Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 39


39
BAYI YANG DITINGGAL PERGI


TERUS-TERANG, mengungkit masa lalu Laisa bukanlah bagian yang menyenangkan. Tetapi tidak adil jika kalian tidak tahu ceritanya. Apalagi untuk mengerti utuh semua kisah ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya.

Ikanuri benar. Kak Laisa bukan kakak mereka. Sedikitpun tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga mereka.
Mamak Lainuri sebenamya menikah dua kali. Pernikahan pertama, dengan lelaki pendatang di kampung atas. Saat umurnya baru enam belas tahun. Lelaki itu 24, duda dengan seorang bayi berusia enam bulan. Si kecil Laisa.

Wak Burhan, satu-satunya kerabat Mamak (karena Mamak Lainuri yatim piatu sejak usia sebelas tahun), amat berkeberatan dengan pernikahan itu. Pernikahan yang keliru, Mereka tidak mengenal baik pemuda tersebut. Tidak mengenal keluarganya. Hanya wajahnya saja yang terlihat tampan menyenangkan. Tapi itu 180 derajat kontras dengan kelakuannya. Kecemasan Wak Burhan benar, duda dengan bayi mungil itu memperlakukan Mamak sama seperti memperlakukan istri pertamanya. Kasar. Suka memukul Berteriak. Dan kerjanya hanya mabuk di kota kecamatan Berjudi di lapak-lapak pasar. Menurut bisik-bisik tetanga konon istri pertamanya dulu meninggal juga karena ulahnya. Tapi tidak ada yang bisa mencegah pernikahan tersebut. Dan tidak ada juga yang kuasa memperbaiki keputusan yang terlanjur dibuat. Entahlah mengapa Mamak amat menyukai pemuda itu (duda dengan bayi enam bulan pula).

Mamak sebenarnya mewarisi tanah cukup luas dan banyak perabotan dari orang-tuanya yang meninggal saat banjir bandang di sungai cadas lima meter. Tapi semuanya tergadai satu persatu oleh tabiat judi suaminya. Dan yang paling menderita atas tabiat buruk tersebut adalah Laisa. Bayi berumur enam bulan tersebut pernah jatuh ke dalam baskom air saat berumur sembilan bulan. Terendam. Mamak yang pulang dari kebun amat terkejut melihat Laisa sudah membiru. Sedangkan yang bertugas menjaga justru tertidur dengan mulut bau minuman keras di samping ranjang.

Maka rusuhlah kampung mereka. Amat cemas Mamak melakukan apa saja untuk menyelamatkan bayi mungil itu. Seolah bayi itu darah dagingnya sendiri. Melakukan apa saja. Dan ajaib, Laisa terselamatkan. Meski bayi montok dan lucu itu harus membayar mahal sekali. Karena sejak saat itu pertumbuhan Laisa mulai tidak normal. Saraf bicara, mendengar, kemampuan berpikir, dan sebagainya memang tumbuh normal. Tapi badan Laisa tumbuh lebih pendek dibanding teman seusianya. Wajahnya juga terlihat sedikil tidak proporsional. Soal rambut gimbal dan kulit hitam, itu mewarisi ayahnya. Ayah yang saat Laisa berumur dua tahun justru tega pergi begitu saja dari lembah tersebut. Tidak ada yang tahu kemana. Dia menghilang begitu saja setelah Mamak jatuh miskin, kehilangan tanah dan perabotan.

Menyedihkan sekali melihat bayi kecil itu ditinggal pergi. Membuat nestapa Mamak jadi sempurna. Sudah kehilangan suami. Mesti merawat bayi yang bukan darah dagingnya pula. Tapi Mamak menyayangi bayi kecil itu seperti anaknya sendiri. Lagi pula keputusan menikah
dulu juga keputusannya sendiri. Maka dengan kehidupan yang semakin susah di lembah, Mamak memutuskan bertahan hidup.

Tiga tahun hidup sesak, kabar baik itu tiba.Mamak menikah untuk kedua kalinya dengan pemuda kampung atas. Babak mereka sekarang. Pemuda yang dulu amat patah hati melihat Mamak menikah dengan orang lain. Sekarang mendapatkan kembali cinta terpendamnya. Babak bisa menerima Mamak apa adanya. Janda miskin. Juga bisa menerima si kecil Laisa dengan baik.

Meski hidup mereka tidak berubah, tetap susah, tapi kehidupan berkeluarga mereka berjalan normal, bahkan dalam banyak waktu terlihat cukup bahagia. Saat Laisa berumur enam tahun, lahirlah Dalimunte. Dua tahun kemudian Wibisana, menyusul Ikanuri dengan jarak hanya sebelas bulan, dan terakhir ditutup dengan lahirnya si bungsu yang manis; Yashinta. Anak-anak yang lucu. Menggemaskan. Sayang, masa-masa bahagia itu terputus saat Yashinta masih dalam kandungan. Ikanuri dan Wibisana juga masih terlalu kecil untuk mengerti. Babak mereka diterkam sang penguasa Gunung Kendeng. Maka yatimlah anak-anak tersebut.
Semua penduduk Lembah Lahambay tahu persis kisah ini. ini kalau Laisa bukanlah siapa-siapa di rumah panggung tersebut. Hanya bayi yang ditinggal pergi. Dalimunte yang beranjak besar tahu fakta tersebut dari bisik-bisik tetangga. Ikanuri dan Wibisana. Bedanya, Dalimunte tidak ambil pusing. Sedangkan dua sigung nakal tersebut menjadikan itu alasan untuk membantah, tidak menurut. Yashinta saja yang terlalu takut bertanya yang tidak pernah tahu detailnya. Meski saat ia mulai sekolah di kota provinsi, Yashinta jelas bisa mengambil kesimpulan sendiri kalau Kak Laisa memang bukan kakak mereka. Mereka terlalu berbeda.

Mamak tidak pernah mengungkit-ungkit kisah suram tersebut. Memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian jatuhnya Laisa ke dalam baskom air. Yang membuatnya tumbuh cacat. Mamak tidak pernah menganggap Laisa orang lain, baginya sulung di keluarga itu adalah Laisa. Juga Babak mereka semasa hidup. Malam sebelum kejadian Babak diterkam harimau. Babak sempat mengusap rambut Laisa yang saat itu baru berumur sepuluh tahun. Tersenyum,
"Lais, kau bantu Mamakmu menjaga adik-adik hingga Babak pulang dari mencari kumbang—"
Laisa kecil mengangguk mantap sekali.

Anggukan yang menjadi janji sejati. Karena Babak ternyata tidak pernah pulang-pulang. Janji seorang kakak.
"Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Lais bukan kakak kami — "
Ikanuri masih tersungkur.

Kak Laisa membuka matanya. Mengerjap-ngerjap. Tadi ia baru saja bermimpi saling berkejaran dengan adik-adiknya di hamparan kebun strawberry. Ia yang berusia enam belas tahun, Dalimunte dua belas, Wibisana hampir sembilan, Ikanuri delapan, dan Yashinta enam tahun. Berlarian di sela-sela buah merah-ranum menggoda. Mamak yang berdiri meneriaki di lereng atas. Langit membiru. Seekor elang melenguh di garis cakrawala Gunung Kendeng. Amat menyenangkan.
Kak Laisa membuka matanya. Kepalanya sedikit terangkat. Perlahan mengerti apa yang sedang terjadi. Ikanuri dan Wibisana sudah tiba. Lihatlah, adiknya yang paling nakal, adiknya yang paling keras kepala, sedang tersungkur menciumi tangannya. Menangis penuh rasa sesal.
Kak Laisa terbatuk. Bercak darah itu mengalir. Cie Hui buru-buru mendekat, meraih tissue, membersihkan. Mamak sudah menangis di pelukan Dalimunte. Mamak yang jarang sekali menangis, tersedu. Tudung kepalanya lepas. Rambut putihnya terlihat. Bahunya naik
turun menahan rasa sesak. Dan Wibisana menambah senyap suasana. Wibisana ikut bersimpuh di samping Ikanuri. Ikut menangis.

"Sungguh, maafkan Wibisana...."

Dan kamar Kak Laisa sempurna sudah menyisakan desau sepotong kisah suram masa lalu itu. Bagi Mamak, melihat semua ini seperti mengembalikan seluruh kenangan hidupnya. Masa-masa keliru. Masa-masa yang seharusnya ia isi dengan penjelasan. Tidak seharusnya ia menutupi kenyataan itu.
Bagi Dalimunte, melihat adik-adiknya bersimpuh penuh penyesalan, mengembalikan seluruh kejadian di sungai cadas lima meter. Dia yang melihat Kak Laisa bekerja keras terpanggang matahari di kebun jagung demi mereka. Kak Laisa yang berjanji akan membuatnya terus sekolah. Yang boleh malu dan sakit itu Kak Laisa, bukan adik-adiknya....

Bagaimana mungkin Kak Laisa bukan kakak mereka dengan: semua itu? Dalimunte tahu persis kalau adik-adiknya suka bilang kalimat menyakitkan itu, tapi dia tidak pernah kuasa untuk menegur. Lagipula, Ikanuri dan Wibisana belum mengerti. Lihatlah, bertahun-tahun saat sudah sekolah di kota provinsi, saat adik-adiknya mengerti, mereka amat menghargai Kak Laisa. Lebih dari siapapun.

Bagi Ikanuri dan Wibisana, jelas-jelas semua ini mengembalikan kenangan masa kecil mereka. Perlakuan buruk mereka kepada Kak Laisa. Dan perlakuan sebaliknya Kak Laisa kepada mereka. Janji sejuta kunang-kunang. Janji kesempatan yang lebih besar di luar lembah. Kak Laisa yang tidak pernah datang terlambat. Malam di lereng Gunung Kendeng....

Kamar itu menyisakan isak tertahan.

Tangan Kak Laisa gemetar mengangkat kepala adiknya. Mata itu menatap begitu tulus. Tersenyum,
"Kakak selalu memaafkan kalian.... Kakak selalu memaafkan kalian.... Ya Allah, meski dunia bersaksi untuk menyangkalnya, meski seluruh dunia bersumpah membantahnya, tapi mereka, mereka selalu menjadi adik-adik yang baik bagi Laisa.... Adik-adik yang membanggakan...." Kak Laisa ikut menangis. Terbatuk. Bercak darah itu mengalir.


Dan kamar itu menyisakan tangis dua sigung nakal yang mengeras. Semua masa lalu itu, tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, tidak peduli seberapa baik kehidupan mereka sekarang.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 40

No comments:

Post a Comment