Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 36


36
SAKIT PERTAMA
KALAU saja ada yang memperhatikan. Itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang paling terlihat. Tapi kebahagiaan yang melingkupi rumah panggung atas pernikahan 'kembar' Ikanuri dan Wibisana membuatnya seperti kejadian biasa-hiasa saja.

Bang Jogar, yang setahun terakhir sudah menjadi kepala kampung, sibuk meneriaki anak muda yang sedang mendirikan tenda-tenda. Sibuk membuat gerbang janur kuning. Batang pisang disusun rapi. Bertingkat. Menyusun pot-pot bonsai, Malah Bang Jogar yang meski tampangnya serius, sempat- sempatnya menyuruh mereka membuat tiga patung harimau dari janur di depan gerbang halaman rumput. Membuat yang lain tertawa. Bang Jogar sengaja hendak mengenang masa lalu itu.

Pagi-pagi di tengah semua kesibukan, Dalimunte sempat berpapasan dengan Kak Laisa di beranda rumah. Menyelak ibu-ibu dan anak gadis tetangga yang sedang duduk berbaris, menyiapkan makanan buat acara besok. Mengiris buncis. Memarut kelapa. Muka Kak Laisa terlihat pucat sekali, Dalimunte sebenarnya sudah hendak menegur, bertanya, tapi urung, ada rombongan pembawa panci di belakangnya, ingin lewat. Gulai opor mengepul. Membuat terlupakan.
Ikanuri dan Wibisana siangnya juga mencari Kak Laisa, bertanya tentang siapa saksi pernikahan mereka besok Tidak ada, Kak Laisa tidak ada di rumah. Di cari di bawah panggung tidak ada. Di tenda-tenda juga tidak ada. Mamak yang akhirnya menjawab, dengan suara berbeda, suara yang bergetar,
"Kakak kalian sedang ke kota kabupaten, membeli kekurangan bumbu dapur, ayam, dan perlengkapan lainnya — "
Ikanuri dan Wibisana hanya mengangguk, itu biasa terjadi. Selalu Kak Laisa yang belanja, menyiapkan keperluan pernak-pernik acara. Dalimunte akhirnya menunjuk Bang Jogar menjadi saksi.

Sore harinya, saat matahari tumbang di barat sana, senja membungkus lembah, Kak Laisa baru pulang dari kota kabupaten. Tidak ada bungkusan belanjaan, tidak ada barang-barang bawaan, mukanya pucat,

"Biar, biar aku berjalan sendiri—" Berbisik lemah pada sopir pengalengan strawberry. Melangkah masuk ke halaman, tetap tersenyum menyapa (dan disapa yang lain). Bahkan Dalimunte yang sedang bicara soal detail acara besok lalai untuk mengenali ada yang ganjil. Kebahagiaan dan kesibukan sepanjang hari membuat semuanya terbungkus kabut.

Tidak ada yang tahu kalau Kak Laisa tadi pagi terbatuk berkali-kali di kamar mandi. Bercak darah keluar bersama dahak. Tubuhnya melemah. Gemetar memanggil Mamak itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang paling terlihat. Mamak hendak memanggil Dalimunte.
"Tidak, Mak.... Jangan beritahu mereka. Jangan. Ini akan mengganggu kebahagiaan Ikanuri dan Wibisana.... Bagaimana mungkin mereka harus melihat aku sakit di hari sepenting ini—" Kak Laisa tersenggal menarik nafas.

Mamak menatap sulungnya lamat-lamat. Menggenggam tangan Laisa erat-erat. Mata Mamak yang keriput berdenting air mata. Ia tahu persis. Sejak sulungnya masih belasan
tahun. Sejak sulungnya bersumpah untuk selalu terlihat baik-baik saja di hadapan adik-adiknya, maka Laisa bersungguh-sungguh dengan sumpahnya. Mamak tertunduk, menyeka bercak darah di baju Laisa. Urung memanggil Dalimunte.
"Tapi kau harus segera ke dokter, Lais—"

"Tidak usah, Mak. Tidak sekarang.... Mereka akan bertanya-tanya kalau aku tidak ada di rumah...."
Laisa menggeleng. Dan bukankah ia selalu ada ketika adik-adiknya perlu selama ini?

"Kau harus ke dokter, Lais.... Lihatlah darah ini...." Mamak menelan ludah, menatap getir bercak darah di baju Laisa.
Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam berangkat ke kota kabupaten. Diantar sopir pengalengan strawberry. Ke rumah sakit. Sempat pingsan di ruang ICU, karena ia terlalu lemah. Membuat sopir pabrik pengalengan yang mengantar bingung tujuh keliling, gugup, gemetar hendak menelepon Dalimunte, tapi pesan Laisa di mobil sebelum mereka turun membuat dia takut melakukannya. Dua jam dirawat di ruang Gawat darurat, dengan semangat sembuh yang sungguh mengagumkan, memaksa seluruh bagian tubuhnya menurut, Laisa mulai membaik,

"Aku harus pulang, Dok. Tidak ada pilihan lain. Besok Ikanuri dan Wibisana menikah, bagaimana mungkin aku tidak di sana?" Laisa menggeleng tegas saat Dokter memaksanya untuk dirawat inap. Laisa benar-benar memaksa tubuhnya menurut. Ia pulang sore itu juga. Dengan muka masih pucat. Dengan tubuh masih lemah. Menggunakan sisa-sisa tenaganya. Berseru lirih di senyapnya mobil membelah jalanan menuju perkebunan,

"Ya Allah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu, hamba mohon kokohkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra saat berlarian dari Safa- Marwa....

Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak boleh melihat aku sakit..."
Satu titik air mata mengalir di pipinya.

Itu juga doa Laisa ketika menerobos hujan badai saat Yashinta sakil, ke kampung atas, ketika kakinya bengkak menghantam tungul kayu. Ketika sendi mata kakinya bergeser. Itu juga doanyna di Gunung Kendeng. Itulah doa yang paling disukai Laisa. Doa-doa itu mengukir langit.
Energi pengorbanan itu sungguh luar biasa (untuk tidak mengharukan), jika kalian bisa melihatnya seperti nyala api, maka mungkin energi itu bisa membuat terang benderang seluruh Lembah Lahambay. Malam itu Kak Laisa sudah kembali riang bersama yang lain. Duduk di beranda depan, membuat kue kecil-kecil bersama tetangga. Intan duduk manis di pangkuannya. Satu kue untuk Intan, Satu kue masuk toples. Kak Laisa tertawa lebar.
Mengusir fakta kanker paru-paru stadium satu.
Ikanuri dan Wibisana menghabiskan masa bulan madu mereka di perkebunan strawberry. Baru selepas itu kembali ke kota seberang pulau. Mengurus bengkel. Kak Laisa memberikan modal tambahan untuk mulai membangun pabrik suku cadang mereka. Berpesan agar mereka tidak terlalu sibuk dengan bengkelnya, hingga mengurangi perhatian ke istri masing-masing.

Dalimunte kembali ke ibukota lepas satu minggu dari acara pernikahan. Intan menyeringai riang, melambaikan tangan ke Wawak dan Eyangnya,
"Da-da-" Dan kemudian menangis kencang-kencang di mobil. Ia sih tidak mengerti kalau da-da itu maksudnya lambaian perpisahan. Dikiranya hanya da-da doang. Memaksa balik kembali ke perkebunan strawberry. Tapi Dalimunte dan Cie Hui hanya tertawa. Sejak kecil Intan selalu paling semangat pulang ke lembah. Di sana ia benar-benar menikmati memiliki Wawak dan Eyang yang baik hati. Yang selalu membelanya, meski ia nakal minta ampun.

Yashinta pulang dua hari kemudian. Ia sudah bekerja di lembaga konservasi, Bogor. Mulai melibatkan diri di berbagai riset, program perlindungan, dan sebagainya tentang alam sekitar. Ia juga sudah menjadi koresponden foto majalah National Geographic. Sudah punya
berbagai gagdet canggih, termasuk telepon genggam satelit dan kamera dengan lensa super zoom-nya..

Hari-hari itu, usia Kak Laisa sudah 43, Dalimunte 37, Ikanuri menjelang 35, Wibisana 34, dan Yashinta 31 tahun. Sebenarnya kekhawatiran Ikanuri dan Wibisana soal melintas berlebihan. Tidak ada lagi tetangga yang sibuk bertanya kapan Kak Laisa akan menikah saat pernikahan kembar itu berlangsung. Mereka sudah terbiasa. Juga tidak ada lagi yang menilai Kak Laisa dilintas untuk kedua dan ketiga kalinya sekaligus merupakan aib besar. Tetangga kampung sudah menerima kenyataan itu. Tidak sibuk bisik-bisik. Jadi meski tak ada Wak Burhan yang mengingatkan, pernikahan kembar itu berjalan normal.

Setelah yang lain kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing, rumah panggung itu kembali sepi (dalam artian yang berbeda). Menyisakan Kak Laisa dan Mamak. Entahlah apa yang sesungguhnya berkecamuk di kepala Kak Laisa di tengali sepinya malam. Di tengah senyapnya lereng perkebunan strawberry. Tidak ada yang tahu. Dengan berita kanker paru-paru stadium satu yang ia tutup rapat-rapat kecuali dengan Mamak, maka benar-benar tidak ada yang tahu apa yang selalu Laisa pikirkan saat menatap tangit penghujung malam. Menatap bulan dan gemintang di Lembah Lahambay. Apakah memang sesederhana yang selalu ia sampaikan kepada Dalimunte: Ia sudah terbiasa dengan kesendiriannya.

Dalimunte tetap berusaha mencarikan jodoh buat Kak Laisa. Tapi tiga tahun terakhir intensitasnya tidak setinggi sebelumnya. Kak Laisa belakangan sepertinya tidak lagi terlalu bersemangat menanggapi pembicaraan tersebut. Hanya tersenyum. Tidak berkomentar. Dan celakanya, meski dengan konteks berbeda, lagi-lagi kejadian menyakitkan itu terulang.

Perjodohan yang gagal lagi.
Setahun selepas pernikahan Ikanuri dan Wibisana, Kak Laisa didekati seseorang. Seseorang yang terlihat begitu baik, warga baru lembah, mengaku pensiunan dini tentara, pindah untuk mencari ketenangan di lembah. Tinggal di kampung mereka, lantas setelah enam bulan berinteraksi dengan penduduk lembah, bilang merasa tertarik dengan Kak Laisa. Usianya sudah 55 tahun, berbeda sebelas tahun dengan Kak Laisa, penuh perhatian, seolah-olah bisa menerima keterbatasan Kak Laisa apa adanya.

Dalimunte awalnya sudah tidak suka dengan orang itu. Apalagi Mamak (yang mengingatkannya pada masa lalu). Juga yang lain. Yashinta malah terus terang kasar menyatakan keberatannya di depan orang tersebut. Semua terlihat terlalu sempurna. Terlalu banyak kebetulan. Dan terlalu lainnya. Tapi mereka tidak bisa mencegah proses itu. Apalagi meski Kak Laisa tidak terlalu bersemangat menanggapinya, proses itu terus mengalir seperti air. Semakin hari semakin dekat. Mulai mengajak bicara Mamak. Dan pelan tapi pasti rencana pernikahan itu mulai serius.

Beruntung. Kedok orang tersebut terbuka sebelum semuanya terlanjur kadung. Polisi dari kota provinsi menangkapnya. Dia penipu. Buronan. Sudah dua kali menipu di tempat lain. Menikah hanya untuk menguras harta istrinya. Pura-pura tertarik dengan Kak Laisa hanya untuk menguasai perkebunan strawberry.
Entahlah apa ending seperti ini kabar baik atau kabar buruk bagi Kak Laisa. Yang pasti sejak kejadian tersebut, Kak Laisa mulai enggan menanggapi pembicaraan perjodohan dengan Dalimunte. Ia seperti sudah mengubur dalam-dalam keinginan untuk menikah. Melupakannya. Kak Laisa seolah sudah bersiap menerima kalau ia memang ditakdirkan hidup sendirian selamanya.


Mungkin saja Kak Laisa sudah benar-benar terbiasa.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 37

No comments:

Post a Comment