Monday, September 7, 2015

Celebrity Wedding - Bab 12

The Ferocious Publik

Pada awal bulan april, Revel untuk pertama kalinya akan memperkenalkan Ina kepada
publik secara resmi sebagai tunangannya, dan Ina mengalami masalah untuk bernapas
selama perjalanan menuju Hotel Mulia. Akhir2 ini gosip tentang Revel dan Luna agak
mereda karena Luna sudah menarik diri dari sorotan media dgn pulang ke Jerman. Sebagai
gantinya gosip Revel dgn wanita misteriusnya semakin gencar. Para wartawan yg tadinya
sudah mulai bosan, mulai mengikuti Revel lagi. Reaksi Revel yg tetap diam tetapi
memberikan senyuman yg kelihatan sperti seorang laki2 yg sedang jatuh cinta klo ditanya
soal itu membuat orang semakin penasaran pada identitas wanita ini.
"Pokoknya senyum saja sama wartawan. Besok pagi wajah kmu akan terpampang dimana2,
jd jgn kaget." Suara Revel yg tenang seharusnya bisa menenangkan Ina, tetapi kenyataannya
tdk bisa membantu degup jantungnya yg sudah tdk keruan.
Selama seminggu ini Ina mendapati bahwa Revel adalah seorang tunangan yg penuh
perhatian, dgn slalu menyisihkan waktu untuk betul2 mendengarkan dan
mempertimbangkan pendapat2nya. Selain itu, Revel ternyata cukup cerdas dan lucu. Pada
satu detik dia bisa mendiskusikan menu katering secara serius dgn mengeluarkan komentar
sperti, "Kita harus pastikan bahwa semua makanan yg disajikan dimasak dgn EVOO, itu jauh
lebih sehat daripada minyak goreng biasa. Oh yya, orang katering mesti diingatkan supaya
nggak menyalakan api terlalu besar klo masak karena itu akan menyebabkan komponen
EVOO pecah dan pada dasarnya nggak akan ada bedanya sperti masak dgn minyak goreng
biasa klo itu sampai terjadi." Dan pada detik selanjutnya ia mencoba meyakinkan Ina bahwa
lagu "Love Game" milik Lady Gaga adalah lagu yg paling sesuai dijadikan lagu tema
pernikahan mereka. Pada dasarnya, selama seminggu ini, Ina sudah melihat Revel hanya
sebagai seorang laki2 biasa yg bisa membuatnya tertawa daripada Revel, artis solo laki2
paling ngetop di Indonesia. Tapi malam ini, Ina sadar kembali akan status Revel di hadapan
publik dan dia merasa sedikit mual.
Mereka sedang dalam perjalanan untuk menghadiri acara penggalangan dana yg bertujuan
memberikan fasilitas yg lebih baik pada sekolah2 yg berada di daerah terpencil di seluruh
Indonesia. Ina melirik Revel yg mengenakan jas warna hitam dgn dasi kupu2. Revel kelihatan
cukup nyaman mengenakan pakaian resmi itu, sedangkan Ina merasa ingin menarik bagian
atas tube dress berwarna ungu tua yg dikenakannya agar tdk merosot ke bawah. Ina merasa
risi dgn pakaian yg menempel pada tubuhnya itu. Dia tahu bahwa di dunia nyata, orang tdk
bisa mengubah dirinya hanya dgn pakaian, tetapi ini dunia entertainment, pakaian yg
mereka kenakan, make-up, gaya rambut, perhiasan, mobil, bahkan laki2 yg menggandeng
tangan mereka mendefinisikan status sosial mereka. I can't do this. I can't, I CAN'T, teriak Ina
dalam hati. Ina membayangkan wajah kolega2nya, Marko, dan pak Sutomo di kantor besok
pagi ketika melihat wajahnya di tabloid dan acara gosip TV, dan isi perutnya langsung salto
beberapa kali. Apa mereka akan percaya pada sandiwara ini? Mereka semua tahu bahwa dia
adalah orang yg paling beretika yg pernah mereka temui, dia tdk akan pernah tertangkap
basah memacari kliennya.
Dan apa yg akan dilakukan orangtuanya klo saja mereka tahu akan kebohongan ini? Mereka
akan menguncinya di dalam ruang bawah tanah dan tdk memperbolehkannya keluar lagi
sehingga berkesempatan mengambil keputusan yg akan menghancurkan hidupnya. Revel
sebaiknya mencari tunangan yg lain saja karena dia tdk bisa melakukan ini. Sebelum dia
kehilangan keberaniannya, Ina langsung berteriak kepada sopir Revel, "Pak, bisa stop
mobilnya di pinggir, saya mau turun."
Revel yg duduk di sebelah kanan terlihat kaget dan langsung meraih lengan kanan Ina.
Tangan kiri Ina sudah menggenggam gagang pintu, siap menariknya begitu mobil itu
berhenti. "In, knapa?"
"Rev, saya nggak bisa," ucap Ina cepat sambil menunduk, menolak menatap Revel. Klo saja
dadanya tdk terasa sperti akan meledak, Ina mungkin akan menghargai betapa lapangnya
lantai mobil itu.
"Nggak bisa apa? Ke acara ini? Kmu sakit?" Revel terdengar khawatir.
Ina mengangguk. Dan Revel langsung meminta sopirnya agar menepi yg dibalas dgn, "Wah,
ini mobilnya nggak bisa gerak, mas Revel, jalanan macet."
Ina memegangi dadanya untuk mengontrol napasnya. Kalung yg dikenakannya sperti
mencekiknya dan dia berusaha melepaskannya dari lehernya.
"Get this off me. Please get this off," teriak Ina mulai panik ketika dia tdk bisa menemukan
kait kalung tersebut.
Revel berhasil melepaskan kalung itu dgn cekatan dan mengantonginya, tetapi Ina spertinya
tdk sadar akan hal itu karena dia masih berteriak panik, "Tolong lepasin. Saya nggak bisa
napas."
"Ina, kalungnya sudah dilepas." Revel merasakan kepanikan yg menyelimuti Ina tanpa
menyentuh bagian tubuh Ina sama sekali, Revel berkata, "In, tenang, In. Oke, napas pelan2.
Bilang ke saya ada masalah apa?"
Revel tdk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, dia hanya mendengar erangan Ina. Ina
bahkan tdk mendengar pertanyaan itu, dia sudah tenggelam dgn kegalauan hatinya sendiri.
Bagaimana mungkin dia setuju melakukan ini? Di dalam kegelapan mobil, Revel tdk bisa
melihat bahwa seluruh tubuh Ina sudah gemetaran, tapi dia menyentuhnya untuk
menenangkannya.
"Ina, kmu knapa gemetaran kayak begini?" ucapnya dan tanpa ragu2, dia langsung
mengangkat tubuh Ina yg kecil ke dalam pelukannya dan duduk di tempat yg tadi diduduki
Ina.
Dia membiarkan kedua kaki Ina menggantung di sbelah kanan. Pertama2 tubuh Ina masih
gemetaran dan tegang, tp lama-kelamaan napasnya kembali teratur di dalam pelukannya.
Wajah Ina terlihat pucat di balik make-up tipis yg dikenakannya. Ada titik2 keringat pada
keningnya. Hilang sudah wanita penuh percaa diri g dia temui stengah jam sebelumnya, yg
tinggal adalah wanita g ketakutan. Dalam hati Revel menyumpah. Dia sudah terlalu sibuk
dgn rencana memperbaiki image-nya, sehingga tdk mempertimbangkan perasaan Ina yg
mungkin belum siap untuk berhadapan dgn publik.
Sambil mencoba untuk menavigasi lalu lintas yg padat, Nata, sopir Revel, memerhatikan
kejadian yg sedang berlangsung dari kaca tengah mobil. Nata adalah salah satu pegawai
lama mama Revel yg sudah mengenal Revel semenjak dia masih SD. Nata sebetulnya adalah
sopir pribadi ibu Davina, tetapi karena malam ini Revel memerlukan sopir, maka dia
menawarkan diri untuk membantu. Nata bersyukur bahwa Revel akhirnya menemukan
seorang wanita muda dari kalangan nonselebriti yg kelihatan baik dan tahu sopan santun
untuk dipacarinya. Mbak Ina sama sekali tdk menyadari dampak yg dimilikinya terhadap
Revel yg pada dasarnya sudah bersusah payah untuk tdk melongo ketika melihatnya malam
ini. Nata tdk pernah melihat Revel tdk bisa berkata2 dihadapan wanita sebelumnya,
sehingga reaksi Revel membuatnya terkekeh dan harus terdiam ketika menerima pelototan
dari Revel.
Di dalam pelukan Revel, Ina merasa terlindungi, dan dgn itu akhirnya dia bisa mengontrol
reaksi tubuhnya. Lambat laun mualnya mulai hilang dan pikirannya tenang kembali. Ina
menarik napas dan bisa mencium aroma cologne Revel yg sangat maskulin. Percampuran
aroma itu dan usapan tangan Revel yg naik turun pada punggungnya, menenangkan. Dan
tanpa dia sadari, kelopak matanya sudah tertutup dgn sendirinya. Ina merasakan
kehangatan sekilas pada keningnya, sperti kecupan yg biasa diberikan mama padanya
sewaktu dia masih kecil klo dia sedang sakit. Merasa nyaman dgn dgn posisinya, Ina
mendesah panjang.
"Mas, apa masih mau pergi, apa mau pulang saja?" Tanya Nata.
Tanpa Ina sadari pak Nata sudah berhasil menepikan mobil dan kendaraan itu kini dalam
posisi diam meskipun mesin masih dihidupkan.
"Pulang saja, pak. Antar mbak Ina dulu balik ke apartemennya," jawab Revel tegas.
"No," ucap Ina lemah sambil menggeleng.
"In, wajah kmu pucat dan kmu bilang kmu sakit, kita lebih baik pulang saja."
"Nggak, saya sudah baikan," kali ini suara Ina terdengar lebih jelas. Dia berusaha turun dari
pangkuan Revel. "Saya sudah janji untuk menemani kmu ke acara ini, saya harus menepati
janji saya," bantahnya.
"Kmu nggak usah..."
"Kmu sudah menepati janji kmu. Sekarang giliran saya," potong Ina.
Revel mengerutkan keningnya ragu. Ina yakin bahwa dia sedang memperhitungkan
konsekuensi yg mereka akan hadapi klo misalnya dia memutuskan untuk menunda
perkenalan Ina kepada publik, dan Ina mencoba membantunya membuat keputusan.
"Just give me a minute untuk menenangkan diri," pinta Ina dan mulai mengambil napas
dalam2 dan mengeluarkannya perlahan2. Keheningan menyelimuti interior mobil selama
beberapa menit. Revel dan pak Nata dgn sabar menunggu hingga Ina bisa lebih tenang.
Revel menyodorkan saputangannya dan menunjuk kening Ina, tp Ina menggeleng dan
mengambil selembar tisu dari dalam clutch-nya.
"Saya nggak mau ngotorin saputangan kmu dgn make-up saya, but thank you," jelas Ina
ketika melihat kebingungan pada wajah Revel. Perlahan2 dia menyentuhkan tisu itu ke
keningnya, berhati2 agar tdk merusak make-up-nya.
Revel memerhatikan bahasa tubuh Ina yg lambat laun mulai lebih rileks. Kerutan pada
keningnya sudah hilang dan dia tahu detik dimana Ina siap sbelum dia berkata, "Kmu mau
kalung kmu?" Ia mengeluarkan kalung itu dari kantongnya.
Ina menyentuh dadanya, seakan2 baru sadar bahwa dia tdk lagi mengenakan kalungnya. Dia
baru akan meraih kalung itu ketika Revel sudah memegang dua ujung kalunh itu dan tanpa
berkata2 menyuruh Ina menunduk agar dia bisa mengalungkannya pada lehernya.
Revel menahan napas selama melakukan ini, karena dia tahu bahwa klo dia menghirup
udara, dia akan mencium aroma stroberi, dan itulah hal terakhir yg dia perlukan malam ini.
Sebelumnya, ketika Ina sedang duduk diatas pangkuannya, dia berusaha sebisa mungkin
mengontrol reaksi tubuhnya. Dia berharap bahwa Ina tdk merasakan detak jantungnya yg
smakin cepat stiap detiknya, terutama ketika Ina menoleh dan menguburkan wajah pada
lehernya. Dia hampir saja berkelakuan sperti pasukan Troya ketika menyerang Sparta, yaitu
mengambil apa saja yg dia mau dgn paksa, tanpa memedulikan perasaan orang2 g diserang.
Untunf saja Revel mengangkat kepalanya dan tatapannya bertemu dgn tatapan pak Nata di
kaca tengah. Tatapan pak Nata mengingatkannya untuk menjaga sopan santunnya sebagai
laki2. Akhirnya dia harus puas dgn hanya mencium kening Ina.
Setelah berhasil memesang kait kalung itu Revel buru2 menjauhkan kepalanya dari Ina dan
membiarkan Ina melakukan beberapa perubahan pada letak kalung itu.
Dengan satu embusan napas, Ina berkata, "Oke, saya siap."
Dan mobil itu pun bergerak lagi menuju destinasinya.
Revel meminta pak Nata untuk ngedrop mereka di lobi, bukannya di pintu belakang, hari ini
dia memerlukan sorotan media untuk menyukseskan rencananya. Dengan anggukan dari
Ina, Revel membuka pintu mobil dan turun. Kerlipan blitz kamera dan teriakan wartawan yg
menanyakan berbagai macam pertanyaan langsung menyerangnya, tp Revel tdk menyadari
ini semua karena ketika dia mengulurkan tangannya untuk membantu Ina turun dari mobil,
dia tdk melihat Ina. Yg dia lihat adalah orang lain yg mengenakan gaun potongan tube
panjang berwarna ungu, gaun yg dikenakan Ina. Dia kini mengerti knapa ungu sperti ini
sering disebut sebagai royal purple, karena Ina kelihatan sperti seorang ratu, yg menjadikan
Revel sebagai rajanya dan dia merasa bangga bisa memegang posisi itu.
Ketika Ina turun dari mobil, dia mengulurkan tangan kirinya dan secara otomatis
memamerkan cincin berlian yg melingkari jari manisnya. Sesuatu yg Revel yakin dilakukan
oleh Ina dgn sengaja agar orang bisa melihat betapa besarnya berlian itu. Dengan begitu
perhatian wartawan terpaku sekejab kepada tangan Ina. Stelah wartawan puas memotret
cincin itu, perhatian mereka beralih kepada Ina yg kini sudah berdiri tegak di samping Revel.
Tangan kanannya di dalam genggaman tangan Revel. Kalung emas yg panjangnya mencapai
belahan dada mengundang perhatian orang kepada kulit bahu dan dadanya g putih bersih
dan halus. Senyum yg terukir pada wajah Ina kelihatan ramah, tetapi tdk mengundang
pikiran yg tdk2. Senyuman seorang profesional. Dia bahkan tdk kelihatan terkejut dgn
semua perhatian g sekarang tertuju padanya, seakan2 dia sudah sering menghadiri acara
sperti ini.
Revel dan Ina saling tatap selama beberapa detik, kemudian Ina tersenyum dan Revel bisa
mendengar apa yg ada di pikiran Ina, "Here we go". Revel membalas senyum itu dan
mengangguk. Kemudian dgn sangat berat hati dia mengalihkan perhatiannya dari wajah Ina
kepada para wartawan yg sedang mencoba menarik perhatiannya.
"Apa kabar, mas Revel? Sudah lama nggak kelihatan," ucap salah satu wartawan tabloid
membuka arus pertanyaan.
"Memang lagi lebih sering di studio untuk rekaman. Klo nggak penting sekali saya nggak
akan keluar," jawab Revel ramah.
"Tapi malam ini sempat keluar, ya?" ledek wartawan lain.
"Iya dong, kan untuk amal," balas Revel serius, membuat wartawan yg tadinya meledeknya
kelihatan malu.
"Kita dikenalin dong sama temannya mas Revel," sambung seorang wartawan perempuan
yg Revel tahu bekerja pada sebuah acara gosip.
"Ini Inara," jawab Revel tenang.
Beberapa wartawan masih melemparkan beberapa pertanyaan lagi, yg dijawab oleh Revel
dgn sabar dan penuh humor. Ina mendapati bahwa semakin lama Revel berdiri dan
menjawab pertanyaan mereka, semakin terkesima wajah para wartawan. Spertinya kejadian
ini adalah sesuatu yg langka bagi mereka. Mereka bahkan tdk menghiraukan tamu2 penting
lainnya, sperti walikota DKI Jakarta, seorang jutawan yg baru saja meninggalkan istrinya dan
mengawini seorang penyanyi, seorang bintang sinetron yg menjadi istri kedua seorang
politikus dan kini sedang hamil, beberapa artis yg mengenali Revel karena Ina melihat
mereka melambaikan tangan padanya dan menatap Ina dgn tatapan ingin tahu, dan banyak
orang penting lainnya, yg datang stelah mereka.
Akhirnya para wartawan sudah bosan berbasa-basi dan mengajukan pertanyaan yg sudah
ada di pikiran semua orang.
"Mas Revel, mbak Inara pacar barunya mas, ya?"
Tubuh Ina menegang, menunggu jawaban Revel. Dia harus siap dgn apapun yg dilakukan
atau dikatakan oleh wartawan stelah pengumuman ini.
"Bukan, Inara bukan pacar saya," jawab Revel.
Sperti paduan suara, Ina mendengar kata, " Ooohhh..." dan dia harus menahan diri agar tdk
cekikikan. Revel memang suka ngisengin wartawan.
"Inara adalah tunangan saya," sambung Revel dgn suara datar yg disambut dgn kesunyian
dan tatapan tdk percaya dari para wartawan.
Kemudian ketika semua orang menyadari apa yg baru dikatakan Revel, mereka
melemparkan pertanyaan bertubi2.
"Sudah brapa lama pacaran?"
"Knapa Inara nggak pernah kelihatan sebelumnya?"
"Kapan tunangannya?"
"Siapakah Inara?"
"Ketemu dimana?"
"Apakah Inara wanita yg sering digosipkan sebagai 'pacar' Revel akhir2 ini?"
Setelah beberapa menit, Ina mulai merasa perti sedang melalui sesi tanya jawab yg dia lalui
sebulan yg lalu dgn keluarganya. Dia sedang memerhatikan wajah para wartawan yg kini
kelihatan dapat dipertukarkan satu sama lain, ketika dia mendengar seseorang bertanya, "
Apa sudah ada rencana menikah?"
Ina agak terkejut ketika menyadari bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya, bukan kepada
Revel. Para wartawan yg melihat interaksi ini langsung terdiam dan menunggu jawaban Ina.
Dia ragu sesaat, tp ketika Revel mengeratkan genggemannya, dia berkata, " Klo tdk ada
halangan, kami berencana menikah bulan Juni tahun ini."
Begitu Ina menyelesaikan kalimatnya Revel langsung menggeretnya masuk ke dalam
gedung, meninggalkan ledakan pertanyaan lain dari kumpulan wartawan. Banyak dari
mereka yg tahu bahwa adalah percuma meneriakkan pertanyaan mereka lagi, karenanya
mereka langsung sibuk dgn HP, menelpon produser mereka atau mengirimkan SMS kepada
editor mereka.
***
Ina mendesah panjang ketika dia duduk kembali di dalam mobil Revel 3jam kemudian.
Stelah apa yg dia baru lalui, interior mobil yg terbuat dari kulit berwarna abu2 itu
memberikan ketenangan yg dia butuhkan. Dia slalu tahu bahwa Revel banyak fansnya, tapi
dia tdk menyangka bahwa fans Revel termasuk istri walikota Jakarta dan stengah dari tamu
yg datang ke acara amal malam ini. Entah bagaimana mereka bisa tahu bahwa dia adalah
tunangan Revel secepat itu, karena mereka baru saja meninggalkan para wartawan dan
memasuki ballroom ketika orang mulai menyalami mereka dan mengatakan,
"Congratulation". Mereka semua mau mengenal wanita g berhasil menggeret Revel ke
pelaminan. Ina kewalahan mencoba menjawab pertanyaan mereka yg datang bertubi2.
"You okay?" Ina mendengar suara Revel.
"Yeah, cuma sedikit capek," balas Ina sambil menolehkan kepalanya, menatap wajah Revel.
Dia sudah melepaskan dasi kupu2nya. "Kmu gimana bisa melakukan ini stiap hari sih?"
tanyanya.
Ina betul2 tdk tahu bagaimana Revel bisa melakukannya. Semua kamera yg slalu tertuju
padanya, memerhatikan semua gerak geriknya? Ina tdk akan pernah merasa comfortable
dgn kehidupan sperti itu, salah2 dia bisa jadi paranoid untuk keluar rumah. Takut bahwa
orang akan mengambil fotonya ketika dia sedang membuang sampah sembarangan atau
lebih parah lagi, mencium ketiaknya untuk memastikan bahwa deodorannya masih wangi.
"Well, saya nggak harus melakukan ini stiap hari untungnya," balas Revel sambil tersenyum.
Melihat wajah Ina yg jelas2 tdk yakin dgn omongannya, Revel menambahkan, "Saya sudah
bekerja di dunia entertainment selama lebih dari 10tahun, jd saya sudah terbiasa. Kmu nanti
juga terbiasa."
Ina yakin bahwa dia tdk akan mengatakan apa2 kepada Revel. Dia kini betul2 menghormati
para artis yg slalu bisa keliatan bersahabat dan penuh senyum klo ditemui oleh media,
karena ternyata pekerjaan itu tdk mudah. Wajahnya sekarang sudah kram karena harus
memasang senyuman yg terasa sangat tdk natural sepanjang malam.
"You were great tonight," puji Revel.
Ina melirik kepada Revel dan berkata ragu, "You think so?"
Revel mengangguk pasti. "Makasih ya sudah nemenin saya malam ini."
"Oh, no problem. Sori ya klo saya freak-out sbelumnya. Won't happen again. I'm promise."
Revel mengangguk. "What was that all about anyway?" tanyanya.
"Awalnya cuma khawatir tentang acara ini, tp kemudian saya mikirin hal2 lain juga dan
akhirnya jd panik."
"Hal-hal lain sperti apa yg bikin kmu panik?" Revel memundurkan letak kursinya dan
menarik sebuah lever untuk menaikkan foot rest. Dia meletakkan kedua tangannya pada
arm rest sbelum kemudian memutar bagian atas tubuhnya dan menatap Ina.
Ina terkejut oleh perubahab bentuk kursi berkata, "Wow," dgn kagum.
Revel menatap Ina dgn bingung, dan semakin bingung ketika dia melihat Ina sedang
meraba2 seluruh bagian kursi yg di dudukinya. "Kmu ngapain?" tanyanya.
"Saya mau buat kursi saya jadi kayak kmu. Gimana caranya ya?"
"Ada semacam lever di sbelah kanan kmu yg bisa kmu tarik. Ketemu?"
Revel melihat wajah Ina yg sedang berkonsentrasi mencari lever itu. "Ah, ketemu."
Dab satu detik kemudian di depan matanya, Revel melihat Ina melakukan hal yg sama yg
baru saja dia lakukan pada kursinya sambil memapakan wajah penuh ketakjuban. "This is
like the most comfortable car seat I have ever say on," ucapnya stelah beberapa menit
menaikkan dan menurunkan foot rest.
Mendengar komentar ini Revel tertawa. Ina keliatan sperti anak kecil yg baru saja diberikan
mainan baru. Wajahnya yg biasanya serius kini penuh senyum takjub, dan meskipun dia tdk
bisa melihatnya, tp dia tahu bahwa mata Ina pasti sedang berbinar2. Kebanyakan wanita
slalu mencoba agar keliatan sophisticated sehingga mereka jarang mau menunjukkan
kekaguman mereka akan sesuatu, tp Ina, dia tdk malu memperlihatkan ketidaktahuannya.
Tidak ada kepura2an dalam proses membuat laki2 sperti Revel kagum padanya.
"Siapapun yg menciptakan mobil ini adalah seorang jenius," kata Ina sambil nyengir.
Revel mendengus ketika mendengar komentar ini, mencoba menahan tawa. Tak lama
kemudian mereka sudah sampai di lobi gedung apartemen Ina. Merelakan Ina keluar dari

mobilnya adalah hal tersulit yg pernah dilakukan Revel seumur hidupnya.


No comments:

Post a Comment