Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 44


44
PERNIKAHAN TERAKHIR
SENJA datang untuk ke sekian kalinya di lembah indah itu. Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup.

Aku yang menerima SMS dari Mamak Lainuri dua hari lalu, di senja itu akhirnya tiba (sesungguhnya ada lima sms yang terkirimkan; satu untukku). Berdiri sejenak di atas bukit tertinggi Lembah Lahambay. Memarkir motor besarku di jalanan. Jalan selebar tiga meter yang sekarang beraspal mulus. Tentu saja, bagianku tidak terlalu penting di keluarga ini. Hanya turis yang pernah mampir. Pertama kali singgah, begitu terpesona melihat kehidupan mereka. Begitu terpesona melihat lembah mereka. Begitu terpesona melihat apa yang telah dilakukan keluarga ini demi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk lembah. Bermalam di rumah Mamak Lainuri. Dan menjadi sahabat baik keluarga itu.

Turis yang selalu singgah dengan ransel besar di punggung.

Lihatlah, sore ini sempurna merah. Langit terlihat merah. Awan-awan putih terlihat memerah. Dari atas bukit ini kalian bisa melihat kanopi pepohonan. Hamparan perkebunan strawberry sejauh mata memandang. Di batasi oleh sungai besar dengan cadas setinggi lima meter itu. Di batasi kawasan hutan konservasi, yang lebat mengelilingi lembah. Seekor elang melenguh di kejauhan, aku tersenyum, melambaikan tangan. Membalas salam hangatnya,

Dari atas bukit ini, empat desa yang terdapat di lembah itu terlihat berjejer rapi. Rumah-rumah semi permanen yang asri. Seperti villa-villa indah. Satu dua lampu rumah mereka mulai menyala. Bersamaan dengan lampu jalanan. Kerlip kuning yang menawan. Suara orang mengaji di surau terdengar. Menunggu saat adzan maghrib setengah jam lagi. Ayat-ayat itu terdengar menyenangkan. Seperti mengalir bersama angin lembah yang segar.

Buah strawberry terlihat merah di seluruh tepian perkebunan, ranum menggoda. Aku lembut memetiknya satu. Menciumnya lekat-lekat. Buah yang besar. Tersenyum. Memasukkan buah itu ke saku jaket. Nanti akan bilang ke Mamak Lainuri, aku baru saja memetik satu buah strawberry mereka. Belum halal di makan kalau belum bilang. Dan Mamak sambil tersenyum akan bilang,

"Kau aneh sekali, Tere.... Selalu hanya memakan satu butir buah strawberry setiap kali datang ke sini.... Dan selalu saja merasa wajib untuk bilang sudah memetiknya.... Kau bagian dari keluarga ini, anakku..."

Keluarga yang menyenangkan. Meski mungkin sore ini, suka atau tidak suka, siap atau tidak, waktu yang berputar akan mengambil seseorang, akan mengakhiri kisah hidupnya. Sungguh begitulah hidup ini. Datang. Pergi. Senang. Susah. Tidak peduli meski seseorang itu anggota keluarga yang amat kita cintai. Tidak peduli. Aku menghela nafas panjang. Kembali menaiki motor besarku. Menghidupkan mesin. Menderu. Meski derumnya lembut, tapi amat bertenaga.
Tapi ada yang lebih menderu lagi. Lebih bising. Aku menolehkan kepala ke garis cakrawala, helikopter itu mendekat. Terbang rendah dengan kecepatan penuh. Membawa anggota terakhir keluarga mereka. Si bungsu dari Lima bersaudara,

Aku tersenyum lebar, lantas menekan pedal gas, meluncur menuju rumah panggung itu. Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika mereka mengijinkan, menuliskan kembali kisah-kisah masa kecil mereka yang indah.

Satu jam lalu, saat Intan, Juwita dan Delima duduk melingkar di ranjang besar Wak Laisa. Menunggui bersama yang lain, sibuk bercerita tentang sekolah masing-masing (Wak Laisa yang meminta mereka bercerita). Sibuk melaporkan ponten masing-masing. Sibuk
melaporkan soal 'Safe The Earth'. Hamster belang Intan tiba-tiba ikut loncat ke ranjang. Mengagetkan yang lain. Tertawa. Tapi bagi Laisa yang sudah lelah, kaget sekecil itu membuatnya tersengal. Peralatan medis berdengking. Grafik hijau itu putus-putus.
Dokter segera mengambil alih urusan.
"RIO JAHAT!" Intan berteriak sambil menangis. Mencengkeram hamstemya, bersiap melemparkannya lewat jendela.
"Jangan, sayang.... Jangan dilempar—" Cie Hui berusaha membujuk, berusaha menarik tangan putrinya,
"Rio Jahat, Ummi! Rio bikin Wawak pingsan! Intan benci!" Gadis itu tidak mendengarkan. Maka rusuh dokter mengembalikan kesadaran Laisa, rusuh pula yang lain membujuk Intan agar diam, membujuk agar ia meletakkan kembali hamster belangnya.

Setengah jam berlalu, situasi berangsur-angsur terkendali, meski tetap tak sadarkan diri, nafas Kak Laisa kembali normal. Hamster belang itu juga urung dilempar, terlanjur loncat dan kabur duluan saat Intan masih bersikukuh hendak menghukumnya. Juwita dan Delima sekarang duduk di pojok kamar. Takut-takut Mereka amat gentar melihat Wak Laisa-nya yang mendadak kejang-kejang. Melihat Dalimunte yang berteriak cemas. Abi mereka yang berlarian mendekat. Mereka bahkan menangis bingung.

Intan ikut bergabung duduk di pojok kamar. Menyeka pipinya yang basah. Masih merasa amat bersalah. Semua ini gara-gara hamster belang miliknya. Berjanji dalam hati akan menghukumnya besok lusa.

Eyang Lainuri duduk di sebelah ranjang, membelai lembut jemari Kak Laisa yang mulai membiru. Menatap wajah sulungnya lamat-lamat. Wajah yang tetap tak sadarkan diri. Usia Mamak saat itu sudah tujuh puluh sekian, Mamak mengerti hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Laisa.
Saat itulah, helikopter itu tiba. Suara baling-balingnya sampai lebih dulu. Menderu. Lantas mendarat di halaman gudang pengalengan. Empat ratus meter dari rumah panggung. Membuat Mamak menoleh. Siapa? Itu suara apa? Juga Cie Hui, Wulan, dan Jasmine yang tidak tahu apa kabar Yashinta selama 48 jam terakhir.
"Itu Yashinta — "

Dalimunte berkata pelan. Menelan ludah. Menghela nafas lega. Akhirnya adik bungsu mereka tiba.
Ikanuri dan Wibisana menuruni anak tangga. Menghidupkan mobil modifikasi mereka. Meluncur menjemput ke gudang pengalengan. Sama seperti Dalimunte, mereka sudah tahu Yashinta akan datang dengan helikopter, diantar Goughsky.

Maka tidak seperti yang lain, yang datang terburu-buru. Bergegas belarian di atas anak tangga. Menyibak daun pintu. Menerobos kamar. Yashinta datang dengan digendong Ikanuri dan Wibisana. Tertatih-tatih. Berkali-kali terhenti. Goughsky melipat kursi dorongnya. Membawanya menaiki anak tangga. Membukanya lagi di beranda depan. Yashinta didudukkan kembali di kursi roda. Mata gadis itu sembab, sejak dari rumah sakit ia menangis. Tidak sabaran dengan kecepatan maksimal helikopter. Mendesah berkali-kali. Tidak bisakah helikopter ini terbang lebih cepat. Menatap resah hamparan biru lautan, wajah Kak Laisa yang terukir di gumpalan awan. Cemas. Takut. Yashinta amat takut.

Kursi dorong itu tiba di daun pintu kamar.

Mamak bangkit dari duduknya. Tidak sempat bertanya kenapa Yashinta datang dengan kaki mengenakan gips. Tidak sempat melihat seksama tubuh putri bungsunya yang lebam. Mamak langsung mendekap Yashinta erat-erat. Menangis. Apalagi Yashinta. Terisak sudah.
Menyisakan senyap di kamar Kak Laisa
Mamak membimbing kursi roda Yashinta mendekati ranjang Kak Laisa.
Dan entah dengan kekuatan apa, Kak Laisa yang pingsan selama satu jam terakhir, pelan membuka matanya saat Yashinta menyenruh lembut jemari kakaknya,
"Kak Lais—" Serak Yashinta memanggil kakaknya. "Yash? ...."

"Kak Lais-"

"Yash... Itu Yash? Kau sudah tiba, Yash? Kau ti-ba?" Percuma, meski membuka mata, Kak Laisa sudah tidak bisa melihat lagi. Kesadarannya sudah habis. Matanya hanya melihat gelap.

"Kak Lais—" Yashinta berseru tertahan. Gemetar menciumi jemari kakaknya yang pendek-pendek. Tidak normal. Jemari yang dulu setiap hari membersihkan gulma, membantu Mamak memasak gula aren, merawat satu persatu batang strawberry. Menciumi tangan yang legam, yang dulu sering terpanggang matahari.
"Mendekat, Yash.... Mendekat kemari...."

Kak Laisa berbisik. Suaranya antara terdengar dan tidak. Dokter ingin bilang ke Dalimunte agar Kak Laisa dibiarkan sendiri dulu. Tapi urung. Dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban itu. Biarlah Laisa sempurna di kelilingi orang-orang yang amat dicintainya dan mencintainya di penghujung waktunya.
Yashinta mendekatkan mukanya. Membiarkan Kak Laisa meraba. Merasakan pipi adiknya yang berlinang air mata. Mengusap kepala adiknya yang terbungkus perban. Melihnt wajah adiknya dengan ujung-ujung jari.

"Dali.... Di mana Dali—" Kak Laisa lemah memanggil Dalimunte. Ia ingin mereka semua ada di sampingnya sekarang.
"Saya di sini, Kak." Suara Dalimunte parau. Menyaksikan Yashinta menangis sudah membuatnya sesak, apalagi saat Kak Laisa memanggilnya pelan. Dalimunte mendekat, duduk di sebelah Yashinta.

"Dali di sini, Kak." Meraih tangan Kak Laisa, menyentuhkannya ke wajah. Kak Laisa tersenyum. Meraba wajah Dalimunte.
"Ikanuri.... Wibisana.... Di mana dua sigung itu?" Kak Laisa berusaha tertawa kecil, meski itu sama saja dengan keluarnya bercak darah yang lebih banyak. Mamak mengelapnya dengan lembut, tangannya bergetar.

"Ikanuri di sini, Kak." Ikanuri menghambur. Duduk di sebelah Dalimunte. Menciumi tangan Kak Laisa sambil menangis.
"Ini, ini Wibisana.... Wibisana di sini—" Wibisana ikut duduk di sebelahnya. Menyentuh jemari Kak Laisa.
"Intan.... Juwita.... Delima...."

Intan menarik tangan adik-adiknya mendekat. Intan menyeka matanya yang basah. Naik ke atas ranjang.
Tangan Kak Laisa mengusap wajah tiga monster kecil itu. Juwita dan Delima masih takut-takut. Tapi pemahaman itu datang dengan cepat. Mereka menatap amat sedih wajah Wawak yang meski matanya terbuka, tapi tidak bisa melihat apa-apa lagi.

"Mamak...." Kak Laisa menciumi tangan Mamak.
Tersenyum. Mamak sudah kehilangan kata-kata. Memperbaiki tudung rambutnya.
"Ya Allah, terima kasih atas segalanya.... Terima kasih...." Kak Laisa mendesah pelan....

"Ya Allah, Lais sungguh ihklas dengan segala keterbatasan ini, dengan segala takdirmu....

Karena, karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik...." Nafas Kak Laisa tersengal. Satu dua.
"Yash-"
"Yash di sini, Kak."
Yashinta memegang lembut tangan Kak Laisa. "Kau pulang bersama si mata biru mu?"

Yashinta mengangguk. Menjawab pelan. Tangisnya mengeras.
"Menikahlah, Yash.... Sekarang—" Kak Laisa tersengal. Nafasnya benar-benar tidak terkendali lagi.

"Biar, biar Kak Laisa masih sempat melihat betapa bahagianya kau.... Biar, biar Kak Laisa masih sempat menyaksikan betapa cantiknya mempelai wanita."
Yashinta tersedu. Menciumi jemari kakaknya. Bagaimanalah ini? Bagaimanalah?

Yashinta patah-patah menoleh ke Mamak. Mamak mengangguk pelan. Menoleh ke Dalimunte. Dalimunte mengangguk, menyeka hidung. Menoleh ke Ikanuri dan Wibisana, dua sigung itu tidak memperhatikan, lebih sibuk mengendalikan perasaan. Lebih emosional dibandingkan yang lain. Dua sigung itu tertunduk menatap wajah Kak Laisa. Terisak.

Menoleh ke arah Goughsky. Pemuda Uzbek itu mengusap wajahnya. Menggigit bibir menahan rasa sesak menyaksikan semua ini sejak masuk kamar tadi. Goughsky menyeka matanya. Lantas melangkah mantap, mendekat. Menyibak adik-kakak yang duduk berjejer. Duduk di sebelah Yashinta.
"Aku akan selalu mencintaimu, Yash." Berbisik, meyakinkan. Yashinta tertunduk. Menggigit bibir.
"Menikahlah, Yash—" Kak Laisa tersenyum. Dan Yashinta gemetar mengangguk. Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar.

Berpendar-pendar jingga. Sungguh senja itu wajah Kak Laisa terlihat begitu bahagia. Mungkin seperti itulah wajah bidadari surga.
Lima menit kemudian pernikahan itu dilangsungkan. Dalimunte yang menjadi wali pernikahan. Bang Jogar dan salah satu penduduk kampung lainnya menjadi saksi.
Pernikahan terakhir di lembah indah mereka.

Seusai Goughsky mengucap ijab-kabul. Saat Yashinta menangis tersedu. Ketika Mamak menciumi kening bungsunya memberikan kecupan selamat. Saat yang lain buncah oleh perasaan entahlah. Semua perasaan ini.... Saat itulah cahaya indah memesona itu turun membungkus lembah. Sekali lagi. Seperti sejuta pelangi jika kalian bisa melihatnya. Di sambut lenguhan penguasa Gunung Kendeng yang terdengar di kejauhan. Kelepak elang yang melengking sedih.
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca.
Menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas mengambang di atas ranjang.
Lembut menjemput.
Kak Laisa tersenyum untuk selamanya. Kembali.
Senja itu, seorang bidadari sudah kembali di tempat terbaiknya Bergabung dengan bidadari-bidadari surga lainnya.


Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70). Suara Mamak berkata lembut saat kisah itu diceritakan pertama kali terngiang di langit-langit ruangan: bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)....



NOVEL KARYA TERELIYE LAINNYA

1 comment:

  1. Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
    Bonus Deposit Member Baru 100.000
    Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
    Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
    Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
    Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
    Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis

    ERTIGA POKER
    ERTIGA
    POKER ONLINE INDONESIA
    POKER ONLINE TERPERCAYA
    BANDAR POKER
    BANDAR POKER ONLINE
    BANDAR POKER TERBESAR
    SITUS POKER ONLINE
    POKER ONLINE


    ceritahiburandewasa

    MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
    KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
    CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT

    ReplyDelete