The Celebrity
"Ina,
tentunya kmu kenal dgn Revelino Darby, musisi paling berbakat and the most
eligible
bachelor
in town," ucap pak Sutotmo dgn antusias.
Pertanyaan
bodoh macam apa itu? Tentu saja Ina, juga seluruh Indonesia, tahu siapa Revel.
Mr.
Playboy of the year g baru2 ini digosipkan sdh melamar Luna, pacarnya yg model
dan jg
selebriti
wanita paling dicintai se-Indonesia itu karena mereka tertangkap basah lg
shopping
cincin.
"Inara,"
ucap Ina sambil buru2 meraih tangan yg disodorkan oleh Revel. Genggaman tangan
Revel
terasa kuat dan pasti.
Ina
bukanlah fans musik Revel, dlm arti dia tdk pernah beli CD-nya, tp dia tdk
keberatan
mendengar
lagu-lagunya diputar di radio atau menonton video klipna di MTV. Aliran musik
Revel
yg merupakan pencampuran antara pop rock dan R&B cukup enak didengar dgn
lirik
dan
nada yg mudah diingat. Sekarang Revel membiarkan rambutnya dipotong pendek, tp
dulu
rambutnya panjang dgn dreadlock ala Lenny Kravitz. Biasanya dia tdk suka laki2
berkulit
terlalu putih, tp dy bahkan tdk pernah memperhatikan bahwa warna kulit Revel
nyaris
kelihatan seperti orang albino karena dia dan hampir seluruh wanita di
Indonesia yg
berumur
di antara 18 hingga 60 tahun sdh terlalu terkesima dgn aura Revel. Aura yg skrg
dirasakannya
sedang menyerangnya dgn kekuatan penuh tanpa dibatasi oleh layar TV,
alhasil
dia tdk bs mengalihkan perhatiannyA dr wajah Revel.
"Revel,"
ucap Revel sambil tersenyum. Melihat senyum itu Ina hrs mengingatkan dirinya
untuk
kembali bernapas. Dia sering melihat senyum itu di TV dan dia selalu
berpendapat
bahwa
senyuman itu menarik, tetapi saat melihatnya langsung dgn mata kepalanya
sendiri
ternyata
kata "menarik" tdk cukup untuk menggambarkan apa yg ada di
hadapannya.
"Ini
pak Siahaan, pengacaranya Revel dan pak Danung, managernya Revel," pak
Sutomo
memperkenalkan
kedua orang yg berdiri mengapit Revel. Ina buru2 melepaskan tangannya
dr
genggaman Revel dan menyalami kedua bapak itu sebelum kemudian duduk di kursi
sbelah
kiri pak Sutomo dan berhadapan dgn Revel.
"Boleh
kita lanjut?" Tanya pak Sutomo pada Revel yg skrg sedang memandangi Ina,
yg
berusaha
sebisa mungkin menghindari tatapannya dgn mengatur posisi laptopnya.
Revel
menahan senyum melihat tingkah laku Ina. Beberapa detik yg lalu Ina kelihatan
hampir
melongo menatapnya, dan skrg justru mencoba sedaya-upaya untuk menghindari
tatapannya.
Mmmhhh.... Interesting... Revel mengambil inventori penampilan Ina, mulai dr
ujung
rambut hingga jari2 tangannya yg kurus, berkuku pendek, dan bebas dr cincin.
Ukuran
tangan
Ina kemungkinan hanya separo dr ukuran tangannya.
Dengan
tinggi 180cm, berat 75kg dan ukran sepatu 44, Revel bs dikategorikan sebagai
raksasa
untuk laki2 Indonesia. Meskipun begitu, tubuhnya sgt proposional dan kebanyakan
orang
tdk akan tahu bahwa dia setinggi ini smp mereka bertemu dengannya secara
langsung.
Sekali
lagi Revel tersenyum pada dirinya sendiri ketika menyadari bahwa selama lima
menit
belakangan
ini perhatiannya sedang terpaku pada tangan Ina yg kecil itu. Sejujurnya Revel
tdk
menyangka bahwa "ibu Ina" yg dipuji-puji oleh Oom Bob ternyata adalah
seorang wanita
sebaya
dirinya g berukuran superkecil, tp kelihatan super-smart dan sedikit cute kalau
saja
dia mau
mengoleskan sedikit make-up pada wajahnya yg pucat itu.
"Manajemen
Revel specially minta kmu sebagai account holder mereka atas saran dr pak
Bob,"
jelas pas Sutomo kepada Ina.
Bob
Yahya, seorang pembawa acara senior yg kini merangkap sebagai pengusaha dlm
berbagai
bidang adalah salah satu klien terlama Ina. Mmmhhh..... Pak Bob tdk pernah
bercerita
kepadanya bahwa dia mengenal Revel. Lalu ia sadar bahwa pak Sutomo msh
berbicara
dan dia memfokuskan perhatiannya kembali pada meeting ini. "Tapi karena
kmu
sudah
memegang jumlah klien yg maksimum....."
Maksimum?
Ina tertawa dlm hati. Kata2 yg lebih tepat adalah "sudah jauh melebihi
batas
maksimum".
Dasar pak Sutomo, kalau sudah urusan bullshit paling jagonya. Dia mencoba
untuk
menahan senyum yg mulai terasa di sudut bibirnya karena ketika dia melirik, pak
Sutomo
yg sedang memandangnya dgn tajam. Ina pun mencoba mangatur ekspresi
wajahnya
agar kembali serius. Selama pak Sutomo menjelaskan tentang latar belakang Ina,
Revel
membisikkan sesuatu pada pengacaranya.
"Maaf,
pak Sutomo, tp revel lebih memilih ibu Inara sebagai account holder-nya,"
potong
pak
Siahaan dgn nada yg terlalu tegas, sehingga terdengar agak2 tdk sopan.
Ina
sempat ternganga mendengarnya. Tdk pernah ada orang yg berani membantah
pendapat
pak Sutomo, atau menggunakan nada bicara sperti itu dgn beliau. Revel
memandanginya
dgn tatapan yg tdk bs dibaca. Dia sudah bersiap-siap untuk membela
kedudukan
pak Sutomo, tp beliau telah membaca gelagatnya dan mencoba untuk
menengahi.
"Ina......
bagaimana menurut kmu? Apa kmu mampu?"
Ina
melongo beberapa saat, bingung mencari kat2 untuk menjawabnya. Mampu sih mampu,
cuma
masalahnya adalah apakah dia mau. Karena kalau kumlah kliennya ditambah lagi,
itu
brarti
dia akan semakin tdk memiliki kehidupan di luar kantor. Dia menarik napas
dalam2
dan
menatap mata Revel.
Revel
agak terkejut ketika sadar bahwa Ina sedang menatapnya bulat2. Lain dgn tatapan
byk
wanita
yg baru pertama kali bertemu dengannya, tatapan Ina tdk terlihat flirty atau
malumalu.
Revel
mengerutkan dahi, sedikit bingung dan kesal karena Ina spertinya tdk bereaksi
sperti
wanita pada umumnya, dan Ina menginterpretasikan tatapan Revel sebagai suatu
ejekan,
dan dia langsung mengemukakan pendapatnya.
"Pak
Revel....."
"Revel,"
ucap Revel memotong kalimat Ina.
"Excuse
me?" Tanya Ina otomatis dan menatap Revel bingung.
"Nama
saya Revel. Nggak usah pakai 'Pak', saya blm setua itu," jawab Revel
sambil
membalas
tatapannya.
Revel
hampir saja tertawa terbahak-bahak melihat permainan emosi pada wajah Ina yg
pada
detik itu tahu bahwa dia baru saja dihina oleh dirinya. Tentunya sebagai
seorang
profesional,
Ina hanya tersenyum dan menggangguk. Revel mengharapkan Ina akan
memakinya
dan agak sedikit kecewa ketika dia menyerah begitu saja.
"Revel..."
Ina berhenti sesaat untuk merasakan nama itu pada lidahnya. Ternyata enak jg,
kemudian
dia melanjutkan, " Sebagai account holder, kami ada batas maksimum jumlah
klien
yg bs kami pegang, karena kami ingin memastikan bahwa stiap klien mendapatkan
perhatian
dan perlakuan yg sama..."
"Jadi
ibu menolak Revel sebagai klien?" Tanya pak Siahaan dgn nada tenang tp
membuat Ina
ingin
melemparkan laptopna ke muka pengacara itu.
Ina
melirik ke arah pak Sutomo dan beliau langsung masuk kembali ke dalam
pembicaraan.
"Maksudnya
Ina bkn begitu , pak Siahaan, tp saa rasa Revel akan lebih terjamin klo
ditangani
oleh
Marko atau Hanafi, junior partner kami yg jadwalnya agak lebih terbuka,"
pak Sutomo
mencoba
untuk menenangkan suasana yg mulai agak memanas.
"Pak
Sutomo, maaf sbelumnya, tp kedatangan kami hari ini adalah untuk memberitahukan
bahwa
pihak manajemen Revel bersedia untuk do business dgn firm ini, dgn syarat bahwa
account
holder-nya adalah ibu Inara Hanindita. Kami tadinya sudah bersedia settle dgn
akuntan
publik lain, tp atas rekomendasi dr pak Bob, kami memilih firm ini. Tp klo
misalna
permintaan
ini tdk bs dipenuhi, kami bs cari akuntan publik lain."
Ina
betul2 tdk bs berkata-kata lg mendengar pernyataan ini. Diskusi antara pak
Sutomo dan
pak
Siahaan pun berlanjut, membicarakan nasibnya sebagai account holder Revel,
seakanakan
dia tdk
ada di dalam ruangan itu bersama mereka. Dia memperhatikan Revel yg kini
terlihat
agak bosan, dan diatdk bs menyalahkannya. Jujur saja, klo dia sendiri stuck di
dalam
percakapan
yg sama sekali dia tdk mengerti, dia pasti sudah memaparkan wajah yg tdk jauh
dr
wajah Revel skrg.
Ina
benar, Revel bosan dgn meeting ini. Dia tdk mengerti knapa pak Danung bersikeras
bahwa
dia harus ikut padahal dia akan merasa lbh produktif klo sekarang mengurung
dirinya
di
studionya untuk merampungkan aransemen lagu yg baru ditulisnya semalam. Revel
melihat
Ina menyandarkan punggungnya ke kursi dan kelihatan agak2 khawatir. Entah apa
yg
dipikirkannya.
Jarum
jam tangan Ina sudah mendekati angka empat. Dia mulai memikirkan semua
pekerjaan
yg msh harus dia selesaikan sbelum meninggalkan kantor. Lima belas menit
kemudian
meeting itu blm selesai juga. Ketika dia melirik jam tangannya untuk yg ketiga
kalina
dlm kurun waktu stengah jam, Revel menegurnya.
"Do
you need to be somewhere?" Tanyanya dgn nada tenang tp cukup keras. Pak
Sutomo
dan pak
Siahaan langsung terdiam dan menatap Ina.
Ina
memutar otaknya, mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu dan tdk
dapat
menemukan
kata2 yg tepat. Well... mungkin dia bs menemukan kata2 yg tepat, tp tdk kata2
yg
sopan. Untungnya pak Sutomo menyelamatkannya sbelum dia mulai menyuarakan
beberapa
kata yg ada di kepalanya. Dia yakin tdk satu pun dr kata2 itu akan
menyelamatkannya
dr talak "You're fired" ala Donald Trump. "Gentleman, saya akan
discuss
hal ini
dgn Ina lebih lanjut. Saya yakin kita bs work something out."
Ina
memandangi pak Sutomo bingung, tdk biasanya beliau mengikuti kemauan klien smp
sespesifik
ini. "Kalau memang Revel hrs ditangani oleh Inara, then she is the person
to do it."
Whoaa!
Wait a second. Apa aku tdk akan diberi kesempatan untuk menyuarakan
pendapatku?
Ina mengumpat dlm hati.
"Good."
Jwb pak Siahaan puas.
"Gimana
klo Ina datang ke kantor Revel minggu depan?" Lanjut pak Sutomo.
Huh!
Sudah bikin janji, padahal aku tdk tahu dimana kantor Revel, lanjut Ina
mengomel dlm
hati.
Yg lebih penting lagi, knapa juga mereka menyebutnya sebagai "kantor
Revel" seakan2
Revel-lah
pemilik kantor itu.
"Lebih
cepat lebih baik, Pak. Besok juga boleh," jwb pak Danung, untuk pertama
kalinya
mengeluarkan
suara.
Tanpa
bs menahan diri, Ina sudah berbicara. "Sebetulnya klo besok saya nggak
bisa."
Keempat
laki2 yg ada di ruangan itu langsung melihat ke arahnya, kaget. Mungkin karena
nadanya
atau mungkin karena bantahannya, dia tdk tahu. Ina menggigit lidahnya.
"Memangnya
kmu ada acara besok?" Tanya Revel, sebisa mungkin terdengar cuek, tetapi
sejujurnya
dia memang ingin tahu apa yg akan dikerjakan wanita kecil ini besok. Apa dia
ada
rencana
dgn pacarnya? Suaminya? Nggak, nggak mungkinsuami, dia tdk mengenakan cincin
kawin.
Ketika Revel menyadari bahwa dia sedang memikirkan tentang status single atau
tidaknya
wanita g kemungkinan akan menjadi akuntannya, dia langsung berhenti.
"Iya,
saya ada acara." Akhirnya Ina bisa berbicara dgn nada penuh kejengkelan yg
terpendam.
Dia hrs mengambil kue untuk Gaby dari Harvest, itulah sebabnya dia nggak bs
dateng
ke kantor Revel besok.
"Can
you reschedule?" Ina mendengar suara pak Sutomo bertanya.
"What?"
Tanya Ina.
"Acara
kmu besok bs di-reschedule?" Ulang pak Sutomo sambil menatapnya tajam. Oh
this
is not
good! Ina tahu nada itu yg pada dasarnya mengatakan bahwa dia "harus"
reschedule
bukan
"bisa".
"Oh....
ya.... ya.... bisa," ucap Ina terbata-bata.
Revel
mencoba untuk menebak apa yg ada di pikiran Ina pada saat itu karena dia
kelihatan
sperti
orang yg akan dihukum mati. Tebakan Revel cukup mengena karena Ina sedang
berpikir
bahwa kak Mabel akan membunuhnya.
Ina mencoba
tetap menumpukan perhatiannya pada pak Sutoma dan pak Siahaan karena dr
sudut
matanya dia melihat Revel sedang memperhatikannya. Untuk lebih meyakinkan
mereka,
ina menambahkan, "pak Sutomo, saya rasa saya msh hrs di-briefing dulu
untuk hal
ini,"
lanjutnya sambila menghadap ke pak Sutomo dan tdk menghiraukan Revel.
Pak
Sutomo mengangguk da Revel berkata, "Oke, saya tunggu kmu besok di kantor
saya."
Mau tdk
mau ina hrs menatap Revel ketika memberikan anggukannya. Revel sudah
berbicara
padanya dgn menggunakan kata "kamu" daripada "Ibu Inara".
Ina mencoba
memutuskan
apakah dia lebih memilih dipanggil "kamu" yg terdengar agak2 kurang
formal,
bahkan
sedikit tdk sopan atau "Ibu Inara" yg membuatnya terdengar tua,
olehnya. Dia blm
sempat
memutuskan ketika dia mendengar suara pak Danung.
"Tolong
datangnya stelam jam tiga sore, soalnya Revel ada rekaman malam ini, jd kami
nungkin
baru bs berfungsi sekitar jam segitu," ucapnya dgn suara lembut. Ina
langsung tahu
bahwa
pak Danung lbh enank diajak kompromi daripada pak Siahaan.
Revel
dan pasukannya kemudian berdiri untuk bersalaman dgn pak Sutomo dan Ina. Ina
langsung
menyadari betapa tingginya tubuh Revel. Mungkin ini hanya perasaannya saja,
tetapi
tubuh Revel yg besar itu pada dasarnya telah memenuhi sluruh ruang pertemuan
sehingga
Ina hrs menahan diri agar tdk mundur selangkah untuk menhindari bayangannya.
Dia
merasa agak sedikit terintimidasi oleh Revel. Suatu hal yg sgt jarang terjadi.
Sebagai
wanita
yg sering menerima komentar, bahkan sindiran karena bertubuh mungil, dia
belajar
untuk
mengintimidasi orang dgn otaknya smenjak SMP dan selama ini usahanya slalu
berhasil
karena tdk ada orang yg bs membuatnya takut dam merasa tdk nyaman, hingga
sekarang.
Dia mengontrol rasa terintimidasinya dan membuka pintu untuk keluar ruang
pertemuan.
Dia dan pak Sutomo mengiringi Revel dan pasukannya hingga ke lift. Dalam
perjalanan,
dia menyempatkan diri untuk memperhatikan Revel dgn lebih jelas. Oh my God,
is he
wearing a pink shirt? He is wearing a pink shirt!!! Gimana bs dia merasa
terintimidasi
oleh
laki2 yg mengenakan kemeja warna pink ke business meeting?
Revel
membiarkan kroni2nya jalan duluan dgn pak Sutomo, sementara dia berjalan
disamping
Ina.
"Kamu
ada acara apa besok?" Tanyanya.
"Ngambil
kue ultah keponakan saya," jawab Ina. Kemudian dia meutup mulutnya,
seakanakan
terkejut
karena sudah membagi informasi itu kepada orang yg baru dia kenal kurang dr
stengah
jam, tp kemudian dia menambahkan, "Besok adalah ultah ke delapan belas
keponakan
saya dan saya sudah janji untuk bawain kuenya."
Revel
baru akan mengatakan permohonan maafnya, tetapi kata2 itu terpotong oleh suara
pak
Danung yg sedang berpamitan dgn pak Sutomo. Revel pun bersalaman dgn bos Ina
itu
dan
menganggukkan kepalanya kepada Ina sbelum memasuki lift.
"Kami
tunggu besok sore," ucap pak Siahaan sambil menunjukkan jari telunjuknya
kepada
Ina yg
mengangguk, dan tertutuplah pintu lift.
No comments:
Post a Comment