Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 28


28
ROMANTISME STRAWBERRY

PEMBICARAAN dini hari itu membuat perubahan besar.

Akhirnya setelah menatap begitu lama wajah Kak Laisa yang tersenyum amat tulus, Dalimunte memutuskan untuk menikah. Maka rusuhlah perkebunan sepagi itu. "Keluarga Cie Hui sudah berangkat ke kota provinsi. Mereka berangkat ke China hari ini juga —"

Itu jawaban dari seberang telepon saat Dalimunte bertanya ke kediaman Cie Hui di kota kecamatan. Panik sudah.
Ikanuri dan Wibisana yang masih menguap diteriaki agar segera menyiapkan mobil. Yashinta bergegas menyiapkan segala sesuatu. Mereka harus segera menyusul. Hari itu, teknologi telepon genggam belum ada. Jadi tidak ada cara untuk mengontak Cie Hui yang sedang menuju bandara. Celaka. Urusan ini benar-benar celaka, jika sampai Cie Hui menaiki pesawat yang membawanya ke ibukota, lantas terus menuju ke China, maka berakhirlah semuanya. Pusara yang sama juga akan tertanam dalam- dalam di hati Dalimunte.
Yashinta berteriak-teriak menyuruh Ikanuri lebih cepat lagi.

"Cepat, Kak. Lebih cepat. Katanya nih mobil sudah dimodifikasi macam mobil balap. Ini mah siput saja lebih cepat!"
Mereka sudah tertinggal empat jam di belakang. Ikanuri yang sialnya masih mengenakan sarung mengeluarkan gumam tak jelas. Tersinggung dengan teriakan Yashinta. Berlima mereka memadati mobil modifikasi bengkel Ikanuri dan Wibisana tersebut. Mamak menunggu di rumah.
Rumah keluarga Cie Hui di kota kecamatan kosong.

"Maaf, Nak Dali, justru Nona Cie Hui yang memaksa agar perjodohan itu segera dilangsungkan. Memaksa mereka berangkat segera dini hari tadi...."
Pembantu rumah Cie Hui menjelaskan terbata-bata, ikut merasa sedih. Dalimunte mengeluh tertahan. Dia sungguh telah membuat kesalahan besar. Rasa putus asa yang besar karena menunggu bertahun-tahun itu berubah menjadi kebencian sekarang,

Sekarang Wibisana yang mengemudikan mobil. Dari tadi Ikanuri gatal menjitak kepala Yashinta yang berisik protes. Melesat menuju kota provinsi. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan, Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.

Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Kak Laisa yang duduk di belakang, di tengah-tengah Yashinta dan Ikanuri malah sepanjang jalan sibuk memisahkan tangan-tangan mereka (yang sibuk bertengkar). Dalimunte mengusap wajahnya berkali-kali. Tegang.
Sial, dua puluh kilometer menjelang kota provinsi, ban mobil meletus.

"Ya ampun, bagaimana mungkin Kak Ikanuri dan Wibisana bisa bikin mobil balap kalau hasil modifikasinya hanya begini?" Yashinta mengeluh setengah kecewa, setengah sebal. Ikanuri sekarang benar-benar menjitak kepala Yashinta. Terpaksalah perjalanan itu terhenti hampir setengah jam tintuk mengganti ban.
Dan saat mereka akhirnya tiba di bandara, mereka benar-benar terlambat. Bertanya rusuh tentang jadwal penerbangan. Memaksa masuk pintu check-in. Dua petugas yang menjaga pintu pemeriksaan terlihat bingung menghadapi seruan-seruan memaksa Yashinta. Wajah mengeras Ikanuri dan Wibisana. Wajah tegang memohon Dalimunte. Berhasil. Kak Laisa seperti biasa dengan tatapan mata, akhirnya berhasil mcmbujuk petugas. Berlarian menuju ruang tunggu bandara.
Tapi mereka tiba di bandara sudah amat terlambat. Dalimunte masih sempat melihat Cie Hui bersama Koh Acan dan istrinya berjalan di balik kaca tebal menuju garbarata prsawat. Berteriak memanggil. Percuma. Kaca itu kedap suara. Memukul-mukulnya. Sia-sia. Cie Hui sudah masuk kedalam garbarata. Kali ini Kak Laisa tidak berhasil memaksa petugas pintu boarding mengijinkan mereka menerobos masuk ke landasan pacu bandara. Itu prosedur yang tidak bisa dilanggar dengan alasan apapun.

Dalimunte menatap kosong pesawat yang mulai berputar menuju runaway. Bersiap berangkat. Lima menit, Pesawat itu menderu lepas landas. Menuju langit yang membiru. Menyisakan lengang di balik kaca tebal ruang tunggu. Yashinta tertunduk, menyeka ujung-ujung matanya. Ikanuri dan Wibisana bergumam kecewa. Kak Laisa mendekap sedih pinggang Dalimunte.

Lima belas menit hening. Dalimunte tetap menatap kosong langit. Mereka tidak akan bisa mengejar Cie Hui lagi. Jadwal penerbangan ke ibukota hanya ada satu kali dalam sehari. Dia juga tidak tahu nomor telepon ke sana. Memberitahukan kalau dia sudah bisa mengambil keputusan. Memberitahukan kalau dia bersedia menikah. Urusan ini ternyata berakhir menyedihkan.

Kak Laisa membimbing Dalimunte. Beranjak pulang. Semua ini terasa menyakitkan. Sesak. Mereka berjalan beriringan melewati pintu masuk menuju ruang tunggu. Kembali ke perkebunan strawberry.... Sungguh sesak rasanya. Mata Dalimunte berkaca-kaca....

"Da-li—" Suara itu memanggil tertahan.

Dalimunte mengangkat kepalanya. Kak Laisa ikut menoleh. "Da-li—" Itu suara Cie Hui.
Gadis keturunan itu berlari keluar dari garbarata. Dalam gerakan lambat sepersejuta detik yang amat mengharukan.
Cie Hui berseru. Menangis. Melompat memeluk Dalimunte. "Cie—" Dali seketika kehabisan kata-kata.
"Ia amat menyukaimu, Nak" Koh Acan, ayah Cie Hui ikut melangkah mendekat, melepas topi putih kupluk di kepalanya. Muslim keturunan itu menghela nafas panjang, "Kau tahu, meski tadi pagi ia sendiri yang meminta perjodohan itu dipercepat, tapi ta tidak kuasa untuk melangkahkan kakinya ke dalam pesawat. Tidak kuasa.... Hanya berbisik berkali-kali di dalam garbarata, 'Dali akan menyusul, Dali akan menyusul, Papa'.... Berdiri mematung di depan pintu pesawat.... Tidak bisa melakukannya. Ia sungguh amat menyukaimu, Nak!"

Dalimunte dan Cie Hui sudah berpelukan, seolah dunia milik berdua. Tidak peduli sekitar. Menangis. Kak Laisa tersenyum lebar.
Inilah romantisme yang (selalu) diceritakan moderator cerewet di konvensi internasional itu, juga konvensi-konvensi lainnya. Di majalah-majalah. Di koran-koran yang banyak menulis tentang Profesor Dalimunte.


Inilah romantisme Strawberry cinta Dalimunte dan Cie Hui.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 29

No comments:

Post a Comment