Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 1

1. BIKIN MALU

BERAPA kali sebetulnya orang bisa bikin malu diri sendiri dalam satu hari? Selama
ini aku menyangka bahwa satu kali sudah cukup. Dua kali kalau memang lagi sial.
Tapi hari ini aku memecahkan rekor dengan melakukannya tiga kali.
Ketika pintu lift terbuka pada lantai 12, laki-laki itu melangkahkan kakinya
keluar dari lift bersamaan denganku. Aku mencoba melewatinya dan berjalan
secepat mungkin menuju pintu masuk Good Life yang terbuat dari kaca dengan
logo Good Life berwarna putih. Jam di tanganku menunjukkan pukul 09.55. Aku
dminta duduk di lobi bersama-sama dengan beberapa eksekutif muda lainnya yang
sedang menunggu. Aku menemukan tempat duduk di sebelah seorang wanita yang
sedang membaca majalah Times dengan sampul Donald Trump. Ketika dia
mengangkat wajah, aku memberinya senyuman, namun dia tidak membalas
senyum itu.
Bitch!!! Apa ibunya tidak pernah mengajarinya untuk membalas senyuman yang
diberikan dengan tulus? omelku dalam hati.
Tak lama setelah itu aku melihat laki-laki di lift itu memasuki pintu kaca yang
tadi kulewati dan berbicara dengan resepsionis yang kemudian juga memintanya
untuk menunggu di lobi. Ya ampuuunnn!!! Aku yakin sebentar lagi wajahku
memerah karena detak jantungku tiba-tiba melonjak. Aku mencoba sebisa mungkin
untuk tidak menatap ke arah laki-laki itu.
Tepat pukul 10.00, seorang bule, yang kemudian kukenal sebagai bosku, Mr.
Patrick Morris, datang ke lobi dan mempersilakan kami memasuki ruang pertemuan
berukuran superbesar. Aku memilih duduk di kursi yang paling jauh dari pintu
masuk dan meletakkan tasku yang mulai terasa berat di bahuku. Ruangan ini
dipenuhi foto berukuran besar beberapa produk yang diproduksi dan didistribusi
oleh Good Life, seperti sampo, sabun mandi, sabun pencuci baju, dan lain-lain. Pada
dasarnya Good Life adalah saingat terbesar Unilever di Asia-Pasifik, tetapi lain
dengan Unilever yang berasal dari Inggris, kantor pusat Good Life ada di Amerika,
tepatnya di Cincinnati, Ohio.
Okay, everyone, make yourself comfortable, and please do take some of those delicious
snacks and drinks,” kata bule itu mempersilakan kami semua untuk bersikap santai
dan mengambil kudapan.
Aku bangkit dari duduk dan melangkahkan kakiku menuju meja yang
menyediakan makanan kecil. Ketika aku sedang menuangkan kopi tanpa kafein ke
dalam cangkir yang disediakan tanpa disangka-sangka laki-laki di lift tadi berdiri di
sampingku, menunggu hingga aku selesai dengan termos kopi itu. Setelah
mengambil sendok kecil, dua paket gula, dan dua paket krimer, aku pun kembali
menuju tempat dudukku. Sambil pelan-pelan meminum kopiku, aku mulai
memperhatikan semua orang di sekitarku. Dapat kulihat bahwa setiap orang terlihat
lebih tua dariku setidak-tidaknya lima tahun, kecuali laki-laki yang kutemui di lift
tadi. Kelihatannya dia sepantaran denganku. Konsentrasiku buyar ketika suara Mr.
Morris terdengar lagi.
Thanks so much for being here. The purpose of this briefing is to let you know about the
process of the training that you are gonna be going through in Cincinnati,” katanya
memberitahu apa yang kurasa sudah kami semua ketahui, bahwa brifing ini tentang
proses training, yang akan kami ikuti di Cincinnati.
Mr. Morris kemudian membagikan amplop-amplop cokelat berukuran besar
kepada kami semua. Di atas amplop itu tercetak nama masing-masing peserta yang
hadir.
In the envelope you will find your plane tickets, some spending money and the itinerary
and the accommodation scheduled for the week that you are going to be there. You’ll be flying
together of course.”
Semua orang mulai membuka amplop masing-masing dan memeriksa isinya
satu per satu; tiket pesawat, cek uang saku, dan terutama jadwal kegiatan kami
selama di sana. Beberapa hari yang lalu aku baru saja mendapatkan pasporku
kembali dari kedutaan Amerika di Jakarta, yang memberiku visa untuk kunjungan
bisnis yang berlaku selama enam bulan. Untungnya aku tidak mengalami masalah
sama sekali untuk mendapatkan visa itu.
Konsentrasiku buyar ketika aku mendengar suara Mr. Morris lagi. “Why don’t we
get to know each other then, shall we?” ucapnya dan proses perkenalan pun berlangsung.
Ternyata laki-laki yang tadi aku temui di lift bernama Ervin Daniswara. Setelah
kuperhatikan beberapa saat, ternyata dia bukan hanya ganteng, style-nya yang
serbarapi sangat cocok untuknya. Rambutnya yang lurus di-gel sampai jabrik. Ada
sesuatu dari caranya memandang orang-orang di sekitarnya yang kudapati sangat
menarik. Dia selalu sopan apabila orang berbicara padanya, tetapi kurasa dia bukan
orang yang ramah, dalam artian dia tidak akan membuka pembicaraan dengan
orang yang tidak dikenalnya. Mungkin itu sebabnya aku merasa bahwa mungkin
saja orang yang belum mengenalnya berpendapat dia sombong.
Tiba-tiba Ervin melemparkan pandangannya ke arahku. Secara otomatis aku
langsung menunduk dan menatap amplop di tanganku. Kemudian aku sadar bukan
hanya dia yang menatapku, semua orang di dalam ruangan itu juga sedang
menatapku. Untung aku segera sadar bahwa mereka menungguku
memperkenalkan diri. Buru-buru kusebutkan namaku dan sedikit tentang latar
belakangku. Semua orang lalu mengangguk. Aku mengembuskan napas lega.
Hampir saja, ucapku dalam hati. Aku sadar Ervin sedang memandangiku dengan
mata melebar.
“Dasar rese,” gumamku.
Sekali lagi Mr. Morris menyelamatkanku dari pikiranku yang suka merajalela,
Alright, that is all folks. Please make sure that you don’t miss your flight, which will be
around a week from today. Since nobody is going to take care of you, so you better arrange
your own little get together to settle how you gonna meet up and handle any travelling
issues,” ucapnya menyarankan kami mengatur sendiri kesepakatan dalam
perjalanan kami, kemudian menggiring kami keluar.
Setelah sepakat dengan yang lain untuk bertemu kembali di konter check-in
Cathay Pacific pukul satu siang seminggu lagi, aku menuju pelataran parkir, ke
mobilku, dan pulang. Kulihat Ervin menuju ke arah yang sama. Pelan-pelan aku
mulai mengaduk-aduk tasku untuk mencari kunci mobilku. Sembari berjalan,
kulihat ada sebuah M3 yang terlihat cukup baru parkir di sebelah mobilku yang
tiba-tiba kelihatan jauh lebih tua daripada mobil itu.
Gila amat nih orang, hari gini masih bisa beli BMW, pikirku. Tanpa disangkasangka
aku mendengar bunyi blip-blip yang menandakan bahwa pemiliknya ada di
sekitar pelataran parkir itu, dan sedang menuju mobilnya.
Aha... akhirnya ketemu juga nih kunci, hatiku berteriak senang. Aku menekan
tombol untuk membuka kunci pintu mobilku. Tapi dasar sial, aku justru menekan
panic-button. Bunyi nyaring alarm mobilku mulai mengisi seluruh pelataran parkir.
Aku buru-buru mencoba mengatasi keadaan, tetapi ketika menekan tombol yang
seharusnya mematikan alarm itu, tidak ada yang terjadi. Dalam kepanikan, aku
mendengar suara di belakangku.
Hey, are you okay? Do you need help with that?
“Nggak, nggak apa-apa,” jawabku sambil menekan-nekan tombol itu dan
berbalik menghadap orang yang menawarkan bantuannya padaku. Lagi-lagi Ervin,
tapi kini wajahnya tidak lagi terlihat jengkel, melainkan khawatir. Aduh, kok sial
banget sih, bikin malu diri sendiri tiga kali dalam satu hari? pikirku.
Kulihat Ervin buru-buru melangkah ke arahku dan berkata, “Lo yakin ini mobil
lo?” Dengan kesal aku memandangnya tanpa senyum. “Ya iyalah, cuma alarmnya
lagi macet aja.”
“Boleh gua lihat?”
“Gue bisa kok... Oh shit...” Aku melihat seorang satpam melangkah ke arahku
dengan tatapan curiga.
Putus asa, aku berkata, “Kalau lo bisa, berarti lo lebih canggih daripada gue,”
sambil menyerahkan kunciku kepada Ervin.
Tanpa ragu-ragu dia langsung menekan tobol yang sudah kutekan-tekan dari
tadi dan alarm mobilku berhenti berbunyi.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan-lahan,
bersyukur terlepas dari siksaan bunyi alarm mobil. Tapi kemudian aku melihat
satpam tadi tetap berjalan ke arahku.
“Ada masalah, Mbak?” tanya satpam itu padaku.
Aku baru saja akan menjawab pertanyaan itu ketika mendengar orang lain
sudah melakukannya untukku.
“Nggak, Pak, nggak apa-apa, cuma tombol alarm rusak.”
Ervin yang menjawab pertanyaan itu. Satpam hanya mengangguk, lalu kembali
melakukan tugas keliling.
Sembari mengembalikan kunciku, Ervin berkata, “Kunci itu harus diganti
secepatnya supaya nggak bermasalah lagi.”
Nenek-nenek juga tahu, pikirku dalam hati, tapi yang keluar dari mulutku
justru, “Thanks.” Aku mengambil kunciku dari tangannya.
Ervin hanya mengangguk sebelum beranjak ke mobilnya yang ternyata adalah
M3 yang parkir di sebelah mobilku. Dia berlalu sambil memberikan senyuman yang
sempat membuatku berdiri kaku di samping mobilku. Seharusnya ada suatu tanda
peringatan yang harus dia bawa ke mana pun dia pergi untuk memberitahu kami,
kaum Hawa, agar menutup mata ketika dia memutuskan untuk tersenyum. Selama
ini aku tidak pernah percaya bahwa satu senyuman bisa membuat orang tersenyum
tersipu-sipu tanpa sebab. Ternyata aku salah, karena saat itu aku tersenyum-senyum

sendiri seperti orang gila.


No comments:

Post a Comment