Sunday, September 6, 2015

Celebrity Wedding - Bab 1

The Celebrity

"Ina, tentunya kmu kenal dgn Revelino Darby, musisi paling berbakat and the most eligible
bachelor in town," ucap pak Sutotmo dgn antusias.
Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja Ina, juga seluruh Indonesia, tahu siapa Revel.
Mr. Playboy of the year g baru2 ini digosipkan sdh melamar Luna, pacarnya yg model dan jg
selebriti wanita paling dicintai se-Indonesia itu karena mereka tertangkap basah lg shopping
cincin.
"Inara," ucap Ina sambil buru2 meraih tangan yg disodorkan oleh Revel. Genggaman tangan
Revel terasa kuat dan pasti.
Ina bukanlah fans musik Revel, dlm arti dia tdk pernah beli CD-nya, tp dia tdk keberatan
mendengar lagu-lagunya diputar di radio atau menonton video klipna di MTV. Aliran musik
Revel yg merupakan pencampuran antara pop rock dan R&B cukup enak didengar dgn lirik
dan nada yg mudah diingat. Sekarang Revel membiarkan rambutnya dipotong pendek, tp
dulu rambutnya panjang dgn dreadlock ala Lenny Kravitz. Biasanya dia tdk suka laki2
berkulit terlalu putih, tp dy bahkan tdk pernah memperhatikan bahwa warna kulit Revel
nyaris kelihatan seperti orang albino karena dia dan hampir seluruh wanita di Indonesia yg
berumur di antara 18 hingga 60 tahun sdh terlalu terkesima dgn aura Revel. Aura yg skrg
dirasakannya sedang menyerangnya dgn kekuatan penuh tanpa dibatasi oleh layar TV,
alhasil dia tdk bs mengalihkan perhatiannyA dr wajah Revel.
"Revel," ucap Revel sambil tersenyum. Melihat senyum itu Ina hrs mengingatkan dirinya
untuk kembali bernapas. Dia sering melihat senyum itu di TV dan dia selalu berpendapat
bahwa senyuman itu menarik, tetapi saat melihatnya langsung dgn mata kepalanya sendiri
ternyata kata "menarik" tdk cukup untuk menggambarkan apa yg ada di hadapannya.
"Ini pak Siahaan, pengacaranya Revel dan pak Danung, managernya Revel," pak Sutomo
memperkenalkan kedua orang yg berdiri mengapit Revel. Ina buru2 melepaskan tangannya
dr genggaman Revel dan menyalami kedua bapak itu sebelum kemudian duduk di kursi
sbelah kiri pak Sutomo dan berhadapan dgn Revel.
"Boleh kita lanjut?" Tanya pak Sutomo pada Revel yg skrg sedang memandangi Ina, yg
berusaha sebisa mungkin menghindari tatapannya dgn mengatur posisi laptopnya.
Revel menahan senyum melihat tingkah laku Ina. Beberapa detik yg lalu Ina kelihatan
hampir melongo menatapnya, dan skrg justru mencoba sedaya-upaya untuk menghindari
tatapannya. Mmmhhh.... Interesting... Revel mengambil inventori penampilan Ina, mulai dr
ujung rambut hingga jari2 tangannya yg kurus, berkuku pendek, dan bebas dr cincin. Ukuran
tangan Ina kemungkinan hanya separo dr ukuran tangannya.
Dengan tinggi 180cm, berat 75kg dan ukran sepatu 44, Revel bs dikategorikan sebagai
raksasa untuk laki2 Indonesia. Meskipun begitu, tubuhnya sgt proposional dan kebanyakan
orang tdk akan tahu bahwa dia setinggi ini smp mereka bertemu dengannya secara
langsung.
Sekali lagi Revel tersenyum pada dirinya sendiri ketika menyadari bahwa selama lima menit
belakangan ini perhatiannya sedang terpaku pada tangan Ina yg kecil itu. Sejujurnya Revel
tdk menyangka bahwa "ibu Ina" yg dipuji-puji oleh Oom Bob ternyata adalah seorang wanita
sebaya dirinya g berukuran superkecil, tp kelihatan super-smart dan sedikit cute kalau saja
dia mau mengoleskan sedikit make-up pada wajahnya yg pucat itu.
"Manajemen Revel specially minta kmu sebagai account holder mereka atas saran dr pak
Bob," jelas pas Sutomo kepada Ina.
Bob Yahya, seorang pembawa acara senior yg kini merangkap sebagai pengusaha dlm
berbagai bidang adalah salah satu klien terlama Ina. Mmmhhh..... Pak Bob tdk pernah
bercerita kepadanya bahwa dia mengenal Revel. Lalu ia sadar bahwa pak Sutomo msh
berbicara dan dia memfokuskan perhatiannya kembali pada meeting ini. "Tapi karena kmu
sudah memegang jumlah klien yg maksimum....."
Maksimum? Ina tertawa dlm hati. Kata2 yg lebih tepat adalah "sudah jauh melebihi batas
maksimum". Dasar pak Sutomo, kalau sudah urusan bullshit paling jagonya. Dia mencoba
untuk menahan senyum yg mulai terasa di sudut bibirnya karena ketika dia melirik, pak
Sutomo yg sedang memandangnya dgn tajam. Ina pun mencoba mangatur ekspresi
wajahnya agar kembali serius. Selama pak Sutomo menjelaskan tentang latar belakang Ina,
Revel membisikkan sesuatu pada pengacaranya.
"Maaf, pak Sutomo, tp revel lebih memilih ibu Inara sebagai account holder-nya," potong
pak Siahaan dgn nada yg terlalu tegas, sehingga terdengar agak2 tdk sopan.
Ina sempat ternganga mendengarnya. Tdk pernah ada orang yg berani membantah
pendapat pak Sutomo, atau menggunakan nada bicara sperti itu dgn beliau. Revel
memandanginya dgn tatapan yg tdk bs dibaca. Dia sudah bersiap-siap untuk membela
kedudukan pak Sutomo, tp beliau telah membaca gelagatnya dan mencoba untuk
menengahi.
"Ina...... bagaimana menurut kmu? Apa kmu mampu?"
Ina melongo beberapa saat, bingung mencari kat2 untuk menjawabnya. Mampu sih mampu,
cuma masalahnya adalah apakah dia mau. Karena kalau kumlah kliennya ditambah lagi, itu
brarti dia akan semakin tdk memiliki kehidupan di luar kantor. Dia menarik napas dalam2
dan menatap mata Revel.
Revel agak terkejut ketika sadar bahwa Ina sedang menatapnya bulat2. Lain dgn tatapan byk
wanita yg baru pertama kali bertemu dengannya, tatapan Ina tdk terlihat flirty atau malumalu.
Revel mengerutkan dahi, sedikit bingung dan kesal karena Ina spertinya tdk bereaksi
sperti wanita pada umumnya, dan Ina menginterpretasikan tatapan Revel sebagai suatu
ejekan, dan dia langsung mengemukakan pendapatnya.
"Pak Revel....."
"Revel," ucap Revel memotong kalimat Ina.
"Excuse me?" Tanya Ina otomatis dan menatap Revel bingung.
"Nama saya Revel. Nggak usah pakai 'Pak', saya blm setua itu," jawab Revel sambil
membalas tatapannya.
Revel hampir saja tertawa terbahak-bahak melihat permainan emosi pada wajah Ina yg
pada detik itu tahu bahwa dia baru saja dihina oleh dirinya. Tentunya sebagai seorang
profesional, Ina hanya tersenyum dan menggangguk. Revel mengharapkan Ina akan
memakinya dan agak sedikit kecewa ketika dia menyerah begitu saja.
"Revel..." Ina berhenti sesaat untuk merasakan nama itu pada lidahnya. Ternyata enak jg,
kemudian dia melanjutkan, " Sebagai account holder, kami ada batas maksimum jumlah
klien yg bs kami pegang, karena kami ingin memastikan bahwa stiap klien mendapatkan
perhatian dan perlakuan yg sama..."
"Jadi ibu menolak Revel sebagai klien?" Tanya pak Siahaan dgn nada tenang tp membuat Ina
ingin melemparkan laptopna ke muka pengacara itu.
Ina melirik ke arah pak Sutomo dan beliau langsung masuk kembali ke dalam pembicaraan.
"Maksudnya Ina bkn begitu , pak Siahaan, tp saa rasa Revel akan lebih terjamin klo ditangani
oleh Marko atau Hanafi, junior partner kami yg jadwalnya agak lebih terbuka," pak Sutomo
mencoba untuk menenangkan suasana yg mulai agak memanas.
"Pak Sutomo, maaf sbelumnya, tp kedatangan kami hari ini adalah untuk memberitahukan
bahwa pihak manajemen Revel bersedia untuk do business dgn firm ini, dgn syarat bahwa
account holder-nya adalah ibu Inara Hanindita. Kami tadinya sudah bersedia settle dgn
akuntan publik lain, tp atas rekomendasi dr pak Bob, kami memilih firm ini. Tp klo misalna
permintaan ini tdk bs dipenuhi, kami bs cari akuntan publik lain."
Ina betul2 tdk bs berkata-kata lg mendengar pernyataan ini. Diskusi antara pak Sutomo dan
pak Siahaan pun berlanjut, membicarakan nasibnya sebagai account holder Revel, seakanakan
dia tdk ada di dalam ruangan itu bersama mereka. Dia memperhatikan Revel yg kini
terlihat agak bosan, dan diatdk bs menyalahkannya. Jujur saja, klo dia sendiri stuck di dalam
percakapan yg sama sekali dia tdk mengerti, dia pasti sudah memaparkan wajah yg tdk jauh
dr wajah Revel skrg.
Ina benar, Revel bosan dgn meeting ini. Dia tdk mengerti knapa pak Danung bersikeras
bahwa dia harus ikut padahal dia akan merasa lbh produktif klo sekarang mengurung dirinya
di studionya untuk merampungkan aransemen lagu yg baru ditulisnya semalam. Revel
melihat Ina menyandarkan punggungnya ke kursi dan kelihatan agak2 khawatir. Entah apa
yg dipikirkannya.
Jarum jam tangan Ina sudah mendekati angka empat. Dia mulai memikirkan semua
pekerjaan yg msh harus dia selesaikan sbelum meninggalkan kantor. Lima belas menit
kemudian meeting itu blm selesai juga. Ketika dia melirik jam tangannya untuk yg ketiga
kalina dlm kurun waktu stengah jam, Revel menegurnya.
"Do you need to be somewhere?" Tanyanya dgn nada tenang tp cukup keras. Pak Sutomo
dan pak Siahaan langsung terdiam dan menatap Ina.
Ina memutar otaknya, mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu dan tdk dapat
menemukan kata2 yg tepat. Well... mungkin dia bs menemukan kata2 yg tepat, tp tdk kata2
yg sopan. Untungnya pak Sutomo menyelamatkannya sbelum dia mulai menyuarakan
beberapa kata yg ada di kepalanya. Dia yakin tdk satu pun dr kata2 itu akan
menyelamatkannya dr talak "You're fired" ala Donald Trump. "Gentleman, saya akan discuss
hal ini dgn Ina lebih lanjut. Saya yakin kita bs work something out."
Ina memandangi pak Sutomo bingung, tdk biasanya beliau mengikuti kemauan klien smp
sespesifik ini. "Kalau memang Revel hrs ditangani oleh Inara, then she is the person to do it."
Whoaa! Wait a second. Apa aku tdk akan diberi kesempatan untuk menyuarakan
pendapatku? Ina mengumpat dlm hati.
"Good." Jwb pak Siahaan puas.
"Gimana klo Ina datang ke kantor Revel minggu depan?" Lanjut pak Sutomo.
Huh! Sudah bikin janji, padahal aku tdk tahu dimana kantor Revel, lanjut Ina mengomel dlm
hati. Yg lebih penting lagi, knapa juga mereka menyebutnya sebagai "kantor Revel" seakan2
Revel-lah pemilik kantor itu.
"Lebih cepat lebih baik, Pak. Besok juga boleh," jwb pak Danung, untuk pertama kalinya
mengeluarkan suara.
Tanpa bs menahan diri, Ina sudah berbicara. "Sebetulnya klo besok saya nggak bisa."
Keempat laki2 yg ada di ruangan itu langsung melihat ke arahnya, kaget. Mungkin karena
nadanya atau mungkin karena bantahannya, dia tdk tahu. Ina menggigit lidahnya.
"Memangnya kmu ada acara besok?" Tanya Revel, sebisa mungkin terdengar cuek, tetapi
sejujurnya dia memang ingin tahu apa yg akan dikerjakan wanita kecil ini besok. Apa dia ada
rencana dgn pacarnya? Suaminya? Nggak, nggak mungkinsuami, dia tdk mengenakan cincin
kawin. Ketika Revel menyadari bahwa dia sedang memikirkan tentang status single atau
tidaknya wanita g kemungkinan akan menjadi akuntannya, dia langsung berhenti.
"Iya, saya ada acara." Akhirnya Ina bisa berbicara dgn nada penuh kejengkelan yg
terpendam. Dia hrs mengambil kue untuk Gaby dari Harvest, itulah sebabnya dia nggak bs
dateng ke kantor Revel besok.
"Can you reschedule?" Ina mendengar suara pak Sutomo bertanya.
"What?" Tanya Ina.
"Acara kmu besok bs di-reschedule?" Ulang pak Sutomo sambil menatapnya tajam. Oh this
is not good! Ina tahu nada itu yg pada dasarnya mengatakan bahwa dia "harus" reschedule
bukan "bisa".
"Oh.... ya.... ya.... bisa," ucap Ina terbata-bata.
Revel mencoba untuk menebak apa yg ada di pikiran Ina pada saat itu karena dia kelihatan
sperti orang yg akan dihukum mati. Tebakan Revel cukup mengena karena Ina sedang
berpikir bahwa kak Mabel akan membunuhnya.
Ina mencoba tetap menumpukan perhatiannya pada pak Sutoma dan pak Siahaan karena dr
sudut matanya dia melihat Revel sedang memperhatikannya. Untuk lebih meyakinkan
mereka, ina menambahkan, "pak Sutomo, saya rasa saya msh hrs di-briefing dulu untuk hal
ini," lanjutnya sambila menghadap ke pak Sutomo dan tdk menghiraukan Revel.
Pak Sutomo mengangguk da Revel berkata, "Oke, saya tunggu kmu besok di kantor saya."
Mau tdk mau ina hrs menatap Revel ketika memberikan anggukannya. Revel sudah
berbicara padanya dgn menggunakan kata "kamu" daripada "Ibu Inara". Ina mencoba
memutuskan apakah dia lebih memilih dipanggil "kamu" yg terdengar agak2 kurang formal,
bahkan sedikit tdk sopan atau "Ibu Inara" yg membuatnya terdengar tua, olehnya. Dia blm
sempat memutuskan ketika dia mendengar suara pak Danung.
"Tolong datangnya stelam jam tiga sore, soalnya Revel ada rekaman malam ini, jd kami
nungkin baru bs berfungsi sekitar jam segitu," ucapnya dgn suara lembut. Ina langsung tahu
bahwa pak Danung lbh enank diajak kompromi daripada pak Siahaan.
Revel dan pasukannya kemudian berdiri untuk bersalaman dgn pak Sutomo dan Ina. Ina
langsung menyadari betapa tingginya tubuh Revel. Mungkin ini hanya perasaannya saja,
tetapi tubuh Revel yg besar itu pada dasarnya telah memenuhi sluruh ruang pertemuan
sehingga Ina hrs menahan diri agar tdk mundur selangkah untuk menhindari bayangannya.
Dia merasa agak sedikit terintimidasi oleh Revel. Suatu hal yg sgt jarang terjadi. Sebagai
wanita yg sering menerima komentar, bahkan sindiran karena bertubuh mungil, dia belajar
untuk mengintimidasi orang dgn otaknya smenjak SMP dan selama ini usahanya slalu
berhasil karena tdk ada orang yg bs membuatnya takut dam merasa tdk nyaman, hingga
sekarang. Dia mengontrol rasa terintimidasinya dan membuka pintu untuk keluar ruang
pertemuan. Dia dan pak Sutomo mengiringi Revel dan pasukannya hingga ke lift. Dalam
perjalanan, dia menyempatkan diri untuk memperhatikan Revel dgn lebih jelas. Oh my God,
is he wearing a pink shirt? He is wearing a pink shirt!!! Gimana bs dia merasa terintimidasi
oleh laki2 yg mengenakan kemeja warna pink ke business meeting?
Revel membiarkan kroni2nya jalan duluan dgn pak Sutomo, sementara dia berjalan
disamping Ina.
"Kamu ada acara apa besok?" Tanyanya.
"Ngambil kue ultah keponakan saya," jawab Ina. Kemudian dia meutup mulutnya, seakanakan
terkejut karena sudah membagi informasi itu kepada orang yg baru dia kenal kurang dr
stengah jam, tp kemudian dia menambahkan, "Besok adalah ultah ke delapan belas
keponakan saya dan saya sudah janji untuk bawain kuenya."
Revel baru akan mengatakan permohonan maafnya, tetapi kata2 itu terpotong oleh suara
pak Danung yg sedang berpamitan dgn pak Sutomo. Revel pun bersalaman dgn bos Ina itu
dan menganggukkan kepalanya kepada Ina sbelum memasuki lift.
"Kami tunggu besok sore," ucap pak Siahaan sambil menunjukkan jari telunjuknya kepada

Ina yg mengangguk, dan tertutuplah pintu lift.


No comments:

Post a Comment