Friday, September 25, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 11


11
LIMA KINCIR ANGIN

"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?"

Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan gambar-gambarnya.
Dalimunte mengangguk mantap.

"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?" Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.

Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan sebagai pembangkit listrik.
"Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."
Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.

"Tidak besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"

"Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan—" Pemuda yang lainnya menimpali, memotong,

"Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan? Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"
"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."

"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga kelas enam di sini selain kau...."
Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.

"Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan pipa-pipa—"
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas kampung...."

Mengeluh.
"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah membuatnya,"
Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan. "Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas—"

Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —

"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?" Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu.

Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin ramai terdengar.

Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir. Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk kampung seolah sudah pasrah dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah.
"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"
Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali. Membuat dengung lebah terdiam. Seketika.
Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu. Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya.
"Kita bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih kokoh."
Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.
Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama sekali tidak terlihat gugup.
"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— "

Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya. "Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—" Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.

"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu tinggi!"
Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR AIR. Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"

"Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah bertahun-tahun hanya menggantungkan nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari kebaikan hujan. Sudah saatnya kita
membuat irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat. Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh saat musim penghujan! —"
Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.

Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi, meski sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.

"Tidak ada salahnya, bukan?" Laisa menatap sekitar.

"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?" Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"

Kak Laisa berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk kedua kalinya. Menatap tajam.
Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik. Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.

Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.

Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa. Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.

Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di sampingnya. Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.
Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang.

Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika harus ada yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adik-adiknya. Bagi Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang umurnya.


Demi keempat adik-adiknya.


No comments:

Post a Comment