayah sudah tua, hanya mengetahui bahwa Ares adalah anak yg nakal dan tak bisa apa2 selain mempermalukan nama keluarga, juga diramalkan menjadi penyebab kematian Ayah.
Ares meletakkan sendok dan garpunya, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya lagi dengan mantap. Dia merasakan tangannya dingin.
"Yah," kata Ares membuat aktivitas semua orang terhenti. Ayah, Ibu, dan Orion menatapnya heran. "Kayaknya kita perlu bicara."
Ayah begitu terkejut sehingga sendoknya melayang jatuh ke piringnya. Orion melongo dengan parah, sementara Ibu hanya bisa membelalakkan matanya.
Selama beberapa menit, tak ada yg berbicara. Ares menatap Ayah pasrah. "Ya udah kalo nggak bisa," katanya, lalu kembali melanjutkan makan.
"Nggak, nggak," kata Ayah tiba2, membuat Ares kehilangan napsu makannya. "Setelah makan. Di kamar Ayah."
Setelah Ayah bicara demikian, tak seorang pun lagi berniat untuk meneruskan makan. Ayah beranjak dari kursinya lalu masuk ke kamar dengan wajah tegang. Ares melirik kepada Orion dan Ibu yg juga tegang, air muka mereka mengatakan agar Ares tak usah mencari gara2. "Tenang, Bu," kata Ares, lalu mengikuti Ayah masuk ke kamar.
Ares mendapati Ayah sedang duduk di kursi rias Ibu, menghadapnya. Ares terpancang di tempat sejenak.
"Nah, apa yg mau kamu omongin? Semoga bukan kamu kehilangan kerja, terus kamu mau minta duit sama Ayah," kata Ayah ketus.
Ares menatap ayahnya tak percaya, lalu berusaha mengendalikan diri. Ares tak akan menyia- nyiakan kesempatan ini hanya karna termakan omelan Ayah.
"Yah...," kata Ares, tapi selanjutnya, tak sepatah kata pun lagi keluar dari mulutnya.
Tenggorokan Ares serasa tersumbat.
"Ya ampun, Res, apa kamu habis bunuh anak orang? Iya, kan? Iya, kan? Res!" sahut Ayah dengan wajah ngeri. Dia sekarang berdiri dan mendekati Ares.
Ares menggeleng cepat, menghindari Ayah yg akan segera memukulnya. "Bukan Yah, bukan itu!" sahut Ares sementara Ayah terus mengejarnya.
"Lalu apa? APA, RES?" sahut Ayah lagi, berhenti mengejarnya untuk mengurut dadanya.
Ares berhenti, lalu memandang Ayah yg segera duduk di kasur untuk menenangkan diri. Ares menyingkirkan rasa takutnya, lalu berjalan mendekati Ayah. Ayah tampak kesakitan karna jantungnya. Ares menatapnya sedih. Ayah sudah terlalu tua. Ares tak bisa lagi mempermainkannya. Reina benar. Selama ini, Ares terus-terusan menyalahkan Ayah yg tak pernah menyayanginya. Padahal harusnya Ares bisa mengerti Ayah, dan menjadi apa yg diinginkannya. Ares terlalu egois untuk itu. Ares 'senang' membuat Ayah marah.
Ares jatuh berlutut di depan Ayah, yg langsung melongo. Ares menarik napas, lalu mengeluarkannya lagi. Tenggorokan Ares benar2 tersekat, seolah mengatakan satu kata saja akan membuat air matanya mengucur keluar.
Ares memandang sosok tua itu, yg masih melongo melihatnya. "Kenap-"
"Tolong, Yah," kata Ares, akhirnya bisa mengumpulkan suara. "Tolong, maafin aku."
Ayah tambah melongo. Dia membuka-tutup mulutnya bingung. Selama beberapa menit, Ayah hanya menatapnya tanpa bersuara.
"Aku janji nggak akan pernah ngecewain Ayah lagi," Ares besusah payah menahan air matanya.
Entah mengapa saat ini dia menjadi sangat sentimentil. "Aku janji."
Ayah berusaha mengatakan sesuatu lagi, tapi tak kunjung keluar. Dia hanya bisa memandang Ares yg sudah menunduk lama, kemudian menghela napas berat.
"Sudah, Res," kata Ayah, seperti lelah dan tak percaya.
"Yah, aku serius!" sahut Ares. "Suatu saat nanti aku bakal bikin Ayah bangga! Suatu saat nanti aku bakal jadi anak yg bisa Ayah banggain!"
Ares hampir berteriak dan mengguncang-guncang tubuh renta Ayah, tapi tak dilakukannya. Ares hanya diam di tempat, menahan segala emosinya, dan menepis pikiran bahwa tidak seharusnya dia meminta maaf karna sepertinya tidak berguna. Sampai kapan pun, Ares akan tetap dicap sebagai anak yg memalukan, sekuat apa pun usahanya.
Ayah terdiam, tampak setengah-terharu setengah-bimbang bagi Ares. Beberapa detik kemudian, tangan Ayah terangkat, membuat Ares mengelakkan kepalanya karna menyangka akan kena pukul. Tapi ternyata, Ayah malah menepuk pundaknya.
"Ayah tau kamu bisa," Ayah terdengar lelah. "Sekarang sana, panggil Ibu. Minta dia bawain obat Ayah."
Ares melongo untuk beberapa detik, lalu segera tersadar. Ares bangkit berdiri, memandang Ayah yg tampak enggan memandangnya balik, lalu melangkah ke pintu dengan seulas senyum pada bibirnya.
Setelah keluar dari kamar Ayah, Ares mendapati Orion dan Ibu menatapnya cemas. Orion mungkin tidak begitu kentara, tapi Ares yakin Orion tadi berharap melihat sedikit luka di wajah Ares.
"Bu, Ayah, obat," kata Ares tak jelas, lalu bergerak menuju gazebo dengan langkah seperti zombie. Tangannya mengelus pundak tempat Ayah menepuknya tadi. Ares yakin, hidupnya akan terasa jauh lebih mudah setelah ini.



"Yg bener?" teriak Reina girang esoknya, setelah Ares menceritakan kejadian semalam. "Jadi, kamu udah baikan sama Om?"
Ares menganggukkan kepalanya tak jelas, yg segera dipukul oleh Reina.
"Jawab dong yg bener! Nggak usah pake gengsi gitu," tegur Reina disambut cengiran Ares. Reina sangat senang melihat Ares yg sekarang tampak jauh lebih bahagia. Ares meluruskan duduknya di samping Reina, matanya menerawang ke luar jendela.
"Selama ini aku bener2 bego. Nggak dewasa. Seneng nyalahin orang lain. Seneng nyusahin orang lain. Seneng buat orang lain khawatir," kata Ares seolah membuat pengakuan dosa. Ares terdiam sebentar untuk mengambil napas. Reina membiarkannya. Reina ingin mendengarkan Ares.
"Udah terlalu banyak orang2 yg jadi sasaranku. Ayah. Ibu. Wanda. Dipo. Lala. Semua orang," lanjut Ares, lalu menoleh kepada Reina. "Kamu."
"Selalu. Selalu nyalahin semua orang, tanpa pernah berpikir kalau setengahnya atau lebih adalah kesalahanku juga. Nggak pernah berpikir jernih, selalu bertindak berdasarkan apa yg aku liat. Mungkin karna, yah, karna aku nggak pernah bisa percaya lagi sama kata hati aku. Kamu tau, kan, aku udah berhenti berharap sejak lama," kata Ares lagi. "Tapi mulai sekarang, aku bakal coba lagi untuk berharap, dan semoga aja, harapanku bisa terwujud, supaya aku bisa percaya lagi sama kata hati aku. Omonganku aneh nggak Rei?" tanya Ares ke arah Reina, yg tersenyum.
"Nggak, kok," Reina meraih tangan Ares dan menggenggamnya. "Kalo begini caranya, kamu bisa menang lomba pidato antar-RT."
Ares nyengir lebar, lalu mempererat genggamannya.
"Kamu tau, Rei," kata Ares kemudian. "Semua ini, semua perubahan ini, semuanya karna kamu. Kamu yg membuka hati aku, kamu yg... yg begitu sabarnya nemenin aku, bahkan bertahan di saat aku bener2 kacau. Aku nggak tau keajaiban apa lagi yg bisa bikin aku lebih bahagia dari ini."
Reina tergelak. "Oke, sekarang yg aku tau, kamu tukang gombal."
"Aku nggak gombal," kata Ares cepat2. "Yah, sedikit sih, di bagian akhir..." Reina pasang tampang cemberut. Ares tertawa kecil.
"Bener kok, Rei," kata Ares lagi, matanya menatap Reina serius.
"Berkat kamu, semua bebanku terangkat. Kamu bener2 seorang malaikan penyelamat bagi aku." Reina tersenyum sesaat, tapi lantas memandang Ares bimbang. "Tapi Res, masih ada yg belum kamu selesaiin."
Ares memandang Reina heran, wajahnya meminta penjelasan lebih lanjut. "Orion," kata Reina lagi.
Ares kembali menatap ke luar jendela. Didengarnya Orion menutup pintu depan dan suara motor dinyalakan. Jelas dia akan berangkat ke kampus untuk berlatih basket. "Kamu tenang aja, Rei," kata Ares kemudian. "Kami bakal baik2 aja kok." Tapi Reina tahu, Ares sendiri tak yakin dengan ucapannya.

"Nice shot!" seru Reno ketika Orion berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
Raul memandang Orion tidak suka, sementara Orion tidak mengacuhkannya dan berjalan ke bangku untuk mengambil handuk. Orion sedang mengelap wajahnya ketika Raul mendekatinya. "Lo nggak ambil serius kata2 gue kemaren rupanya," kata Raul sambil berpura-pura minum untuk menghindari tatapan curiga Reno.
"Buat apa?" tantang Orion.
Raul terdiam, dan Orion dapat melihat dia mengepalkan kedua tangannya dengan gemetar. "Denger, gue butuh ini, oke?" katanya dengan nada mengancam. "Kalo lo pikir ini cuma sekadar turnamen, ini bukan buat gue. Gue bener2 butuh main di turnamen ini."
"Kenapa?" balas Orion ketus. "Oh, tunggu. Jangan dijawab. Gue rasa gue tau kenapa. Ini karna Lala, kan?"
"Bukan," sahut Raul dingin sambil melirik Lala yg sedang duduk di bangku penonton. "Ini soal hidup dan mati gue."
"Oh, jadi kalo lo nggak ikut final, lo bakal menggelepar, trus mati, gitu?" sindir Orion, lalu terkekeh.
"Lo tau kan, bokap gue mantan petinggi basket terkenal," sergah Raul. "Kalo gue nggak main, gue nggak akan bisa dilirik manajer tim2 besar! Dan bokap gue bakal bunuh gue!"
Orion menatap Raul galak. "Sejak kapan lo jadi pengecut gini, heh?" sahut Orion. Wajahnya hanya berjarak tiga senti dari wajah Raul. "Sekarang lo minta belas kasihan gue untuk main di final cuma karna lo takut bokap lo?"
Raul tampak terhina sesaat, tapi itu tak bertahan lama. Dia kembali mengeluarkan wajah liciknya, lalu mencondongkan tubuhnya ke Orion sehingga mereka sekarang hanya berjarak beberapa mili saja.
"Gue udah meminta lo baik2, bahkan ngasih tau alasan kenapa gue pengen banget final ini, tapi lo kayaknya terlalu sombong. Jangan salahin gue kalo terjadi apa2 nantinya. Inget itu," ancam
Raul, lalu bergerak pergi.
"Kalo lo emang pengen banget, kenapa lo nggak berusaha?" sahut Orion kesak.
Raul tak menjawabnya. Dia berjalan kembali ke lapangan, sambil berusaha menahan rasa sakit di lututnya yg sudah setahun ini menderanya.
Ares merebahkan dirinya di sofa. Hari ini, sesuatu yg besar telah terjadi padanya, pada hidup dan cita-citanya. Ares sudah mendaftarkan diri sebagai siswa sekolah penerbangan di Deraya Flying School di bandara Halim Perdana Kusuma. Tadi pagi setelah kuliah, Ares mengecek persediaan uang di ATM-nya. Ternyata sudah cukup untuk membiayai sekolahnya.
Ares telah mengambil formulir, mengisinya dengan penuh gairah, lalu diam2 membubuhkan tanda tangan Ayah yg sudah lama dipalsukannya. Besok, Ares akan melakukan serangkaian tes kesehatan. Ares yakin dirinya cukup sehat, kecuali keadaan paru-parunya yg sudah memburuk karna rokok. Tes kesehatan ini diperlukan untuk mendapatkan Student Pilot Permit dari pihak Deraya.
Ares mengempaskan kepalanya ke atas bantal dan membayangkan dirinya menerbangkan sebuah pesawat jet. Ares melakukan beberapa manuver, membuat semua orang yg menonton di bawahnya berdecak. Ares menemukan keluarganya di antara orang2 itu, dan dari langit, Ares bisa dengan jelas melihat Ayah yg tersenyum bangga.
Ares membuka matanya lagi. Ares tak pernah sesemangat ini dalam hidupnya.

Keseluruhan tes berjalan dengan sangat melelahkan. Ares tak tahu apakan dia bisa lulus atau tidak. Pada saat tes kesehatan tadi, Ares melihat dokter mengernyitkan dahinya saat mengecek paru-paru Ares melalui stetoskop -dan mungkin akan lebih tercengang dengan hasil rontgen nanti. Mengenai luka2 di wajah Ares yg seperti menjelaskan bahwa Ares adalah preman terminal, jelas dokter itu tidak begitu terkesan. Ares sampai lelah karna tes yg berlangsung sangat lama itu.
Sekarang, Ares tinggal menunggu hasil tes kesehatan itu, sambil menyesali hobi merokoknya, karna bisa saja hal itu menjadi penghambat cita-citanya. Nanti setelah Ares mendapatkan hasil tes yg baik, baru Ares akan diperbolehkan untuk mendapatkan Student Pilot Permit. Sebelum itu, harus melakukan tes bahasa Inggris dulu dan Ares yakin untuk hal yg satu ini.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Ares tak bisa menurunkan otot bibirnya. Semua orang di bus disenyuminya. Dia sangat bahagia sekarang, mengetahui cita-citanya tinggal selangkah lagi. Ares membayangkan akan mengajak Reina terbang ke tempat2 romantis di seluruh dunia.
Ares terduduk tegang saat tiba2, dia teringat sesuatu. Sesuatu yg sangat penting. Reina sudah terlalu lama berada di Indonesia. Dia pasti akan pulang beberapa hari lagi, dan Ares tidak menyadarinya. Atau mungkin saja Reina pulang hari ini, Ares tidak tahu lagi. Ares memukul kepalanya, menyesali kebodohannya karna selama ini tidak pernah bertanya pada Reina. Di sisa perjalanan, Ares berharap-harap cemas Reina masih di rumah.
Ketika sampai, Ares melihat rumahnya sepi dan gelap. Tak sorang pun ada di sana. Kalap, Ares menggedor-gedor pintu rumahnya, tapi tak ada yg menyahut.
Ares menjambak rambutnya. Tidak mungkin Reina pergi tanpa memberitahunya. Mungkinkah, mungkinkah Reina sengaja tidak memberitahunya untuk membiarkannya pergi ke Deraya tanpa beban?
Ares kembali menggedor-gedor pintu rumahnya keras2, darahnya sudah mencapai kepalanya. "Kalo begitu caranya ngetok pintu, yg ada pintunya jebol," kata Orion dari belakang Ares.
Ares berbalik, lalu mendapati Orion sedang berjalan ke arahnya. Orion melewatinya untuk
membuka pintu sementara di belakangnya, tampak Ibu yg sedang mengangkut turun belanjaan, Ayah yg sedang mengunci mobil, dan Reina yg sedang tertawa-tawa sambil membawa sebuah bungkusan.
Entah harus lega atau kesal, Ares hanya bergeming di tempatnya semula. Ibu melewatinya
bingung, Ayah juga, tapi Reina berhenti di depan Ares melambai-lambaikan tangannya yg lentik di depan wajah Ares.

"Res? Kenap-"
"Sini," kata Ares dingin, lalu menarik tangan Reina ke luar rumah dan membawanya ke taman. Reina sendiri menatap punggung Ares bingun.. "Ada apa sih?"
"Kamu mau bilang, atau kamu sengaja nunggu aku lupa, trus tiba2 mati shock waktu tau kamu harus pulang ke Amerika mendadak?" sahut Ares keras.
Reina terdiam sesaat, tatapannya berubah sedih. Reina menggigit bibirnya keras2, tak langsung menjawab pertanyaan Ares. Ares menyipitkan matanya curiga, lalu menghela napas.
"Ya ampun, kamu udah mau pulang. Iya, kan?" sahut Ares lagi. "Kamu habis belanja buat oleh- oleh, ya kan? Kamu udah mau pulang, kan?"
Reina membiarkan Ares berteriak-teriak. Reina sebenarnya tak ingin membuat Ares sedih, tapi bagaimanapun, cepat atau lambat, rencananya untuk pulang pasti akan diketahui Ares.
"Dan aku orang terakhir yg tau," dengus Ares kesal. "Hebat banget." "Res, aku... aku sebenernya... nggak mau pulang, kamu tau, kan?" "Terus kenapa kamu pulang?" sambar Ares cepat.
"Orangtuaku... Mereka pengen nyariin aku universitas di sana... Aku harus ngurusin surat- suratku..."
Ares berhenti berteriak untuk berpikir. Reina memang sudah lulus SMA, dan harus mencari universitas. Tiba-tiba, terlintas ide gila di otak Ares.
"Kenapa nggak di sini?" tanya Ares.
"Aku juga pengennya begitu, jangan pikir aku nggk pernah kepikiran itu," Reina mendesah. "Tapi orangtuaku nggak ngebolehin. Mereka pengen aku sekolah di Amerika."
"Terus?" kata Ares sinis. "Kamu pikir gimana dengan kita? Kamu mau pergi lagi ke Amerika sana, sekolah selama lima tahunan, terus aku? Jadi apa yg udah kita lakuin selama ini, sia-sia aja? Kita ketemu buat berpisah lagi?"
"Res, kita udah pernah dipisahin sepuluh tahun sebelumnya," kata Reina, terdengar lelah. "Lima tahun aja, apa susahnya? Lagi pula, jangan pernah berpikir kalo aku seneng pisah lagi sama kamu."
Ares tahu dia memercayai kata2 Reina, tapi berpisah lagi dengannya jauh lebih sulit daripada menerimanya dulu. Ares sudah mulai terbiasa hidup dengan Reina di sisinya, dan sekarang Ares harus menerima kenyataan bahwa Reina harus pergi lagi dari sisinya.
"Kita bisa telepon-teleponan. Kita bisa saling e-mail. Kita bisa saling mengunjungi kalo lagi liburan," kata Reina lagi.
"Nggak akan sama," Ares menggeleng-gelengkan kepala, ekspresinya berubah murung.
"Denger," kata Reina sabar. "Itu satu-satunya cara supaya kita bisa terus bareng. Kecuali kalo kamu mau ngelupain aku aja."
Ares menatap Reina marah, merasa kata-katanya barusan tidak masuk akal. Reina tersenyum, lalu membelai lembut pipi Ares.
"Res, ini cuma cobaan kecil buat kita. Kecil aja. Dan nggak mungkin kita nggak bisa melewatinya. Ya, kan?" tanya Reina lagi.
Ares menatap Reina, lalu seolah ada kekuatan yg menyihirnya, kepalanya mengangguk.
Sebenarnya Ares tak mau menerima kenyataan bahwa Reina akan pergi, tapi Ares mempelajari sesuatu dari Reina. Dia telah dewasa di banyak hal, bahkan jauh lebih dewasa dari Ares yg lebih tua beberapa tahun darinya. Ares harus menerima bahwa Reina juga mempunyai cita-cita, dan mempunyai orangtua yg harus dibuat bangga.
Reina tersenyum, lalu merengkuh Ares dan memeluknya. Sebenarnya, Ares tak menginginkan ini, karna ini seperti pelukan terakhir baginya. Entah mengapa, Ares merasakan firasat itu, tapi dia tidak membicarakannya dengan Reina. Ares membiarkan Reina memeluknya untuk beberapa saat.
"Apa tuh?" tanya Ares kemudian, melirik ke arah bungkusan yg masih dibawa Reina.
"Oh," Reina melepaskan Ares dan mengacungkan bungkusan itu kepadanya. "Untuk juara yg bakal jadi pilot."
Ares nyengir kaku, lalu mengambil bungkusan itu dan membukanya. Sebuah pigura besar berisi fotonya dan Reina yg dibuat di mal, yg ternyata sudah diperbesar sedemikian rupa.
"Um... aku harap sih, itu jadi pigura pertama yg pernah ada di kamar kamu," kata Reina hati2.
"Pastinya," kata Ares membuat senyum Reina merekah.
Ares memandangi foto itu sesaat, lalu detik berikutnya wajahnya murung lagi. "Jadi," katanya setelah beberapa saat terdiam. "Kapan kamu pulang?"
"Lusa, setelah pertandingan Orion," jawab Reina pelan. "Kamu nonton ya? Abis itu, anterin aku ke bandara."
Ares hanya mengangguk-angguk kecil. Reina memandangnya sedih, karna tahu Ares merasakan hal yg sama dengannya. Reina benci berpisah dengan Ares. Tapi dalam hatinya, dia yakin tak akan terjadi apa-apa pada hubungan mereka.
"Res," kata Reina membuat Ares berhenti melamun. "Mau nggak kamu janji sama aku?" Ares menatap Reina dengan alis bertaut. "Apa?"
"Janji ya, kamu udah baikan sama Orion sebelum aku pulang. Janji, Res." Ares hanya menatap Reina, tanpa memberikan jawaban.

Ares terbangun di sofa ketika Ayah membangunkannya. Ares mengerjapkan matanya, kemudian menganga seolah tak percaya tadi Ayah yg membangunkannya.
"Bangun, Res, udah siang. Ayah mau nonton berita," kata Ayah sambil sembarangan menempatkan pantatnya di sebelah Ares.
Ares melongo menatap Ayah, tapi bergeser memberikan tempat baginya. Detik berikutnya, dia ikut menonton dengan senyum konyol di wajahnya. Sudah terlalu lama Ares tidak sedekat ini dengan Ayah.
"Di berita ada yg lucu ya?" tanya Orion -tanpa bermaksud benar2 bertanya- sambil melangkah ke luar rumah untuk latihan terakhir sebelum turnamen.
Ares meliriknya sebal, lalu pandangannya bertemu dengan Reina yg sedang membantu Ibu di dapur. Reina malah tersenyum geli. Ares menjulurkan lidah kepadanya, lalu melirik Ayah yg tampaknya tenang2 saja menonton berita.
"Res, besok kamu yg antar Reina, ya. Ayah nggak bisa," kata Ayah tiba2.
"Iya," jawab Ares pendek. Mau tau mau, perutnya kembali terasa mual mengingat besok Reina harus pulang.
Ares menoleh ke arah Reina, yg sedang tertawa-tawa karna terciprat minyak goreng. Tiba2,
Ares mendapatkan ide gila. Ide yg sangat gila.

"Ri, si Raul akhir2 ini kenapa ya? Kok sering banget keliatan ngobrol sama lo? Nggak biasanya." Orion mengencangkan tali sepatunya, lalu mendongak menatap Raul yg sedang berusaha mati- matian di lapangan menghadapi Reno. Orion menoreh ke arah Lala yg tampak bingung.
"Dia nggak pernah cerita sama lo?" tanya Orion, dan Lala menggeleng. Orion mendesah. "Dia minta final besok."
Lala hanya mengerjapkan matanya selama beberapa detik, tanda tak mengerti. Orion mendesah lagi.
"Dia mau gue nyerahin posisi gue buat dia di final besok, La," jelas Orion. "Katanya sih, bokapnya bisa bunuh dia kalo dia nggak main."
Mulut Lala menganga dan matanya melebar saat Orion selesai berbicara. "Yg bener lo? Gue sih tau bokapnya mantan pemain basket, tapi dia nggak akan bunuh si Raul, lah!"
"La, besok banyak manajer tim besar mau dateng, nyari bibit baru. Jelas aja Raul mau banget
kesempatan ini. Tapi gimana bisa kalo mainnya aja kayak begitu," Orion memerhatikan Raul yg kena marah Reno karna tak bisa melakukan tembakan tiga angka.
Baru sedetik Orion selesai berbicara, Raul mendelik ke arah mereka, lalu memelototi Orion dengan penuh rasa benci.
"Oke, gue bisa liat dia benci banget sama lo. Dan gue yakin, bokapnya bener2 bakal bunuh dia kalo dia nggak main," kata Lala, sedikit ngeri melihat ekspresi Raul.
"Terus gimana? Dia harus berusaha dong, kalo dia mau main. Kalo nggak, Reno bakal maksa gue main penuh. Yg repot kan gue juga," kata Orion, lalu bangkit dan masuk ke lapangan.



Ares pulang ke rumah dengan dada berdegup kencang. Belum pernah dia merasa setegang sekaligus sekonyol ini sebelumnya. Saat Reina melintas, keringat dinginnya mengucur deras dan detak jantungnya bertambah cepat tiga kali lipat.
"Hei, abis dari mana?" tanya Reina saat melihat Ares di pintu depan.
"Hm... Rei, ikut aku ke taman sebentar," kata Ares sambil memainkan jari-jarinya. Konyol sekali. Reina sampai bingung melihatnya.
"Hah? Oh, oke," katanya, lalu mengikuti Ares ke taman.
Setelah sampai di bawah pohon akasia mereka, Ares tidak segera berbicara atau melakukan apa2. Baru kali ini Reina melihat Ares salah tingkah seperti ini.
"Jadi?" tanya Reina setelah beberapa saat yg menegangkan bagi Ares.
"Mm... Rei, apa kamu... maksud aku, apa kita... mm..."
Reina hanya bengong menanti kelanjutan kalimat Ares yg bahkan tidak bisa dibilang kalimat.
Ares malah mengepal-ngepalkan tangannya di balik celananya. "Res?"
"Kemaren kan kamu udah ngasih aku hadiah, makanya sekarang, aku mau kasih kamu hadiah,"
kata Ares lancar, setelah bisa mengumpulkan seluruh tenaganya.
"Oh, itu doang," Reina tertawa geli. "Aku kirain apaan. Mau kasih hadiah apa? Pasti sesuatu yg nggak romantis deh," kata Reina lagi.
"Aku nggak tau ini romantis apa nggak," kata Ares, masih terlihat agak salah tingkah, terlihat
sangat cute bagi Reina. "Yg jelas, bukan barang mahal."
"Nggak peduli," kata Reina sambil nyengir. "Yg penting, kamu mau kasih aku sesuatu. Mana, mana?"
Ares memandang Reina ragu2 sesaat, lalu mengorek-ngorek sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yg berkilau. Sebuah cincin bermata batu indah yg berkelip-kelip ditimpa sinar matahari. Ares menyodorkan cincin itu pada Reina yg melongo.
"Ap... Res... ini...?" Reina menekap mulutnya. "Ya Tuhan, Ares!"
Ares mendesah pasrah, lalu menurunkan tangannya, memandang cincin berwarna hijau muda itu.
"Yah, udah aku sangka. Barang murah sih. Abis, duitku udah kepake buat sekolah penerbangan,
jadi-"
"Stop-stop!" teriak Reina lalu merebut cincin itu dengan buas dari tangan Ares yg melongo. "Malah nggak nyeni lagi kalo kamu ceritain sejarahnya gitu!" sahut Reina lagi sambil mengagumi keindahan cahaya yg dibentuk batu itu.

"Ng... kamu suka emangnya?" tanya Ares tak yakin.
"Ya suka lah!" jerit Reina histeris. "Ya ampun, aku nggak nyangka kamu bisa juga seromantis ini!"
"Ng... sebenernya, aku mau beli yg lain sih, tapi karna duitnya nggak cukup..."
"Jangan ngerusak suasana dong!" Reina pura2 cemberut. Ares nyengir melihatnya. "Cute banget, tau..."
Ares mengamati Reina yg masih mengagumi cincin itu. Ares benar2 bersyukur Reina tidak shock atau sebagainya. Reina tiba2 berhenti memandangi cincin lalu menatap Ares. "Terus?" Reina menantang Ares.
"Terus apa?" tanya Ares pura2 tidak mengerti, padahal Ares tahu betul, cincin bukan benda sepele yg bisa sembarangan diberikan cowok kepada cewek, bahkan yg sudah berpacaran sekali pun.
"Res, kamu nggak ngasih cincin ini begitu aja kan?" tanya Reina lagi.
Rasa dingin menjalari kaki dan tangan Ares saat Reina menatap matanya penuh harap. Tadi, memang Ares berniat untuk melakukannya, tapi segera mengurungkan niat saat melihat Reina yg terlihat sangat kecil dan manis.
"Tapi Rei, kamu bahkan baru lulus SMA... Aku sendiri bego kenapa bisa beli cincin itu..." "Nyesel nih?" tukas Reina sebal. "Kamu mau minta cincinnya balik?"
Ares menatap Reina lekat2. Reina memang masih muda, tujuh belas tahun saja, tapi bukan Ares tidak bisa memilikinya... Bisa saja lima tahun lagi...
"Res, say that four magic words," pinta Reina.
Ares menelan ludah, lalu mengumpulkan segenap keberaniannya. Reina sudah memberi lampu hijau, seharusnya Ares bisa lebih baik dari ini.
"Will you marry me?" tanya Ares akhirnya. Dia sendiri tak tahu setan apa yg sudah mengambil alih tubuhnya, tapi beberapa detik setelahnya Ares tak menyesal telah mengatakannya.
Reina tersenyum lebar, lalu menyodorkan cincinnya pada Ares. Ares sempat bingung. Tapi ketika Reina menyodorkan tangan kanannya, Ares mengerti. Ares segera menyelipkan cincin itu di jari manis Reina, lalu menggenggamnya.
"Nggak keberatan kan, kalo masa tunangannya lima tahunan?" tanya Reina manis.
Ares tersenyum, lalu menggeleng. Ares tidak percaya ini. Dia bahkan tidak geli saat mendengar dirinya sendiri sudah bertunangan dengan seseorang yg berumur tujuh belas tahun pada saat dirinya sendiri baru berumur dua puluh tahun. Karna Ares tahu, Reina-lah satu-satunya orang yg tepat untuknya, tidak peduli berapa tahun lagi. Tak akan ada yg bisa menggantikan tempatnya, Ares tahu betul hal ini.
"Cium dong," kata Reina, membuat Ares bengong sesaat, tapi kemudian tersadar saat tangan
Reina terangkat.
"Ogah," tolak Ares sambil pura2 menepis tangan Reina. Reina merengut. "Dasar cowok buta romantis."
Ares hanya terkekeh, lalu mengusap rambut Reina yg halus. Ares sangat menyayangi gadis ini sampai dia tak mau melukainya sedikit pun. Rasa sayang Ares sudah mencapai tahap lain dalam hubungannya dengan Reina.
"Res, nyanyiin lagu dong," pinta Reina manja. "Tapi jangan yg kamu nyanyiin waktu di The Club," tambahnya cepat2. Ares mengernyit. "Lagu apa?"
"Apa aja," jawab Reina. "Please..."
Ares menghela napas, berpikir lagu apa yg cocok untuk seorang Reina. Lalu dia mulai menyanyi sambil menarik tangan Reina dan mengajaknya berdansa. Reina tertawa sebentar, lalu merangkul Ares dan mulai berayun mengikuti irama yg dinyanyikan Ares. Reina sampai terpekik saat Ares baru memulai lagunya.

"I could stay awake just to hear you breathing, Watch you smile while you are sleeping,
While you're far away and dreaming,
I could spend my life in this sweet surrender, I could stay lost ini this moment forever,
When every moment spent with you is a moment I treasure, I don't wanna close my eyes,
I don't wanna fall asleep, Cause I'd miss you babe,
And I don't wanna miss a thing, Cause even when I dream of you, The sweetest dream would never do, I'd still miss you babe,
And I don' wanna miss a thing."

"Aku nggak nyangka seorang Ares bisa ngelakuin ini semua," bisik Reina sambil tersenyum bahagia. "Maksudku, kamu hari ini manis banget. Ngelamar aku, ngajak dansa, dan nyanyi 'I Don't Want to Miss a Thing' buat aku. Really, I can't expect more than this."
Ares tertawa kecil. "Kalo gitu, bales dong lagunya," kata Ares, membuat Reina berpikir. Tak
lama, Reina mulai menyanyi. Ares tak menyangka suaranya semerdu ini.
"From this moment life has begun From this moment you are the one Right beside you, is where I belong From this moment on

From this moment I have been blessed
I live only for your happiness
And for your love I'd give my last breath
From this moment on

I give my hand to you with all my heart
Can't wait to live my life with you, can't wait to start
You and I will never be apart
My dreams came true because of you

From this moment as long as I live I will love you, I promise you this There is nothing I wouldn't give
From this moment on"

"Res, kamu udah bener2 ngewujudin impian aku," Reina menatap Ares dalam2, lalu memeluknya.
"Makasih ya." Ares membiarkan wajahnya terbenam di antara rambut halus dan wangi milik Reina. Ares tak pernah menyangka akan sebahagia ini, dan merasa tak akan bisa lebih bahagia lagi. "Aha!" sahut Reina tiba2, lalu melepaskan pelukannya.
"Aku tau! Aku juga bisa ngewujudin impian kamu!" Ares mengerutkan dahi, lalu ketika Reina
memainka kedua alisnya, Ares mendadak mengerti. Ares segera mencabut pikirannya bahwa dia tak akan bisa lebih bahagia lagi.
"Ayo Res, aku mau naik roller coaster!" sahut Reina sambil berlari memasuki Dufan dengan ceria. "Ayo buruan! Nanti keburu panjang antreannya!"
Ares membiarkan Reina berlari, lalu memandang berkeliling Dufan. Baru kali ini selama dua puluh tahun hidupnya, Ares menginjakkan kakinya di Dufan. Ares baru tahu bahwa di Dufan terdapat banyak Teletubbies berkeliaran. Ares baru tahu lantai Dufan terbuat dari terakota. Ares tak bisa berhenti nyengir. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ares merasakan kegairahan, seakan masa anak-anaknya yg hilang kembali begitu saja. Ares bahkan tertawa kepada siapa pun yg dilihatnya, terutama anak2 kecil yg berlari gembira sambil memegang es krim.
Ares menatap sebuah keluarga kecil yg melintas. Anak laki-lakinya yg berumur tujuh atau delapan tahun tersenyum kepadanya. Ares balas tersenyum, lalu berhenti berjalan, menikmati udara di sekitarnya. Ares tidak percaya inilah yg menjadi impiannya selama ini. Inilah hal yg pernah ditulisnya di surat permohonan. Hanya saja, tidak ada Ayah dan Ibu yg menemaninya. Ares membiarkan rambutnya dimainkan angin. Reina, yg tadi sudah duluan, kembali melihat Ares. Reina tersenyum memandang Ares. Reina tahu hanya ini yg bisa dilakukannya untuk Ares. "ARES!" sahut Reina, membuat Ares tersadar. "Sini cepet! Kita main roller coaster!"
Ares mengangguk, lalu melangkah pasti ke arah Reina yg merentangkan tangannya lebar2.
Ares masih tidak bisa berhenti tersenyum mengingat kejadian tadi siang bersama Reina. Ares akan menyimpan sebagai memori indahnya.
Tadi siang, Ares merasakan bagaimana serunya menaiki roller coaster. Juga bagaimana asyiknya bermain arung jeram. Dan merasakan ketinggian dari bianglala. Ares sempat merasa dirinya terlalu konyol untuk merasa kelewat senang telah bermain di Dufan, tapi Ares tak peduli. Bahkan, Ares sudah berjanji di dalam hati akan mengajak Ayah dan Ibu ke sana suatu saat. Ares benar2 tidak bisa tidur, bahkan setelah coba memejamkan matanya selama beberapa menit. Ares melonjak kaget ketika terdengar suara pintu kamar terbuka.
Orion muncul dari kamarnya, lalu menatap Ares datar. Ia menghampiri Ares. "Lo belom tidur kan? Geseran," Orion duduk di kaki Ares yg masih terjulur.
Ares membenarkan posisi duduknya, lalu memandang Orion heran. "Kenapa lo?" tanya Ares akhirnya.
"Nggak bisa tidur," jawab Orion singkat.
"Oh," gumam Ares sambil menonton TV yg sudah dinyalakan Orion. Ares bisa maklum. Besok final, dan Orion pasti terlalu tegang sampai tidak bisa tidur.
Selama beberapa menit, tidak ada yg berbicara. Orion menyibukkan diri mencari-cari channel yg sesuai -yg sepertinya tidak bisa ditemukannya. Ares menggaruk-garuk kepalanya, dan tanpa sengaja Orion melihat cap di tangan Ares.
"Lo abis ke Dufan?" tanya Orion, membuat Ares sempat kaget. Dia melihat tanda di tangan kanannya sendiri.
"Iya," jawab Ares pendek, merasa terlalu konyol untuk membicarakannya dengan Orion. "Oh," kata Orion terdengar maklum, membuat Ares berang.
"Kenapa emang? Kalo mau ketawa, ketawa aja," kata Ares panas.
"Nggak ada yg lucu," jawab Orion tenang tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV. Ares menatap Orion sebentar, lalu kembali menekuni layar TV. Di sana tampak para pemain bola dari Intermilan dan AC Milan sedang berlarian mengejar bola. Untuk beberapa saat, keduanya memerhatikan pertandingan itu.
"IP gue," kata Orion tiba2, membuat Ares terkejut, tidak menyangka Orion yg sedang berbicara. "Kemaren nggak begitu bagus. Gue bohong sama Ayah."
Ares tahu dia mengangakan mulutnya sedikit, tidak percaya atas pernyataan Orion. Kenyataan bahwa Orion membicarakan sesuatu yg tidak masuk akal kepadanya pun membuatnya bingung. "Apa pentingnya lo kasih tau gue?" tanya Ares setelah bisa menguasai diri.
Orion mengedikkan bahu. "Mungkin, cuma pengen nunjukin kegagalan gue. Apa membantu?"
tanyanya sambil menoleh kepada Ares yg salah tingkah. "Hah? Eh, yah, mungkin," kata Ares tak jelas.
Ares tak habis pikir mengapa Orion mengatakan sesuatu yg menurutnya mungkin akan membantunya. Ares benar2 tak tahu mengapa Orion melakukannya. Walaupun demikian, Ares tidak senang. Mungkin sangat berguna kalau Orion mengatakannya dulu, di saat Ares sedang terpuruk, tapi sekarang Ares tidak senang mendengarnya. Ares sudah benar2 bahagia, sampai2 pengakuan kegagalan Orion tiak bisa membuat Ares lebih bahagia lagi.
"Yah, semua orang pernah gagal," kata Ares kemudian. "Tapi peduli amat sih. Lo kan pasti bisa bangkit lagi."
Orion menoleh untuk melihat wajah kakaknya yg salah tingkah, lalu mengalihkan pandangannya ke TV. Sudut kanan bibir Orion mengangkat sedikit. Ares benar2 tidak berbakat memberi nasihat.

Akhir2 ini, semua berjalan mulus bagi Ares. Sangat2 mulus sampai terasa nyaris tidak wajar. Ares amat berharap keadaan ini bisa berlangsung selamanya.


No comments:

Post a Comment