Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB I7

17
YASIN YANG DIBACAKAN

MOBIL KIJANG itu pelan masuk ke halaman rumah.

Rumput yang terpotong rapi menghampar bagai beludru. Pohon duku, jeruk, durian, dan kakao yang dibonsai berbaris rapi. Minggu-minggu ini buahnya masih terlalu muda untuk dipetik, tapi melihatnya sudah cukup menyenangkan. Rumah panggung itu terlihat terang. Belasan lampu neon bersinar lembut. Ramai. Beberapa penduduk terlihat duduk berkerumun di kursi bambu yang tersusun di depannya. Juga di teras. Mereka serempak berdiri saat mobil jemputan kebun strawberry itu mulai memasuki halaman rumah.

Tidak. Tentu saja itu bukan rumah panggung paling kecil, paling reot, paling jelek di ujung lembah. Itu masih rumah yang lama, masih di lokasi yang sama, tapi sekarang sudah bertambah tiga kali lipat ukurannya, sudah berdiri kokoh, beratap genteng. Meski masih sama dinding kayunya, sudah berdiri asri. Halamannya yang sejak dari dulu sudah luas, sekarang dipenuhi bebungaan dan pohon-pohon bonsai. Rumah panggung itu juga terlihat modern dengan instalasi listrik dan rangkaian ornamen kaca warna-warni.

Kampung itu sejak dua puluh tahun silam pelan tapi pasti memang berubah jadi lebih baik. Lebih maju. Hari ini, seluruh rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan sanitasi dan halaman yang rapi. Jika kalian sempat datang ke sana, kalian seperti melihat deretan bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu tentu termasuk rumah tua Mamak Lainuri.

Tidak ada lagi hamparan semak belukar. Juga ladang-ladang padi tadah hujan di sekitar kampung. Apalagi kebun mangga Wak Burhan. Yang ada, sejak memasuki lembah radius dua kilo meter, hanya perkebunan strawberry yang membentang luas. Hijau sepanjang mata memandang. Buah merah yang beranjak ranum terlihat mengundang, bergelantungan, meski senja yang beranjak malam membuat remang sekitar. Kebun-kebun itu separuhnya milik penduduk kampung, yang bentuk dan susunannya dibuat sedemikian rupa agar sama seperti separuh lainnya, milik Kak Laisa.

Berbaris. Polybag pohon strawberry terlihat seperti lajur-lajur tentara yang berbaris rapi. Jalan setapak yang sudah diaspal melingkari kebun-kebun. Memudahkan untuk

mengangkut buah strawberry saat panen tiba. Juga menjadi trek mengasyikkan, naik turun lembah mengelilingi perkebunan. Satu bangunan besar terlihat di tengah hamparan hijau perkebunan. Itu gua penyimpanan sementara sebelum buah strawbeery dibawa ke kota provinsi. Lampu-lampu bangunannya bersinar redup. Malam ini, lima truk milik gudang berjejer, besok pagi-truk itu berangkat ke pusat pengalengan.

Orang-orang yang tadi duduk di kursi bambu beranjak mendekat. Mengerubungi mobil jemputan perkebunan. Dalimunte membuka pintu mobil. Melangkah turun.
"Akhirnya kau tiba, Dali —" Orang-orang berseru, memeluknya.
Dalimunte menelan ludah. Menatap wajah-wajah bersimpati itu. Balas memeluk. Dia mengenalinya. Amat mengenal. Mereka adalah tetangga-tetangga kampung. Satu dua terhitung teman sepermainan masa kecil. Mereka seperti sedang bersiap. Bukan. Bukan bersiap menyambutnya. Bersiap untuk urusan lain. Dalimunte sekali lagi menelan ludah "Ayo, kalian jangan menghalangi Dali, biarkan dia masuk—"

Seorang lelaki setengah baya berkata tegas, menyeringai, menyuruh kerumunan menyingkir. Itu Bang Jogar, pemuda yang paling banyak bertanya soal urusan lima kincir air dulu di balai kampung. Umurnya sekarang lima puluh. Kepala kampung (jika lembah indah itu masih layak disebut kampung). Wak Burhan sudah meninggal sepuluh tahun silam. Bang Jogar dipilih dengan suara bulat oleh penduduk menjadi penerus. Kerumunan tetangga menyibak. Memberikan jalan.
"Ayo, Dali. Mamak Lainuri sudah menunggu kau dari tadi—" Dalimunte mengangguk, "Apa Kak Laisa baik-baik-baik saja?"
"Aku tidak tahu, Dali. Dokter lebih tahu urusan itu kan tahu, abang-abangmu ini di kampung mana pernah sekolah hingga kelas enam kecuali kau dan anak-anak kami sekarang," Bang Jogar tertawa, bergurau, mencoba menghibur Dalimunte yang cemas.

"Tapi terakhir kali aku atas, lima menit lalu, Laisa sudah siuman. Kata Mamak Lainuri, Laisa sempat bicara dengan Ikanuri dan Wibisana lewat telepun, Hei! Kalian bantulah koper-koper Dalimunte dari mobil. Jangan macam anak uwa, sibuk menonton saja. Atau seperti kubilang tadi, ikut mengaji yasin di surau sana!—"
Bang Jogar meneriaki pemuda-pemuda tanggung di kursi bambu,

Cie Hui, istri Daiimunte membantu Intan, yang baru bangun tidur, turun dari mobil. Intan menggendong ransel sekolahnya, menyeka anak rambut dari kening. Tadi sempat tertidur di mobil. Dibangunkan Abi persis masuk areal perkebunan strawberry. Si belang sudah loncat saat pintu mobil dibuka. Hamster itu amat familiar dengan areal perkebunan. Setiap dua bulan mereka pulang, si belang selalu ikut. Malah menurut Oom Ikanuri, si belang punya pacar hamster liar lembah. Ah, pasti Oom Ikanuri ngibul, kan Oom Ikanuri memang suka bohong. Dalimunte beranjak menaiki anak tangga, diikuti Cie Hui dan Intan (yang masih menguap).
Menghela nafas tertahan, masuk ke ruang depan. Ruangan yang dulu menjadi tempat dia, Ikanuri dan Wibisana tidur bertiga. Dengan sarung beralaskan tikar pandan, bersama angin malam yang menembus dinding berlubang. Dalimunte menatap sekitar, beberapa ibu-ibu dan anak gadis tetangga berkerudung rapi, duduk di tepi-tepi ruangan, melingkar membaca yasin bersama-sama. Kebiasaan setempat jika ada urusan seperti ini. Di surau kampung yang sekarang berubah menjadi masjid kecil tapi megah, lelaki dewasa juga bersama-sama membaca yasin. Suara mereka terdengar hingga sini.

Dalimunte menelan ludah untuk kesekian kalinya. Jika sudah sampai membaca yasin agar yang sakit dimudahkan urusannya, berarti sakit Kak Laisa serius sekali. Menghela nafas pelan. Terus melangkah menuju kamar Kak Laisa. Wajah-wajah terangkat, melihat rombongan. Tersenyum kepada Intan yang menoleh ke sana ke mari. Intan hanya nyengir membalas tatapan itu, berpikir pendek, ramai betul lagi ada kendurian, ya?

Apa yang sebenamya terjadi? Dalimunte mengusap wajah. Bagaimana mungkin semua tiba-tiba jadi terlihat sendu seperti ini?

Bukankah satu bulan lalu saat mereka pulang bersama, jadwal berkumpul rutin mereka, Kak Laisa terlihat sehat-sehat? Tertawa-tawa menggendong Intan, Juwita dan Delima bergiliran menuruni dinding cadas sungai. Berkeliling kebun strawberry dengan sepeda BMX. Mengawasi gudang penyimpanan. Bahkan Kak Laisa masih sempat-sempatnya mencari sendiri umbut (ujung rotan) di hutan untuk membuat masakan surprise bagi mereka. Menu favorit Yashinta, Ikanuri dan Wibisana, dan juga ponakannya.
Kak Laisa tak sedikitpun terlihat sakit. Riang meladeni Intan, Juwita dan Delima yang bertengkar memperebutkan foto Tante Yashinta. Galak meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang selalu saja jahil entah melakukan apa kepada anak-anak. Meladeni Ikanuri dan Wibisana yang masih saja suka mengganggu Kak Laisa dengan celetukan-celetukan. Tertawa. Bermain kembang api bersama anak-anak kampung. Membuat langit lembah bercahaya oleh gemerlap nyala kembang api. Membakar jagung di halaman rumah bersama tetangga-tetangga.

Kak Laisa tidak berubah sedikit pun, persis seperti melihat foto masa lalunya, hanya saja sekarang piguranya terlihat kecokelatan. Umurnya sekarang empat puluh tiga. Tapi ia masih sama disiplinnya, terus bekerja keras mengurus kebun, mengurus Mamak, mengurus pabrik pengalengan, mengurus sekolah di lembah, mengurus apa-saja. Melakukan banyak hal. Masih sama atletisnya, masih dengan tubuh gemuk tapi gempalnya. Padahal kalau Kak Laisa ingin duduk-duduk santai, tidak masalah. Pabrik itu punya belasan pekerja. Warga dari kampung atas dan seberang. Juga turut bekerja di perkebunan beberapa insinyur pertanian lulusan institut pertanian kota provinsi.

Sekarang? Ya Allah, bagaimana mungkin seluruh rumah terlihat seperti sedang bersiap melepas kepergian seseorang. Yasin yang dibacakan? Warga yang berkumpul? Dalimunte menggigit bibir, sakit apa sebenarnya Kak Laisa?

Dalimunte tidak tahan lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa. Terhenti. Langkahnya terhenti seketika persis di bawah bingkai pintu. Lihatlah! Ya Allah, apa maksud semua ini?

Kamar Kak Laisa penuh dengan peralatan medis. Selang infus, belalai-belalai plastik. Layar bertuliskan garis-garis hijau. Alai-alat bantu lainnya. Tabung oksigen. Masker. Kaki Dalimunte bergetar. Matanya mencari di sela-sela peralatan medis yang pasti didatangkan dari rumah-sakit kota provinsi. Mata Dalimunte akhirnya menemukan sosok itu. Menatap nanar tubuh besar (tapi pendek) itu. Yang terbaring lemah di atas ranjang. Mamak Lainuri duduk di sebelahnya, menoleh karena mendengar seruan-seruan dari luar.

Mamak bertanya lirih. Siapa yang telah tiba? Dalimunte—

Dalimunte justru sudah terpaku bersitatap dengan mata redup Kak Laisa.



NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB I8

No comments:

Post a Comment