Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 22


22
GADIS TUA

TIGA TAHUN berlalu sejak panen pertama kebun strawberry yang sukses besar. Luas kebun itu mekar menjadi lima kali lipat. Mamak dan Kak Laisa dengan keleluasaan uang yang ada mulai membeli lahan-lahan di dekat kebun mereka. Mulai memperkerjakan remaja tanggung tetangga rumah untuk merawat batang-batang strwaberry. Wak Burhan dan tetangga lainnya, satu dua juga mulai menanami kebun mereka dengan strawberry, mencoba peruntungan, tapi mereka tidak setelaten Kak Laisa.

Tiga tahun berlalu sejak panen pertama. Usia Kak Laisa dua puluh tiga tahun. Dalimunte tujuh belas, menjelang ujian akhir di sekolah lanjutan pertamanya. Beranjak melewati masa-masa remaja tanggung. Dan seperti halnya remaja tanggung, Dalimunte mulai mengenal kata cinta dan romantisme. Serba tanggung. Ikanuri dan Wibisana juga beranjak remaja, sudah sekolah di kota kecamatan. Kelas satu. Umur mereka empat belas. Prospek sekolah di kota kecamatan benar-benar membuat perangai Ikanuri dan Wibisana berubah banyak. Itu artinya mereka bisa naik starwagoon setiap hari tanpa perlu diteriaki Mamak lagi. Dan yang lebih penting, tidak perlu disuruh-suruh kerja di kebun karena mereka baru pulang saat starwagoon itu kembali ke lembah menjelang senja.
Sementara Yashinta sudah menjejak kelas enam sekolah dasar.
Tubuhnya bongsor, sekarang lebih tinggi dibandingkan Kak Laisa. Yashinta tumbuh menjadi gadis kecil yang amat manis. Rambut panjangnya dikuncir rapi. Kulitnya kuning langsat. Ia terlihat amat berbeda di rumah panggung yang mulai diperbaiki di sana sini. Sementara Mamak rambutnya sudah mulai beruban. Kulit Mamak legam seperti Kak Laisa, karena terpanggang matahari saat mengurus kebun strawberry.
Tiga tahun berlalu, hari itu Mamak, Kak Laisa bersama-sama yang lain berangkat ke kota provinsi. Melihat Dalimunte mengikuti lomba karya ilmiah. Gedung serba guna universitas kota provinsi itu ramai oleh pengunjung. Dipadati oleh berbagai peralatan hasil rakitan. Ikanuri dan Wibisana entah dari tadi pagi menghilang kemanalah. Yashinta menggandeng Mamak, beserta Kak Laisa berjalan mengelilingi gedung. Melihat satu demi satu stand yang dipenuhi peralatan peserta lomba.
Mereka berdiri lama di depan rakitan Dalimunte. Kak Laisa mengerjap-ngerjap terpesona, "Bisakah kau menjelaskan ini sebenarnya apa, Dali?"
Dalimunte tersenyum, Kak Laisa selalu peduli dengan apa yang dikerjakannya. Selalu bertanya. Ingin tahu, meski kadang tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya Dalimunte jelaskan. Yashinta dan Mamak berdiri mendekat. Ikut mendengarkan. Tapi sebelum Dali sempat menjelaskannya, Ikanuri dan Wibisana mendadak masuk ke dalam stand. Berseru sambil menarik kuncir rambut Yashinta. Tangan Yashinta yang berusaha memukul tangan jahil Ikanuri malah menghantam rakitan Dalimunte. Pyar! Rakitan alat fermentasi buah strawberry itu roboh seketika. Berserakan.

"IKANURI, WIBISANA, bisa nggak sih kalian sehari saja tidak nakal?" Kak Laisa mendesis marah.
Wajah-wajah pengunjung lainnya tertoleh. Ingin tahu keributan yang sedang terjadi. Dalimunte pias melihat rakitannya roboh. Berusaha membenahi. Dibantu Yashinta setelah mengaduh kaget dan menimpuk Ikanuri dan Wibisana dengan gumpalan tisu.

Seorang gadis remaja tanggung dari kerumunan pengunjung ikut jongkok. Ikut membantu membenahi serakan logam dan kayu. Seketika muka Dalimunte yang pias memerah. Amat merah.

"Cie Hui? Kau... kau juga datang?" Berkata terbata.

Gadis tanggung berbilang enam belas tahun itu tersenyum manis. Wajah keturunannya juga merekah merah, tersipu, mengangguk. Dan Dalimunte sontak kehabisan kata. Cie Hui teman sekelasnya di kota kecamatan. Lihatlah, Dalimunte seperti anak-anak lain, tidak peduli sepintar apapun dia, tetap tumbuh menjadi remaja tanggung dengan segala dunianya. Setahun terakhir, Dalimunte mulai merasakan cinta monyet itu. Dengan segala perasaan-perasaan itu.

Kerusakan akibat kenakalan Ikanuri dan Wibisana tidak berakibat fatal. Rakitan Dalimunte toh sudah selesai dinilai. Ia kalah sebelas poin dari juara ketiga (yang berasal dari sekolah lanjutan atas). Tapi sepanjang perjalanan pulang, Ikanuri dan Wibisana yang jahil terus menggodanya soal Cie Hui. Dasar Dalimunte, semakin digoda, semakin terbukalah semuanya. Mukanya merah padam. Berkali-kali berusaha menghindar. Percuma. Bahkan Yashinta yang selama ini tidak pernah jahil, ikut-ikutan nyeletuk,

"Emangnya kakak sudah boleh pacaran, ya?" Membuat Mamak ikut tertawa.

"Apa kau menyukainya?" Kak Laisa bertanya saat mereko berdua di kebun strawberry beberapa hari kemudian.
Muka Dalimunte langsung merah padam.

"Kakak hanya memastikan, kau tidak perlu menjawabnya" Kak Laisa tersenyum simpul. Meneruskan memotong ranting-ranting batang strawberry yang menguning.
Hari-hari itu Dalimunte menyadari sesuatu. Dia memang menyukai Cie Hui sejak pertama kali mengenalnya. Cinta pertamanya. Tapi kesadaran itu mendatangkan pemahaman yang lebih besar, lebih penting: Kak Laisa.
Apakah Kak Laisa pernah jatuh-cinta sepertinya?

Kesadaran itu mencungkil berbagai potongan dialog yang dulu dianggap Dalimunte biasa-biasa saja. Berbagai percakapan tetangga. Amat tidak lazim, Kak Laisa yang sekarang sudah berumur dua puluh tiga tahun tapi belum menikah. Di lembah itu, rata-rata anak gadis menikah di usia delapan belas. Mamak dulu juga menikah di umur segitu. Tetapi Kak Laisa sudah dua puluh tiga, dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan segara menikah.

Gadis tua. Itu istilah yang disematkan ke perempuan yang lepas dua puluh belum juga menikah di Lembah Lahambay. Dalimunte menatap lamat-lamat punggung Kak Laisa. Hamparan kebun strawberry itu lengang. Beberapa pekerja sibuk mengurus batang-batang strawberry Beberapa menyusun polybag baru. Memasukkan pupuk kandang. Menyiapkan bibit. Gadis tua. Itulah isi percakapan tetangga selama ini. Dalimunte menelan ludah. Apakah Kak Laisa pernah jatuh cinta sepertinya? Apakah Kak Laisa tidak terganggu dengan bisik-bisik itu?


Inilah sebenarnya urusan paling pelik yang menyergap hubungan mengesankan kakak-adik di lembah indah itu. Gadis tua.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 23

No comments:

Post a Comment