Saturday, August 15, 2015

Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 7

Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 7


Christopher ada di sana. Menatap dari kejauhan di dalam sebuah rumah yang tepat berada di depan rumah putih itu. Christopher memang sengaja membeli rumah ini jika saatnya tiba. Matanya terus menatap ketika Andrea memasuki rumah itu.
Dia tidak bisa menahankan apa yang bergejolak di benaknya dan memejamkan matanya. Akankah Andrea menyadarinya? Menyadari Christopher yang menunggu saat-saat ini tiba? Menunggu sekian lama dalam kegelapan untuk Andrea?
Matanya menyorot tajam ketika melihat pintu rumah itu terbuka dan Eric menggendong tubuh Andrea yang pingsan terkulai tak berdaya. Gerahamnya mengeras, menatap sosok Eric yang lengannya melingkari tubuh Andrea.
Tidak bisa dibiarkan..... memang waktunya akan segera tiba.
***

Aroma kopi yang familiar menyentuh hidung Andrea, membuatnya mengerjapkan mata dan mengernyitkan keningnya, kepalanya terasa pening seperti dihantam sesuatu, dia membuka matanya dan menyadari bahwa dia berada di dalam kamarnya sendiri.
“Kau sudah sadar? Kau ingin secangkir kopi?” ranjangnya bergemerisik ketika Eric duduk di kaki ranjangnya, membawa secangkir kopi yang mengepul panas.
Andrea berusaha duduk pelan, dan menatap Eric yang tersenyum penuh rasa bersalah,
“Aku tidak tahu orang yang habis pingsan boleh minum kopi atau tidak.” Eric menatap Andrea lembut, “Hanya saja aku tahu kau menyukainya.”
Andrea mau tak mau membalas senyuman lembut itu, “Terimakasih.” Bisiknya pelan ketika Eric menyodorkan cangkir kopi itu ke bibirnya, dia menerimanya dan menyesapnya pelan.
Rasa pahit bercampur manis yang tajam langsung mengembalikan kesadarannya, Andrea menyerahkan kembali cangkir kopi itu kepada Eric dan lelaki itu meletakkannya di meja kecil di dekat ranjang.
“Aku pingsan.” Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Eric menganggukkan kepalanya, “Langsung pingsan setelah melihat lilin berwarna biru itu, sama seperti kejadian di restoran itu.”
Andrea menghela napas panjang,  kelebatan ingatan itu membuat jantungnya berdenyut pelan. Lilin berwarna biru sejumlah sembilan buah yang disusun setengah melingkar  di dalam kamar rumah itu memang tidak menyala, berbeda dengan yang direstoran. Tetapi efeknya sama, menghantamnya sekeras badai.
Pertanyaannya.... Kenapa?
Andrea mulai merasa pening karena tidak menemukan jawaban. Dengan lembut Eric mendorongnya kembali ke ranjang dan menyelimutinya,
“Jangan dipaksakan, kau akan ingat nanti, pelan-pelan ya, sekarang istirahatlah.” Lelaki itu berdiri lalu membungkuk di atasnya, sejenak meragu, tetapi kemudian mengecup keningnya, membuat Andrea memejamkan mata.
Ketika Eric melangkah meninggalkan kamar itu, Andrea menatap nyalang ke langit-langit kamarnya, merasa bingung.
***

“Aku tidak tega melakukan ini kepadanya, sepertinya setiap dia berusaha mengingat, dia pingsan.” Eric bergumam kepada atasannya melalui telepon.
Atasannya terdiam, tampak berpikir, kemudian berkata, “Kau harus membuatnya ingat, Eric. Hanya ingatannyalah yang bisa membantu kita menemukan “Sang Pembunuh”. Kau tahu hanya Andrea dan ayahnyalah yang pernah bertatap muka dengannya. Ayah Andrea sudah meninggal, jadi hanya Andrea satu-satunya harapan kita.”
Eric menghela napas, menyadari kebenaran kata-kata atasannya. Tetapi melihat Andrea yang pucat dan begitu rapuh itu membuat hatinya sakit. Bagaimana nanti kalau Andrea menyadari kebenarannya? Sekarang Eric tidak boleh mengatakannya... tetapi pada saatnya nanti, Andrea akan tahu.. dan dia akan... hancur.
***

“Kami harus menjagamu, berbahaya kalau kau ada di rumah sendirian, “Sang Pembunuh” bisa datang kapan saja dan membunuhmu.”
Andrea mengernyit mendengar perkataan Eric. Entah kenapa batinnya masih belum siap. Kemarin hidupnya baik-baik saja, tanpa kecemasan apapun, mulai menapak hidup seperti manusia biasa saja. Tetapi sekarang hidupnya dipenuhi kecemasan dan konspirasi rumit yang masih sulit dipercayainya, dan nyawanya terancam.
Kenapa hidupnya tidak bisa biasa-biasa saja seperti orang-orang kebanyakan?
“Kami akan memindahkanmu ke tempat perlindungan yang tidak terlacak, kau akan berada di dalam pengawasan kami, duapuluh empat jam.” Eric melanjutkan ketika melihat Andrea tidak berkata apa-apa.
Andrea membelalakkan matanya, menatap Eric dengan marah, “Apakah kau akan membuat hidupku dalam penjara Eric? Selalu dalam pengawasan hanya karena ancaman yang bahkan belum terbukti kebenarannya? Apakah kau akan merenggut kehidupan normalku ini dariku? Tidak!” Andrea menatap Eric penuh tekad, “Aku tidak akan membiarkan kau melakukan itu kepadaku!”
Eric menatap Andrea seolah kesakitan, “Ancaman itu benar adanya Andrea, kau dalam bahaya, bagaimana agar aku bisa membuatmu mengerti?” suaranya tampak frustrasi.
Tetapi Andrea memang tidak mau mencoba mengerti, dia tidak akan membiarkan Eric tiba-tiba datang kembali ke dalam kehidupannya dan merubah semua, apalagi setelah semua sandiwara palsu yang mengacak-acak seluruh perasaan Andrea. Andrea tidak mau menyerah lagi pada Eric dalam cara apapun.
“Aku tidak mau kau terus ada di sini mengawasiku. Aku ingin kau dan teman-temanmu pergi. Aku tidak butuh penjagaanmu!” Andrea mengangkat dagunya dan menatap ke pintu, “Silahkan, kau tahu dimana pintunya bukan? Atau aku harus mengantarmu?”
Eric terpaku mendengar pengusiran Andrea yang terang-terangan. Tetapi dia kemudian mengangkat bahu dan mendesah. Andrea pantas membencinya, apalagi setelah tahu bahwa alasan Eric mendekatinya dulu adalah demi pekerjaan, meskipun pada akhirnya Eric benar-benar memiliki perasaan kepada Andrea, perempuan itu tampaknya tetap tidak bisa memaafkannya.
Eric memutuskan akan memberi Andrea ruang sambil berharap pada akhirnya perempuan itu akan berpikiran panjang dan mau menerima keadaan ini. Sementara itu, dia dan rekan-rekannya akan terus menjaga Andrea diam-diam.
“Selamat tidur Andrea.” Eric menatap Andrea dan tersenyum tipis ketika Andrea memalingkan muka dan tidak menjawab. Lelaki itu lalu membuka pintu dan melangkah pergi, meninggalkan kamar Andrea.
***

“Kau sakit Andrea?” Suara Sharon di telepon tampak cemas, apalagi ketika mendengar suara lemah Andrea saat menjawab teleponnya.
Andrea mendesah, dia masih berbaring di ranjang, merasa tubuhnya lemas dan tidak enak. Ingatan akan lilin-lilin berwarna biru itu membuat dadanya sesak, karena itu Andrea berusaha menutup benaknya.
“Aku tidak apa-apa Sharon, hanya sedikit kurang darah.”
“Mau kucarikan darah?” Sharon terkekeh, dalam keadaan cemaspun sahabatnya itu masih bisa bercanda, membuat Andrea tertawa.
“Ada-ada saja.” Gumam Andrea dalam tawanya, tetapi kemudian dia menghela napas panjang.
“Kenapa Andrea?” Sharon langsung bertanya. Sahabatnya itu memang mempunyai insting hebat dalam mendeteksi sesuatu yang tidak beres, dan kadangkala Andrea memang sulit menyembunyikan sesuatu darinya. Mereka memang baru mengenal sebentar, Sharon adalah pegawai lama, dan ketika Andrea masuk pertama kali ke perusahaan sebagai pegawai baru, Sharon yang pada dasarnya ramah dan baik menyapanya lebih dulu...dan kemudian mereka menjadi semakin akrab seiring dengan berjalannya waktu.
“Tidak... aku Cuma sedikit pusing.” Andrea tidak berbohong dia memang merasa pusing.
“Kau ingin aku ke sana?”
“Tidak. Jangan. Tidak apa-apa kok. Aku akan tidur saja dan beristirahat, besok pagi pasti sudah baikan kok.”
Sharon menghela napas panjang di seberang sana. “Oke. Kalau ada apa-apa beritahu aku yah.”
“Terimakasih Sharon.” Andrea tersenyum sebelum menutup teleponnya. Dia bersyukur bisa memiliki teman seperti Sharon karena sekarang dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
***

“Tenanglah Eric, aku sudah mengirimkan agen terbaik untuk menggantikanmu mengawasi rumah Andrea, mereka ada di sana dua puluh empat jam, “Sang Pembunuh” itu tidak akan bisa lolos dari pengawasan mereka, Andrea akan baik-baik saja. Lagipula ini kan hanya semalam, besok kau sudah bisa kembali ke sana lagi dan mengawasi Andrea.” Atasannya bergumam panjang lebar untuk menenangkan Eric, dia memang merasakan nada gelisah dalam suara Eric.
Eric menghela napas sambil memegang ponselnya. Lelaki itu melirik jam tangannya, sebentar lagi dia akan menaiki penerbangan terakhir menuju kantor pusatnya, tempat atasannya bertugas. Ada informasi penting dan pembahasan strategi yang harus mereka lakukan segera menyangkut beberapa misi.
Sebenarnya Eric tidak ingin meninggalkan pengawasannya atas rumah Andrea, tetapi atasannya meyakinkannya bahwa ini hanya semalam, dan seperti malam-malam yang lain, Andrea akan baik-baik saja. Tetapi bagaimanapun juga, perasaan tidak enak itu menggayuti benak Eric. Instingnya sebagai seorang agen terlatih seolah-olah menusuk-nusuk punggungnya dari belakang, membuatnya merasa tidak enak.  Seperti ada bahaya yang mengintai dan semakin dekat....
Panggilan terakhir kepada penumpang terdengar dan Eric bergegas melangkah, sebelum dia mematikan ponselnya dia menelepon.
“Bagaimana?” tanpa basa-basi Eric langsung bertanya, tahu pasti bahwa orang di seberang sana tahu arti pertanyaannya.
“Semua OK.” Jawab lawan bicaranya di ponsel singkat.
Eric menghela napas panjang, lalu memutuskan pembicaraan, dia menatap ponselnya, sejenak meragu, lalu menghela napas lagi dan mematikan ponselnya.
Andrea akan baik-baik saja. Eric meyakinkan dirinya dalam hati.
***
“Semuanya OK.” Agen itu bergumam tegas, karena dia tidak menemukan apapun yang mencurigakan dalam pengawasannya, nada suaranya meyakinkan, membuat Eric yang sedang meneleponnya di sana terdengar puas.
Setelah menutup telepon, dia tersenyum kepada rekannya yang ada di sebelahnya di dalam mobil itu,
“Kau mengantuk ya.” Agen itu tersenyum kepada rekannya yang entah sudah berapa kali menguap di sebelahnya.
Mereka memang dipanggil untuk bertugas malam ini secara mendadak tanpa ada persiapan apapun, memang sudah tugas mereka untuk siap sedia kapanpun itu, tetapi rekannya itu tampaknya memang sedang benar-benar tidak siap secara fisik untuk berjaga malam ini, isterinya baru melahirkan dan seperti ayah baru lainnya yang baru membawa pulang bayinya, lelaki itu pasti kurang tidur.
“Kau bisa tidur dulu, aku akan berjaga.” Agen itu menawarkan dengan iba. Lagipula tidak ada salahnya menyuruh rekannya tidur sebentar karena malam ini tampak tenang dan tampaknya apa yang ditakutkan oleh Eric tidak akan terjadi, tidak akan ada penyusup, penculik atau bahkan “Sang Pembunuh” yang akan datang. Agen itu mengusap pistol yang tersembunyi di balik saku jasnya, lagipula dia akan siap sedia menembak penjahat itu kalau dia berani-beraninya muncul.
Rekannya menatap sang Agen dengan penuh rasa terimakasih, “Mungkin aku akan tidur sebentar ya. Seperempat jam.” Matanya tampak merah, dia benar-benar kurang tidur dan berjaga malam ini terasa sangat berat baginya.
Sang agen menganggukkan kepalanya, menegaskan persetujuannya, “Tidurlah.” Lelaki itu mengedarkan pandangannya keluar menatap ke arah rumah mungil Andrea dari jendela mobilnya. Dia akan berjaga di sini sementara rekannya tidur, nanti kalau rekannya sudah bangun, dia akan melakukan patroli ulang mengitari seluruh sisi rumah Andrea, memastikan tidak ada apa-apa.
Dalam sekejap terdengar suara dengkuran rekannya, membuat sang Agen melirik dan tersenyum geli. Dasar. Rupanya rekannya itu sudah sangat mengantuk.
Malam makin larut dan sang agen tetap berjaga, berusaha menajamkan telinga dan pandangan matanya terhadap gerakan apapun yang sekiranya mencurigakan, meskipun suara dengkuran rekannya yang riuh rendah sedikit mengganggu konsentrasinya.
Lalu sebuah gerakan secepat kilat yang terlambat disadarinya membuatnya waspada. Sayangnya, dia lengah. Sebuah jarum suntik tiba-tiba melewati jendela yang terbuka itu, dipegang oleh tangan yang cekatan dan menancap di lehernya. Matanya seketika membelalak kaget sebelum akhirnya menutup, kehilangan kesadarannya.
Rekannya yang masih tertidur pulas merupakan sasaran yang sangat mudah. Hanya beberapa detik untuk menyuntikkan obat bius itu dan membawanya tidur lebih dalam.
Christopher tersenyum sinis menatap dua agen yang sekarang tertidur pulas di dalam mobil. Mereka akan tertidur sampai pagi, tergantung bagaimana reaksi tubuh mereka akan obat bius itu. Minimal mereka akan terlelap beberapa lama dan membiarkan Christopher bergerak bebas, lelaki itu tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit untuk mengambil kembali Andrea.
Tubuh tinggi dan ramping Christopher melangkah tenang menuju rumah Andrea, menuju perempuan yang mungkin sekarang sedang tertidur lelap, tidak tahu bahaya apa yang akan mendekatinya.
***

Ketika malam itu bergayut, Andrea duduk termenung di atas ranjang, entah kenapa malam ini tidak seperti biasanya. Andrea merasa ngeri, rasa ngeri ini hampir sama dengan kengerian yang selalu menyerangnya di malam-malam dulu. Burung di pepohonan depan yang rimbut berbunyi-bunyi dengan suara menakutkan, mencicit seolah memberi pertanda.
Tetapi pertanda apa?
Andrea bolak-balik memeriksa alarm pintunya, dan menghela napas panjang. Alarm sudah terpasang dengan sempurna, pintu sudah tertutup rapat dengan kunci dan gerendel terpasang. Tetapi kenapa dia tetap merasa takut?
Andrea masuk lagi ke kamar dan berbaring, menarik selimutnya sampai ke punggung. Seharusnya dia sudah merasa bebas, seharusnya dia tidak didera ketakutan lagi. Tetapi kenapa perasaan ini sama? Rasanya sama seperti dulu... jauh di masa lalu, dimana kenangan buruk menyeruak, kenangan yang sangat ingin dilupakannya.
Tiba-tiba terdengar suara keras di pintu belakang rumahnya. Andrea begitu terperanjat sampai terlompat dari tempat tidurnya. Jantungnya berdebar dengan keras, dia menatap ke arah pintunya dan meringis....
apakah dia tadi lupa mengunci pintu kamarnya...? Apakah ada seseorang yang menerobos pintu belakangnya? Bagaimana kalau orang itu masuk ke kamarnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Andrea melompat panik, dan kemudian memeriksa kunci pintu kamarnya.
Terkunci....
Andrea menghela napas panjang, dan menyandarkan tubuhnya di pintu. Lama dia menunggu, mungkin akan ada suara-suara lagi diluar sambil menahankan debaran jantungnya yang membuatnya makin sesak napas.
Tetapi suasana sungguh hening, tidak ada suara apapun. Andrea bahkan merasa bahwa dia hampir mendengar debaran jantungnya sendiri yang berpacu dengan begitu kuatnya.
Apakah suara di pintu belakangnya tadi hanyalah halusinasinya?
 Setelah menghela napas panjang, Andrea membuka kunci pintunya. Dia tahu bahwa dia telah melakukan tindakan bodoh seperti di film-film horor yang sering dilihatnya, mendengar suara aneh... bukannya lari dan bersembunyi tetapi malahan mendatangi bagaikan ngengat yang tertarik mendatangi api yang akan membunuhnya.
Rumah Andrea kecil sehingga kamarnya langsung mengarah ke ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga dengan TV besar mendominasi bagian tengahnya, lalu ada lorong kecil ke area dapur.... dapur tempat suara itu berasal.
Andrea menyalakan lampu ruang tengah dan menghela napas panjang ketika menyadari bahwa tidak ada siapapun di sana. Jantungnya makin berdebar ketika menunggu melangkah ke arah dapur.... di sana gelap dan pekat. Dengan hati-hati Andrea menyalakan saklar lampu tetapi langsung mengerutkan kening ketakutan ketika saklar itu putus. Lampu dapur tidak menyala dan Andrea mengernyit menyadari kegelapan di depannya. Tangannya meraba-raba mencari ponsel yang selalu tadi sempat dimasukkannya ke dalam saku piyama.
Dengan pencahayaan ponsel yang seadanya, Andrea melangkah maju memasuki area dapur itu. Cahayanya gelap dan remang-remang, membuat Andrea merasakan bulu kuduknya berdiri.
Tampaknya di dapur tidak ada siapapun. Tetapi kemudian mata Andrea terpaku pada sesuatu di dapur. Sesuatu yang membuat jantungnya berpacu cepat dan wajahnya pucat pasi. Sesuatu yang menguarkan cahaya lembut berwarna kuning redup terselubungi lilin yang berwarna biru.
Masa tenang kehidupannya sudah berakhir..... impian untuk menjalani hari-harinya seperti orang  biasa musnah sudah.
Andrea berpegangan ke dinding untuk menopang kakinya yang gemetaran, matanya menatap ke arah benda itu. Sebuah tanda..... tanda yang samar-samar menyeruak ke dalam alam bawah sadarnya, menarik ingatan Andrea yang telah lama hilang dan mengingatkannya.
Seketika pengetahuan mendalam muncul di benak Andrea, membuatnya merasakan ngeri yang luar biasa. Lilin berwarna biru yang menyala itu adalah tanda, tanda yang ditinggalkan oleh sang pembunuh paling kejam yang dia tahu entah kenapa. Pembunuh itu sudah menemukannya.
Selesailah sudah. Nyawa Andrea mungkin tinggal beberapa saat lagi. Matanya melirik ketakutan ke arah tanda di meja dapurnya.
Lilin berwarna biru itu..... jumlahnya ada sembilan buah... diletakkan dengan rapi dan diatur indah di atas meja dapurnya, cahaya redupnya tampak kontras dengan ruangan dapur yang gelap gulita....
Lalu seperti muncul begitu saja dari bayangan gelap di belakangnya, jemari yang kuat tiba-tiba menyentuh lehernya dari belakang, lembut dan tenang. Andrea tercekat, tetapi tidak bisa memberontak, pada akhirnya yang bisa dilakukannya hanyalah memejamkan matanya.
***

Tanpa perlawanan yang berarti tubuh Andrea lunglai dalam pelukan Christopher, ada rasa sakit dan terkejut luar biasa di sana. Mata Andrea yang membelalak mengatakan demikian ketika menyadari bahwa Christopher yang ada di sana, hingga beberapa detik kemudian, mata Andrea kehilangan cahayanya, menutup dengan lemah, meninggalkan bercak gelap yang merintih tak bersuara disana.
Christopher, alih-alih melarikan diri terburu-buru mengingat ada dua agen yang mungkin bisa bangun kapan saja di luar, malahan dengan tenang mengangkat tubuh Andrea dengan kedua tangannya,  ke sudut ruangan, ke bagian ruang tengah  rumah berlantai kayu yang dipernis mulus itu.
Dia duduk di sana dan memangku tubuh Andrea yang lunglai tanpa daya, dibelainya rambut hitam panjang Andrea, diciuminya aroma leher perempuan itu. Sungguh diperlakukannya Andrea bagai kekasih tertidur yang akan ditinggal pergi diam-diam. Sorot mata Christopher adalah sorot mata kekasih, penuh cinta dan harapan yang meluap-luap.
Bukan sekali dua kali ini dalam tugasnya sebagai seorang pembunuh, Christopher membereskan seseorang yang lemah seperti Andrea, ia sering menyebutnya ‘order kecil’. Cepat, mudah dan tak jarang korbannya cantik luar biasa, seperti apa yang dilihatnya sekarang pada diri Andrea.
Anehnya Christopher langsung menetapkan harga yang amat sangat tinggi untuk menghabisi Andrea. Tanpa alasan jelas, ia selalu bilang begitu kepada kliennya, karena tak mungkin mereka mengetahui bahwa Christopher memuja Andrea, butuh pengorbanan besar dari nurani untuk membunuh seseorang, tetapi bahkan ia akan mengorbankan lebih besar lagi untuk membunuh Andrea, satu-satunya wanita yang telah menyentuh hatinya.
Bibir Christopher menyentuh bibir Andrea, melumatnya lembut penuh cinta. Sebelum akhirnya gelap dan pekatnya malam yang semakin dalam, menelan mereka berdua.
***

Andrea terbangun dalam nuansa kamar remang-remang, temaram oleh cahaya lilin. Dia merasa pusing dan sedikit mual, lalu mengerjap-ngerjapkan matanya, merasa bingung dan kehilangan orientasi.
Ketika dia membuka matanya, dia menyadari bahwa dirinya berada di dalam sebuah kamar yang gelap pekat, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip di kaki ranjang. Ingatan Andrea langsung berkelebat, ingatan di dapur yang menakutkan itu langsung membuatnya terperanjat dan terduduk dari ranjang itu, hanya untuk menyadari bahwa tangan dan kakinya terikat di kepala dan kaki ranjang.
Andrea menatap ketakutan, kedua tangan dan kakinya direntangkan masing-masing di kaki dan kepala ranjang dan masing-masing diikat dengan sebuah borgol!
Andrea semakin ketakutan ketika menyadari bahwa dia hanya terbungkus selimut sutera berwarna hitam yang ketika dia bergerak menggesek tubuhnya secara langsung, membuatnya sadar bahwa dia telanjang bulat dibalik selimut itu.
Ketika Andrea mendongakkan kepalanya dia melihat pemandangan yang menakutkan itu terhampar di depan matanya. Tepat di meja besar yang menempel di kaki ranjang, sembilan lilin berwarna biru yang ditata setengah melingkar menyala temaram, menjadi satu-satunya pencahayaan di ruangan kamar yang lebar itu.
Andrea panik, dia berusaha menggerak-gerakkan tangan dan kakinya untuk melepaskan diri, tetapi percuma karena borgol besi itu begitu kuatnya. Pergelangannya mulai terasa sakit dan berbekas karena usahanya itu.
“Jangan melakukan sesuatu yang percuma, kau hanya akan melukai dirimu sendiri.” Suara itu muncul dari kegelapan, membuat Andrea menolehkan kepalanya dan memucat, menyadari Christopher-lah yang berdiri di sana. Lelaki itu hanya mengenakan jubah tidur sutera hitam, yang membungkus tubuhnya dengan begitu pas, membuatnya tampak berbahaya. Segelas anggur ada di sebelah tangannya, dan Christopher menyesapnya dengan santai, sama sekali tidak melepaskan pandangan tajamnya kepada Andrea.
“Lepaskan aku.” Andrea berusaha berani meskipun jantungnya berdebar begitu kencang. Disini, berbaring terikat dalam keadaan setengah telanjang dan tak berdaya, di bawah kekuasaan lelaki arogan seperti Christopher membuat tubuhnya mulai gemetaran, “Kenapa kau melakukan ini kepadaku?”
“Kenapa?” Christopher berdiri di sisi ranjang, lalu meletakkan gelas anggurnya di meja di samping ranjang, “Bukankah kau sudah mendengarnya dari Eric? Kau adalah satu-satunya korbanku yang pernah lolos, yang gagal kubunuh.”
Lelaki ini adalah “Sang Pembunuh” yang dibicarakan oleh Eric. Sudah pasti. Andrea memejamkan matanya, merasakan penyesalan yang mendalam karena waktu itu dia tidak mempercayai dan meragukan Eric. Kalau saja waktu itu Andrea mengungkapkan kecurigaannya akan Christopher Agnelli kepada Eric, mungkin sekarang dia tidak akan berakhir di sini, tak berdaya dalam kekuasaan “Sang Pembunuh”.
“Menyesal Andrea?” suara Christopher terdengar dalam dan menakutkan, membuat Andrea tidak berani membuka matanya, dia merasakan ranjang bergerak ketika Christopher duduk di sebelahnya. Andrea merasakan bulu kuduknya berdiri ketika tiba-tiba jemari Christopher menyentuh keningnya lembut, turun merayapi pipinya, membuat Andrea memalingkan mukanya berusaha menjauh.
Christopher terkekeh, “Kau tidak tahu berapa lama aku menunggu di sini Andrea, menunggu untuk menempatkanmu dalam posisi ini, terbaring dan tidak berdaya.” Tiba-tiba lelaki itu merenggut dagu Andrea dan mengarahkannya ke arahnya, “Seperti kubilang, kau milikku, Andrea.”
Andrea langsung membuka matanya, menatap Christopher dengan tatapan mata menantang,
“Apakah kau akan membunuhku?”
Christopher terkekeh, tetapi jemarinya yang menyentuh dagu Andrea melembut, merayapi bibir Andrea yang ranum.
“Menurutmu?” Mata Christopher mengikuti jemarinya, meredup ketika merasakan kehangatan dan kehalusan bibir Andrea di sana. “Sepertinya aku akan bersenang-senang denganmu dulu.”
Lalu kepala lelaki itu menunduk, dan dengan jemari masih memegang dagu Andrea sehingga membuat perempuan itu tidak bisa memalingkan wajahnya, Christopher memagut bibir Andrea dengan lembut dengan sepenuh keahliannya.
Andrea terkesiap, tidak bisa menghindar karena ketika dia mencoba menggelengkan kepalanya, cengkeraman Christopher di dagunya terasa begitu kuat dan menyakitkan. Pada akhirnya dia menyerah merasakan bibir kuat Christopher melumat bibirnya penuh gairah.
Ini hampir seperti sama persis seperti mimpinya.... bibir Christopher terasa sama, kuat tetapi lembut dan panas ketika menyatu dengan bibirnya, membuatnya mengerang antara ketakutan dan menahan gairah. Lalu lidah lelaki itu menyelinap dengan ahli, memilin lidahnya dengan panas. Ciuman itu lama dan begitu sensual, sehingga ketika Christopher melepaskan bibirnya Andrea terengah dengan wajah merah padam.
Senyum Christopher tampak puas, matanya menatap Andrea dengan penuh gairah.
“Kau benar-benar perempuan yang menggairahkan.” Ketika mengatakan itu, bibirnya tersenyum sensual dan suaranya serak. “Aku sangat ingin menidurimu sampai kau tidak bisa berjalan.”
Lelaki itu sangat vulgar dan menakutkan, tetapi entah kenapa kata-kata Christopher malahan membuat tubuh Andrea menggelenyar oleh perasaan asing yang merayapi tubuhnya. Apakah Andrea bergairah kepada Christopher? Bagaimana mungkin dia bisa merasa bergairah kepada pembunuh yang bisa membunuhnya kapan saja?
“Lebih baik kau bunuh saja aku.” Andrea bergumam pedas, menutupi rasa malunya karena bergairah atas ciuman lelaki itu. Tetapi rupanya kata-katanya malahan membuat Christopher geli, lelaki itu melirik ke arah puting payudaranya yang menegang, tidak bisa disembunyikan oleh selimut sutera tipis yang menutupi payudara telanjangnya. Dengan menggoda Christopher melewatkan jemarinya sambil lalu di sana, menyentuh puting Andrea dengan gerakan seringan bulu di sana. Membuat puting itu langsung berdiri menegang, lebih keras dari sebelumnya.
Christopher mengangkat alisnya, menatap wajah Andrea yang merah padam, dan karena tidak tahan dengan tatapan Christopher yang penuh penghinaan itu, Andrea memalingkan mukanya. Seandainya saja tangannya tidak terborgol, Andrea pasti sudah menampar Christopher sekeras mungkin.
“Mulutmu bisa berbohong dengan pedas, tetapi tubuhmu tidak akan bisa sayang.” Tiba-tiba saja jemari Christopher menurunkan selimut Andrea di bagian dada, membuat Andrea panik, Andrea meronta berusaha mencegah apapun yang diniatkan oleh Christopher, yang sama sekali tidak digubris oleh lelaki itu.
Jemari Christopher menarik selimut itu sampai ke bawah payudara Andrea, dan payudara Andrea langsung terpampang jelas dihadapan Christopher, dengan puting yang menegang keras, dan warna pucat payudaranya yang begitu kontras dengan selimut sutera hitamnya. Dan kemudian kepala Christopher turun, dengan bibirnya yang panas menuju ke payudaranya.....
Nafas Chrstopher terasa hangat di dekat payudaranya, lelaki itu sengaja membuka bibirnya meniupkan uap panas yang mau tak mau membuat payudara Andrea semakin menegang dan nyeri oleh antisipasi. Kemudian tanpa ragu-ragu, bibir Christopher mengecup ujung puting payudaranya dengan lembut, membuat Andrea tidak bisa menahankan erangannya. Mata Christopher terus mengawasi Andrea, ada senyum di sana ketika menyadari betapa Andrea sudah luluh di dalam godaan cumbuannya.
Kemudian, tanpa peringatan, bibir Christopher mengangkup payudara Andrea dan menghisapnya lembut, sangat lembut dan sangat menggoda hingga Andrea terkesiap sekaligus merasakan seluruh tubuhnya dijalari oleh perasaan panas yang luar biasa, membakar dirinya kuat-kuat.


Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 8

No comments:

Post a Comment