Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 9

Saputangan

Aku dan Arai menerima surat pengumuman tes
beasiswa itu di Belitong. Dr. Michaella Woodward
yang memberi komentar pada pengumuman itu membuat
kami berbesar hati. Intinya, ia menganggap hasil riset kami
berpotensi melahirkan teori baru dalam disiplin ilmu kami
masing-masing. Karena itu Dr. Woodward meluluskan tes
beasiswa kami. Aku gembira, berbulan-bulan kutekuni buku
tebal yang runyam berjudul Financial Econometrics, sebelum
menyusun proposal risetku, ternyata ada gunanya. Namun,
aku tahu persis, kesuksesan proposalku bukan hanya
karena aku dapat mengaplikasikan teori ketidakpastian—
termasuk gerak Brown atau segala sebaran Gauss—untuk
memetakan interkoneksi telekomunikasi, namun karena
Motivation Letter-ku yang hebat luar biasa. Beginilah kutulis
motivasiku:
Akan saya sumbangkan seluruh ilmu dan pengalaman riset
yang saya dapatkan di Sorbonne demi kemajuan nusa dan
bangsa, demi tanah. tumpah darah saya! Tak berlebihan
saya sampaikan bahwa secara diam-diam, sebenarnya saya
telah lama bercita-cita ingin mencurahkan seluruh kemampuan
yang saya miliki, tak digaji pun tak apa-apa, demi
mengangkat harkat dan martabat umat manusia yang masih
terbelakang di negeri saya, negeri yang benar-benar saya
cintai dengan sepenuh jiwa ....
Aku yakin, kata-kata yang kusadur dari sebuah buku
berjudul Garis-Garis Besar Hainan Negara itu telah membuat
Dr. Woodward terharu hatinya dan tak menemukan alasan
untuk tidak memberiku beasiswa. Maka, bagi kawan
yang sedang menulis buku Tiga Serampai Tata Cara Memperoleh
Beasiswa Luar Negeri, kusarankan jangan lupa memasukkan
siasatku itu.
Andrea Hirata
Arai berusaha menghubungi Zakiah Nurmala—cinta bertepuk
sebelah tangannya itu—untuk pamitan. Zakiah pasti
menerima surat Arai, tapi tak sudi membalas. Seperti dulu
sejak SMA, perempuan itu tetap indifferent, tak acuh.
Baru kutahu ada orang yang ditampik hampir sepuluh
tahun tapi tetap kukuh berjuang. Arai tak pernah tertarik
pada perempuan lain. Zakiah adalah resolusi dan seluruh
definisinya tentang cinta. la telah menulis puluhan puisi
untuk belahan hatinya itu, telah menyanyikan lagu di
bawah jendela kamarnya, berhujan-hujan mengejarnya,
46
dan bersepeda puluhan kilometer hanya untuk menemuinya
lima menit. Zakiah tetap tak acuh. Mungkin Arai telah
diserang sakit gila nomor dua puluh enam: takbisa membedakan
diterima dan ditolak.
Sementara aku merindukan A Ling. Malam hari, aku
keluyuran, menjumpai para sahabat lama: dermaga dan
toko kelontong Sinar Harapan. Aku melamun di depan toko
yang telah diabaikan itu. Pintu pagar berdecit-decit ditiup
angin. Kuingat A Ling berdiri di balik pagar itu, tersenyum
padaku. A Miauw telah meninggal. Keluarganya terpecah
belah. Sejak meninggalkanku ke Jakarta waktu aku
SMP dulu, tak ada yang tahu kabar A Ling. la pergi, aku
merasa seakan semua makhluk di Belitong dinaikkan Nabi
Nuh ke bahteranya, aku tak diajak, hanya aku sendiri tak
diajak.
Mengetahui aku dan Arai akan pergi jauh, doa Ayah lebih
panjang dari biasanya. la bersimpuh terpekur. Jika kami
cium tangannya, ia menggenggam tangan kami kuat-kuat.
Kami tahu, sebagian hatinya ingin kami tak pergi. Kukatakan
pada Ayah, kami akan terbang enam belas jam dan transit
di Frankfurt. Ayah bersedekap, tercenung. Tak sedikit
pun kenyataan itu dipahaminya. Aerodinamika gelap baginya,
ia bahkan tak paham arti kata transit. Aku semakin
dekat dengan ayahku. Setiap hari aku mengakurkan jam
weker kenangan pensiun PN Timah untuk Ayah—setelah
47 EDENSOR
beliau bekerja di perusahaan itu hampir empat puluh tahun.
Jam serupa juga dihadiahkan PN Timah untuk kakekku
dan ayah kakekku.
Ayah baru pensiun. Mengherankan ia dapat bertahan
di tambang selama puluhan tahun. Ayah adalah seorang
family man. Sejak muda ia mengencangkan ikat pinggang,
bekerja membanting tulang. Seluruh hidupnya tercurah
hanya untuk istri dan anak-anaknya. Setiap tindak lakunya
hanya untuk memberikan yang terbaik pada keluarga.
Minggu pagi, kami bertolak ke Bandara Soekarno
Hatta naik Fokker 28 dari bandara perintis Buluh Turnbang
di Tanjong Pandan. Pagi yang amat pilu. Kami berpamitan,
Ayah menyerahkan bungkusan untuk kami.
"Buka jika telah sampai di sana," katanya. Ayah mengatakan
ia bangga aku mampu mencapai apa yang tak
pernah dicapainya. Aku bangga ayahku mengatakan itu,
karena itu berarti ia melihat dirinya dalam diriku.
Ayah melepas kami seperti tak 'kan melihat kami lagi.
Bagi beliau, Eropa tak terbayangkan jauhnya. Ayahku yang
pendiam, tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli
tambang. Paru-parunya disesaki gas-gas beracun, napasnya
berat, tubuhnya keras seperti kayu. Ia menatap kami seakan
kami hartanya yang paling berharga, seakan Eropa
akan merampas kami darinya. Air matanya mengalir pelan.
Aku memeluk ayahku, ayah yang kucintai melebihi apa
pun, tangannya yang kaku merengkuhku. Betapa aku menyayangi
ayahku.
Andrea Hirata 48
Pesawat kecil itu terangkat, dari jendela kulihat Ayah
melambai-lambai dengan saputangan, saputangan yang
dulu sering dipakainya untuk mengikat kakiku pada tuas
sepeda Forever-nya, supaya kakiku tak terjerat jari-jari ban.
Setiap sore aku dibonceng Ayah naik sepeda ke bendungan.
Dadaku sesak. Aku tahu aku akan merindukan laki-laki
pendiam itu. Kulihat lambaiannya sampai jauh, sampai tak

tampak lagi. Aku tersedu sedan.


Endesor - Bab 9

No comments:

Post a Comment