Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 11

John Wayne

Kereta meluncur melintasi Utrecht dan Dordrecht,
terus melaju keluar Belanda lewat Breda, langsung
ke kota kecil di pinggir Belgia, yaitu Brugge. Di sanalah akomodasi
kami. Dari penduduk Belgia yang separuh berbahasa
Belanda separuh Prancis, Brugge lebih Belanda. Kami
tiba di muka pagar besi sebuah rumah bertingkat yang berdesain
kaku dan berwarna hitam.
"Oke, sampai di sini, Kawan. Temui...." Famke membuka
sepucuk kertas. "Simon Van Der Wall. la landlord5
tempat ini. All set. Aku yakin kita akan berjumpa lagi."
Kami bersalaman.
"Senang sekali telah kenalan dengan kalian, take care."
Berat sekali berpisah dengan Famke. la telah menjadi
sahabat yang sangat baik. Sayang sekali ia harus mengejar
kereta terakhir kembali ke Amsterdam karena ada keperluan
mendesak.
5 Induk semang/pemilik kost—Peny.
Andrea Hirata
Aku dan Arai memasuki halaman dan tertegun di
depan pintu yang membingungkan. Diketuk berkali-kali,
tak direspons; diputar-putar gagangnya, terkunci; didorong-
dorong, macet. Dari kaca jendela, tampak beberapa
orang ngobrol di dalam. Mereka melongok lalu kembali
ngobrol karena tak kenal mereka merasa tak perlu membuka
pintu. Kami mafhum, ini negeri mind your own business!
Uruslah urusanmu sendiri.
Tak ada bel. Yang ada, di samping pintu, hanya deretan
kotak kecil, nomor-nomor lantai gedung, tombol-tombol,
speaker, dan label nama. Aku memencet tombol berlabel
Van Der Wall.
Ding dong, bel melengking.
Drreeeeeetttt ... disambut kumandang seseorang di
speaker.
"Oik! Hhrrgghh hoegnog nog geehhnn nog nog gog
ggghrhrhrh ..."
"Brghrrh... grrrrh ... oik! Oik!"
Secuil pun tak kupahami, disambung lagi.
"Grrhhh nog ikhh grrhhstgen grrrrrh ... oik!"
Pasti bahasa Belanda, karena seluruhnya dibunyikan
dari kerongkongan, berat seperti beruang menderam-deram.
Dreett itu meraung lagi, lalu sepi. Kupencet lagi, ding
dong... lembut bergema-gema.
Dreeeetttt!!
"Grrhhh nog!! Ikhh grrhhstgen grrrrrr!!!"
Pasti dia jengkel. Diam. Sepi lagi, kupencet lagi.
58
"Ghhirrr...!!"
Senyap. Kupencet lagi.
"Oiikkk!! Ghhhhrrrrrrrr!!"
"Mis ... Mister ... Mister Van Der Wall...?" Aku mendekatkan
mulut ke speaker.
"Ghhhhrrrrrrrh!!"
"Mister... Mister...."
"Ghhhrrrrr!!Ghhhhrrrrrr!!"
"Mister, English please ..."
Diam sebentar, dreeeeeeetttttttt... plus jeritan histeris.
"PUSH THE DOOR RIGHT AFTER THE BELL!"
Dreeeettttttttttttt....
Kami cepat-cepat mendorong pintu, terbuka. Rupanya
suara dreet yang tadi berulang kali melolong adalah
alarm kunci pembuka pintu. Kami tertawa. Sederhana saja
tampaknya perkara pintu ini, tapi inilah persentuhan pertama
kami dengan individualisme. Sikap Van Der Wall,
orang-orang yang ngobrol dan tak peduli meskipun tahu
kami terjebak di muka pintu, teknologi pintu itu, gedung
apartemen ini, sesungguhnya desain sosiologi orang Barat.
Di lantai tiga kami melihat pintu ditempeli pelat: Simon
Van Der Wall, MVgT, Building Manager. Kami mengetuk
dengan sopan dan masuk ke dalam ruangan. Simon
tinggi besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri
meja seperti burung pemakan bangkai menunggui
mangsa. Seluruh wajahnya disita oleh hidung bongkoknya.
Gayanya mengembuskan cerutu secara mencolok, sekali-
59 EDENSOR
gus menggelikan, jelas mencitrakan dirinya John Wayne.
Bukan baru sekali aku berjumpa dengan tipe seperti ini,
yaitu mereka yang masa remajanya tercekoki film macho
konyol John Wayne, lalu sepanjang hidupnya mati-matian
ingin seperti John Wayne. John Wayne wannabe istilahnya.
Semenit bicara dengan Van Der Wall, aku langsung menyesal
mengapa Famke buru-buru pergi.
"Saya sudah berulang kali mengonfirmasi kedatangan
kalian pada Jakarta, tak ada jawaban.
"Memang ada kamar kosong, tapi sistem di sini tidak
bekerja seperti ini.
"Impossible," tukasnya tanpa perasaan.
Kami tak diberi kesempatan berdalih.
"Ini hari Minggu, kebetulan saja saya ada di kantor.
Jika tidak, bahkan kalian tak bisa melewati pagar itu!"
Sikap Van Der Wall delapan derajat celcius, lebih dingin
satu strip dari suhu di luar. Kulihat Arai ingin marah
dan aku ingin mengatakan bahwa kami tak tahu harus ke
mana jika tak boleh tinggal di apartemen itu. Tapi kami
tahu sikap itu hanya akan membuat Van Der Wall memuntahkan
kata-kata yang lebih menyakitkan, misalnya: Itu bukan
urusanku! Silakan menggelandang di luar, itu urusan
kalian! Nasib kalian sial karena ketololan kalian sendiri!
Atau, begitulah cara kalian orang Indonesia bekerja! Tak
ada sistem! Tak bisa antisipasi! Tak efisien sama sekali!
"Tunggu sampai besok, hubungi Dr. Woodward. Kalau
administrasi beres, baru kalian bisa tinggal di sini."
Andrea Hirata 60
Dari jendela, kulihat lajur-lajur putih sepanjang jalan,
berkilat tepi-tepinya karena bentangan es. Butir-butir kecil
seperti terigu melayang-layang dari langit. Perutku naik menyundul-
nyundul ulu hatiku. Betapa kerasnya dunia setelah
ini.
Kami keluar ruangan, sempat kulirik Van Der Wall. la
mengawasi kami. Tubuhnya ia tumpukan pada tangan kanan
yang menekan ambang pintu, sedikit nungging, seakan
sepucuk pistol dan selempang peluru melilit pinggangnya.
Tangan kirinya mengayun-ayunkan cerutu. Seringainya seperti
ia baru saja menghalau cecunguk pelintas batas dari
Meksiko, John Wayne palsu! Tengik bukan main.
EDENSOR
Kami meninggalkan gedung yang tak bersahabat itu, terseok
memanggul ransel dan menyeret koper butut yang berat,
tak keruan tujuan, yang ada dalam pikiran hanya bagaimana
menyelamatkan diri dari sengatan dingin. Dalam rumah-
rumah persegi berjendela kaca, orang berkerumun di
ruang tamu, mengelilingi pohon natal, temaram, bersenda
gurau, tak mau jauh dari jangkauan pemanas. Di sini tak
bisa sembarang mengetuk pintu rumah orang. Pengalaman
dengan Van Der Wall sedikit banyak mengajari kami, dan
kami belum melapor pada pihak berwenang. Mengetuk
pintu dalam keadaan seperti itu sangat mungkin berurusan
dengan hukum. Motel tak tampak. Brugge sama sekali
bukan tujuan wisata.
61
Semua bangunan tertutup, tak seorang pun keluar rumah
dan tak ada kendaraan melintas. Kami tak tahu bahwa
semua orang bersiap untuk situasi gawat yang akan terjadi
malam nanti. Suhu akan drop secara ekstrem. Kami malah
mengobral diri, berkeliaran di alam terbuka, mengumpankan
diri pada taring iblis musim salju. Arai membeli lilin di
sebuah kios kecil yang kemudian langsung tutup.
Kami bergerak terus agar tak membeku. Pohon-pohon
menjadi putih. Jalan raya menyempit dilamun bongkahan
es. Atap-atap digelayuti timbunan salju.
Dari buku Collins World Atlas aku melihat Brugge tepat
berada di sisi North Sea (Laut Utara), laut terdingin yang
disarankan untuk dihindari selama winter (musim salju),
karena dinginnya berbahaya. Laut Utara adalah mainstream
laut es Artik di Kutub Utara. Jika winter tiba, bahkan burung-
burung red knox di Brugge melarikan diri ke pantaipantai
Italia.
Di ujung Jalan Oudlaan kami menemukan bangku taman.
Kami duduk di bawah naungan kanopi. Hujan salju
makin lebat. Sunyi, mencekam. Desis angin berubah menjadi
seribu mata lembing, menghujam tubuh kami yang
lapar dan kedinginan. Seumur hidup dijerang suhu dalam
kisaran tiga puluh empat derajat celcius, bahkan baru sehari
yang lalu di Belitong kami bermandi panas tiga puluh
sembilan derajat, kini kami menghadapi suhu yang bisa jatuh
sampai minus.
Malam merambat. Iblis es dari Kutub Utara gentayangan.
Mula-mula menggigit daun telinga, berdenging, lalu men-
Andrea Hirata 62
cakar-cakar pipi, dan menyerap ke dalam tubuh, menusuknusuk
tulang, membekukan sumsum. Kami terperangkap
suhu dingin yang terus merosot sampai sulit bernapas.
Pukul dua pagi, Arai mengeluarkan termometer, kami
terbelalak, suhu telah terjun ke titik minus sembilan derajat
celcius. Kami cemas karena sama sekali tak berpengalaman
dengan suhu seekstrem ini. Tak seekor hewan pun
tampak, semuanya berlindung di dalam liang, menyelamatkan
diri dari gempuran salju yang buas.
Semakin malam makin tak tertahankan. Embusan
uap es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae
di perbatasan Belanda, melesat bebas bersiut-siut, yang
menghalanginya hanya dua tubuh kurus anak Melayu yang
seumur hidupnya tak pernah berjumpa dengan salju. Gelap
mengerucut dililit dingin, suara alam lenyap terisap
angin, bahkan angin sendiri membeku.
Kami duduk berpelukan, lengket, mengerut, dan
menggigil hebat. Gigi gemelutuk seperti perkusi tulang, jemari
kisut dan perih. Tubuh gemetar tak terkendali seakan
diguncang-guncang. Dingin menyengatku sekejam sengatan
lebah yang paling berbisa, lalu kurasakan keganjilan dalam
diriku. Pandanganku berputar dan aku tak merasakan
kepalaku. Aku tak berkepala! Kemudian leherku tercekik.
Aku meronta-ronta. Inikah serangan maut pulmonary adema?
Arai menundukkan kepalaku, darah tumpah dari
rongga hidungku, merah menyala di atas salju yang putih.
Aku menghirup sedikit oksigen lalu kembali tercekik. Arai
membuka syalnya, melilitkannya di leherku.
63 EDENSOR
"Bertahanlah, Tonto!" jeritnya panik.
la membuka koper, mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya
berlapis-lapis di tubuhku. Jemariku biru lebam,
aku tersengal-sengal. Tiba-tiba Arai mengangkat tubuhku
lalu pontang-panting, terhuyung-huyung melintasi
timbunan salju setinggi lutut, menuju pokok pohon rowan.
Aku ditidurkannya di tanah, di bawah rimbun dedaunan
rowan. Mengapa Arai menidurkanku di tanah? Aku
makin menderita karena tanah telah menjadi balok es.
Aneh sekali kelakuan Arai. Apakah ia kalut dan menjadi
gila karena tahu aku akan tewas? Tindakan Arai makin ganjil.
Ia menimbuniku dengan daun-daun rowan.
"Apa yang kaulakukan, Ranger?"
Ia tak menjawab. Wajahnya cemas, mulutnya komat
kamit, matanya sembap. Ia terus menimbuniku dengan daun.
Aku tak dapat mencegahnya karena seluruh sendi tubuhku
lumpuh.
Arai menghiba-hiba, "Bertahanlah, Tonto! Jangan
pergi! Jangan takluk!"
Namun tubuhku makin lemah, lorong putih berkelebatkelebat
dalam pandanganku. Beginikah rasanya ajal? Kesadaranku
timbul tenggelam. Aku berusaha menguatkan diri, aku
tak mau mati! Tak mau mati konyol seperti ini di hari pertama petualanganku!
Aku masih ingin mengelana Eropa sampai ke Afrika,
aku mau kuliah di Sorbonne, aku belum menemukan A Ling!
Arai memelukku kuat-kuat, air matanya meleleh. "Bangun!
Bangun!" ratapnya putus asa.
Andrea Hirata 64
Aku tahu, sesuatu yang fatal akan menimpaku. Suhu
mungkin telah jatuh sampai minus belasan derajat. Aku tak
'kan tertolong. Detik demi detik merayap, lorong putih yang
berkelebat itu padam, gelap, senyap. Kemudian pelan, pelan
sekali, terjadi keajaiban. Hawa hangat yang halus berdesir di
punggungku. Daun-daun busuk yang ditimbunkan Arai ke
sekujur tubuhku seakan menguapiku. Arai melihat perubahan
itu, ia kembali menimbuniku dengan daun rowan.
Kesadaranku berangsur pulih, detak jantungku kembali normal,
sedikit demi sedikit kukumpul-kumpulkan lagi nyawaku.
Aku takjub menatap Arai, ia memekik girang.
"Humus! Humus, Kawan. Humus Pyrus aucuparia menyimpan
panas! Begitulah cara tentara Prusia bertahan di
musim salju! Apa kau tak pernah membaca buku sejarah?"
Aria kembali bersemangat menimbuniku dengan daun-
daun rowan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Untuk kesekian
kalinya, sejak kecil dulu, aku kagum akan beragam
ilmu-ilmu antik sang simpai keramat ini.
Arai menyalakan lilin dan membuka bungkus plastik
ikan teri sangon ibuku. Kami memanggang ikan mungil itu
dengan cahaya lilin. Inilah gala dinner kami di Eropa. Bau
ikan teri membangunkan keluarga tupai, kelinci, dan rakun
mapache. Suasana semarak karena makhluk-makhluk
itu jinak. Mereka mencicit-cicit gembira, pipinya gembil,
sibuk memamah biak ikan teri, rakus tapi lucu. Anak-anaknya
bermunculan dari liang hibernasi, malas, manja, dan
gendut-gendut. Beberapa ekor berdiri, seolah berkata, "Selamat
datang di Eropa, Pangeran Salju."
65 EDENSOR
Pagi sekali kami berjumpa orang-orang yang mengenakan
kaus bertuliskan kampanye beraroma diskriminasi
Belgy for the Belgium. Mereka tergopoh-gopoh, barangkali
ingin berangkat unjuk rasa. The Belgium, begitulah penduduk
asli Belgia menyebut diri mereka. Mereka sibuk berdemo
untuk mengusir imigran yang mereka anggap telah
merampok lapangan kerja. Salah satu dari mereka menunjuki
kami arah menuju Stasiun Brugge.
Hebat sekali kantor Uni Eropa, meraja di jantung kota
Brussel, kukuh berwibawa melambangkan supremasi
bangsa-bangsa Eropa. Arsitektur dasarnya seperti kuburan
juragan kaya Tionghoa, seperti tubuh yang ingin memeluk.
Maksud desain itu bukan hanya soal estetika, namun lengan-
lengan yang merengkuh taman berlantai granit itu
adalah rancangan untuk berlindung dari guncangan bom.
Selain sebagai lambang digdaya, gedung Uni Eropa juga

metafor paranoia, penyakit kronis orang Barat.



Endesor - Bab 12

No comments:

Post a Comment