Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 24


24
PERNIKAHAN SEPUH

MALAM ITU, rumah panggung mereka ramai.

Kak Laisa baru saja menyelesaikan renovasi rumah. Sekarang rumah panggung reot seadanya itu berubah menjadi bak villa indah. Masih berlapis kayu, tapi sekarang tanpa lubang-lubang. Atapnya digantikan genteng, sudah tak tampias lagi. Hamparan halaman ditanami beludru rumput dan bonsai pepohonan. Perkebunan strawberry mereka sekarang sudah puluhan hektar, memenuhi separuh lembah hingga cadas lima meter sungai. Tidak ada lagi lima kincir bambu di sana. Sekarang digantikan dua pasang kincir bertingkat-tingkat dari batangan aluminium dan pondasi beton yang lebih kokoh. Ada banyak hal besar yang dikerjakan Kak Laisa tiga tahun terakhir. Seiring majunya perkebunan strawberry, Kak Laisa juga merenovasi sekolah seadanya di kampung atas. Jalanan selebar tiga meter itu juga sudah di aspal tipis. Memudahkan truk-truk pengangkut buah strawberry berlalu-lalang.

Malam itu, Dalimunte yang sudah kuliah di institut teknologi ternama luar pulau, mudik. Kejutan. Benar-benar kejutann, Dalimunte pulang bersam Cie Hui. Gadis keturunan yang dulu mereka lihat di kota provinsi. Umur Dalimunte sudah dua puluh satu tahun, sudah bukan remaja tanggung lagi. Ikanuri dan Wibisana beranjak delapan belas, sudah di tahun terakhir sekolah lanjutan atas kota kabupaten. Mereka masih suka menggoda Dalimunte soal Cie Hui, tapi konteksnya jauh berbeda. Bukan lagi gurauan remaja tanggung atau anak-anak. Lagipula
Ikanuri dan Wibisana lebih asyik menghabiskan waktu di bengkel. Mereka memang menyukai mengotak-atik mesin. Cinta sekali dengan mobil. Beruntung Kak Laisa berbaik hati membelikan starwagoon tua, dengan janji mereka tetap akan meneruskan kuliah di kota provinsi tahun depan.

Yashinta tumbuh menawan. Gadis kecil itu sekarang sudah lima belas. Setahun lagi harus melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia tetap sekolah di kota kecamatan yang dulu pernah dibencinya. Meski tidak kunjung terbiasa, Yashinta mengalah. Bisik-bisik tetangga soal fisik Laisa juga sebenarnya jauh berkurang karena meski dengan segala keterbatasannya, fakta Laisa melakukan banyak hal untuk lembah, anak-anak yang bersekolah, bantuan menanam strawberry di kebun-kebun, membuat kehidupan lembah jauh lebih baik.

Jadi penduduk kampung walau tetap membicarakan Laisa yang hingga usia dua puluh tujuh tahun tetap belum menikah, intonasinya lebih karena prihatin. Ingin membantu mencari jalan keluar.

"Cepat atau lambat juga akan datang, Mak!" Itu jawaban ringan Kak Laisa setiap kali Mamak mengajak membicarakannya (atau jika ada tetangga yang berbaik hati bertanya).

"Lihat, Wak Burhan besok akan menikah untuk kedua kalinya. Padahal umurnya sudah delapan puluh! Cepat atau lambat giliran Laisa pasti akan tiba pula, bukan?"
Kak Laisa tertawa.

Itu benar, besok Wak Burhan akan menikah dengan janda tua dari desa atas. Umur calon istri Wak Burhan berbilang enam puluh tahun, sudah bercucu sebelas. Malam itu, mereka ramai-ramai berkumpul di rumah untuk menyiapkan keperluan acara besok. Wak Burhan masih terhitung kakak sepupu Mamak. Jadi rumah panggung mereka jadi tempat 'mempelai perempuan' bersiap-siap.

Yashinta ditemani Cie Hui memasang hiasan-hiasan janur. Penduduk kampung itu sibuk. Minggu-minggu selepas lebaran, memang waktu yang tepat melangsungkan hajat besar. Pernikahan. Mamak dan ibu-ibu lainnya menyiapkan hidangan besok. Dalimunte dan pemuda lainnya menyiapkan panggung acara. Kak Laisa ikut mengerjakan banyak hal. Jelas ia sudah terbiasa menangani tatapan ingin tahu. Menanggapi ibu-ibu tetangga yang menggodanya, "Jadi kapan Lais akan menyusul?" Laisa hanya tersenyum simpul.

Setiap kali ada pernikahan di lembah itu, Laisa selalu membantu mengerjakan banyak hal. Terbiasa dengan kalimat prihatin, gurauan, bahkan bisik-bisik tetangga. Menjawab dengan senyuman, kalimat ringan, atau ikut tertawa. Tapi apakah Laisa seringan itu menghadapi fakta bahwa ia belum menikah-menikah juga? Dalimunte tahu persis jawabannya. Seperti malam itu, saat semua jatuh tertidur kelelahan lepas menyiapkan keperluan acara besok. Larut malam. Bintang Indah bertebaran di angkasa. Cerah. Lembah itu berpendar-pendar oleh cahaya bohlam lampu di bawah dan cahaya bintang di langit.

"Kak Lais belum tidur?"

Laisa menoleh, tersenyum. Dalimunte melangkah, mendekat. Laisa berdiri di depan bingkai jendela yang dibuka lebar-lebar.
"Bulan yang indah, bukan?" Kak Lais menunjuk ke atas.

Dalimunte mengangguk. Menelan ludah. Dia tahu, Kak Laisa tidak menghabiskan waktu setengah jam dini hari seperti ini hanya untuk menikmati menatap rembulan. Bersenyap seorang diri pukul dua pagi. Tentu ada banyak hal yang sedang dipikirkannya. Kalimat-kalimat tetatngga. Usianya yang sebentar lagi tiga puluh. Entahlah. Tapi Kak Laisa selalu ingin terlihat semua baik-baik saja di depan adik-adiknya. Sejak setahun lalu, Dalimunte ingin sekali menanyakan hal tersebut.
"Apakah kau menyukai Cie Hui?" Kak Laisa justru yang mendahuluinya bertanya. Muka Dalimunte memerah. Tersipu.
"Ergh, maksud Kak Lais?"
"Kata Yashinta tadi, Cie Hui bilang kalian tidak pacaran. Hanya teman dekat—"
Kak Laisa tertawa kecil.

"Aneh, bukan? Bagaimana mungkin gadis itu mau bermalam di sini tanpa hubungan penting di antara kalian?"
Dalimunte nyengir, mengusap wajahnya yang semakin memerah. Benar. Mereka belum sekalipun bilang soal perasaan itu. Mereka amat dekat, itu benar. Tapi ikrar saling suka itu belum terucap. Bagaimana dia akan melakukannya jika Kak Laisa belum?

"Cie Hui gadis yang cantik. Ia juga baik. Ia mudah sekali akrab dengan Mamak dan Yashinta." Kak Laisa bergumam, menatap wajah Dalimunte yang salah-tingkah,

"Dali, kau seharusnya tidak membuat Cie Hui menunggu lama—"


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 25

No comments:

Post a Comment