Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 29


29
PERNIKAHAN PERTAMA

PERNIKAHAN Dalimunte - Cie Hui berlangsung satu bulan kemudian.

Pernikahan yang meriah. Halaman luas rerumputan itu dipasang dua tenda besar. Penduduk empat desa di Lembah Lihambay ramai memenuhi kursi-kursi. Tidak terhitung kolega Dalimunte darii bukota. Saat itu dia belum mendapatkan gelar profesor, tapi berbagai penelitian yang dilakukannya telah membuat Dalimunte terkenal. Juga tamu-tamu dari kota kecamatan, kota kabupaten, hingga kota provinsi, kenalan Kak Laisa dalam bisnis perkebunan strawberry. Di salah satu kursi undangan bahkan duduk rapi Bupati setempat.

Tetapi ada yang sedikit berbeda dibandingkan dengan banyak pernikahan di lembah tersebut sebelumnya. Wak Burhan beberapa hari sebelum acara berlangsung meminta penduduk kampung untuk tidak membicarakan soal melintas. Tidak sibuk menggoda Kak Laisa soal kapan ia akan menikah juga. Urusan ini tidak pantas dibicarakan. Tidak buat Laisa yang telah melakukan banyak hal untuk lembah mereka. Jadi pernikahan itu berlangsung 'sebagai mana mestinya'.
Dalimunte dan Cie Hui terlihat amat bahagia, meski saat selesai ijab-kabul, Dalimunte dan Cie Hui menangis lama memeluk Kak Laisa, berbisik ribuan kata maaf (lebih lama dibanding saat bersimpuh di pangkuan Mamak). Membuat yang lain terdiam. Menghela nafas. Meski tidak ada yang jahil membicarakannya, setnua orang tahu, melintas macam ini sungguh di luar kebiasaan kampung.

Dalimunte dan Cie Hui menghabiskan masa-masa bulan madu di perkebunan strawberry, baru lepas satu bulan kemudian mereka kembali ke ibukota, memulai kemball kesibukan di laboratorium. Ikanuri dan Wibisana kembali ke kota provinsi seminggu setelah pernikahan, mereka semakin sibuk dengan bengkel modifikasi mobil. Berencana membangun pabrik kecil di luar pulau, di kota yang lebih besar. Mengejar ambisi besar mereka: pembuat spare-part mobil balap. Yashinta juga segera kembali ke kota provinsi, minggu-minggu depan ia mulai menyiapkan ujian tugas akhir kuliahnya.

Meninggalkan Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry. Seperti selama ini. Bedanya, di keluarga itu sudah terjadi pernikahan pertama. Entahlah apa yang sejatinya dipikirkan Kak Laisa, tapi kenyataan ia sudah dilintas Dalimunte tetap fakta hidup yang harus diterimanya. Dan seperti biasa, semuanya terlihat baik-baik saja. Kak Laisa juga kembali menyibukkan diri dengan pembangunan pusat pengalengan baru di kota provinsi. Sering berpergian, bolak-balik. Mengurus perkebunan yang semakin luas. Mulai melibatkan penduduk kampung atas dan kampung-kampung lainnya. Menjadikan mereka petani cluster dari bisnis tersebut.
Kak Laisa dan Mamak Lainuri mungkin tidak akan pernah kesepian, karena meski jadwal pulang bersama yang lain hanya dua bulan sekali, perkebunan itu tetap ramai oleh pekerja, anak-anak tetangga, juga remaja tanggung lainnya yang sibuk membantu selepas pulang sekolah. Ramai bermain-main di hamparan rumput rumah. Kak Laisa juga sering kali menghabiskan malam dengan bermain kembang api bersama mereka. Mendirikan taman bacaan. Dan memberikan berbagai kesempatan bagi anak-anak lembah lainnya untuk belajar dan bermain yang tidak pernah ia dapatkan waktu kecil. Tapi di luar seluruh kegiatan hebat tersebut, tetap tidak ada yang tahu seberapa sepi hidup Kak Laisa.

Lepas pernikahan Dalimunte, penduduk setempat juga sudah jauh berkurang menggoda Laisa. Mereka sekarang lebih banyak prihatin, sebagian besar malah mulai terbiasa. Hanya Wak Burhan yang masih terus sibuk mencarikan Laisa Jodoh. Percuma. Semua itu seperti menjadi kesia-siaan besar.
Dalimunte selepas pulang ke ibukota juga sibuk mencarikan jodoh buat kakaknya. Kali ini dia melakukannya dengan sungguh-sungguh, sekali dua malah mengorbankan jadwal di laboratorium. Dalimunte memutuskan untuk melibatkan diri seperti Wak Burhan. Di tengah
amat keterlaluannya warga ibukota dalam menilai tampilan fisik dan materi, kesempatan Kak Laisa untuk mendapatkan jodoh tetap lebih besar di sini. Mungkin jodoh Kak Laisa terselip di sini. Harus dijemput dengan baik.

Enam bulan berlalu, di jadwal pulang dua bulanan mereka, Dalimunte mengajak salah satu temannya. Tepatnya kakak kelas waktu dia kuliah di institut teknologi ternama dulu. Usianya sepantaran dengan Kak Laisa, tiga puluh lima tahun. Dalimunte sudah mengenalnya sejak masih tingkat pertama kuliah dulu. Kakak mentor. Aktivis masjid kampus. Fasih benar bicara soal mencari jodoh bukan dilihat dari wajah dan kecantikan pasangan, tapi dari "kecantikan hati". Sekarang calon jodoh Kak Laisa tersebut malah lebih dikenal sebagai salah-satu penceramah agama terkenal di ibukota. Statusnya duda. Istri kenalan Dalimunte tersebut meninggal tanpa anak tiga tahun lalu, dan sekarang memutuskan untuk menikah lagi.

Karena Daiimunte amat yakin bahwa kakak kelasnya itu tidak akan menilai seseorang dari tampilan wajah dan fisik, sambil tersenyum lebar dan penuh penghargaan, Dalimunte menyebutkan Kak Laisa sebagai salah satu pilihan yang baik. Cepat sekali proses itu terjadi, bahkan kakak kelasnya merasa tidak perlu melihat foto-foto Kak Laisa. Hanya mendengar apa yang dilakukan Kak Laisa, tentang Lembah Lahambay, dan segalanya, dia merasa sudah menemukan pengganti mendiang istrinya yang tepat.

"Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan selama ini. Lihat, adiknya saja gagah seperti kau!" Itu jawaban yang hebat, Benar-benar kabar baik. Dalimunte tertawa riang.

Tetapi Dalimunte sungguh keliru, ketika malam itu akhirnya mereka tiba di rumah panggung, ketika untuk pertama kali mantan kakak kelasnya di institut teknologi itu melihat Kak Laisa, respon yang diharapkannya sungguh jauh dari baik. Sebenamya respon yang ada tidak jauh beda dengan jodoh-jodoh yang dibawa Wak Burhan selama ini tetapi mengingat latar belakang pemahaman agama kakak kelasnya... Malam itu ruangan depan rumah panggung entah mengapa terasa gerah, meski lembah sedang menjelang musim penghujan.

"Bukankah Kak Laisa 'cantik' seperti yang kau sebutkan selama ini dalam ceramah-ceramahmu. Apalagi yang kurang!" Dalimunte sedikit tersinggung, berkata ketus esok pagi saat menyuruh salah satu sopir perkebunan mengantar kenalannya tersebut kembali lebih dini ke kota provinsi.
"Tapi maksudku, setidaknya cantik adalah menarik hati"
Dalimunte sudah terlanjur membanting pintu mobil. Dia tidak membenci kenalannya tersebut secara personal. Tapi Dalimunte lebih membenci kenyataan bahwa: terkadang betapa munafiknya manusia dalam urusan ini. Lihatlah, kenapa pula temannya tersebut mesti berpura-pura ada jadwal acara mendadak, ceramah di manalah hari ini. Dalimunte membenci ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang ketika mencari jodoh. Sungguh jika ada yang ingin menilai secara objektif, Kak Laisa masuk tiga dari empat kriteria utama yang disebutkan Nabi dalam memilih jodoh.

Jelas Kak Laisa salehah. Saleh dalam hubungan dengan Allah, juga saleh dalam hubungan dengan manusia. Kak Laisa selalu pandai mensyukuri nikmat Allah dalam bentuk yang lengkap. Ritus ibadah yang baik dan ihklas, juga kesalehan memperbaiki kehidupan lembah.
Dari sisi materi. Jelas Kak Laisa lebih baik dari gadis lain. Perkebunan strawberry Kak Laisa membentang nyaris dua ribu hektar. Meski Kak Laisa selalu bilang ini perkebunan Mamak, semua orang tahu, semuanya berkat kerja keras Kak Laisa.

Dan dari sisi keturunan, Kak Laisa memang bukan turunan raja atau bangsawan ternama, tapi keluarga mereka terhormat, pekerja keras, tidak pernah meminta-minta, berdusta, atau melakukan hal buruk lainnya. Sejak dulu Babak mengajarkan tentang harga diri keluarga, mengajarkan tentang menjaga nama baik keluarga lebih penting dibandingkan soal kalian turunan siapa. Menjadi keluarga yang jujur meski keadaan sulit. Berbuat baik dengan
tetangga sekitar, dan sebagainya. Jadi kenapa harus mempersoalkan kecantikan? Bukankah itu hanya ada di urutan keempat?

"Keluarga yang baik hanya dapat terjadi ketika suami merasa senang menatap istrinya, Dali. Merasa tenteram —"
Kak Laisa berkata pelan, menatap gumpalan awan tipis yang menutupi bintang-gemintang dan purnama.
Dalimunte hanya diam. Seperti biasa mereka menghabiskan sepertiga malam terakhir dengan berdiri di lereng perkebunan strawberry. Kak Laisa tidak banyak berkomentar atas kejadian semalam dan tadi pagi. Seperti biasa, menganggapnya kejadian lazim berikut. Bukankah selama ini juga perjodohan yang dilakukan Wak Burhan bernasib sama. Yang dijodohkan mundur teratur setelah melihatnya (satu dua malah kasar segera pergi dari rumah). Dalimunte saja yang terlalu naif berharap banyak atas kenalannya tersebut, tidak proporsional, tertipu tampilan mutut. Kesalehan mulut.

"Kau tahu, jika suami merasa tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, dan juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah kau juga tahu kisah tentang sahabat Nabi, yang meminta bercerai karena fisik dan wajah pasangannya tidak menenteramkan hatinya—" Laisa tetap berkata ringan.
Dalimunte menelan ludah, menatap lamat-lamat wajah Kak Laisa. Tahun-tahun itu, Dalimunte sudah mulai sibuk dengan berbagai penelitian tentang transkripsi religius, jadi bagaimana mungkin dia tidak tahu berbagai kisah tersebut. Dia tahu. Dia juga tahu persis kalimat bijak kalau: ketika salah satnnya justru memutuskan untuk bersabar atas pasangan yang tidak beruntung dari tampilan wajah dan fisik tersebut, maka surga menjadi balasan buatnya. Tidakkah hari ini, ada yang mengerti hakikat kisah tersebut.

"Kakak tidak sakit hati?" Dalimunte berusaha melepas senyap di hatinya. "Kenapa harus sakit hati, Dali?" Kak Laisa melambaikan tangan. Dalimunte menunduk. Mengusir rasa sesalnya atas kejadian ini.

"Tetapi yang membuat Kakak bingung, kenapa kenalanmu itu tetap datang meski telah melihat foto-foto, Kakak?" Kak Laisa tersenyum, mengenggam lengan Dalimunte.

Dalimunte hanya diam. Itu salahnya!



NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 30

No comments:

Post a Comment