Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 33

33
AKU AMAT MENCINTAINYA


KAK LAISA terlihat gugup sepanjang pagi (bahkan sebenarnya sejak semalam). Meski ia berusaha menyembunyikannya dengan menyibukkan diri, memastikan semua baik-baik saja, wajahnya yang memerah tak bisa menyembunyikan perasaan

Dua minggu sejak kematian Wak Burhan. Selepas pembicaraari penting shubuh itu, Dalimunte menyerahkan foto - f oto dan profile rekan risetnya. Juga foto istri pertamanya. Menceritakan banyak hal. Menjawab banyak pertanyaan. Lantas Laisa mengangguk, mempersilahkan mereka segera datang untuk saling berkenalan.
Siang ini rombongan dari ibukota akan tiba.

Yang lain juga pulang, Hari ini penting bagi keluarga mereka. Ikanuri dan Wibisana lebih dulu pulang. Mereka sekarang sudah memiliki bengkel besar di kota seberang pulau, bengkel yang di kota provinsi diurus orang kepercayaan Mereka. Yashinta tetap tidak bisa pulang, semakin sibuk dengan penelitian tahun terakhir S2-nya. Tapi ia menyempatkan menelepon berkali-kali. Telepon pertama penuh dengan rajuk keberatan. Bagaimanalah Kak Laisa akan menjadi istri kedua? Ya Allah, apakah Kak Laisa harus melemparkan harga dirinya? Merendahkan martabatnya menjadi istri kedua? Dalimunte bahkan sampai marah menjelaskan banyak alasan. Telepon kedua, ketiga dan berikutnya lebih banyak diam (meski tetap merajuk). Dan akhirnya menangis tersedu saat Kak Laisa sendiri yang menjelaskan keputusan itu. "Kalau Yash tidak suka, Kakak akan membatalkannya, sayang. Sungguh, kalau Yash tidak setuju — "

Yashinta yang menelepon dari apartemennya di Belanda menyeka pipi. Ia tidak akan pernah membantah Kak Lais, Dulu tidak, apalagi sekarang.

Menjelang dzhuhur, dua kijang kapsul jemputan pengalengan buah strawberry itu tiba. Kak Laisa berkali-kali memperbaiki kerudungnya. Berkali-kali merapikan pakaian. Ia amat gugup. Mamak hanya tersenyum simpul. Mengenggam jemari Laisa. Menenangkan. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Lais.
Dan urusan sepanjang siang itu berjaian lancar, tidak sesulit yang dicemaskan Laisa. Rekan riset Dalimunte hanya datang seorang diri. Istrinya sakit, sudah dua hari mual dan muntah. Terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh. Rekan Dalimunte pandai menempatkan diri dalam urusan tersebut. Melontarkan humor dan pujian yang baik.

"Aku akhirnya mengerti bagaimana Dalimunte bisa menjadi ahli fisika yang hebat.... Tapi kau tidak lagi masih dipukul Laisa dengan rotan, bukan?"
Tertawa. Membuat suasana tegang mencair dengan cepat. Cie Hui juga membantu banyak Kak Laisa. Pertemuan itu tidak semenakutkan yang dipikirkan Laisa. Justru berjalan menyenangkan.

Mereka shalat dzhuhur sebelum melakukan pembicaraan. Menghabiskan makan siang. Mengelilingi perkebunan strawberry. Dalimunte benar, inilah kesempatan terbaik Kak Laisa. Rekan risetnya pilihan yang tepat. Dia sama sekali tidak mempersalahkan tampilan wajah dan fisik Kak Laisa.
"Bagiku kau secantik apa yang kau kerjakan untuk lembah ini, Lais!"
Menatap penuh penghargaan. Ah, dalam banyak kasus, kesalehan seseorang memang tidak bisa diukur dari tampilan mulut, tulisan dan apalagi pakaian. Dan kebersamaan sepanjang siang (bersama-sama dengan yang lain) itu sudah menjadi proses perkenalan yang baik. Memahami visi dan misi berkeluarga masing-masing. Memahami cara berpikir masing-
masing. Maka memang tidak perlu lagi pembicaraan formal. Semuanya berjalan santai. Mengalir.

Apa adanya.

Sekali dua, Kak Laisa memberanikan diri melirik rekan kerja Dalimunte. Memerah mukanya. Bersitatap satu sama lain. Lebih tersipu lagi. Ikanuri dan Wibisana, kabar baiknya sedang alim, mereka tidak sibuk menggoda Kak Laisa yang tersipu. Dalimunte hanya tersenyum lega, Kak Laisa akhirnya berkesempatan merasakan romantisme perasaan itu.

Selepas shalat isya, lepas menghabiskan makan malam di depan, sambil memandang hamparan perkebunan strawberry yang remang oleh cahaya lampu, rekan riset Dalimunte akhirnya menyampaikan maksud dan tujuannya dengan serius. Menatap wajah Kak Laisa sambil tersenyum,
"Laisa mungkin sudah mendengar beberapa hal tentang aku, sudah tahu beberapa tabiat, perangai.... Hari ini aku datang memperkenalkan diri secara langsung, sekaligus ingin mengenal secara langsung. Terus terang, aku merasa amat diterima di keluarga ini.... Kalau saja istriku bisa datang, ia pasti akan lebih senang dariku...."
Rekan kerja Dalimunte memberikan hadiah dari istrinya untuk Laisa. Seperangkat kain bordiran. Kak Laisa tersenyum malu.
"Aku amat mencintai istriku, tidak pernah sekalipun terlintas untuk menikah lagi, tapi aku berjanji, jika urusan ini berjalan sesuai yang direncanakan, aku akan belajar banyak bagaimana membagi cinta dengan adil.... Dan aku berharap Laisa bisa memberikan kesempatan untuk melakukannya, menjalani prosesnya dengan indah dan baik.... Aku sungguh ingin meneruskan proses ini...."

Malam itu sepertinya urusan benar-benar akan berjalan sesuai yang direncanakan. Meski berusaha untuk tetap terkendali seperti selama ini, muka tersipu dan memerah tidak bisa menyembunyikan perasaan Kak Laisa. Mamak Lainuri juga tersenyum bahagia. Malam itu sepertinya kabar baik itu benar-benar tiba.

Tetapi Allah ternyata memiliki rencana lain.

Yang sungguh membuat semua kebahagiaan sesaat itu lenyap tak berbekas. Malam itu, Kak Laisa untuk pertama kalinya tidak menghabiskan penghujung malam dengan berdiri di hamparan perkebunan. Ia tertidur lelap di kamarnya. Juga yang lain. Tapi kesunyian lembah mendadak robek oleh telepon dini hari. Dari rumah sakit ibukota.

Istri rekan kerja Dalimunte yang sudah dua hari terbaring lemah dilarikan ke rumah sakit dua jam lalu. Kondisinyn memburuk. Tapi bukan soal sakitnya yang merusak rencana. Kata dokter ia hanya lelah dan terlampau banyak pikiran. Anemia, penyakit kebanyakan ibu-ibu lainnya. Hanya perlu istrirahat total selama sebulan. Yang membuat semuanya mendadak berubah haluan seratus delapan puluh derajat adalah saat dokter memeriksa secara menyeluruh, ternyata istri rekan riset Dalimunte sedang hamil muda.

Gugup rekan kerja Dalimunte mendengar berita itu. Rasa senang. Rasa cemas. Entahlah. Buncah jadi satu. Kabar bahagia yang mereka tunggu selama lima belas tahun akhirnya tiba. Gugup membangunkan Dalimunte. Memutuskan pulang segera ke ibukota. Gugup menjelaskan kabar bahagia tersebut ke Mamak dan Kak Laisa. Awalnya tidak ada yang memikirkan kalau kabar bahagia itu akan memiliki banyak implikasi penting. Tidak ada. Ikanuri dan Wibisana menawarkan diri segera mengantar ke kota provinsi, agar bisa naik pesawat siang ini yang menuju ibukota.

Tidak ada yang berpikir tidak-tidak.

Hanya Kak Laisa yang berdiri di daun pintu, menatap kosong mobil yang dikemudikan Ikanuri membelah lengangnya shubuh Lembah Lahambay. Cahaya lampunya menghilang di tikungan Sana, seiring dengan menghilangnya cahaya mata Kak Laisa yang merekah bahagia dua puluh empat jam terakhir.
Kabar baik itu, ternyata bagai pisau bermata dua.
"Sungguh maafkan, Dali—" Dalimunte tertunduk lama sekali. "Tidak ada yang perlu dimaafkan—"

Kak Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte, menenangkan. Meski suara itu sebenarnya sedikit berbeda dari biasanya. Serak. Bergetar.
Malam ini, satu bulan sejak kunjungan rekan kerja Dalimunte ke perkebunan strawberry. Satu bulan yang berjalan menyedihkan. Apa yang dibilang berkali-kali oleh rekan kerja Dalimunte? Ia amat mencintai istrinya. Jika saja istrinya bisa mengandung anak-anaknya, maka ia tidak akan menikah lagi. Ini semua bukan salahnya. Dan jelas bukan maunya kenapa kabar baik tentang kehamilan tersebut justru tiba persis saat dia di titik serius untuk menikah lagi (dengan Kak Laisa). Rekan kerja Dalimunte amat menyesal. Meminta maaf sungguh-sungguh saat tadi siang kembali berkunjung. Mencium jemari Mamak. Menatap Kak Laisa penuh rasa sesal. Dengan hamilnya istrinya, dia tidak akan pernah tega untuk menikah lagi. Meski isterinya mendesak untuk tetap meneruskan rencana tersebut, menenggang perasaan Kak Laisa, tapi dia sungguh tidak bisa melakukannya.

"Apakah Kak Laisa kecewa?" Dalimunte tertunduk. "Mungkin tidak," Laisa menjawab pelan, menggeleng,

"Kakak sudah terbiasa, Dali.... Esok lusa, kesibukan dan waktu akan membuatnya terlupakan. Mungkin yang kali ini butuh waktu cukup lama. Membersihkan harapan-harapan yang terlanjur datang."

Dalimunte menggigit bibir. Dia sama sekali tidak menyangka akan seperti ini jalan ceritanya. Kesempatan baik itu? Dalimunte mengusap wajah kebasnya. Perjodohan yang urung itu merubah banyak hal. Rekan kerjanya memutuskan berhenti dari lab. Mereka juga pindah dari perumahan asri yang hanya sepelemparan batu dari rumah Dalimunte

"Aku merasa amat bersalah, Dali. Jadi biarkan aku pergi. Sekali lagi bilang Laisa, maafkan aku. Maafkan bila proses ini telah menyakiti hatinya."
Itu kalimat terakhir saat rekan kerjanya pulang tadi sore. Diantar sopir perkebunan,


Bulan sabit tergantung elok di antara bintang-gemintang. Minggu-minggu ini panen besar strawberry. Minggu-minggu ini harusnya menjadi saat yang menyenangkan bagi seluruh warga kampung. Menjadi hari berpesta bagi Lembah Lahambay. Entahlah apa yang persisnya ada di kepala Kak Laisa sekarang. Entahlah apa yang sedang berkecamuk di kepalanya. Ternyata kesempatan terbaiknya itu juga berakhir menyedihkan.



NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 34

No comments:

Post a Comment