Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 41



41
MASA - MASA BERBAIKAN

"BAGAIMANA kabar bayi-bayinya?" Goughsky bertanya, suaranya pelan. Sengaja, biar tidak mengganggu pengamatan. Berdua berdiri di atas menara intai setinggi dua belas meter. Ada sepuluh menara seperti itu di Taman Nasional Gunung Gede, masing-masing berjarak seratus meter. Menyeruak di tengah-tengah rimba, di atas kanopi pepohonan. Dibangun dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko. Tempat yang paling tepat untuk mengintai elang jawa.

"Apa?" Yashinta menoleh. Meski suaranya juga pelan, tapi intonasinya tetap ketus. Ia sebal sekali, setelah cuti dua minggu yang menyenangkan di perkebunan, saat kembali ke basecamp, siang ini, di jadwal pembagian tugas mengintai mereka tertulis: Goughsky &
Yashinta, menara 9. Itu pasti kerjaan rekan peneliti lokal yang bertugas menyusun jadwal. Sengaja benar. Lihatlah, dari beberapa menara di kejauhan, beberapa kolega peneliti melambai-lambaikan tangan. Tersenyum. Mengacungkan jempol. Terlihat jelas wajah puas mereka dari teropong.

"Apa kabar bayi-bayinya?" Goughsky tersenyum, mengulang pertanyaan.

"Baik!" Yashinta menjawab pendek. Menyeringai. Sejak kapan mahkluk setengah bule setengah melayu ini bertanya soal pribadi? Sambil tersenyum pula? Yashinta mendesis sebal dalam hati. Itulah tabiat keras kepala, jelas-jelas sejak dulu Goughsky selalu peduli dengan anggota timnya, dan selalu tersenyum saat bicara.
"Pasti salah satu nama anak itu Delima, bukan?" "Bagaimana kau tahu?" Yashinta melipat dahinya. Goughsky tertawa pelan, mengangkat bahu,

"Yang memberikan nama pasti Laisa, kan? Anak Profesor Dalimunte kalau tidak salah, Intan. Jadi mudah ditebak, Laisa sejak awal sengaja memberikan nama-nama batu permata ke mereka!"

"Kau tahu dari rnana anak Kak Dali bernama Intan?" Yashinta benar-benar melipat dahinya. "Ssst!" Goughsky menyuruhnya diam. Dari kejauhan terlihat seekor burung terbang rendah. Teropong-teropong terangkat. Juga milik peneliti di menara lainnya. Bukan. Itu bukan elang jawa.
"Dari mana kau tahu Kak Laisa? Kak Dali? Intan?"
Yashinta melepas teropongnya. Bertanya sekali lagi. Menyelidik.

"Loh, bukannya kau sendiri yang sering menceritakan mereka? Keluarga di lembah indah itu? Sibuk bercerita saat makan malam, makan siang, sarapan. Di mana saja. Membuat yang lain pekak mendengarnya. Tentu saja aku tahu—"

"Tapi, tapi aku tidak bercerita untukmu." Yashinta memotong, seperti biasa ngotot. Goughsky hanya tertawa, menatap Yashinta lamat-lamat. Yang bagi Yashinta tatapan itu

sama saja seperti kemarin-kemarin: merendahkan, menilainya anak kecil yang keras kepala. "Yash, aku tidak tahu mengapa kau sebenci itu kepadaku.... Aku tadi kan hanya bertanya baik-baik, apa kabar bayi Ikanuri dan Wibisana? Kau tidak perlu ketus, bukan?"
"Siapa pula yang ketus?" Yashinta menyergah.

Goughsky menghela nafas. Sudahlah. Memasang teropongnya. Kembali menyapu langit hutan Gunung Gede. Penelitian mereka sudah separuh jalan. Sudah berhasil menginventarisir jumlah populasi elang langka tersebut. Bulan depan sudah mulai masuk ke fase lebih penting. Menyiapkan system perlindungan. Mulai dari pemetaan area konservasi, sosialisasi kepada penduduk setempat, hingga kemungkinan mengembang biakkan burung itu di luar ekosistem hutan ini. Membawa beberapa pasangan ke kebun binatang yang lebih maju misalnya.

Hingga sore, tidak ada satupun elang jawa yang teramati dari menara 9. Nihil. Bagaimana akan dapat? Jika Yashinta hanya sibuk menyumpah-nyumpah dalam hati. Yashinta ingat sekali, pertama kali menara itu didirikan, Goughsky memberikan latihan tentang insting, bagaimana menemukan elang-elang itu:
"Kita tidak menemukan mereka.... Merekalah yang akan menemukan kita.... Berlatihlah mengenali objek dengan baik. Mengenali ciri-ciri fisik elang jawa dengan sempurna. Kesempatan melihat mereka terbang di langit hanya beberapa detik, dan kita tidak mau menjadi orang paling tolol karena ragu-ragu apakah itu elang jawa atau bukan. Kecuali kalian bisa menyuruh elang itu untuk pose di langit sana, lantas kalian mencocokkannya dengan gambar di buku—"
Yang lain sih tertawa, asyik mendengarkan Goughsky dengan tatapan terpesona. Yashinta hanya menatap sebal. Ia tidak perlu diajari soal itu. Sejak kecil ia terlatih di hutan. Belajar langsung dari ahlinya. Tahu apa coba mahkluk setengah bule ini soal rimba?
"Tentu saja aku tahu, aku dibesarkan di hutan salju Uzbekistan. Sendirian. Yatim piatu. Menghadapi kerasnya belantara. Umur dua belas tahun aku harus berkelahi dengan beruang salju raksasa. Memitingnya dengan tangan ini."

Goughsky tertawa menjelaskan, sambil menunjukkan lengannya yang kekar. Saat itu mereka sedang menemukan jejak beruang di lereng Gunung Gede. Menjawab pertanyaan kolega peneliti lokal yang bertanya itu jejak apa.

Yang lain lagi-lagi terpesona. Dan Yashinta lagi-lagi menatap sebal. Itu pasti bohong. Bule sialan ini sengaja memancing-mancing emosinya, karena semalam di basecamp, Yashinta menceritakan kejadian Kak Laisa dan tiga harimau di Gunung Kendeng. Mahkluk setengah-setengah ini pasti tidak mau kalah dengannya. Mengarang cerita-cerita menyebalkan itu.

"Hati-hati, Yash! Itu sarang landak, biasanya ada sisa durinya." Goughsky sigap menarik lengan Yashinta.
"Aku tahu!" Yashinta yang melamun, menjawab pendek. Menarik kakinya yang terlanjur melangkah.
Senja membungkus lereng Gunung Gede. Garis horizon terlihat merah. Kabut turun melingkupi. Dingin. Mereka beriringan berjalan menuju basecamp. Kembali dari menara 9. Yashinta memperbaiki syal di leher. Menyibak belukar di sebelahnya. Menghindari sarang landak itu. Berdiam diri sepanjang jalan. Diam-diam berpikir. Yang itu sebenarnya ia tidak tahu. Bahkan Yashinta tidak yakin apakah Kak Laisa bisa mengenali sarang landak hanya dengan melihat selintas di tengah remang senja seperti ini? Melirik ke belakang Goughsky terlihat melangkah santai. Mata birunya terlihat indah di remang senja.

Yashinta buru-buru menoleh ke depan lagi.

Kemajuan proyek konservasi elang jawa mereka sejauh ini menggembirakan. Mr dan Mrs Yoko datang di bulan ke sembilan. Kunjungan selama seminggu. Langsung membawa helikopter pribadi mereka. Pasangan itu terlihat senang memperhatikan foto-foto, peta area konservasi, rencana program sosialisasi, dan sebagainya.
"Kemajuan yang baik, very well.... Awalnya aku cemas kalian akan lebih sering bertengkar dibandingkan mengerjakan proyek ini, my dear." Mrs Yoko menyentuh lembut lengan Yashinta.

"Tidak. Tentu saja kami tidak sibuk bertengkar. Kalian tahu, Yash ternyata bisa diandalkan....

Ia bisa menjadi sekretaris proyek yang baik. Ia pandai sekali kalau urusan catat-mencatat." Goughsky yang menjawab. Sambil tertawa.
Yashinta ikut tertawa.

Dua bulan terakhir, meski ia masih sering bertengkar dengan Goughsky, sering menjawab ketus, tapi ia mulai terbiasa. Seperti batu yang terkena tetesan air, keras kepalanya mulai bisa berlubang dengan sabaaaarnya Goughsky. Jadi ia hanya ikut tertawa dengan gurauan pemuda Uzbek itu. Tidak sibuk mendesis sebal dalam hati.
Dan itu bermula dua bulan lalu, saat jadwal pulang rutin dua bulanan Yashinta ke perkebunan strawberry, bule itu berbaik hati mengantarnya ke bandara. Menyerahkan dua ukiran kayu sebelum ia melangkah menuju pintu keberangkatan.
"Aku membuatnya sendiri—"
"Tidak mungkin!" Yashinta memotong. Bagaimana mungkin mahkluk setengah-setengah ini bisa mengukir kayu seindah ini. Dengan masing-masing bergambar beruang salju sedang bermain. Pohon-pohon cemara. Bukankah ia tidak pernah melihat Goughsky melakukan kerajinan tangan itu selama di basecamp.
"Aku membuatnya saat kalian masih sibuk mendengkur tidur shubuh-shubuh. Terserah Yash sajalah. Percaya atau tidak," Goughsky tertawa, mengangkat bahu,
"Berikan ke Delima dan Juwita, hadiah dariku. Dari paman setengah-setengahnya.... Kalau kau tidak keberatan, bisikkan ke telinga-telinga kecil mereka, selamat datang di dunia yang indah."

Sejak saat itu, Yashinta sedikit banyak menyadari beberapa hal. Cerita-cerita hebat masa kecil Goughsky benar. Ayahnya yang bekerja di Siberia, salah-satu teknisi pengeboran ladang minyak di sana. Sebelumnya, ayah Goughsky pemah kerja di pengilangan minyak Arun, Aceh, makanya menikah dengan wanita Indonesia. Sayang, tragedi badai salju menghabisi komplek ladang minyak di Siberia. Meninggalkan Goughsky yang baru berumur enam tahun. Yatim piatu. Dibesarkan kerabat di pinggiran hutan salju. Makanya pemuda Uzbek iiu jauh lebih tangguh dan tahu lebih banyak tentang kehidupan liar dibandingkan Yashinta. Cerita soal memiting beruang salju raksasa itu benar adanya.

Fase sosialisasi proyek kepada penduduk lokal juga membuat Yashinta menyadari sisi lain Goughsky. Pemuda bule itu memang tidak sok akrab, sok alim, dan sok sebagainya. Penduduk yang suka sekali menangkapi elang jawa itu jauh lebih menyukai Goughsky dibandingkan peneliti lokal lainnya. Mereka lebih menurut dengan kalimat-kalimat pemuda Uzbek itu. Yang meski saat memberikan penyuluhan, intonasi melayunya masih terdengar agak ganjil.
Dan yang lebih penting lagi, tentu saja Yashinta mulai menyadari kalau mahkluk setengah-setengahnya itu cukup tampan. Menatap mata birunya....
Jadi sejak itu, Yashinta dan Goughsky mulai terlihat rukun, membuat rekan peneliti lokal lainnya lebih sering menggoda,
"Kalian sejak kapan pacaran?" Maka Yashinta akan melotot marah.

"Apa kubilang dulu? Bertengkar sekarang, bersenang-senang kemudian!" Kalau yang ini, Goughsky ikutan melempar spidol. Membuat yang lain semakin semangat menggoda.

Seminggu berlalu, Mr dan Mrs Yoko kembali ke London dengan setumpuk progress report, Yashinta baru tahu, saat Goughsky kuliah di Belanda, Mr dan Mrs Yoko-lah yang menjadi sponsor, sekaligus menjadi anak angkat pasangan tersebut. Jadi tidak mungkin Goughsky sibuk mencari perhatian untuk mendapatkan dana penelitian kepada keluarga kaya itu. Justru sebenarnya, Goughsky lah yang merekomendasikan keluarga Yoko untuk mendanai penelitiannya,
Memasuki bulan-bulan terakhir proyek konservasi mereka, kedekatan Yashinta dan Goughsky sudah sedemikian rupa berubah. Tidak ada lagi seruan-seruan sebal. Teriakan-teriakan marah. Jawaban-jawaban ketus. Bagaimana tidak? Saat Goughsky harus presentasi ke London, Yashinta justru uring-uringan di basecamp, Bosan. Tidak seru. Tidak ada yang jahil dan mengajaknya bertengkar. Selama dua minggu tidak ada yang menatapnya seperti anak kecil keras kepala. Tidak ada yang mentertawakannya.

Benar-benar tidak ada. Terasa sepi.

Ah, si bungsu keluarga Lembah Lahambay, yang dulu muka imut menggemaskan miliknya begitu riang menatap berang-berang mandi di sungai, yang suka sekali berlarian di lereng lembah, akhimya jatuh cinta. Maka tersipu malulah Yashinta saat kolega peneliti lokal bilang,
"Gough, selama kau pergi dua minggu.... Kau tahu, ada yang selalu berdiri di menara 9 malam-malam, menatap bulan lamat-lamat, berharap menemukan wajahmu."

Yashinta menimpuk rekan kerjanya dengan sepatu.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 42

1 comment:

  1. Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
    Bonus Deposit Member Baru 100.000
    Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
    Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
    Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
    Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
    Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis

    ERTIGA POKER
    ERTIGA
    POKER ONLINE INDONESIA
    POKER ONLINE TERPERCAYA
    BANDAR POKER
    BANDAR POKER ONLINE
    BANDAR POKER TERBESAR
    SITUS POKER ONLINE
    POKER ONLINE


    ceritahiburandewasa

    MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
    KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
    CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT

    ReplyDelete