Tuesday, September 1, 2015

A Romantic Story About Serena - Chapter 13




Serena berlari, tanpa sadar melepaskan diri dari pelukan Damian, dia berlari penuh air mata, ke kamar perawatan Rafi, kerinduannya membuncah, rasa syukurnya tak tertahankan.

Ketika sampai di depan pintu perawatan nafasnya terengah, dia berhenti karena pintu itu masih di tutup rapat, suster Ana tergopoh-gopoh mengejarnya,

"Serena, jangan masuk dulu, dokter baru menstabilkan kondisinya."

Penantian itu terasa begitu lama, sampai kemudian Serena diijinkan masuk, hanya lima menit untuk sekedar menengok Rafi, setelah itu dokter harus mengevaluasi kondisinya Rafi lagi.

Dadanya sesak tak tertahankan ketika mata itu balas menatapnya, mata yang selama ini terpejam, tertidur dalam damai, membuat Serena menanti, mata itu sekarang terbuka, hidup, dan balas menatapnya,

"Rafi,"


suara Serena serak oleh emosi, dan tangisnya meledak, dia menghampiri tepi ranjang, ke arah Rafi yang masih terbaring, pucat dengan alat-alat penunjang kehidupan yang masih menopangnya, tapi hidup dan membuka mata.

Serena meraih tangan Rafi dan menciumnya, lalu menangis. "Rafi."
Banyak yang ingin Serena ungkapkan, dia ingin mengucap syukur karena Rafi akhirnya bangun, dia ingin merajuk karena Rafi memilih waktu yang begitu lama untuk terbangun, dia ingin menangis kuat-kuat, tapi semua emosi menyebabkan suaranya tercekat di tenggorokan.

Air mata tampak menetes dari pipi Rafi, lelaki itu mencoba berbicara, tetapi tampak begitu susah payah,

“Stttt...Kau tidak boleh bicara dulu, gumam Serena lembut, mencegah Rafi berusaha terlalu keras, “mereka memasang selang di tenggorokanmu, untuk makanan, kau koma selama kurang lebih dua tahun."

Mata Rafi menatap Serena, tampak tersiksa, dan dengan lembut Serena mengusap air mata di pipi Rafi,

“Nanti, setelah mereka yakin kondisimu membaik, mereka akan melepas selang itu dan kau akan bisa berbicara lagi, tapi sekarang, kau cukup mengangguk atau menggeleng

saja ya, sekarang... Serena menelan ludah, menahan isak tangis yang dalam, “Sekarang kita harus mensyukuri karena kau akhirnya terbangun, ya?”

Rafi  menganggukkan  kepalanya,  dan  seulas  senyum  dengan  susah  payah muncul dari bibirnya,

“Sekarang istirahatlah dulu, dokter akan mengecek kondisimu lagi bisik Serena lembut ketika melihat isyarat dari dokter yang menunggui mereka.

Ketika Serena akan beranjak, genggaman Rafi di tangannya menguat, Dengan lembut Serena menoleh dan memberikan senyuman penuh cinta kepada Rafi,

“Aku tidak akan kemana-mana, aku harus menyingkir karena dokter akan memeriksamu lagi, tapi aku tidak akan kemana-mana, aku akan berada di dekat sini sehingga saat kau butuh nanti aku akan langsung datang.


Pegangan Rafi mengendor, lelaki itu mau mengerti. Dengan lembut Serena mengecup dahi Rafi dan melangkah menjauh keluar ruangan perawatan. Air matanya mengucur dengan derasnya ketika dia melangkah menghampiri suster Ana. Suster Ana masih berdiri di sana dan Serena langsung berlari ke arahnya, menangis keras-keras.

Dia sadar suster...dia akhirnya sadar...aku masih tak percaya, selama ini aku hampir  kehilangan  harapan.  Mulai  berpikir  kalau  Rafi  memang  tidak  mau bangun, mulai berpikir kalau semua perjuanganku ini sia-sia... Tapi sekarang...”, Serena terisak, “Aku tak percaya bahwa pada akhirnya dia sadar... dia kembali dari tidur panjangnya, dia ada di sini untuk aku...

Dengan lembut Suster Ana mengelus rambut Serena,

“Ini semua karena perjuanganmu Serena, Tuhan melihat keyakinanmu maka ia mengabulkannya.   mata   suster   Ana   juga   berkaca-kaca,   terharu   melihat pasangan yang sudah hampir menjadi legenda karena kekuatan cintanya di rumah sakit ini, akhirnya akan berujung bahagia.

Tapi kemudian, suter Ana menyadari kehadiran Damian di ujung ruangan, masih bersandar di pintu lorong ruang perawatan, dengan wajah tanpa ekspresi.

Dengan lembut dilepaskannya Serena dari pelukannya,

Eh mungkin aku harus pergi dulu Serena, mungkin masih ada hal-hal yang ingin kalian bicarakan?“ suster Ana mengedikkan bahunya ke arah Damian,

Baru saat itulah sejak pemberitahuan suster Ana tadi, Serena menyadari kehadiran Damian di ruangan itu. Pipinya langsung memerah mengingat pernyataan  cinta  Damian,  sesaat  sebelumnya.  Tapi  dia  sungguh  tidak  bisa berkata apa-apa.

Setelah  Suster  Ana  meninggalkan  ruangan  itu,  suasana  menjadi  canggung, dalam keheningan yang tidak menyenangkan.

Dia sadar. gumam Damian akhirnya, memecah keheningan. Serena menganggukkan kepalanya, belum mampu bersuara. Damian tampak berfikir,
Kau bahagia?” tanyanya kemudian, lembut.


Serena mengernyitkan keningnya, Damian telah berubah, menjadi sedikit lebih manusiawi, menjadi sedikit mudah disentuh. Damian yang dulu tidak akan mungkin menanyakan itu padanya. Damian yang dulu pasti akan langsung memaksa membawanya pulang tanpa peduli perasaan Serena.

“Ya, aku bahagia. seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkan
Rafi.

Damian mengernyit melihat senyuman itu. Senyuman itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya, senyuman yang diberikan Serena ketika membayangkan lelaki lain, ketika membayangkan Rafi.

Bagus, gumamnya datar, kemudian menatap Serena lembut, mungkin kita harus melakukan pengaturan kembali dengan perkembangan yang mendadak ini, tetapi aku tidak mau mengganggumu dulu, kau pasti ingin fokus dulu dengan kondisi Rafi... jadi kupikir aku akan kembali lagi saja nanti.

“Terima kasih Damian.” akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan. Damian tersenyum miring,
“Aku meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terima kasih, Serena  yang  aneh. dengan  hati-hati  Damian  mendekat,  lalu  setelah  yakin bahwa Serena tak akan menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya,

“Ingat  kata-kataku  tadi. bisiknya  lembut,  lalu  menunduk  dan  memberikan
Serena sebuah ciuman yang singkat tetapi menggetarkan kepada Serena.

Dan pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku, memegangi bibirnya yang terasa hangat, bekas ciuman Damian.

***

"Dia sadar." Damian menyesap minumannya sambil berdiri terpaku menatap ke pemandangan dari jendela lantai atas kantornya.

Vanessa, yang masih bersama Freddy hanya diam terpaku. Damian sudah menceritakan semuanya kepada mereka tadi, tentang sadarnya Rafi dari komanya. Dan sekarang lelaki itu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata 'dia sadar' 'dia sadar' sambil menatap keluar.

Vanessa menarik napas mulai tak sabar, sedangkan Freddy hanya mengetuk- ketukkan tanggannya di lutut. Damian masih belum menunjukkan tanda-tanda memaafkannya jadi dia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.



"Kurasa karena perkembangan baru yang tidak terduga ini, kau akhirnya memutuskan untuk melepaskan Serena?"

Pertanyaan Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan tajam menghadap Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.

"Dia belum memilih," gumam Damian setengah menggeram. "detik terakhir sebelumnya, dia menerimaku dalam pelukannya, membalas pelukanku dan aku yakin akan menerima ajakanku untuk pulang bersamaku."

"Sudahlah Damian, sekarang kan tunangannya yang setia ditungguinya selama dua tahun sudah sadar, kau tidak bisa......" tanpa sadar Freddy bersuara memberikan pendapat seperti kebiasaannya sebelumnya. Tapi langsung berhenti mendadak  ketika  menerima  tatapan  tajam penuh  permusuhan dari  Damian, "Aku....aku hanya mencoba memaparkan kenyataan di depanmu." suara Freddy hilang tertelan karena tatapan Damian makin tajam.

Vanessa menghela napas sekali lagi,

"Damian, Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah merupakan tujuan hidup Serena selama ini? Biarkan mereka berbahagia Damian, mereka pantas mendapatkannya setelah tahun-tahun penuh penantian dan ketidakpastian yang menyiksa."

"Tidak!" Damian tetap bersikeras, "aku tidak bisa menyerah begitu saja dan membiarkan  Serena  salah memilih.  Dia  mencintaiku.  Perasaannya pada  Rafi mungkin hanya kasihan."

"Kenapa kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya kepadamulah yang mungkin hanya perasaan sesaat karena keadaan yang dipaksakan? Kau pernah dengar apa itu Stockholm Syndrome?" sela Vanessa jengkel.

Damian tercenung, tentu saja dia tahu apa itu Stockholm Syndrome, dan menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan Serena kepadanya mungkin ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan gusar diusapnya rambutnya,

"Aku akan menanyakan langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya lebih baik."

Vanessa tidak berkata-kata. Dan Freddy hanya diam, tak tahu harus bicara apa lagi.

***







A Romantic Story About Serena - Chapter 14

No comments:

Post a Comment