Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 16


16
SEJUTA KUNANG-KUNANG

BAGI penduduk di lembah itu, legenda tentang harimau Gunung Kendeng selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mungkin dulu sengaja dibuat begitu agar penduduk kampung tidak berani merambah wilayah berbahaya tersebut. Cerita itu juga dikisahkan ke anak-anak agar mereka tidak sejahil dan segampang Ikanuri dan Wibisana yang bebal justru melintasi sarang harimau. Atau setidaknya membuat anak-anak yang susah disuruh tidur dan banyak merengek segera beranjak naik ke atas dipan.

Alkisah, di lembah dan gunung itu, ratusan tahun silam bangsa harimau dan manusia hidup damai berdampingan. Penduduk lembah tidak mengganggu mereka, harimau juga sebaliknya. Itu perjanjian tak tertulis para leluhur. Hingga pada suatu ketika, masa-masa berdamai itu berakhir oleh sebuah kejadian. Salah seorang penduduk kampung yang berburu di dalam hutan tidak sengaja masuk ke wilayah terlarang. Entah apa pasal, pemburu itu malah menombak seekor anak harimau. Maka rusaklah perjanjian tersebut. Kelompok harimau meminta ganti rugi. Nyawa ditukar nyawa. Tapi penduduk kampung menolak. Mereka menolak menyerahkan pemuda yang melakukan kesalahan tersebut.

Kelompok harimau gunung memutuskan balas dendam. Maka terjadilah pertikaian. Lebih banyak lagi harimau yang mati terbunuh. Suatu malam, sekelompok harimau yang tersisa mengambil belasan anak-anak kecil dari kampung secara diam-diam sebagai ganti-rugi. Bertahun-tahun tidak ada yang tahu ke mana anak-anak itu menghilang. Sebagian bilang mereka berubah jadi harimau. Sebagian yang lain bilang dijadikan tumbal. Yang pasti sejak hari itu, manusia dan harimau di lembah dan gunung terus saling menyerang.

Atas kejadian itu, harimau kemudian disebut sang siluman, karena mencuri sembunyi-sembunyi anak kecil. Sejak hari itu juga, kata-kata puyang (atau kakek) disematkan kepada
harimau. Karena legenda itu mewariskan pemahaman bahwa harimau yang ada di puncak gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri.

Sejak delapan tahun silam, populasi harimau di Gunung Kendeng sebenamya semakin terdesak. Perambah hutan membuat mereka mulai tersingkir. Belum lagi harga kulit dan taring mereka yang mahal. Harimau Gunung Kendeng, diburu oleh kelompok-kelompok pemburu profesional dari kota provinsi. Dengan bedil. Perangkap besi. Legenda itu tinggal cerita belaka. Tinggal sebutan, nama-nama. Tidak ada penduduk yang menganggapnya serius. Masih disampaikan kepada anak-anak hanya agar mereka mengerti kalau gunung itu berbahaya. Tapi meskipun begitu, semua penduduk mengerti benar berapa pun jumlahnya sekarang harimau tetaplah binatang berbahaya.

Setengah jam berlalu dari kejadian hebat itu....

Setelah sepotong lereng gunung tempat tiga harimau tadi bersiap menerkam Ikanuri dan Wibisana kembali ramai oleh derik jangkrik, ramai kembali oleh serangga malam, Laisa menuntun adik-adiknya, pulang. Obor sudah padam. Tidak sengaja padam saat kejadian seru tadi. Tombak Dalimunte juga entah tercecer di mana. Terjatuh. Tidak ada yang sempat memikirkannya. Mereka berjalan pelan. Beriringan. Ikanuri dan Wibisana yang mulai bisa bernafas normal melangkah tertunduk di depan. Sementara masih banyak sekali pertanyaan yang menyesaki kepala Dalimunte.

Laisa tidak banyak bicara. Ujung tangannya masih berkedut sekali dua. Kakinya masih sering gemetar menopang tubuh. Sisa perasaan gentarnya tadi saat tiga harimau itu bersiap menerkam. Tapi karena ia ingin buru-buru pulang, agar Mamak tak terlalu lama menunggu, tak terlalu lama menanggung cemas, Laisa meneguhkan hati, membujuk kakinya agar berjalan senormal mungkin.

Menjelang larik jingga muncul di ufuk sana, menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat Wak Burhan dan penduduk kampung masih sibuk dan mulai putus asa mencari Ikanuri dan Wibisana, mereka tiba di gerbang hutan seberang dinding

Kerlip kunang-kunang lebih ramai di sini. Terbang berkelompok. Beranjak pulang ke sarang.

Langkah Laisa terhenti. Menatap cahaya mereka yang indah. "Ikanuri, Wibisana, Dalimunte...."
Berkata pelan. Langkah adik-adiknya di depan ikut terhenti.

"Lihatlah! Kunang-kunang yang indah—" Ikanuri dan Wibisana mengangkat kepalanya. "Suatu hari nanti...." Kak Laisa terdiam sebentar, ia tersenyum amat tulus sambil menatap wajah adik-adiknya di remang semburat merah langit, wajahnya sungguh kontras dengan mereka, ia berkulit hitam, sementara adik-adiknya putih, ia berambut gimbal, sementara adik-adiknya lurus,

"Suatu hari nanti, sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip cahaya lampu yang jauh lebih indah di luar sana, di luar lembah kita...
Satu kunang-kunang berdesing di depan mereka. Kepala Dalimunte tertunduk.
"Ikanuri, Wibisana, suatu saat nanti kalian akan melihat betapa hebatnya kehidupan ini....

Betapa indahnya kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah....

Kakak berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua ini terwujud...." Dalimunte menyeka ingusnya.
"Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...."

Dalimunte sudah menangis pelan.
"Kelak kalian akan melihat kerlip cahaya yang lebih indah...." Dalimunte sudah terisak.

Dia mengerti. Amat mengerti segalanya—

Juga di sini Ikanuri juga benar-benar menangis.

Lihatlah! Menara Eiffel terlihat cemerlang. Penghujung tahun begini.
Menara Eiffel bagai pohon natal raksasa. Kerlip berjuta lampu kota Paris yang tersaput selimut salju putih tak mau kalah, terlihat begitu mempesona. Seperti sejuta kunang-kunang. Menyeruak berpendar-pendar.

Ikanuri mendekap wajahnya. Umurnya sekarang tiga puluh enam. Wibisana tiga puluh tujuh. Kejadian itu lebih seperempat abad silam berlalu. Ya Allah, Kak Laisa, Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk mereka. Tidak sedikit pun. Seperti kalimat Kak Laisa pagi itu, Kak Laisa menunaikan seluruh janjinya. Tidak ingkar sekalipun. Tidak pernah....

Kereta eskpress Eurostar itu melesat membelah indahnya kota Paris. Semburat merah muncul di angkasa. Pagi datang menjelang. Membuat gemeriap lampu kota yang belum dimatikan terlihat begitu menawan. Kabut pagi menambahinya. Syahdu.

"Sudahlah, Ikanuri—" Wibisana mendekap bahu adiknya.

"Kau tahu.... Kau tahu, waktu itu aku mengatakan Kak Laisa bukan kakak kita. Kau tahu itu!" Ikanuri tersedak. Mendekap wajahnya. Dia tidak bisa menahan lagi perasaan itu. Dan melihatnya tertunduk menangis sungguh menyedihkan. Wahai, kalian akan lebih terharu saat melihat seseorang yang selama dikenal nakal, tukang jahil, bebal, atau apalah tiba-tiba menangis.

Sungguh.

"Kak Laisa tidak pernah marah dengan itu, Ikanuri." Wibisana mengusap bahu adiknya.
Ikanuri justru tersedan lebih keras. Itu benar sekali. Kak Laisa tidak pernah marah soal itu sedikitpun. Tidak pernah. Bahkan Kak Laisa tidak pernah mengungkit-ungkitnya lagi. Ya Allah, karena itulah dia merasa bersalah sekali. Menyesalinya sepanjang hidup. Dua puluh lima tahun berlalu, ketika takdir kehidupan yang lebih baik menjemput keluarga sederhana mereka di Lembah Lahambay, bahkan dia tidak pernah meminta maaf soal itu. Meski Kak Laisa sebenarnya sudah memaafkan detik itu juga di bawah pohon mangga tersebut. Tapi dia selama ini tidak pernah merasa harus meminta maaf. Bagainiana jika mereka terlambat dan tidak ada waktu lagi?

"Tolong.... Tolong sambungkan sekali Iagi ke Mamak—" Ikanuri menyeka matanya. Berusaha mengendalikan diri.

Wibisana mengerti. Mengambil HP di saku. Pelan menekan nomor HP Mamak Lainuri. Tadi berkali-kali mereka menelepon ke perkebunan strawberry, kata Mamak, Kak Laisa masih tertidur (atau begitulah yang dokter bilang). Mereka tidak ingin membangunkan Kak Laisa. Biarlah mereka akan menelepon lagi.
Suara tunggu itu bernyanyi satu kali. Dua kali. "Assalammualaikum...." Suara renta Mamak terdengar. "Waalaikumussalam..."

Wibisana menelan ludah suaranya bergetar, berusaha tersenyum. Tangannya yang satu lagi masih mendekap bahu Ikanuri, menenangkan.
"Kak Lais sudah bangun, Mak?—" "Sudah. Sebentar, anakku — "

Senyap. Suara Mamak yang bertanya pada dokter terdengar samar-samar. Handsfree. Dokter mengaktifkan handsfree, agar Kak Laisa bisa bicara meski sambil terbaring, "Silahkan, Pak Wibisana, Pak Ikanuri, kalian bisa bicara sekarang, tapi jangan lama-lama, Ibu Laisa masih dalam kondisi kritis. Silahkan,—" Dokter berkata dari seberang.
Ikanuri dan Wibisana justru terdiam. Menelan ludah. "Kak Lais—" Bergetar.

"I-ka-nu-ri?" Terbatuk.

"Itu kau di sana, Ikanuri?—" Samar suara Kak Lais terdengar dari speaker telepon genggam. Ikanuri seketika kehabisan kata-katanya, kecuali tangis.
Benar-benar kecuali tangis.

Satu minggu berlalu. Hari ini seluruh kampung bersuka-cita. Sejak shubuh mereka sudah berkumpul di pinggir cadas. Beramai-ramai, bergotong-royong memasang kincir-kincir di atas pondasinya. Benar, Perhitungan Dalimunte sejauh ini tepat. Saat ikatannya dilepas, kincir pertama yang terbenam di air sungai berderak mulai berputar mengikuti arus, sambil membawa air di ujung-ujung bumbungnya. Naik. Terus naik. Lantas tumpah persis di puncak kincir. Mengisi bumbung bambu kincir kedua. Kincir kedua pelan, mulai ikut berputar.

"NAIK! NAIK! NAIK!" Penduduk kampung berseru-seru. Wajah mereka tegang. Meski seringai yakin mulai terpancar di sana-sini. Kincir mereka kokoh, pondasinya kuat. Tidak akan ada yang salah. Susunannya tepat, konstruksinya baik. Percuma mereka punya jagoan pintar macam Dalimunte.
Kincir air kedua sedikit bergetar membawa air terus berputar. Naik ke atas. Tumpah. Mengisi bumbung kincir ketiga.
"NAIK! NAIK! NAIK!" Seruan penduduk kampung semakin meriah. Satu-dua anak kecil malah bertepuk-tangan. Macam nonton kumedi putar di kota kecamatan. Wak Burhan yang berdiri di depan kerumunan melepas topi anyaman rotan. Menyeka keringat di dahi, pertanyaan terbesarnya adalah apa cukup kekuatan air-air yang terus mengalir ke atas itu untuk memutar lima kincir air? Dulu saat mereka membuat kincir raksasa, masalah terbesamya air deras sungai tidak cukup kuat memutarnya.
Tapi kincir air yang ketiga justru berputar lebih cepat. Dalimunte sudah menghitung kemungkinan itu. Membuat kincir-kincir tersebut proporsional mengecil hingga ke atas. Menyusunnya dengan posisi lebih condong, lebih mudah digerakkan. Dia juga membuat klahar bantalan pemutarnya jauh lebih licin dengan gemuk yang dibeli Wak Burhan dari kota kecamatan.
"NAIK! NAIK! NAIK!"
Kincir keempat bergerak meyakinkan. "NAIK! NAIK! NAIK!"
Seruan semakin ramai. Yang membuat penduduk semakin yakin, sejauh ini air itu sudah naik empat meter, tinggal satu meter lagi. Tinggal satu kincir lagi.
Kincir kelima berderak sebentar. Pondasinya di dinding cadas bergetar. Membuat nafas tertahan. Bumbung bambu pertamanya menerima tumpahan air dari kincir keempat. Penuh.

Lantas pelan, mulai ikut berputar.

Dan akhirnya, air dari bumbungnya tumpah persis di atas cadas setinggi lima meter. Pinggir sungai itu buncah sudah oleh tawa-gembira. Seruan-seruan senang. Tepuk-tangan "Bah! Apa kubilang! Kita pasti berhasil!" Beberapa pemuda saling memukul lengan, tertawa. "Benar! Kita pasti berhasil!"
"Bukan main, kau hebat Dali!"
Yang lain mengangkat tubuh kecil Dalimunte. Mengaraknya ke tengah sungai. Tertawa lebih keras.
"CBYUR!"Terjatuh.Terpeleset bebatuan.Pemuda-pemuda itu basah kuyup. Juga Dalimunte. Tertawa lebih lebar.
Wak Burhan menghembuskan nafas lega. Engkau sungguh baik ya, Rabb. Menatap wajah Dalimunte yang tertawa-tawa, bangkit dari air sungai sedalam pinggang. Menatap wajah Lainuri yang berdiri bersama ibu-ibu kampung lainnya. Wajah Lainuri yang tersenyum lebar.
Menatap wajah Laisa yang tersenyum lebih lebar. Wajah Yashinta yang berdiri dengan teman-teman sepantarannya. Ikut berteriak-teriak riang meski mereka tidak mengerti benar.

Menatap wajah Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung bebal itu bersama anak-anak tanggung lainnya ikut melompat ke inang sungai, ikut menyirami Dalimunte dengan air. Tertawa-tawa. Benar-benar melupakan kejadian heboh seminggu lalu. Pagi ini, kabar baik memenuhi langit-langit lembah. Engkau sungguh pemurah, Rabb. Wak Burhan memasang topinya. Berteriak menyuruh mereka mulai bekerja. Hari ini mereka harus menyelesaikan sambungan pipa-pipa bambu sepanjang satu kilo. Dengan begitu, ladang-ladang mereka mulai bisa diairi. Dengan begitu, lepas panen bulan depan, mereka langsung bisa mengolah tanah lagi. Tidak perlu menunggu musim penghujan, Sekarang, nasib mereka berada di tangan mereka sendiri.

Tujuh puluh tahun tinggal di kampung itu, tidak pernah Wak Burhan merasakan antusiasme hidup yang begitu hebat. Meski baru seminggu lalu dia seperti kembali melihat hantu masa lalunya. Tapi itu tidak terjadi. Kecemasan kembali terulangnya kejadian delapan tahun silam tidak terbukti. Saat mereka benar-benar putus-asa, mulai berangsur pulang setelah lelah menelusuri hutan rimba, saat bersiap melaporkan kejadian itu ke polisi di kota kecamatan, saat tiba di balai kampung, Ikanuri dan Wibisana justru ditemukan sudah berbaring kelelahan, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha memberikan minum.

Laisa dan Dalimunte terbata menceritakan apa yang terjadi. Satu patah, dua kali helaan nafas. Mereka juga lelah. Naik turun Gunung Kendeng bukan urusan mudah, apalagi dalam situasi buruk seperti itu. Maka cerita mereka hingga kapanpun, mungkin tak akan pernah terlupakan. Mungkin berpuluh-puluh tahun ke depan tetap dikenang penduduk kampung. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, kenapa tiga harimau itu urung menerkam Laisa. Satu dua bilang mungkin harimau itu sudah kenyang, habis memangsa babi liar. Satu dua bilang harimau itu mungkin takut dengan obor api. Satu dua berseru, mungkin harimau itu lagi sakit gigi. Semakin dibicarakan, semakin ngaco seruan-seruan penduduk.

Malah ada yang menduga mungkin karena Laisa mewarisi Jurus Pesirah, ilmu silat mengendalikan harimau yang konon dulu pernah dikuasai leluhur mereka. Atau mungkin pula harimau itu takut melihat mata melotot Laisa, bukankah minggu lalu saat Laisa galak berseru-seru soal ide lima kincir di balai, pemuda kampung saja jerih melihatnya, nah, apalagi harimau itu. Entahlah. Laisa tidak banyak berkomentar, ia hanya bilang ia juga takut malam itu, tapi apalagi yang harus dilakukannya? Ia tidak punya pilihan selain melindungi adik adiknya. Tidak sempat berpikir panjang.

Hanya Dalimunte yang bisa memberikan penjelasan lebih masuk akal. Itu pun setelah Dalimunte sudah sekolah di kota provinsi, mulai tenggelam dengan kecintaannya atas buku-buku. Kata Dalimunte pada suatu kesempatan saat mereka berkumpul, berdasarkan buku-buku yang dibacanya, binatang meski tidak memiliki akal-pikiran tapi mereka memiliki insting, naluri. Perasaan. Mereka bisa menyayangi anak-anaknya, melindungi sarangnya, tahu kerabatnya sedang dalam bahaya, sakit, dan sebagainya. Sehingga mereka, meski tidak seintens manusia dalam menerjemahkan perasaannya, dalam kondisi tertentu, bisa mengerti binatang lain, bisa mengerti komunikasi perasaan dengan mahkluk yang tidak sejenis dengannya.

Itulah yang terjadi malam itu. Harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, meski selintas, meski sekejap, dari tatapan matanya ke Kak Laisa, ia akhirnya tahu betapa Kak Laisa mencintai adik-adiknya. Betapa Kak Laisa siap mengorbankan hidupnya demi adik-adiknya. Harimau itu mengerti. Lantas memutuskan pergi. Itu penjelasan Dalimunte kepada Intan yang beranjak sekolah dan sibuk bertanya saat mereka berkumpul bersama mengenang kejadian itu di perkebunan strawberry. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat Intan, Juwita, dan Delima terdiam, lantas menatap terpesona pada Wak Laisa.

Menjelang senja, saat matahari bersiap menghujam di balik puncak Gunung Kendeng, pipa-pipa bambu sudah tersambung rapi. Diperlukan 76 batang bambu untuk mencapai
ladang. Seperti tarian ular, air bening yang mengalir melewati pipa bambu membasahi ladang-ladang mereka. Bukan main, ini semua benar-benar kabar baik.

Wak Burhan setelah puas menatap air tumpah membanjiri ladang-ladang mereka, beranjak mengajak penduduk kampung pulang. Lembah mulai remang. Saatnya beristirahat. Esok masih panjang, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Dan malam ini, perjalanan panjang itu telah dimulai dengan perasaan lega. Menyenangkan. Hanya Ikanuri dan Wibisana yang merasa ganjil selepas pulang dari ladang. Karena tadi siang Wak Burhan menyuruh mereka memetik habis buah mangga di ladangnya. Membagi-bagikannya ke penduduk kampung yang sedang gotong-royong.

"Sayang, yang besar-besar minggu lalu rontok dimakan kelelawar harusnya itu jatah Yashinta—" Wak Burhan tersenyum memberikan sekantong buah mangga ke Yashinta.

Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik, merasa bersalah—


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 17

No comments:

Post a Comment