Thursday, September 24, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 6


6
BERANG – BERANG YANG LUCU

"YASH! BERHENTI SEBENTAR, YASH!!"

Dua rekan Yashinta patah-patah menuruni bebatuan gunung ketinggian 3000 meter dpl. Yashinta tidak menoleh. Mata, tangan, kakinya konsentrasi penuh menjejak trek yang

sempit dan berbahaya.
"YASH, TUNGGU — " Terus menuruni bebatuan.
"Yash, kan tidak semua orang seatletis kamu naik-turun gunung! Kalau keseleo. Benar-benar celaka, tahu!"
Tersengal-sengal.

Yashinta, gadis berambut panjang itu demi mendengar seruan dengan intonasi setengah memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan langkahnya, menoleh. Berpegangan ke salah satu batu besar. Jurang terjal, menganga di kiri kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi lalai sedetik saja, mahal sekali harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya turun dari gunung jauh lebih berbahaya dibandingkan naiknya— apalagi dengan stamina yang terkuras habis waktu mendakinya.

"Ada apa, sih?"

Teman cowoknya bertanya setelah berhasil mendekat. Satu kata, satu tarikan nafas. Hosh, Hosh, Hosh. Uap mengepul dari mulut. Kedua rekannya membungkuk memegangi perut. Capai. Gila, mereka lima belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop dari puncak Semeru.
"Aku harus pulang!"
"Iya, kami tahu kau harus pulang, tapi ada apa?"
Yashinta tidak menjawab, ia malah menurunkan ranselnya. Mengeluarkan botol 500 mili minuman berion, pengganti keringat. Melemparkannya ke dua rekannya yang masih tersengal.
"Trims, Yash." Masih tersengal.
Lengang sejenak. Yashinta (yang sedikitpun tidak tersengal) memperbaiki posisi peralatan di ransel berukuran semi carrier-nya. Mengencangkan syal di leher. Angin pagi
bertiup pelan. Terasa begitu menyenangkan. Membelai anak rambut. Menelisik di sela-sela kuping. Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun. Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu. Sama persis.
Lembah itu....

Rasa haru itu menelisik lagi hatinya. Mengiris membusai perih di mata. Yashinta mengusap ujung-ujung matanya, Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Berpilin. Berputar. Terlemparkan. Dua puluh lima tahun silam.
Kenangan-kenangan itu kembali sudah.
Di sini juga angin selalu bertiup menyenangkan. Tidak pagi. Tidak siang. Tidak juga malam. Tapi sepanjang hari, sepanjang malam. Angin selalu berhembus lembut membelai anak-anak rambut.
"Masih jauh, Kak?"
Kaki-kaki kecil itu menjejak air anak Mingai setinggi mata-kaki. Kecipak-kecipak. Sungai yang jernih. Di tengah hutan ini ada puluhan cabang anak sungai kecil seperti ini.

"Masih—" Tubuh gendut dan gempal yang lima belas senti lebih tinggi dibandingkan anak kecil di belakangnya menjawab pendek. Burung-burung berhamburan dengan suara ramai saat dua anak itu membelah jalanan setapak rimba.

"Seberapa jauh lagi? Lima menit? Sepuluh menit?" kecipak-kecipak. Bebatuan licin menyembul dari permukaan sungai. "Masih jauh! Dan kau jangan sampai terpeleset, YASH!"

Suara nyanyian puluhan burung memenuhi langit-langit hutan. Cahaya pagi menerobos sela dedaunan, menerabas sela-sela putihnya kabut. Membuatnya seperti mengambang. Bahkan seolah-olah kalian bisa menangkap berkas cahaya itu. Mereka sejak setengah jam lalu menelusuri hutan. Tangkas yang satunya, yang berjalan di depan, berjalan sambil menebas ujung-ujung semak belukar yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.

Kedua anak perempuan itu sebenarnya berbeda umur cukup jauh. Yang besar sudah sekitar enam belas tahun, yang kecil baru enam tahun. Tapi karena perawakan yang lebih besar sepertinya tidak akan tumbuh normal, sebaliknya yang lebih kecil tumbuh lebih cepat, maka mereka seperti berbeda umur dua-tiga tahun saja.

Mereka lahir disebuah lembah indah yang sempurna dikepung hutan belantara. Terpencil dari manapun. Dua jam perjalanan dari kota kecamatan terdekat. Namanya, Lembah Lahambay. Persis di tengah-tengah bukit barisan yang membentang membelah pulau. Deretan gunung-gunung kecil. Ada sebelas puncak gunung setinggi 1.500-2.000 meter dpl di kawasan lembah itu.

Terselip disana-sini, ada sekitar empat perkampungan radius sepuluh kilo di Lembah Lahambay. Berjauhan satu sama lain. Paling dekat terpisah satu kilometer. Satu perkampungan paling banyak terdiri dari 30-40 rumah panggung. Perkampungan mereka terletak paling tepi, paling bawah, berbatasan langsung dengan hutan rimba. Tapi meski disekitar kampung banyak terdapat sungai, celakanya posisi kampung itu tetap lebih tinggi dari manapun. Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas setinggi lima meter, yang membuat kampung itu seperti sempurna terpisah dari rimba.

Untuk menuruni dinding cadasnya saja sudah sulit bukan main. Maka tidak seperti desa-desa yang lazimnya dekat dengan hutan (yang otomatis berarti dekat dengan sungai), disini penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka hanya berharap pada siklus kebaikan langit. Selebihnya bekerja mencari rotan, damar, kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku di kota kecamatan.
"Masih jauh, Kak? Lima menit? Sepuluh menit?" Gadis kecil yang berumur enam tahun bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di rambut.
" Masih!"
Laisa nama kakaknya, kali ini menjawab dengan nada sebal. Itu pertanyaan yang ke dua puluh sepanjang perjalanan mereka. Adiknya selalu saja suka bertanya. Berulangkali, Tidak bosan-bosannya. Malah pakai "menit-menitan" segala. Bisa sabar dikit kenapa!

Lembah Lahambay selalu terbungkus kabut di pagi hari, ketika kehidupan di rumah-rumah mulai menyeruak sejak kumandang adzan shubuh dari surau. Asap putih mengepul dari dapur. Melukis langit-langit lembah. Pertanda kehidupan sudah dimulai.

Satu-satunya akses dari kota kecamatan ke lembah itu hanyalah jalan bebatuan selebar tiga meter. Di desa atas, satu kilometer dari kampung mereka, yang penduduknya lebih maju dan lebih berada, ada dua mobil starwagoon tua yang sering bolak-balik ke kota kecamatan. Terkentut-kentut membawa hasil kebun, hutan, atau apa saja penduduk lembah tersebut, melewati jalanan buruk. Naik turun. Di desa atas juga ada sekolah dasar, meski seadanya. Bagaimana tidak seadanya? Hanya ada satu guru untuk semua kelas. Kelas? Itu bahasa yang lebih halus untuk menyebut bangunan jelek beratap seng karatan, berdinding anyaman bambu, berlantai semen pecah-pecah.

Mereka terbiasa dengan semua keterbatasan. Terbiasa dengan kehidupan terpencil. Jadi wajar sajalah melihat dua anak perempuan merambah hutan di pagi buta. Pemandangan lumrah di lembah ini! Anak-anaknya tumbuh dan akrab dengan kehidupan sekitar. Tadi selepas shalat shubuh jamaah, persis saat perkampungan masih gelap, selepas belajar mengaji Juz'amma dengan Mamak, Kak Laisa akhirnya bilang akan menemani Yashinta pergi melihat berang-berang. Kabar yang membuat Yashinta langsung berseru riang tak henti selama lima menit. Bergegas melepas mukena kumalnya.

Sebulan lalu saat Kak Laisa membantu Mamak mengumpulkan damar jauh di tengah hutan. Kak Laisa tidak sengaja menemukan tebat (bendungan) yang dibuat berang-berang. Hebatnya di sana ada lima ekor anak berang-berang yang sedang berenang. Lucu sekali melihatnya. Meski kemudian Kak Laisa benar-benar menyesal menceritakan apa yang dilihatnya kepada Yashinta, apalagi dengan menambahinya dengan kalimat: lucu sekali melihatnya.
Menceritakan itu ke Yashinta sama saja dengan mengundang masalah. Maka tak kunjung henti setiap malam Yashinta merajuk ingin ke sana. Menarik-narik baju gombyor Kak Laisa. Jengkel. Atau mungkin pula akhirnya lelah dengan bujukan adiknya, pagi ini Laisa memutuskan mengajak Yashinta untuk melihat langsung. Waktu paling baik melihat berang-berang adalah pagi hari. Semakin pagi semakin baik.
"Hati-hati, Lais! Jaga adikmu!"

Mamak Lainuri berkata tajam dari bingkai pintu. Itu pesan Mamak tadi sebelum berangkat. "Yash, kan sudah besar, Mak! Tidak perlu dijaga!"
Yashinta yang justru menjawab, sambil nyengir. Memasang sepatu bot butut miliknya. Juga caping anyaman di kepala.
"Apa sih serunya lihat berang-berang? Gitu-gitu saja! Mana ada coba lucunya" Satu kepala anak lelaki menyembul dari belakang Mamak. Mukanya terlihat jahil. "Iya, apa coba lucunya!"

Satu lagi kepala anak lelaki menyusul. Wajah mereka berdua mirip benar. Kompak seperti biasa, menyeringai nakal ke arah Yashinta.
"Biarin! Pokoknya lucu!"
Yashinta cemberut, tidak mempedulikan kedua kakaknya.
"Yang keren tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat satu di atas Gunung Kendeng—"
"Ah-ya, harimau. Benar. Itu baru lucu. Malah anak-anknya ada enam, Yash. Lebih banyak. Lucu-lucu banget— "
"Iya, Kak? Harimau beneran?"
Gerakan tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat. Bertanya ingin-tahu.

" Wibisana! Ikanuri!"
Mamak Lainuri mendesis. Menyuruh dua sigung nakal itu diam.
Kedua anak lelaki itu kompak tertawa. Nyengir. Jangan pernah cerita sesuatu ke Yashinta. Adik terkecil mereka benar-benar tipikal anak yang suka penasaran. Ingin tahu segalanya. Tentu saja mereka tadi hanya bergurau. Seperti biasa mudah sekali menggoda Yashinta. Tapi Mamak Lainuri tidak suka gurauan mereka. Tidak pantas menjadikan 'harimau' sebagai bahan bergurau.
"Lais berangkat, Mak. Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam. Jaga adikmu. Dan pulang segera, Lais. Hari ini banyak pekerjaan di ladang!"
Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mengangguk. Sigap melangkah menuruni anak tangga. Yushinta langsung ngintil mengikuti. Lihatlah, meski baru enam tahun, Yashinta benar, ia sudah cukup besar untuk urusan ini. Tangkas menjejak rumput yang masih berbilur kristal embun. Tubuhnya meski terlihat kecil dan ringkih, tidak kalah atletisnya dibanding Kak Laisa yang gendut dan gempal.
Hutan, semakin lama semakin lebat.
Hiruk-pikuk burung memenuhi atas kepala semakin ramai. Seperti orkestra. Ada yang berdengking, berkicau, bernyanyi, bahkan ada yang seperti ngoceh tanpa henti. Itu burung si penggosip. Sibuk bicara, meski tidak penting. Dengking uwa (semacam monyet) dari kejauhan menimpali. Kuak suara ayam hutan. Nyamuk besar-besar berdesing di atas kepala. Sarang laba-laba. Mereka sudah berjalan hampir satu jam. Menyusuri jalan setapak yang kadang ada, kadang hilang di tengah hutan.

"Masih jauh, Kak?"

Kak Laisa tidak menjawab. "Masih jauh, Kak?"
"Ssst—" Kak Laisa menghentikan langkahnya.

Yashinta yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak, memegang lengan Kak Laisa dari belakang. Ingin tahu. Menyeruak ke depan. Tapi Kak Laisa malah menahan kepalanya. Mendelik menyuruhnya tetap di belakang. Dan tentu saja memberi kode: jangan berisik. Mereka sejak lima belas menit tadi sudah turun dari jalan setapak, menyusuri sungai kecil berbatu-batu itu.

Kak Laisa melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak perlu dijelaskan dua kali, ikut melakukannya. Menghilangkan suara kecipak kaki di atas air. Lima belas meter. Kak Laisa melangkah mengendap-endap menaiki tepi sungai. Yashinta tanpa banyak bicara ikut. Kalau sudah begini, berang-berang itu pasti sudah dekat, deh. Yashinta nyengir lebar. Juga ikut mendekam di balik sebatang pohon besar, di belakang Kak Laisa.

"Di depan sana—" Kak Laisa berbisik.

Wajah Yashinta sudah merah saking antusiasnya. Ia melapas caping anyamannya (kepalanya gerah) lantas merangkak mengintip dari balik batang besar itu. Mana? Mana? Mana? Suara getas ranting patah terdengar. Kak Laisa meucubit lengannya.

"Jangan berisik!" Mendesis.

Yashinta manyun sebentar. Kan tidak sengaja. Merangkak lebih hati-hati. Memperhatikan tempat yang ditunjuk Kak Laisa. Memang ada bendungan tiga-lima meter di depan mereka. Bendungan dari batang roboh yang persis melintang di tengah sungai. Yang sekarang dipenuhi dedaunan, ranting-ranting, dan tanah liat.
Mana anak berang-berangnya? Yang ada hanya dua ekor burung Meninting. Sibuk bercengkerama di atas bebatuan. Loncat-loncat. Mengembangkan sayap indah hitam bergaris-garis putih milik mereka. Saling menggoda.
Saat Yashinta siap mengeluh ke Kak Laisa sekali lagi. Bertanya man-na anak berang-berangnya. Pelan terdengar suara kecipak dari pohon roboh di tengah-tengah bendungan. Splash—

Aih! Mata Yashinta langsung melotot. Membesar. Splash. Splash. Splash—
Yashinta berseru tertahan. Sekali lagi dicubit Kak Laisa.

Untung seruan itu tidak terlalu keras. Jadi tidak ada yang terganggu. Gadis kecil itu mendekap sendiri mulutnya. Menyeringai cemberut, menoleh ke arah Kak Laisa yang nyengir galak.
Splash— Itu suara berang-berang ke lima yang meluncur ke dalam kolam bendungan buatan mereka. Bukan main, lima anak berang-berang itu meluncur anggun. Naik turun. Kepalanya celap-celup. Satu-dua jahil mengejar ikan-ikan kecil yang banyak berkeliaran di sela-sela mereka. Celap-celup. Sungai itu jernih. Jadi Yashinta bisa melihat hingga ke bebatuan dasarnya. Dua ekor kepiting yang tadi nangkring di pinggir kolam sungai segera menyingkir. Juga menyingkir sekumpulan udang yang sedang berjemur di bonggol kayu. Menyisakan burung Meninting yang terus cuek berloncatan da atas batu, tidak peduli dengan lima anak berang-berang. Mulut Yashinta terbuka. Terpesona.

Kak Ikanuri dan Kak Wibisana salah seratus persen, deh! Kata siapa anak berang-berang tidak lucu? Yashinta sekarang saking gemasnya malah sudah merangkak keluar dari balik batang, ingin melihat lebih dekat. Laisa hendak menarik tasnya, mencegah. Tapi demi melihat ekspresi muka Yashinta yang begitu sumringah, urung. Ia tidak ingin menganggu kesenangan adiknya. Akhirnya hanya tersenyum tipis, membiarkan. Itu sungguh senyum pertamanya sepanjang pagi ini, atau juga sepanjang minggu ini sejak Yashinta menyebalkan selalu merajuk minta diantar.

Ah, Kak Laisa memang jarang tersenyum.
Berang-berang itu terus berkejaran di beningnya air kolam. Uap mengepul dari inang sungai. Suara lenguh uwa terdengar dari kejauhan. Kicau ramai burung-burung, Matahari pagi semakin terik. Permainan cahayanya dari sela dedaunan yang memantul di beningnya air bendungan terlihat memesona. Pagi yang indah. Benar-benar pagi yang indah di Lembah Lahambay. Menyaksikan sendiri lima anak berang-berang berenang, saling bercengkerama, persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya dari jarak sepelemparan batu saja.

Itu sungguh hanya ada dalam mimpi berjuta orang....

Ada apa?

Yashinta menyeka matanya yang basah. Menatap datar kedua temannya yang nafasnya sudah kembali normal. Dingin angin pagi menyergap lereng Gunung Semeru. Cahaya yang menembus kabut terlihat menawan. Yashinta menarik nafas pelan. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Tepatnya belum. Yang ia tahu, ia harus pulang segera. SMS itu amat mencemaskan.

Terlebih tiba-tiba semuanya terasa ganjil. Sesak. Kenangan itu kembali bagai tontonan audio-visual dari layar teve LCD sejuta pixels. Begitu nyata. Begitu dekat. Seolah ia bisa menyentuhnya. Menyentuh wajah Kak Laisa yang pagi itu tersenyum tipis....
"Ada apa, Yash?" Teman ceweknya bertanya lagi.

"Aku harus pulang!" Yashinta menjawab pendek, menaikkan kembali ransel ke pundaknya. Meneruskan langkah.
Bergegas.




No comments:

Post a Comment