Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 31


31
ISTRI KEDUA

"HALLO PROFESSOR, kami sudah di Singapore. Ya. Transit sebentar. Lima belas menit lagi langsung ke Jakarta. Apa? Oh, ?sudah! Tiketnya sudah diurus staf pabrik.... Kami berangkat ke Ibukota provinsi sore ini juga.... Jika tidak ada delay, bilang Mamak kami akan tiba nanti malam, mungkin menjelang tengah malam. Apa? Jemputan? Tidak usah, aku akan pakai mobil modifikasi bengkel di sana saja. Itu lebih cepat. Ya? Lebih cepat, Professor—" Ikanuri tetap saja harus berteriak-teriak, meski tidak ada lagi badai seperti di Pegunungan Alpen Swiss, semalam. Ruang tunggu bandara internasional Singapore itu ramai. Bising lalu-lalang penumpang sudah macam deru hujan deras saja, belum lagi teng-tong-teng pengumuman.

Mereka ahirnya tiba setelah penerbangan non-stop dua belas jam: Perancis-Singapore. Sudah siang. Matahari tiba di garis tertingginya. Setelah hampir sehari semalam tidak menyentuh makanan, Wibisana memaksakan diri mampir ke salah satu kedai fast-food bandara. Sambil menunggu pesawat berikutnya. Wajah mereka kuyu, kurang istirahat. bit lag pula. Bolak-balik melangkahi perbedaan waktu hampir belasan jam membuat pusing kepala. Merusak bio-ritme. Rambut semrawut. Kemeja berantakan. Malah salah satu kaki celana panjang Ikanuri tergulung sembarangan. Habis shalat dhuzhur, lupa dirapikan. Meletakkan tas laptop dan barang bawaan sembarang di sekitar meja makan.

"Tidak. Aku tidak tahu.... BELUM! Apa? Aku sudah puluhan kali menelepon HP satelit Yashinta. Dasar sialan. Kemana pula anak ini sekarang.... Jangan. Jangan bilang Kak Laisa kalau HP Yashinta tidak bisa dihubungi. Ya Allah, itu akan membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. Kau tidak boleh bilang.... Tentu saja aku sekarang ikut cemas, Profesor! Ikanuri mengusap dahi. Sedikit sebal dengan intonasi suara Dalimunte.
Pelayan mengantarkan kue donut besar-besar. Wibisana yang sedang menatap adiknya bicara via telepon genggam dengan Dalimunte di perkebunan strawberry mengalihkan tatapan. Aroma kue itu cukup mengundang, meski mereka tetap tidak berselera makan. Menelan ludah. Kalau saja ada Juwita, Delima, dan Intan, ketiga anak-anak nakal itu pasti bisa menghabiskan menu ini dalam sekejap, satu menit. Itu bahkan sudah termasuk waktu yang dibutuhkan untuk bertengkar. Berebutan.
"Tadi aku sudah menelepon Goughsky. Dia juga kebetulan sedang di sekitar Semeru. Biar dia yang mencari kemana anak itu. Apa? Semoga tidak.... Semoga tidak, Dali. Yashinta pasti
baik-baik saja. Kau berlebihan. ANAK ITU SUDAH MENDAKI 27 GUNUNG DI SELURUH DUNIA .... SEMUA BAIK-BAIK SAJA! Baiklah, bilang Mamak dan Kak Laisa kami paling telat akan tiba malam ini...."

Ikanuri meletakkan telepon genggam di atas meja. Meski wajahnya terlihat kusut dan cemas, sedetik kemudian dia akhimya bisa tersenyum.
"Apa kata Dali?" Wibisana bertanya.

"Kak Laisa sudah membaik. Pagi tadi sudah bisa shalat Shubuh sambil duduk. Dokter bilang, ada sedikit kemajuan." Wibisana ikut tersenyum, lega,
"Apa kubilang, Kak Laisa akan baik-baik saja. la akan baik-baik saja—" "Tapi kata dokter, kanker paru-parunya sudah stadium IV ,"

Ikanuri menelan ludah. Senyumnya terhapus.Stadium IV? Itu berarti tak ada lagi kemungkinan untuk operasi. Terdiam. Wibisana melepaskan kue donut yang dipegangnya. Bagaimana mungkin mereka selama ini tidak tahu?

Umur Laisa hampir empat puluh (tepatnya tiga puluh tujuh tahun) ketika akhirnya kesempatan baik itu datang. Kesempatan baik?
" Kau sungguh-sungguh?" Dalimunte bertanya sekali lagi.

"Tentu saja, Dali. Istriku juga sudah melihat foto dan bio-data Laisa. Itu akan jadi pilihan yang baik dalam urusan ini—" Tersenyum. Kolega riset Dalimunte di laboratorium itu tersenyum tulus.

Istriku? Nah inilah yang sedikit menjadi masalah. Kolega Dalimunte tersebut, calon jodoh Kak Laisa kali ini, sudah beristri. Umurnya juga sudah empat puluh. Mereka sudah menikah lima belas tahun, dan kabar buruknya hingga hari ini belum mendapatkan anak juga. Istrinya, yang memiliki masalah dengan rahim dan kesuburan, memberikan kesempatan kepada suaminya untuk menikah lagi.

Dalimunte tahu persis kalau rekan kerjanya tersebut sedang mencari istri kedua. Tapi butuh tiga bulan untuk meyakinkan, hingga akhimya menyebutkan nama Kak Laisa ke rekan kerjanya tersebut. Kak Laisa menjadi istri kedua? Sungguh awalnya Dalimunte tidak bisa membayangkan. Tetapi lihatlah, mungkin itu jalan keluar yang baik semua urusan ini. Setelah berbicara banyak dengan Cie Hui, diam-diam juga bicara dengan Wak Burhan dan Mamak saat jadwal rutin pulang dua bulan sekali. Keputusan itu diambil.

"Sudah menjadi kodrat manusia hidup berkeluarga, Dali. Menjadi istri kedua, ketiga atau keempat tidak selalu pilihan yang buruk seperti yang dibayangkan banyak orang ini. Jika ada alasan yang baik, penjelasan yang baik, itu bisa menjadi jalan keluar yang bijak, bukan? Allah membolehkan seorang lelaki memiliki empat istri dalam waktu bersamaan jika dia bisa berlaku adil, tentu karena ada alasan baiknya Allah menyimpan banyak sekali rahasia dalam sebuah pernikahan...." Wak Burhan menghela nafas.

"Kalau Kakakmu tidak berkeberatan, Mamak hanya bisa bilang ya," Mamak memperbaiki tudung kepala (setelah terdiam lama),

"Kau bicarakan dulu baik-baik dengan Laisa. Sampaikan dengan baik-baik...."

Maka Dalimunte segera kembali ke ibukota. Dia berfikir lebih baik berbicara dengan kolega risetnya lebih dulu. Jika semuanya baik, memastikan kolega risetnya tidakberkeberatan dulu dengan tampilan wajah dan fisik Kak Laisa, maka lebih mudah membicarakannya lebih lanjut dengati Laisa. Dan kabar baik itu benar-benar tiba. Rekan kerjanya 100% tidak keberatan meski telah melihat foto Kak Laisa. Istri pertamanya juga tidak keberatan.
"Kau tahu, justru istrikulah yang menyarankan aku menikah lagi."
Rekan kerja Dalimunte menatap lamat-lamat wajah istrinya yang duduk di sebelahnya. Itu kunjungan ketiga Dalimunte ke rumah mereka yang asri, sepelemparan batu dari rumah Dalimunte dan Cie Hui.
"Aku mencintai isteriku. Amat mencintainya. Jika saja ia bisa melahirkan anak-anak kami....
Aku sungguh tidak pernah bisa membayangkan harus menikah lagi—"
Pasangan itu saling menggenggam tangan. Dalimunte tersenyum menatapnya. Ini mungkin jalan keluar yang baik. Menyelesaikan masalah keluarga mereka, sekaligus menyelesaikan masalah Kak Laisa. Wak Burhan benar, jika ada alasan yang baik, tidak selalu poligami itu buruk.
"Aku akan mencintai Laisa dengan baik, Dali. Akan menjadi suami yang adil. Meski amat susah membayangkan harus membagi cintaku.... Semoga ia tidak keberatan menjadi istri kedua.... Semoga ia memberi kesempatan padaku untuk belajar dalam proses sulit ini. Ia sungguh pilihan yang baik. Isttriku menyetujuinya, dan aku sudah berjanji kepada istriku, akan membuat pernikahan-pernikahan kami bahagia.... Bilang kepada Mamak dan Laisa, kami akan datang memperkenalkan diri minggu depan. Kami akan melamar Laisa."

Maka Dalimunte, demi mendengar kalimat hebat tersebut, segera kembali ke perkebunan strawberry. Sekarang menyelesaikan bagian penting berikutnya. Menjelaskan kepada Kak Laisa tentang: posisi istri kedua.

Hamster belang itu mengangkat-angkat kepalanya. Berjinjit. Kedua kaki depannya memegang erat-erat buah strawberry matang. Menggigit. Menjilat. Lucu sekali melihatnya sibuk menaklukkan buah merah tersebut. Intan duduk di sebelah Wak Laisa, tertawa. Juga juwita dan Delima. Ranjang besar itu besar, menyisakan ruang yang cukup buat berempat.

"Wawak sudah mendingan?"

Sejenak Juwita menolehkan kepala, menatap Wak Laisa yang ikut tersenyum. Menonton kelakuan Rio, hamster belang Intan.
Laisa mengangguk. Pagi ini ia merasa lebih kuat (seperti dulu, meski fisiknya sakit, semangat yang tinggi selalu memberikan kekuatan, kehadiran tiga sigung kecil ini juga membuat Kak Laisa kembali merasa kuat, meski entah hingga kapan). Bosan jadi pusat perhatian, dan sebal karena buah strawberry tidak mudah digigit, hamster itu melempar buah strawberry sembarangan, lantas dengan cuek loncat turun dari tempat tidur,
"Wawak haus? Intan ambilin minum buat Wawak, ya?"

Wak Laisa mengangguk. Gadis kecil sembilan tahuti ini turun, melangkah keluar ruangan. Eyang Lainuri duduk di kursi tengah ruangan, juga Dalimunte. Cie Hui, Wulan dan Jasmine ada di ruang belakang, mengurus dapur dan sebagainya. Tetangga masih berkumpul. Cemas menunggu kabar sakitnya Laisa. Mereka belum mengaji yasin lagi. Kabar membaiknya Laisa membuat situasi rumah sedikit riang> Cie Hui memutuskan membuat makan besar. Dibantu anak gadis tetangga lainnya. Tetangga sekitar yang berkumpul sejak dua hari lalu pasti tidak sempat masak di rumah. Mereka bahkan menghentikan aktivitas sehari-hari.
"Yee, Kak Intan ngapain pula bawa gelang-gelang ini? Juwita dan Delima hampir berseru berbarengan saat Intan kembali sambil membawa nampan air minum ( dengan beberapa gelang "Safe The Planet"-nya).

"Nih, buat kalian—" Intan melotot, menyerahkan dua gelang. "Mending gratis."
Mulut Juwita kumur-kumur protes. Orang dibayar lima ribu saja mereka tetap tidak mau pakai. Lah, ini justru disuruh bayar lima ribu. Delima ikut-ikutan malas menerimanya. Tapi daripada nanti Kak Intan marah-marah, terus nyubit perut. Mending ngalah. Nanti kan sembunyi-sembunyi bisa dilepas.
Kak Laisa yang berbaring bersandarkan bantal tertawa kecil. Juwita dan Delima benar-benar mirip kedua ayahnya. Dulu meski bandel, melihat kelakuan Ikanuri dan Wibisana sungguh memberikan semangat hidup baginya. Meski keras kepala, selalu membantah, kedua
sigung kecil itu membuat masa kecil dan remajanya yang sulit dan penuh kerja keras, menjadi berwarna dan berisik sepanjang hari.

Mereka sejak dulu, selalu menjadi adik-adik yang baik. Hanya soal bagaimana mereka menunjukkannya saja yang sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Mereka hanya menuntut perhatian. Sayangnya, Mamak setiap hari sibuk bekerja. Juga dirinya. Kebersamaan di rumah hanya ada lepas maghrib, itupun dengan wajah-wajah lelah. Maka dua sigung kecil itu juga sibuk mencari perhatian. Nakal.


Ikanuri dan Wibisana sejak dulu memang beda, dan sekarang tabiat jahil mereka sempurna diwarisi oleh Juwita dan Delima.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 32

No comments:

Post a Comment