Suster Ana benar, Damian memang menyesal. Tidak perlu waktu lama, hanya selang satu jam dari kepergian Serena.
"Aku menerima kalian di sini
hanya demi Vanessa," gumam Damian dingin, suasana hatinya benar-benar
buruk saat itu.
Ketika sekertarisnya menelepon dan memberitahu bahwa Vanessa dan Freddy ada
di ruangan
depan,
ingin
bertemu dengannya, Damian
hampir saja
mengamuk seketika itu juga. Dia sudah
menegaskan pada sekertarisnya bahwa
dia
sedang tidak ingin diganggu. Tetapi Vanessa
memaksa, dan seperti biasanya, paksaannya
berhasil.
"Kami
harus memberitahumu sesuatu yang penting." gumam Vanessa penuh tekad, tidak
peduli akan
tatapan membunuh
yang berkali-kali dihujamkan Damian kepada Freddy yang hanya duduk diam tanpa suara di
belakangnya.
"Damian," Vanessa
mencoba menarik perhatian Damian yang terus menerus
mempelototi Freddy. "Ada suatu fakta penting tentang Serena yang harus kau
ketahui."
Damian langsung
tertarik. Fakta apa lagi? Sebuah kebohongan lagi yang belum diceritakan kepadanya? Sebuah
kepalsuan lagi yang akan
menyulut kemarahannya?
Dia diam dan
menunggu, bersiap-siap untuk
meledak lagi, kepalanya terasa
berdenyut dan mulai nyeri.
"Damian..." Vanessa mengernyit cemas ketika
melihat Damian
tampak kesakitan,
"Kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa! Cepat selesaikan yang ingin kau katakan,
dan bawa dia
pergi dari ruangan
ini!" Damian
bahkan tidak mau repot-repot menyebut nama Freddy.
Vanessa menarik napas panjang.
"Kau...Kita...Mengambil kesimpulan yang salah tentang
Serena." dengan cepat
Vanessa membentangkan artikel itu di
meja
Damian, "Baca ini."
Damian melirik artikel itu, semuala tidak tertarik, tetapi kemudian mengenali
gambar di artikel itu
sebagai Serena, lebih muda beberapa tahun,
tapi dia tak mungkin salah.
"Apa yang.........Oh Tuhan!" baru separuh artikel yang dibacanya, tetapi dia
pucat pasi. Dengan gemetar dia membaca artikel itu. Membacanya berulang-
ulang kemudian, mencoba mencari kesalahan. Tapi kebenaran yang
tertulis di sana tak terbantahkan lagi.
"Benar Damian, keluarga Serena, kedua orangtuanya terenggut pada kecelakaan yang sama di
jalan tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan Alfian", mata Vanessa berkaca-kaca ketika kenangan itu kembali.
"Oh Tuhan!" Damian berpegangan pada meja untuk menopang tubuhnya,
Ini sebabnya Serena selama ini
sebatang
kara dan sendirian?
"Kedua orang
tua saya sudah
meninggal dunia, saya hidup
sendirian"
itu jawaban Serena waktu gadis itu terpaksa menumpang mobilnya di pagi yang
hujan.
Lalu uang tiga ratus
juta dan hutang puluhan jutanya
di perusahaan itu..... Sekali lagi Damian mengernyit.
"Tunangannya, Rafi, masih terbaring koma
sejak kecelakaan itu.
Serena berjuang mati-matian
untuk mempertahankan hidupnya. Hutang-hutangnya
di rumah sakit mungkin
untuk membiayai biaya
perawatan
Rafi, dan
hutangnya kepadamu tiga ratus juta
mungkin karena gadis itu putus asa," Vanessa memandang
Damian, dan tiba-tiba merasa kasihan, Damian
tampak hancur
berkeping-keping, "Aku menelepon rumah
sakit
tempat Rafi dirawat Damian, Rafi
saat itu harus menjalani operasi pengangkatan
ginjal karena salah
satu ginjalnya rusak akibat
obat-obatan yang terus
menerus.......biaya
operasi itu sangat
mahal,
hampir
mencapai
tiga atus
juta rupiah...Mungkin
itu alasan
Serena menjual dirinya padamu, gadis itu putus asa."
Damian memejamkan matanya, mengingat hari
berhujan dimana Serena
membuat penawaran gila itu padanya.
Bagaimana
mungkin dia dulu tak menyadarinya? Waktu itu Serena memang terlihat putus asa, panik dan putus asa.
"Freddy bercerita bahwa Serena hilang seharian di hari
minggu dan kalian mencarinya kemana-mana," Vanessa mengedikkan bahunya pada Freddy yang
hanya diam dan menundukkan kepalanya, "Itu hari di mana operasi Rafi
dilaksanakan."
Sebuah hantaman lagi yang menerjang Damian. Dia mengernyit, rasanya berat sekali ketika dia sudah
berpegang teguh pada suatu keyakinan bergitu lama tapi
kemudian dihancurkan begitu saja.
Serena gadis baik-baik. Dia bukan
gadis bermoral rendah seperti dugaannya selama ini. Pantas saja waktu itu dia masih
perawan. Keperawanan yang seharusnya untuk tunangan yang dicintainya dikorbankannya. Damian langsung
disengat rasa
cemburu yang tajam. Serena pasti begitu mencintai tunangannya
kalau sampai
berjuang mati-matian seperti itu.
"Kecelakaan itu terjadi hanya
beberapa hari sebelum
pernikahan
mereka Damian," Vanessa menoleh secara terang-terangan
kepada Freddy, "Biarkan
Freddy yang
menjelaskan sisanya kepadamu."
Damian menoleh
kepada Freddy dengan
muram, masih
terbayang adegan
ciuman waktu itu
di
matanya. Dan
kemarahannya langsung membara, kalau
begitu kenapa Serena ada
di
pelukan Freddy dan Freddy bilang Serena rela menjual
diri padanya?
"Waktu itu semua sudah kurencanakan, Damian,"
gumam Freddy pelan seolah bisa membaca
pikiran
Damian, lalu mengernyit
ketika menerima tatapan
menusuk itu lagi, "Aku.... Waktu aku mendampingimu mencari Serena yang menghilang waktu
itu, aku melihat betapa emosionalnya dirimu, itu menggangguku karena kau berubah, tidak seperti biasanya,
aku berpikir Serena
telah menimbulkan pengaruh buruk padamu.....Jadi aku mengambil keputusan.....aku merekayasa semuanya.....Ciuman
itu adalah paksaan
dariku....Serena sama sekali tidak sukarela, dia menolakku sekuat tenaga. Dia
memanggil namamu..."
Damian langsung merangsek maju dengan marah, tanpa diduga. Langsung
meraih kerah kemeja Freddy. Tak peduli tubuh Freddy yang memar dan lebam akan
kesakitan menerima sentuhan seringan apapun.
"Brengsek kau Freddy!!! Brengsek kau!!! Aku mempercayaimu!!" Damian
menggeram di antara ke dua giginya,
"Kau tahu malam itu aku
memperlakukannya sebagi pelacur rendahan??! Aku memperkosanya!!!!"
"Damian, tenanglah
dulu",
gumam
Vanessa hati-hati,
berusaha
membuat Damian melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Freddy, "Kau menyakiti
Freddy, tidakkah
kau sadar kau sudah cukup menyakitinya kemarin? Lepaskan dia Damian",
bujuknya lembut.
Damian bergeming, sejenak seolah-olah akan menghajar Freddy, tapi kemudian dia melepaskan lelaki itu dengan kasar.
"Harusnya
kubunuh saja kau sekalian!", desisnya geram sambil mengacak
rambutnya,
Lalu sebuah pertanyaan
merasuk di benaknya.
"Kenapa harus Serena yang menanggung seluruh biaya perawatan Rafi? Kenapa
bukan keluarga Rafi?"
"Rafi tidak punya keluarga."
Freddy yang menyahut setelah berhasil meredakan
napasnya yang terengah karena perlakuan kasar Damian tadi, "Dia pengacara juga, kebetulan aku mengenalnya", suaranya
tertelan melihat tatapan
bermusuhan Damian, tapi dia bertekad melanjutkan, " Sebenarnya aku
tidak begitu mengenalnya, tetapi Rafi cukup terkenal di
kalangan profesi kami karena
reputasi baiknya, aku... Eh... Melakukan penyelidikan singkat tadi dan mendapati
bahwa Rafi dibesarkan
di
panti asuhan, dia sebatang kara....karena itulah kabar
setelah kecelakaan yang menimpanya menjadi simpang siur, dia menghilang
begitu saja dan gosip yang beredar mengatakan
Rafi sudah meninggal, tidak
ada
yang tahu bahwa sebenarnya Rafi masih hidup dan ada dalam kondidi
koma", Freddy menatap Damian sungguh-sungguh, "Aku menyesal dan aku meminta
maaf Damian. Aku
memang bodoh dan
gegabah, aku
juga menyesal setengah mati"
Damian tercenung. Lama tidak mengatakan
apa-apa. Sejenak
ruangan itu begitu
hening.
"Damian, mungkin lebih baik kita melepaskan
Serena, sudah cukup berat beban yang
dia tanggung,"
gumam Vanessa pelan memecah keheningan.
Lalu dia berubah ragu-ragu dan berhati-hati dengan reaksi
Damian, "mengenai hutang-
hutang Serena baik kepadamu dan kepada
perusahaan, aku bersedia menggantinya."
"Tidak."
"Tidak?" Vanessa mengernyit mendengar gumaman pelan Damian itu.
"Tidak akan
kulepaskan. Aku tidak peduli dengan uang itu.
Serena tidak akan kulepaskan."
"Damian!!", Vanessa
mengernyit jengkel. "Hentikan! Kau
tidak tahu betapa banyak
penderitaan yang
ditanggung
Serena selama
ini! tidak
bisakah kita
biarkan dia tenang bersama tunangannya?
Lagipula kau
bisa
mencari wanita lain untuk
memuaskanmu bukan?
Kau bisa mendapatkan
pengganti Serena
dalam
beberapa menit!"
Damian mengusap wajahnya,
tampak begitu menderita,
"Tidak, aku tidak bisa Vanessa." erangnya parau.
Mata Vanessa melebar melihat ekspresi Damian, tidak pernah sebelumnya Vanessa melihat Damian begitu penuh emosi.
Apakah ini berarti Damian benar-
benar mencintai Serena?
"Dia punya tunangan Damian, jangan lupa, semua yang dilakukannya adalah demi menyelamatkan Rafi."
Kebenaran itu menyakiti hati Damian,
sengatan cemburu itu kembali melukainya.
"Kalau begitu aku akan membuatnya
memilihku,"
mata Damian penuh tekad,
"Dimana alamat rumah sakitnya?"
***
"Dimana ruangan tempat perawatan Rafi Ardyansyah?"
Damian berdiri di depan resepsionis.
Resepsionis itu mendongak dan ternganga. Terpesona melihat penampilan dan
ketampanan Damian.
"Ruangan perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian mengulang jengkel karena resepsionis itu hanya menatapnya seperti orang
bodoh.
"Oh....Untuk Rafi...Anda...Anda mungkin harus menemui Suster Ana dulu, beliau suster
kepala penanggung
jawabnya."
"Dimana?"
gumam Damian tak sabar.
"Lantai tiga, ruangan perawat nomor
dua."
Tanpa basa-basi Damian meninggalkan resepsionis yang masih ternganga itu. Pintu itu tertutup rapat dan Damian mengetukknya.
"Masuk" sebuah suara yang tegas terdengar dari
dalam. Damian masuk dan langsung berhadapan dengan suster Ana.
Suster Ana langsung menyadari siapa yang berdiri di hadapannya.
Dia tidak mungkin salah mengenali.
Penggambaran Serena sangat akurat. Lelaki ini
memang
benar-benar luar biasa
tampan dengan keangkuhan
yang sudah seperti satu paket dengan auranya.
"Apakah anda akhirnya berhasil menemukan kebenaran?" gumam suster Ana
langsung tanpa basa-basi.
Damian mengernyit mendengar sapaan pertama suster Ana yang sama sekali
tidak diduganya. Tapi dia lalu teringat telelepon di tengah malam yang
tanpa sengaja dia angkat.
Penelepon itu mengatakan
dirinya adalah suster Ana...
"Ya,"
Damian mengakuinya pelan, "Anda sudah tahu semuanya?"
"Semuanya, dan pertama, sebelum anda
menghina Serena lagi. Saya akan jelaskan kepada anda, semalam Serena datang kepada saya, dengan kondisi mengenaskan. Mental dan fisik yang rapuh, dan dia bilang ingin melepaskan diri
dari anda, menurut saya itu wajar mengingat perlakuan anda padanya," Suster Ana
menatap Damian dengan pandangan mencela yang
terang-terangan hingga wajah
Damian merona, "Uang yang dia pakai untuk melunasi
anda, itu adalah uang
pinjaman dari saya dan beberapa staff rumah sakit lain, bukan uang hasil
menjual dirinya kepada lelaki lain seperti apa yang anda tuduhkan kepadanya
tadi pagi."
Sebuah kebenaran lagi. Lebih keras
daripada tamparan di pipi, lidah Damian terasa kelu.
"Saya ingin bertemu Serena" gumam Damian akhirnya. Suster
Ana mengangkat alisnya.
"Untuk apa? Ketika
hubungan hutang piutang
itu lunas. Tidak ada lagi perlunya
kalian bertemu, lagi pula saya tidak yakin Serena bersedia menemui
anda."
"Tidak ada hubungannya dengan uang!
Saya
tidak peduli
dengan
uang!!!" Damian hampir berteriak, lalu berdehem berusaha meredekan emosinya, "Saya harus bertemu
dengan
Serena, meminta
maaf, saya tahu selama ini
saya salah...."
"Anda bisa
menyampaikan permintaan maaf anda melalui saya" sela Suster Ana tegas.
Damian mengernyit,
"Saya mohon.....Saya harus bertemu
dengan
Serena, saya butuh bertemu
dengan Serena."
Suster Ana mengamati lelaki yang
berdiri
di hadapannya. Lelaki
ini
terlalu tampan, terlalu kaya sehingga wajar
dia
tampak begitu arogan. Tapi sekarang Damian tampak begitu menderita, dan
dia
rela memohon
agar bisa bertemu Serena. Suster Ana menarik napas, ketika
sebuah kesimpulan muncul di
benaknya.
Lelaki ini sedang
jatuh cinta.
Bagaimana mungkin dia menolak permintaan Damian? Kalau saja Damian hanya lelaki sombong yang menginginkan bayaran
setimpal atas apa yang diberikannya kepada Serena, suster Ana akan mengusirnya tanpa ragu. Tapi Damian yang
ada di depannya
ini
tampak begitu kesakitan
menanggung rasa
bersalah, tampak remuk redam di dera perasaannya sendiri. Lelaki ini sama
menderitanya dengan
Serena. Bagaimana mungkin Suster
Ana tega mengusirnya?
"Tapi tolong jangan
menyakiti Serena lagi jika
kalian bertemu nanti,
jangan memaksanya....." mata Suster Ana
melembut membayangkan Serena, "sudah cukup
beban yang ditanggung anak
itu."
"Saya berjanji."
Damian menjawab
yakin.
Sekilas suster Ana mencuri pandang ke arah Damian.
Dan
tersenyum ketika
mendapati ekspresi Damian ikut melembut karena membayangkan Serena.
Ah Serena, Lelaki
ini benar-benar
sedang
jatuh cinta.......
***
Ruangan itu hening terletak di lorong paling ujung. Dan Serena hanya berdiri di depan ruang perawatan sambil menatap melalui jendela kaca lebar yang membatasinya
dengan Rafi, saat ini bukan
jam
besuk dan Serena tidak boleh masuk.
Pikiran Serena terasa berat, dia tidak punya pekerjaan sekarang. Suster Ana dan
yang lain-lain bilang akan membantu, tetapi Serena tidak mungkin menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain
terus menerus, apalagi dengan biaya perawatan Rafi yang begitu mahal yang harus ditanggungnya
setiap
bulannya.....
Dengan sedih Serena menatap Rafi, lelaki itu masih terbaring dalam kedamaian
yang sama, begitu pucat, hanya bunyi mesin-mesin penunjang
kehidupan itulah
yang menunjukkan kalau masih ada harapan hidup
yang tersimpan di
sana.
Serena mengusap
air mata di sudut matanya.
Ah Rafi..... Sampai kapan kau tertidur begini? Aku merindukanmu kau tahu.
Aku membutuhkanmu. Saat ini aku
tidak mengerti dengan perasaanku sendiri, aku takut
jika kau tidak segera bangun nanti
aku akan......
Saat itulah Damian masuk, diantarkan oleh Suster Ana di belakangnya. Perasaan sedih yang aneh
menyeruak di dada Damian
ketika dia melihat Serena
menatap Rafi yang terbaring di
balik kaca dengan tatapan sendu.
"Serena...." Damian bergumam pelan, mendadak dikuasai
keinginan yang dalam untuk mengalihkan perhatian Serena dari Rafi.
Suaranya seperti menyentakkan Serena hingga gadis itu menoleh kaget.
Wajahnya langsung pucat pasi, tidak menduga bahwa Damian akan muncul di sini,
matanya menatap Suster Ana
meminta pertolongan.
"Dia datang disini untuk berbicara Serena, dan
dia
sudah berjanji tidak akan
melakukan
atau mengatakan sesuatu yang
akan menyakitimu," gumam Suster
Ana lembut, menyadari kegelisahan yang dirasakan Serena, dia lalu mengamit
lengan Serena, "Mari, kuantar kalian ke ruanganku di mana kalian bisa berbicara
dengan tenang, aku akan meninggalkan kalian di sana."
Seperti kerbau yang di cocok hidungnya, Serena hanya mengikuti
ketika di tuntun ke ruangan Suster Ana, sedangkan Damian hanya mengikuti di belakang dalam diam.
Ruangan tetap hening lima menit kemudian ketika suster Ana menutup pintu
ruangan dari luar.
"Aku minta maaf." gumam Damian dengan lembut akhirnya. Serena bersedekap, seolah ingin melindungi dirinya.
"Ya...Sudah di
maafkan...Sekarang...Sekarang bisakah kau pergi?" Serena mulai
menahan tangisnya. Damian telah benar-benar
melukai hatinya,
kehadiran lelaki itu sekarang, berdiri di
depannya, menatapnya dengan begitu lembut, benar- benar
membuat emosinya bergejolak.
"Aku tidak tahu tentang
semua ini Serena,
baru tadi Vanessa mengungkapkan
kebenaran di depanku. Aku tidak tahu.
Tidakkah itu bisa membuat semuanya
sedikit dimaklumi?" sambung Damian pelan. "Selama ini
aku salah paham,
aku berpikiran buruk tentangmu dan semakin memupuknya dari hari ke hari. Itu...
Itu juga menyiksaku, antara dorongan
untuk
menyayangimu
atau menghukummu karena jauh
dilubuk hatiku aku
mengira aku hanya dimanfaatkan," Damian mengerjapkan matanya
pedih, "Kalau aku tahu tentang semua ini, segalanya akan berbeda Serena."
Serena memejamkan
matanya. Mau tak mau permintaan maaf Damian yang begitu tulus
itu mulai
menyentuh
hatinya. Damian
memang
tidak bisa disalahkan. Dia tidak tahu. Lagipula apa
yang harus dipikirkan Damian
tentang gadis yang melemparkan diri padanya demi uang selain bahwa
gadis itu adalah pelacur?
"Aku...Aku mengerti....tidak apa-apa,
pilihanku juga untuk tidak mengatakan
ini semua kepadamu,"
suara Serena terdengar serak.
"Dan apapun konsekuensinya
aku sudah bersedia menanggungnya....Jadi kita impas."
Damian menatap Serena sedih.
"Serena.... Aku...." Damian mengulurkan tangan hendak
meraih Serena, tapi lalu tertegun ketika Serena mundur
seperti ketakutan.
Kesadaran itu menghancurkan Damian, kesadaran bahwa Serena
takut dengan sentuhannya, mungkin akibat kekasarannya semalam.
Damian mengusap rambutnya dengan kasar.
"Aku..... Mungkin semua sudah terlambat. Tapi aku
harus mengatakannya.....Aku mencintaimu Serena, mungkin kau bertanya-tanya kenapa. Tapi aku
juga tidak bisa menjawabnya. Aku
juga baru
menyadarinya. Itu terjadi begitu saja," Damian menatap
Serena yang hanya termangu dengan wajah pucat pasi,
"Tapi sekarang itu tak penting lagi bukan? Kesalahanku
tidak bisa di maafkan semudah itu. Dosaku terlalu besar."
Dengan ragu Damian melangkah ke arah pintu, terdiam sejenak.
"Semua hutangmu anggap saja sudah lunas. Aku
tidak akan menuntut apapun
darimu, aku akan
menjauh darimu dan
kau
tidak perlu
takut
harus menghadapiku lagi. kau bebas sebebas-bebasnya. Dan kalau
kau masih mau bekerja di perusahaanku. Aku akan sangat senang....Tapi aku tidak akan memaksa. Aku sudah terlalu sering memaksakan
kehendakku padamu. Sekarang
tidak akan lagi,"
punggung Damian tampak tegang, "Selamat tinggal Serena."
gumamnya pelan sebelum membuka handle pintu.
Serena termangu menatap punggung yang begitu tegang itu. Pernyataan
cinta Damian begitu mengejutkannya hingga dia
tidak bisa mengatakan apa-apa,
memang
Damian telah menyakitinya, tapi ada saat saat dimana Damian berhasil membuat
hatinya terasa hangat.
Dan
kalau dipikir-pikir, selama kebersamaan mereka
itu. Tidak pernah
sekalipun Damian menyakitinya dengan sengaja, kecuali saat kemarahan menguasainya kemarin.
Sekarang ketika Serena menatap punggung Damian, yang tampak
begitu tegang
sekaligus rapuh. Sebuah perasaan hangat menyeruak ke
dalam hatinya, sebuah perasaan yang bertumbuh pelan tanpa dia sadari.
"Damian,"
Serena bergumam
pelan,
tapi cukup
untuk membuat
Damian membatu di tempat. Tetapi lelaki itu tidak menoleh, hanya berdiri di sana.
Membeku seperti patung.
"Damian."
kali ini
Serena
mengulang lagi,
lebih
lembut
sehingga Damian menoleh menatap
Serena.
Entah karena mata Serena yang menatapnya penuh kelembutan, Entah karena Damian pada akhirnya sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Serena tidak tahu, yang pasti ekspresi
Damian berubah seketika.
Dia membalikkan tubuh. Menatap
Serena
ragu-ragu. Dan
ketika
dilihatnya Serena membuka
lengan menyambutnya, Damian mengerang. Kemudian melangkah tergesa ke arah Serena,
tersandung-sandung menghampiri Serena.
Sejenak mereka
berdiri berhadapan. Lalu Damian jatuh berlutut dan memeluk pinggang Serena, membenamkan wajahnya
di perut Serena. Napasnya tersengal
menahan perasaan.
Dengan lembut Serena memeluk dan mengelus rambut Damian.
"Aku mencintaimu," Damian berbisik dengan suara parau, wajahnya masih
terbenam di perut Serena, "entah sejak kapan aku mencintaimu. Mungkin
sejak pertama kali aku melihatmu, aku...." napas Damian tersengal, "Aku
mungkin manusia paling kejam,
paling jahat...tapi aku...Aku tidak....."
"Damian," sekali lagi Serena
berbisik lembut. Damian
mendongakkan wajahnya dan menatap Serena, wajah Serena penuh
air
mata, dan tiba-tiba mata Damian
terasa panas.
"Jangan menangis," Tiba-tiba Damian berdiri dan
merengkuh Serena ke
dalam
pelukannya, memeluknya erat-erat, "Jangan menangis lagi, aku bersumpah tidak
akan pernah membiarkanmu menangis lagi."
Serena memeluk Damian
erat-erat. Permintaan maaf
Damian dan kelembutan sikapnya
meluluhkan hatinya, menumbuhkan
perasaan baru di dalam hatinya,
mereka telah begitu dekat selama ini, kedekatan yang dipaksakan, tetapi mau tak mau telah membuka pembatas yang
selama ini ada di
hati Serena.
Lama mereka berpelukan, dalam keheningan. Serena menumpahkan tangisnya
di
pelukan Damian dan
lelaki itu memeluk Serena
erat-erat, membenamkan wajahnya di rambut Serena.
Setelah tangis Serena mereda, Damian mengangkat dagu Serena
agar menghadap ke arahnya, mengusap air
mata
di pipi Serena dengan lembut.
"Pulanglah bersamaku, kembalilah bersamaku Serena, bukan karena uang tiga
ratus juta itu. Aku ingin kau melupakan masalah hutang itu, aku ingin kau
bersamaku karena kemauanmu
sendiri. Pulanglah bersamaku Serena,
kita mulai lagi semuanya dari awal....Dan jika...Dan jika...." Damian menarik napas,
menahan perasaannya, "Jika kau
memang belum mencintaiku, aku
akan menunggu. Bahkan aku tidak akan menyentuhmu kalau kau tidak mau, aku tidak
akan memaksakan kehendakku, kau bisa tenang. Aku... Aku hanya ingin kau ada
di
tempat dimana aku bisa melihatmu setiap hari."
Serena menatap Damian, dan melihat ketulusan di sana, melihat cinta di sana
yang tidak di tahan-tahan
lagi.
Dia baru membuka mulutnya untuk menjawab
ketika pintu ruangan itu terbuka. Suster Ana membuka pintu,
terlalu panik dan terengah-engah untuk merasa malu ketika menemukan Damian dan Serena sedang berpelukan.
"Serena!!!" Suster Ana berusaha
menormalkan nafasnya, dia
tadi setengah
berlari ke
sini, "Cepat!!! Cepat ikuti aku
ke ruang perawatan!!!! Rafi sadar!!! Dia terbangun dari
komanya!!!!!"
A Romantic Story About Serena - Chapter 13
A Romantic Story About Serena - Chapter 13
No comments:
Post a Comment