Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 38


38
 MAAFKAN KAMI

TENGAH malam kedua di lembah sejak SMS dari Mamak.

Dalimunte masih terjaga. Juga Mamak dan yang lain. Kak Laisa jatuh tertidur, kondisinya tetap status quo. Kata dokter, tidak membaik, juga tidak memburuk. Juwita dan Delima meski tadi ngotot bilang ingin menunggu Abi-Abi mereka (Ikanuri dan Wibisana) tiba, tapi tubuh kanak-kanak mereka terlanjur lelah. Digendong Ummi masing-masing masuk kamar besar, lantai dua. Intan yang terakhir digendong masuk kamar.

Telepon genggam Dalimunte berdengking. Buru-buru diangkat, siapa pula yang tengah malam begini menghubunginya. Tidak mungkin Ikanuri dan Wibisana, karena mereka lima belas menit lalu baru saja lapor sudah tiba di kota kecamatan. Sekarang sedang ngebut
secepat mobil balap itu bisa melaju ke perkebunan strawberry. Berusaha menepati janji, tiba sebelum tengah malam. Apakah Yashinta yang telepon?

Goughsky. Ternyata yang menelepon WNI keturunan Uzbekistan itu. "Yashinta sudah ditemukan, Kak Dali—"
Pelan saja Goughsky melapor. Langsung ke pokok pembicaraan. Tapi meski pelan, membuat Dalimunte berseru tertahan.
"Kami menyebar belasan orang mencarinya. Menyusuri jalan setapak, memeriksa lembah, sia-sia... Saat kami mulai putus-asa, ia sendiri yang datang ke posko pendakian, dengan kaki patah. Ya Allah, andaikata Kak Dali bisa melihat energi sebesar itu. Yashinta memaksa kakinya berjalan delapan kilometer, dengan tubuh terluka, pelipis berdarah...."

Dalimunte sudah tidak mendengarkan detail lagi. Kabar adiknya ditemukan selamat membuatnya lega bukan main. Sejak Ikanuri dan Wibisana mengontak Goughsky tiga puluh enam jam lalu dari Paris, kecemasan atas nasib Yashinta meninggi. Apalagi dua rekan Yashinta justru bingung saat tahu Yashinta belum tiba di posko awal pendakian Gunung Semeru. Tim SAR setempat diturunkan, Goughsky yang sama hafalnya dengan Yashinta jalur pendakian Semeru memimpin pencarian. Siang malam. Menyusuri semua kemungkinan. Dua puluh empat jam berlalu, mereka akhirnya menemukan telepon genggam satelit Yashinta yang remuk, tapi tidak ada tubuh Yashinta di atas belukar itu. Hanya seekor peregrin dan dua ekor bajing yang sibuk memperhatikan.

Dan lima menit yang lalu, betapa terkejutnya Tim SAR yang berjaga di posko awal pendakian, Yashinta datang sendiri dengan tubuh luka, tertatih dengan tongkat seadanya di tangan. Langsung jatuh pingsan. Goughsky segera meluncur turun. Menghentikan pencarian. Menelepon Dalimunte. Melaporkan kondisi terakhir.
"Yashinta baik-baik saja.... Hanya lelah, terlalu lelah.... Ya Allah, saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.... Dia bertahan hidup selama tiga puluh enam jam tanpa air minum sekalipun..."

Dalimunte menelan ludahnya. Ketegangan itu mencair. Mamak menatapnya. Ingin tahu apa yang membuat wajah Dalimunte berubah sedemikian rupa. Juga Cie Hui, Wulan dan Jasmine.

"Aku akan segera membawa Yashinta pulang ke perkebunan. Sebentar lagi helikopter milik Mr dan Mrs Yoko tiba.... Langsung setelah mendapatkan perawatan, Yashinta akan segera pulang, Mr dan Mrs Yoko mengijinkan helikopternya dibawa ke Lembah Lahambay—" Goughsky herjanji.
Menutup pembicaraan.
Dalimunte menghembuskan nafas lega.

"Ada apa?" Cie Hui bertanya, memegang lengan suaminya. "Yashinta, Yashinta sudah ditemukan — "
Dalimunte berbisik pelan. Ditemukan? Cie Hui melipat dahi. Tidak mengerti. Beruntung Mamak tidak mendengarkan. Kalau tidak akan timbul banyak sekali pertanyaan. Karena Dalimunte selalu bilang Yashinta masih di perjalanan. Terlambat saat turun dari Gunung Semeru. Hujan deras disana. Penerbangan juga banyak di cancel. Menutupi fakta kalau sudah 36 jam tdepon genggam satelit Yashinta putus kontak.
Beruntung pula, sebelum Mamak benar-benar ingin bertanya, mendadak terdengar suara derum mobil di luar.
Pintu-pintu yang dibanting. Seruan Bang Jogar. Langkah kaki yang berderak menaiki anak tangga kayu.

Dan sekejap, Ikanuri dan Wibisana sudah masuk ke dalam ruangan. Setengah berlari. Dengan wajah cemas
Ikanuri bahkan tidak mempedulikan Dalimunte yang berdiri di depan kamar. Melewati Cie Hui, Jasmine, Wulan, bahkan Mamak. Ikanuri langsung menghambur ke ranjang Kak
Laisa. Matanya berkaca-kaca. Sungguh ia sesak menahan kalimat itu. Kalimat yang tertahan seperempat abad lebih, 25 tahun. Sungguh sejak di kereta ekspress Eurostar dia takut tak sempat lagi mengatakannya.

Ikanuri langsung bersimpuh, gemetar menciumi tangan Kak Laisa, Wajahnya buncah sudah oleh rasa sesal. Dan dia seketika menangis—
"Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais.... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Laisa bukan kakak kami— ?" Dan Ikanuri tersungkur sudah. Tersedu.

Padahal saat itu Kak Laisa masih tertidur.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 39

No comments:

Post a Comment