Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 5

Partner in Crime

Ratusan ribu kalong menyerbu pesisir. Perutnya buncit
karena puas menjarah putik kemang di pulau-pulau
kecil tak bertuan. Kepaknya sombong tak peduli. Hewan
berparas mengerikan serupa tikus terkutuk itu mendekor
langit dengan bercak-bercak hitam, hanyut di angkasa dilatari
deburan troposfer. Belitong menjelang malam, adalah
semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan,
tak dibuat-buat, dan memikat. Azan magrib mengalir
ke dalam rumah-rumah panggung orang Melayu, umat berduyun-
duyun menuju masjid, menuju kemenangan.
Masjid, seperti oase bagi semua anak Melayu udik. Di
sana, bukan sekadar tempat salat dan mengaji, tapi tempat
bermain dan membuat janji-janji. Masjid nan indah, tasbihnya
berupa-rupa, kaligrafinya memesona, dan pilar-pilar
tingginya memantul-mantulkan suara. Di atas lantai pualam
terbentang sajadah panjang dari Turki, semerbak harum
setanggi, kitab-kitab tua sejarah nabi, dan lebih dari
Ayah kembali pusing memikirkan namaku. Wajahnya redup.
Diusap-usapnya kopiah resaman-nya. la kehabisan cara
mengatasiku dan kehabisan nama untukku.
"Baiklah Bujang, sekarang pilihlah sendiri nama untukmu...."
Saat itu aku tengah membolak-balik halaman majalah
Aktuil. Di salah satu pojoknya aku membaca berita usang
tentang polisi Italia yang dibuat repot seorang wanita sinting
karena memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan
diri jika Elvis Presley tak membalas suratnya.
Nama wanita itu Andrea Galliano.
"Ayahanda, bagaimana kalau Andrea?"
Telinga Ibu berdiri.
"Aih! Nama macam apa itu? Itu bukan nama orang
Islam!"
semuanya, para jemaah putri! Belum lagi satu kegembiraan
yang aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau
Ramadan tiba. Mungkin jika Ramadan, orang Islam mendadak
menjadi dermawan, berebutan mengantar tambul ke
masjid.
Semuanya semakin indah karena keluarga kami memungut
Arai, sepupu jauhku, yang mendadak menjadi sebatang
kara dalam usia delapan tahun. Maka, aku memanggilnya
Lone Ranger. la memanggilku Tonto dan kami
segera menjadi partner in crime.
Andrea Hirata 26
Ayah berpendirian lain. Mungkin karena ia sudah mati
akal.
"Kalau begitu maumu Bujang, apa tadi? Andrea... ah,
bagus juga kedengarannya, tak ada salahnya dicoba ...."
Ibu tak terima.
"Yah. Ni, tak ada nama orang Melayu seperti itu. Itu
nama orang Barat. Mereka tak peduli soal nama dan itu
nama anak perempuan."
Ayah menangkis.
"Bukankah selalu kauidamkan anak perempuan, Bu?"
Ibu berbalik meninggalkan kami, marah, tapi aneh, ia
tersenyum. Mulai malam itu aku punya nama baru. Di peraduan
kukenang kembali nama-namaku. Aku menarik kesimpulan,
ternyata tabiat orang tak berhubungan dengan
gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana
ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada
berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri.

Kebenaran sederhana ini membuat hatiku ngilu.


No comments:

Post a Comment