Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 30


30
PERJODOHAN – PERJODOHAN

"INTAN, ajak adik-adikmu!" Cie Hui berkata pelan.

Intan tak perlu disuruh dua kali, menggamit tangan Juwita dan Delima. Turun dari tempat tidur. Itu kamar mereka bertiga. Kamar terluas di rumah panggung perkebunan strawberry, lantai dua. Ada tiga tempat tidur yang berjejer di dalamnya. Dulu hanya satu ranjang besar, tapi karena Intan, Juwita dan Delima sibuk bertengkar saat tidur, sibuk saling memukul guling, Wawak Laisa menggantinya dengan tiga ranjang kecil. Masing-masing satu (yang tetap saja percuma, masih tetap sibuk saling melempar bantal sebelum tidur )

Shubuh sekali lagi datang di Lembah Lahambay. Semburat jingga tipis menghias garis horizon lembah. Semalam, lepas satu jam menunggui Wawak Laisa yang tertidur, Cie Hui menyuruh mereka beranjak tidur. Satu dua tetangga juga mulai pamit. Malam beranjak semakin tinggi. Pengajian Yasin di ruang depan dan surau dihentikan, besok disambung lagi. Penduduk kampung yang duduk-duduk di kursi halaman bertahan beberapa jam lagi. Bang Jogar menyuruh mereka pulang saat menjelang tengah malam.

Dalimunte menunggui Wak Laisa di kamar. Tertidur di kursi sebelah ranjang. Eyang Lainuri dibimbing Wulan dan Jasmine beranjak ke kamar. Tidur. Eyang Lainuri terlalu lelah. Sudah seminggu terakhir kurang tidur menunggui Kak Laisa bersama dokter dan perawat. Malam ini ia bisa tidur lebih baik. Dalimunte yang menggantikan berjaga. Kata dokter
selepas memeriksa seluruh status peralatan pukul sepuluh malam, Wak Laisa baik-baik saja. Semua fungsi tubuhnyn terkendali. Intan hanya menguap sok mengerti, sementara Juwita dan Delima sudah jatuh tertidur. Digendong Ummi masing-masing ke kamar besar di lantai dua.

Cie Hui menyerahkan tiga mukena kecil. Ketiga gadis kecil itu sudah kembali dari kamar mandi. Wudhu. Biasanya setiap jadwal pulang, paling susah membangunkan Juwita dan Delima. Mereka selalu saja pura-pura tidur, menaruh bantal di kepala, bergelung dibalik selimut, dan trik macam Abi nya dulu. Tapi pagi ini mereka bangun tepat waktu seperti yang lain. Menurut saat diajak Intan ke kamar mandi. Dan tidak banyak bicara saat mengenakan mukena (tidak jahil saling tarik, berisik). Wajah-wajah basah. Shalat shubuh. Dalimunte, Mamak Lainuri, dan yang lain sudah duduk menunggu.

Shubuh yang menyenangkan. Udara pagi terasa sejuk. Di surau entahlah siapa yang sedang mengumandangkan adzan. Tidak ada lagi suara keras Wak Burhan. Sudah sejak lama pula penduduk kampung dan anak-anak tidak perlu lagi membawa obor ke surau.
"Ummi, Wak Laisa shalatnya gimana?"

Juwita bertanya pelan sambil melipat mukena, selesai shalat. Kan, biasanya Wak Laisa ikut mereka, berjejer di sebelah Eyang. Biasanya juga selepas shalat Wak Laisa suka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi. Bercerita apa saja. Sekarang Wak Laisa kan sakit parah? Shalatnya pasti susah.
"Wak Laisa shalat sambil berbaring, sayang." " Emangnya boleh, ya?"
Juwita melipat dahi. Jasmine mengangguk. Meski kemudian pelan menghela nafas. Tentu Juwita sedikit kesulitan bagaimana membayangkan shalat seperti itu. Dan akan lebih susah lagi membayangkan bagaimana sulitnya Kak Laisa shalat dengan kondisi tubuh yang amat menyedihkan. Dibalut infus dan belasan belalai plastik.
Tetapi mereka benar-benar terkejut, saat beranjak ke kamar perawatan Wak Laisa. Lihatlah, Wak Laisa ternyata shalat sambil duduk. Bersandarkan bantal-bantal. Wajah itu pucat, terlihat lemah, dan sedikit gemetar, tapi matanya. Matanya terlihat begitu damai.
Wak Laisa shalat shubuh sambil duduk.

Selepas kejadian malam itu, Dalimunte tidak patah arang meski perjodohan dengan kakak kelasnya gagal total. Kak Laisa meski sekali dua bilang, Dali tidak perlu memaksakan diri mencarikan jodoh buatnya, mengalah. Membiarkan Dalimuinte yang justru semakin hari semakin terlihat semangat,
"Kakak sendiri yang bilang jodoh itu di tangan tangan Alloh. Hanya soal waktu. Jadi biarkan Dali terus berusaha. Semoga akhimya jodoh kakak datang." Kak Laisa hanya mengangguk.

Namun sepertinya semua upaya Dalimunte akan sia-sia. Kali ini Dalimunte memutuskan untuk tidak mengajak yang bersangkutan ke Lembah Lahambay sebelum memastikan banyak hal. Dalimunte memulainya dengan mencari seseorang yang dia pikir cukup baik dan memadai untut Kak Laisa. Menjelaskan Kak Laisa dengan baik dan lengkap Memperlihaikan foto. Terhenti. Proses itu diulang lagi. Mencari seseorang yang dia pikir cukup baik dan memadai untuk Kak Laisa. Menjelaskan siapa sebenarnya Kak Laisa dengan baik dan lengkap. Memperlihatkan foto. Terhenti. Mencari seseorang yang dia pikir cukup baik dan memadai untuk Kak Laisa...

Enam bulan berlalu. Tetap sia-sia. Belum ada hasil Proses itu selalu terhenti. Enam bulan berlalu lagi.
Sekarang giliran Yashinta yang lulus dari kuliah S1-nya. Kabar baik berikutnya di lembah indah mereka. Siang itu Mamak Lainuri, Dalimunte, Cie Hui, Ikanuri, dan Wibisana duduk di kursi baris terdepan. Berjejer. Menatap bangga Yashinta yang begitu cantik dengan toga wisudanya. Hari itu resmi sudah menjadi harinya Yashinta. Ia lulus dengan predikat cumlaude, terbaik. Menjadi wakil wisudawan saat memberikan sambutan.
"Untuk Mamak, yang setiap malam berdoa buat Yash dan kami.... Yang doanya mungkin saja telah membuat langit diaduk-aduk...." Gadis cantik itu mulai tersendat, ia tiba di penghujung sambutannya,

"Untuk Kak Dalimunte yang selalu menjadi teladan, mengajarkan proses belajar, mengajar, mengajarkan tentang ketekunan.... Untuk Kak Ikanuri dan Kak Wibisana yang meski nakal, selalu dimarahi Mamak, namun memberikan pemahaman ke Yash tentang menjalani hidup dengan rileks dengan indah" Gadis itu tertawa, menyeka matanya.
"Dan... dan..." Yashinta terdiam. Tersendat

Dalimunte yang tahu kalimat apa yang akan disampaikan Yashinta sekarang, menggenggam tangan Kak Laisa yang duduk di sebelahnya. Menatap wajah Kak Laisa yang juga menangis tertahan melihat Yashinta berdiri di panggung Wisuda.

"Dan untuk Kak Laisa...." Yashinta terbata, "Untuk Kak Laisa yang telah mengorbankan seluruh hidupnya demi kami... Yang selalu mengajarkan makna kata bekerja keras, bekerja keras.... Yang demi Yash, demi Kak Dalimunte, demi kami semua... dulu memutuskan berhenti sekolah.... Untuk Kak Laisa yang selalu menepati janji... tidak perah datang terlambat buat kami.... Kami, kami tidak akan pernah melihat Kak Laisa berdiri di sini, tapi bagi kami, Kak Laisa-lah yang selalu berdiri di sini...."

Aula besar itu lengang. Tidak ada yang tahu siapa sesungguhnya Kak Laisa. Apa perannya datam cerita yang disebutkan Yashinta. Tapi ucapan itu amat tulus, dari hati yang menjadi saksi langsung atas masa lalu tersebut. Maka sempurna sudah kalimat Yashinta membuat yang lain tersentuh. Menggantung di langit-langit ruang wisuda. Kak Laisa mengusap pipinya yang basah.

"Terima kasih.... Terima kasih karena Kak Lais dulu telah mengajak Yash melihat lima anak berang-berang itu.... Sungguh...." Dan Yashinta tidak kuasa lagi melanjutkan kalimatnya. Melangkah turun. Sedikit berlari menuju kursi Mamak dan Kak Laisa. Memeluk Kak Laisa dan Mamak erat-erat. Menciumi rambut gimbal Kak Lais.

Berang-berang itu selalu penting baginya. Enam bulan kenudian, Yashinta akan melanjutkan studi S2-nya di Eropa. Ia mendapatkan beasiswa penelitian konservasi ekologi, bahkan beasiswa itu ditawarkan saat Yashinta masih menulis tugas akhir kuliah Sl-nya. Kecintaannya atas alam tumbuh subur sejak melihat anak berang-berang tersebut. Dan sejak kecil Yashinta sudah belajar dari guru terbaiknya soal mengenal alam.

"Kalau dulu kita yang mengajak Yash ngelihat anak harimau di Gunung Kendeng, pasti tadi juga disebut-sebut, Ikanuri nyengir, tertawa kecil melihat Yashinta yang masih mememeluk Kak Laisa.

"Yap! Bisa jadi lebih lebih mengharu biru dari ini kalimat-kalimatnya. Harimau ini, kan. Lebih keren dibanding berang-berang."
Wibisana menimpali, dengan wajah sok serius Mengangguk-anguk.

Dalimunte menyikut dua sigung yang tidak kecil lagi itu. Tapi Mamak dan Kak Laisa ikut tertawa.
Benar-benar terlupakan masa-masa delapan belas tahun silam. Hari ini, Yashinta bukan gadis kecil berkepang umur enam tahun lagi. Saat ini umurnya sudah dua puluh empat, dan Yashim tumbuh menjadi gadis yang cantik menawan. Lihatlah, lepas prosesi wisuda itu, ada banyak sekali teman lelaki Yashin yang pura-pura mengajak foto bersama,

"Buat kenangan terakhir, Yash!" atau seruan ragu-ragu dari wajah merah mereka, "Ah-ya, boleh aku minta nomor teleponmu?" Yashinta hanya melotot.

Saat itu tidak ada yang tahu, kalau bertahun-tahun terakhir Yashinta amat membenci kelakuan teman lelakinya sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari perhatian jika wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa? Omong-kosong. Mereka tidak benar-benar menyukai dirinya.
Menyukai apa-adanya. Mereka hanya menyukai tampilan fisik dan wajah. Seperti seekor lebah tertarik atas indahnya kelopak bunga. Seperti seekor rubah yang tertarik pasangannya karena bau tubuhnya. Maka hewan-lah sejatinya perangai mereka. Beruntung, tidak ada yang terlalu memperhatikan tatapan benci Yashinta.

Perkebunan strawberry malam itu terang benderang.

Kak Laisa sama seperti saat kelulusan Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, merayakan kelulusan Yashinta di hamparan halaman rumah pangung. Mengundang tetangga. Semua berkumpul. Meriah. Meja-meja panjang tersusun rapi. Kursi-kursi dipenuhi wajah riang. Makanan terhampar.... Hingga pukul sembilan ketika anak-anak mulai lelah berlarian, ketika malam beranjak matang, keramaian mulai berkurang. Tetangga satu persatu beranjak pulang. Menatap Mamak dan Kak Laisa dengan tatapan kagum dan hormat. Lihatlah, anak-anak di keluarga ini berhasil menyelesaikan sekolah tingginya.Sarjana, Dalimunte malah lulusan S3, doktor, sekolah luar negeri. Tidak pernah terbayangkan, anak-anak yatim, yang sejak kecil ditinggal Babak karena mati diterkam harimau sekarang sudah besar-besar, berpendidikan.
Wak Burhan yang terlihat paling bahagia. Menebar senyum. Menepuk bahu Dalimunte berkali-kali, berkata lebar,

" Aku sudah menduga. Aku sudah menduganya dari dulu!"


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 31

No comments:

Post a Comment