Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 3

Juru Pendamai

Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku menamainya
Aqil Barraq Badruddin.
"Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan,
bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu.
Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain
adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din.
Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu
kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan
melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya.
Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah
arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman
seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan
agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya,
asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres,
pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba
itu dianut taat oleh ayahku.
Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas
deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku
belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku—si no
mor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok
bersalin—menyembunyikan naskah khatib sehingga ia
gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan
Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku
seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas
umat.
Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan
beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari
karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai
mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri,
membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku
bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan
ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit
yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum
laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocarkacir.
"Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim,
penggawa yang kondang garangnya.
Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku.
"Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru
pendamai itu!? Bikin malu!"
Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri.
Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan
yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia
Andrea Hirata 18
semprotkan memantul lagi kepadanya. la sadar aku menuruni
watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal
dari setiap inci dirinya.
"Terserah Yah Ni...."
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam
keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat
duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke
tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas
jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN
Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian
hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak
berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya
aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.
19 EDENSOR
Kejadian meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama
Aqil Barraq Badruddin terlalu berat untukku. Ayah
memutuskan untuk menggantinya. Demi menemukan nama
baru, Ayah rajin berunding dengan juru tulis kantor
desa, perawat puskesmas, polisi pamong praja, pelayan restoran,
penjaga pintu air, atau siapa saja yang berseragam.
Bagi Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang
kebanyakan. Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak-
geriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat kelapa.
Di kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan
mereka berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita.
"Telah kutemukan nama baru untuk si Ikal itu, Bu!"
"Kabar gembira!" jawab Ibu.
"Dengan nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal."
Waktu itu aku dan adikku tengah dihukum mencuci
piring karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah

putih setengah tiang.


Endesor - Bab 4

No comments:

Post a Comment