Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 35


35
PERNIKAHAN KEDUA DAN KETIGA
SAYANGNYA, meski dengan semua pemahaman tersebut, dengan melihat sendiri semua kenyataan itu (menyaksikan kebahagiaan Mamak saat menggendong Intan), Ikanuri dan Wibisana sempurna mengulang kejadian sebelumnya. Mereka berdua membuat Wulan dan Jasmine menunggu lebih lama lagi. Tetap tidak ada kepastian. Padahal setiap jadwal pulang dua bulanan, Wulan dan Jasmine sekarang juga ikut pulang. Ikut menghabiskan hari di perkebunan strawberry. Menjadi bagian anggota keluarga.

Enam bulanberlalu. Tetap tidak ada tanda-tanda hubungan mereka akan melangkah ke tahapan yang lebih serius. Kak Laisa tidak hanya sekali mengajak bicara Ikanuri dan Wibisana, soal melintas, tentang tidak usah menunggu. Sudah berkali-kiili. Tetapi kedua sigung itu hanya mengangguk. Nyengir, lantas berkata ringan,

"Siapa pula yang akan menunggu Kak Lais? Kita hanya belum siap saja, kok. Kak Lais sok ditunggu sih!!"
"Usia kalian sudah lebih dari tiga puluh tahun. Sudah memiliki pekerjaan yang baik. Memiliki rumah. Sudah matang. Apa lagi yang kalian harus siapkan?" Kak Laisa ikut tertawa, kembali bertanya serius. Ikanuri dan Wibisana lagi-lagi hanya menimpali sambil bergurau. Yang justru sebenarnya malah menutupi masalah besar mereka berdua.

Dulu waktu kasus Dalimunte, mereka berdua sebenarnya tidak habis pikir bagaimana mungkin Dalimunte harus menunggu begitu lama hingga akhirnya mengambil keputusan. Mereka juga dulu begitu sebal saat harus mengantar malam-malam Cie Hui yang menangis pulang ke kota kecamatan. Tidak bisa mengerti mengapa Dalimunte yang jenius dan amat rasional bisa jadi sekeras kepala itu? Seolah-olah melemparkan seluruh akal sehat yang dimilikinya. Begitu sulitkah untuk mengambil keputusan melintas Kak Laisa?

Sekarang mereka sesungguhnya paham ternyata urusan itu memang tidak mudah. Setiap pulang dua bulanan, menyaksikan Kak Laisa yang tersenyum riang menggendong Intan. Membawa Intan mengelilingi perkebunan strawberry. Mengenalkannya dengan tetangga lain. Makan malam, meriah. Penuh tawa. Tapi di penghujung shubuh, menyasikan sendiri Kak Laisa yang berdiri di lereng lembah. Sendirian. Senyap. Melihat paradoks tersebut. Membuat mereka tidak pernah memiliki gambaran masalah yang utuh. Apa yang selama ini dirasakan Kak Laisa?
Apakah yang sesungguhnya Kak Laisa rasakan?
Ikanuri dan Wibisana tidak seberuntung Dalimunte dalam urusan ini. Mereka tidak memiliki mekanisme berbicara serius dengan Kak Laisa, seperti Dalimunte yang suka menemani berdiri di lereng perkebunan. Jadi enam bulan berlalu, yang terjadi hanya percakapan penuh gurauan, jawaban-jawaban ngarang, dan sebagainya. Tanpa kemajuan yang berarti.

Enam bulan lagi berlalu. Dua sigung nakal itu tetap tidak bisa mengambil keputusan. Justru sibuk mengingat-ingat masa lalu. Segala kebaikan Kak Laisa kepada mereka. Segala keburukan mereka kepada Kak Laisa, maka dua sigung itu makin ringkih dengan keputusan. Bagaimanalah mereka ekan membuat Kak Laisa dilintas untuk yang kedua dan ketiga kalinya sekaligus? Ya Allah, meski Kak Laisa terlihat baik-baik saja, meski Kak Laisa bilang ia memang baik-baik saja tapi mereka tidak akan tega melakukannya. Tidak setelah menyadari Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kecil dan renajanya untuk mereka.

Dalimunte akhirnya melibatkan diri dalam urusan tersebut. Memberikan banyak penjelasan. Menjawab banyak pertanyaan, tapi tetap tidak ada hasilnya. Yashinta dalam satu dua pembicaraan di ruang depan, juga ikut mendesak.

"Susah amat sih? Semakin lama tidak ada kepastian, nanti semakin banyak dosanya, tahu!" Nyengir. Ikanuri dan Wibisana hanya menatap datar Yashinta. Adik mereka belum merasakan sendiri betapa semua ini tidak mudah.
"Atau menunggu Kak Wulan dan Kak Jasmine dijodohkan seperti Kak Cie Hui dulu? Hati-hati loh, sekarang saja Kak Wulan dan Kak Jasmine sudah tidak bisa ikut ke perkebunan, bukan?"

Tertawa. Mamak dan Cie Hui juga ikut tertawa mendengar gurauan Yashinta. Ikanuri melotot sebal, tangannya seperti biasa terangkat. Malam itu Wulan dan Jasmine memang tidak bisa ikut pulang ke perkebunan. Ada acara keluarga.

"Eh, eh, lihat, lihat!" Yashinta berseru. Menunjuk Intan yang sejak tadi duduk menatap sekitar. Perlahan mulai berdiri. Perhatian di beranda berpindah. Menoleh.
" Aduh mau belajar jalan ya? Sini sayang, sini sama Tante Yash....
Kaki-kaki kecil Intan sedikit bergetar menopang tubuhnya.
Muka menggemaskan itu menyeringai. Mulutnya terbuka. Mata besar beningnya menatap sekeliling. Usia Intan hamir setahun, masanya belajar berjalan.
"Ayo, ayo..., Tang-ting-tung! Intan manis, ayo jalan.." Yashinta tertawa, berseru memberikan semangat Yang lain ikut tertawa.
Kaki Intan bersiap melangkah. Membuat percakapan soal Ikanuri dan Wibisana terlupakan. Wajah Mamak berseri-seri. Apalagi Kak Laisa. Ikutan duduk jongkok di sebelah Yashinta. Memberikan semangat.

Mata hitam besar Intan mengerjap-ngerjap. Sejenak. Dan seperti mengerti benar kalau ia sedang menjadi pusat perhatian, bayi kecil itu mendadak duduk kembali begitu saja. Nyengir lebar. Seolah-olah hendak berjalannya tadi hanya tepu-tepu. Membuat yang lain terdiam, 'kecewa' (meski kemudian tertawa). Sejak kecil Intan memang sudah begitu. Sok-jadi pusat perhatian.

Intan sudah benar-benar bisa berjalan ketika akhirnya Ikanuri dan Wibisana berhasil mengambil keputusan penting tersebut. Saat usia Ikanuri dan Wibisana hampir tiga puluh lima tahun. Bukan. Tentu saja bukan karena Wulan dan Jasmine akan dijodohkan orang tua mereka masing-masing,
Siang itu, Kak Laisa terbata menelepon adik-adiknya. Teknologi telepon genggam sudah tiba di lembah mereka. Dan mereka sudah memiliki enam nomor penting untuk keluarga. Waktu itu, Dalimunte terpaksa bergegas meninggalkan konvensi fisika di Kuala Lumpur, melupakan kalau presentasinya penting sekali untuk karir penelitiannya (dia baru saja mendapatkan gelar profesor). Bergegas terbang langsung ke Jakarta, Transit sebentar menjemput Cie Hui dan Intan, yang sudah pandai berlari.

Ikanuri dan Wibisana juga segera meninggalkan pekerjaan di bengkel mereka. Pulang. Kabar dari Kak Laisa mengkhawatirkan. Lupakan soal tender suku cadang salah satu perusahaan otomatif lokal. Nanti-nanti bisa diurus. Mereka harus segera pulang.

Yashinta yang sedang menyelam di Kepulauan Kaimana, Papua juga pulang. Membuat sebal kolega penelitiannya dari Inggris. Karena secara teknis, Yashinta yang menjadi guide riset tentang konservasi terumbu karang. Jadi kalau guide-nya pulang, siapa yang akan memandu mereka?
"Mamak sakit keras.... Pulang.... Kalian harus segera pulang.... Berangkat dengan pesawat pertama."
Hanya itu kalimat terbata Kak Laisa. Lebih banyak seruan tertahan, dan denting kecemasan. Maka mereka tidak perlu menunggu dua kali. Segera pulang. Bagaimanalah? Bukankah Mamak tidak pernah sakit selama ini? Mamak yang terlihat selalu kuat. Selalu sehat. Paling juga dulu-dulu hanya demam biasa. Sehari dua sudah membaik dengan sendirinya. Tetap mengerjakan banyak hal. Memasak gula aren. Menganyam anyaman rotan. Ke kebun. Membersihkan gulma. Hanya perlu di kerok dan berbekam. Sembuh. Bagaimanalah Mamak sekarang sakit keras? Itu enar-benar mencemaskan.

Mereka tiba di bandara kota provinsi hampir bersamaan. Ikanuri langsung mengemudikan mobil balap modifikasi yang diantar karyawan bengkelnya. Menuju rumah sakit kota
provinsi dengan kecepatan tinggi. Mamak dirawat di sana. Berlarian sepanjang koridor. Sejenak tidak mempedulikan Intan (yang teganya) malah puf di saat-saat penting tersebut Membuat bau tidak sedap dalam mobil balap Ikanuri.l Menerobos pintu paviliun.

Dan langkah-langkah mereka terhenti. Berdiri terdiam, berusaha mengendalikan nafas, di depan pintu ruang rawat Mamak. Lihatlah, Mamak terbaring lemah di atas ranjang. Pucat. Kak Laisa yang duduk menunggui berdiri melihat adik-adiknya datang.

Yashinta yang pertama kali menghambur. Memeluk Kak Laisa, bertanya cemas, berseru cemas, gemetar mendekat. Menatap wajah Mamak yang sedang tertidur. Dua belalai plastik membalut lengan. Peralatan medis yang berdesis pelan. Dalimunte ikut mendekat, menelan ludah. Ikanuri dan Wibisana kehilangan kata-kata. Hanya Cie Hui yang sibuk mengendalikan Intan (yang seperti biasa berseru-seru senang setiap kali melihat Wak Laisa dan Eyang Lainurinya, tidak peduli apakah yang dilihatnya lagi sehat atau lagi sakit)

"A-pa, a-pa.... Mamak baik-baik saja?"
Yashinta bertanya gugup. Gemetar berusaha meraih jemari Mamak.
Kak Laisa tersenyum, menenangkan, membimbing adiknya duduk di kursi. Mengangguk, "Masa kritis Mamak sudah lewat....Kata dokter Mamak sudah terkendali, sudah mulai membaik—"

Terlihat sekali bagaimana ekspresi wajah empat kakak beradik itu berubah. Dalimunte langsung mendekap Ikanuri dan Wibisana. Menghela nafas panjang. Tersenyum lega. Yashinta malah menangis. Tersedu. Wahai, rasa lega dan kebahagiaan itu dekat sekali dengan tangis. Kalian akan menangis karena perasaan lega yang luar biasa. Bagaimana tidak? Yashinta harus menanggung rasa cemas sejak dua belas jam lalu. Penerbangan langsung dari Sorong. Transit sebentar di Jakarta. Wajah Mamak dengan rambut berubannya terus terbayang di jendela pesawat, saat menatap biru lautan. Membuatnya mengaduh berkali-kali dalam perjalanan.

Yashinta menyeka pipinya. Menatap wajah Mamak yang tertidur pulas. Wajah itu masih pucat, tapi Kak Laisa benar, hela nafas Mamak sudah terkendali. Rona muka Mamak tenteram. Yashinta menciumi jemari Mamak. Mendekapnya ke pipi. Seperti tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya, padahal mereka baru saja pulang sebulan yang lalu. Dan Yashinta menangis lagi. Ia tadinya sungguh takut. Takut kehilangan. Dalimunte mendekap kepala adiknya. Menenangkan. Ikanuri dan Wibisana ikut menyeka matanya yang berkaca-kaca. Belum pernah mereka merasa begitu dekat dalam keluarga. Begitu mencintai satu sama lain. Dan begitu takut kehilangan satu sama lain.

Ya Allah,  mereka  sungguh  saling mencintai  karena Engkau.
Intan mendadak menangis kencang-kencang. Terlupakan. Gadis kecil itu sibuk protes. Menggerak-gerakkan pantatnya. Apalagi kalau bukan untuk membuat bau tak sedap itu menguar di ruangan rawat Eyangnya. Sibuk mencari perhatian.

Satu jam berlalu, Cie Hui membawa Intan ke pengalengan strawberry di kota provinsi. Ada penginapan karyawan di sana. Mengganti popok Intan yang super bau. Beristirahat. Yashinta meski tidak mau meninggalkan Mamak, meski memaksa tetap menunggui, menjelang malam ikut menyusul, ia terlampau lelah dengan perjalanan jarak jauh. Dan Kak Laisa menyuruhnya istirahat, "Mamak akan baik-baik saja Yash.... Kalau kau juga jatuh sakit, kau hanya akan menambah masalah—"
Sejak dulu Yashinta selalu menurut dengan Kak Laisa.
Menyisakan Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana di ruang rawat Mamak. Duduk di kursi plastik yang diberikan perawat. Dokter yang merawat Mamak ternyata mengenali Profesor Dalimunte, tertawa lebar, bahkan menawarkan ruang rawat terbaik di rumah sakit itu saat melakukan pemeriksaan jam sembilan tadi.
Senyap.
Ruangan rawat inap itu hening. Hanya menyisakan desis suara pendingin ruangan. Meski lelah, Dalimunte tidak bisa tidur. Juga Ikanuri dan Wibisana. Kak Laisa perlahan memperbaiki selimut Mamak. Lantas menatap wajah-wajah kusut adiknya. Tersenyum.
Menarik kursinya mendekati Ikanuri dan Wibisana.

Dua sigung yang  tidak kecil lagi itu
mengangkat
kepala. Menatap Kak Laisa yang
sekarang persis duduk di depannya.



"Ikanuri,   Wibisana..."   Kak
Laisa
berkata lembut menyentuh lengan adik-adiknya,
"Kita memang tidak akan pernah
tahu....
Tidak  pernah
bisa  menebak, menduga. Tetapi
suatu hari nanti, salah-satu dari anggota kelarga yang amat kita dntai pasti akan pergi. Siap atau tidak, suka atau tidak...."
Dalimunte mengusap wajahnya.

Menatap Kak Laisa. Tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan Kak Laisa. "Lihatlah.... Mamak sekarang tertidur nyenyak.... Begitu damai, begitu tenang, begitu babagia. Karena Mamak sudah amat bahagia dengan hidupnya. Memiliki kalian, sebagai anak-anaknya, adalah kebahagiaan terbesar yang tidak pernah dibayangkan Mamak. Mamak tahun-tahun terakhir amat bahagia nienghabiskan masa tuanya di perkebunan strawberry..."

Ikanuri dan Dalimunte menahan nafas. Tertunduk. Mereka juga tidak mengerti apa yang hendak dikatakan Kak Laisa. Tapi kalimat-kalimat itu menusuk. Kepergian dari anggota keluarga yang kita cintai?

"Ikanuri, Wibisana.... Kakak berkali-kali bilang, tidak baik membuat Wulan dan Jasmine menunggu terlalu lama.... Kalian tidak seharusnya menunggu Kakak. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok lusa.... Kalau kalian ingin pernikahan kalian masih sempat dilihat langsung Mamak, sempat disaksikan oleh Mamak, segeralah menikah...

Dengan kebaikan Allah, tentu saja Mamak akan segera sembuh. Esok lusa Mamak akan tetap bersama kita. Menghabiskan hari tuanya di perkebunan strawberry. Tetapi kalau kalian tetapkeras kepala menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi...." Kak Laisa terdiam sejenak. Menatap tulus wajah adik-adiknya.
Ruangan itu hening lagi.
"Kalau kalian tetap keras kepala menunggu Kakak, maka kalian mungkin akan kehilangan kesempatan membuat Mamak semakin bahagia di masa tuanya. Apa yang dulu sering Kakak katakan? Pernikahan kalian akan membuat rumah panggung kita lebih ramai. Anak-anak kalian sungguh akan membuat suasana terlihat berbeda. Lihatlah, Intan, meski tadi membuat suster ngomel-ngomel, tetap saja wajah imutnya menggemaskan, bukan...."

Kak Laisa tertawa Mengingat kejadian saat Intan nangis kencang-kencang tadi. Ikanuri dan Wibisana ikut tersenyum.
Malam itu, keputusan penting tersebut akhirnya diambil

Pernikahan kedua dan ketiga di keluarga itu terjadi sebulan kemudian. Mamak pulang dari rumah sakit setelah dirawat empat hari lagi. Meski masih lemah, tapi wajah Mamak sudah segar saat kembali. Sakit radang hatinya membaik dengan cepat

"Bagaimana mungkin Mamak sakit? Sakit hati pula. Bukankah selama ini Mamak selalu bahagia, meski kami bandel dan nakal? Ada-ada saja." Ikanuri bergurau. Membuat yang lain tertawa.

Ikanuri dan Wibisana kembali ke kota seberang pulau seminggu kemudian. Langsung meminang Wulan dan Jasmine. Mereka lagi-lagi melakukannya di saat yang bersamaan. Dengan cara yang sama pula, sama-sama hiperbolik (meski menyentuh), "Ayah, Ibu, aku tidak bisa menjanjikan banyak hal buat putri kalian. Aku tidak memiliki gunung harta seperti Kak Laisa dengan ribuan hektar kebun strawberry-nya. Aku juga tidak sepintar Profesor Dalimunte yang terkenal itu. Tetapi aku punya hati. Hati yang terlanjur mencintai Wulan (jasmine; saat Wibisana yang bicara dengan calon mertuanya).... Terima kasih banyak telah membesarkan putri kalian hingga menjadi begitu cantik, begitu menawan. Dengan segenap rasa. Ayah, Ibu, ijinkanlah aku meminangnya...." Membuat orang tua Wulan dan Jasmine berkaca-kaca (rumah mereka hanya berjarak dua blok). Meski besoknya saat keluarga mereka saling bercerita, terpaksa manyun satu sama lain karena baru tahu kalimat indah calon menantu mereka fotokopi satu sama l.iin.

Urung saling menyombong.


Ikanuri dan Wibisana memutuskan untuk menikah di hari yang sama. Di Lembah Lahambay, lembah indah mereka.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 36

No comments:

Post a Comment